David
dan aku tidak berbicara setelah itu. Tapi setiap siang setelah aku
selesai berkerja dia ada disana, menunggu di seberang jalan. Dia
mengawasi ku dari balik topi baseball nya . Sudah siap untuk
mengiringi pulang dengan selamat. Itu membuatku jengkel, tapi sama
sekali tidak membuatku terancam. Aku mengabaikannya selama tiga
hari. Hari ini adalah hari keempat. Dia mengganti jenas hitamnya
yang biasa dengan warna biru, dan boots digantikan sneaker. Bahkan
dari kejauhan, bagian atas bibir dan juga hidungnya tampak memar.
Paparazi masih luput dari aksi ini, meskipun hari ini seseorang
bertanya padaku tentang apakah dia ada di kota ini. Hari-harinya
bergerak di sekitar Portland tanpa di ketahui mungkin akan segera
berakhir. Aku penasaran apakah dia tau.
Ketika
aku tidak mengabaikannya seperti aku biasanya, dia melangkah maju.
Lalu berhenti. Sebuah truk lewat diantara kami di antara lalu lintas
kota yang biasa. Ini gila. Kenapa dia masih disini? Mengapa dia
tidak kembali ke Martha saja? Move on sangat mustahil dengan dia
disini.
Keputusan
telah setengah di buat, aku bergegas menyebrang jalan, menemui dia
di trotoar seberang.
“Hai”,
kataku, tanpa memusingkan tali tas ku sama sekali. “apa yang
sedang kau lakukan disini , David?”
dia
memasukan tangannya di sakunya, melihat kesekeliling. “aku
mengantarmu pulang. Sama seperti yang aku lakukan setiap hari”.
“ini
kehidupanmu sekarang?”
“kurasa”.
“huh”,
kataku, menyimpulkan keseluruhan situasi dengan sempurna. “Mengapa
kau tidak kembali ke LA?”
mata
birunya memperhatikanku dengan waspada dan dia tidak langsung
menjawab. “istriku tinggal di Portland”.
Jantungku
tergagap. Kesederhanaan pernyataannya dan ketulusan di matanya
membuatku lengah. Tak satupun dari kami bergegas, malahan kami
berjala melewati toko-toko dan restoran, mengintip ke dalam Bar
yang baru saja buka malam ini. Aku memiliki firasat buruk bahwa
begitu kami berhenti berjalan, kami harus mulai berbicara, jadi
berlama-lama sangatlah cocok untukku. Malam musim panas itu berarti
ada cukup banyak orang berkeliling.
Sebuah
bar Irlandia di sudut jalan sekitar separuh jalan pulang. Musik
meraung, beberapa lagu lama The White Stripes. Tangan masih
dimasukan di kantongnya, David menunjuk Bar dengan siku. “Mau
minum?”
butuh
beberapa saat untuk menemukan suaraku. “tentu”.
Dia
menuntunku langsung ke meja di belakang, menjauh dari kerumaunan para
peminum yang baru pulang kerja yang terus bertambah. Dia memesan
dua kaleng Guiness. Begitu birnya tiba, kami duduk diam, menghirup.
Setelah beberapa saat,David melepas topinya dan meletakannya di atas
meja. Sial, wajahnya sangatlah malang. Aku bisa melihatnya dengan
lebih jelas sekarang dan dia tampak seperti memiliki dua mata hitam.
Kami
duduk disana menatap satu sama lain dalam semacam kebutuhan yang
aneh. Tak satupun dari kami berbicara. Cara dia menatapku, seakan
dia juga terluka, seakan dia memang terluka.....aku tak bisa
menerimanya. Menunggu untuk menyeret segala kekacauan hubungan ini
dalam cahaya sama sekali tidak membantu kami berdua. Saat nya untuk
rencana baru. Kami akan menyelesaikan semua dan melanjutkan
kehidupan masing-masing. Tak ada lagi luka dan sakit hati. “Kau
ingin memberitahu tentang dia?” tanyaku, duduk lebih tegak,
mempersiapkan diriku untuk yang terburuk.
“Ya,
Martha dan aku telah bersama-sama sejak lama. Kau mungkin sudah tau
itu, dia adalah orang yang berselingkuh dariku. Orang yang kita
bicarakan”.
Aku
mengangguk.
“kami
memulai band saat kami berusia empat belas tahun, Mal, Jimmy, dan
aku. Ben bergabung satu tahun setelahnya dan Martha juga . Mereka
seperti keluarga”. Ujarnya, alisnya dikerutkan. “mereka adalah
kelurga. Bahkan ketika hal-hal menjadi buruk aku tak bisa tidak bisa
tidak peduli padanya....”
“Kau
menciumnya”.
Dia
mendengus. “Tidak, dia menciumku. Martha dan aku telah selesai”.
“kurasa
dia tidak mengerti itu, karena dia masih menelponmu dan semuanya”.
“Dia
pindah ke New York, tidak lagi berkerja untuk Band. Aku tak tau
maksud telponnya itu, aku tidak menelponya balik”.
Aku
mengangguk, hanya sedikit merasa tenang. Masalah kami tidak begitu
jelas. “apakah hatimu telah mengerti kalau kau telah selesai
dengannya? Kurasa , itu hanya kepalamu, iya kan? Hati hanyalah
sekumpulan otot yang lain. Konyol untuk mengatakan bahwa hati
memutuskan apapun”.
“Martha
dan aku telah selesai. Kami sudah lama selesai. Aku berjanji”.
“walaupun
itu benar, bukankah itu hanya membuatku sebagai hadiah hiburan?
Percobaan mu kepada kehidupan normal?”
“Ev,
tidak. Bukan seperti itu”.
“Apakah
kau yakin tentang itu?” tanyaku, tak percaya akan suaraku. Aku
mengambil bir ku, menegak rasa pahit, ale hitam,dan busa krim.
Sesuatu untuk menenangkan saraf. “aku sudah menyerah tentang mu”,
kataku, suaraku yang menyedihkan, kerdil. Bahuku berada di tempat
yang seharusnya, turun. “sebulan. Aku tak benar-benar meyerah
hingga hari ke tujuh. Lalu aku tau kau tidak akan datang. Aku tau
itu telah berakhir. Karena jika aku sangat penting bagimu, kau akan
mengatakan sesuatu pada saat itu , bukan? Maksudku, kau tau aku
jatuh cinta padamu. Jadi, kau telah menyingkirkan ku dari
kesengsaraan pada waktu itu, bukan?”
dia
diam saja.
“Kau
adalah kumpulan rahasia dan kebohongan, David. Aku menanyaimu
tentang anting-anting itu, ingat?”
dia
mengangguk.
“kau
telah berbohong”.
“Yeah,
aku minta maaf”.
“apakah
kau melakukan itu sebelum atau setelah peraturan kita untuk selalu
jujur? Aku tak bisa mengingat. Itu tampakanya setelah peraturan
untuk tidak berselingkuh, bukan?”, berbicara adalah kesalahan.
Semua pikiran dan emosi yang bergejolak, yang dia sebabkan,
mengikutiku dengan sangat cepat.
Dia
tidak mau membalas.
“apa
cerita di balik anting-anting, itu?”
“aku
membelinya dengan gaji pertamaku setelah perusahaan rekaman menerima
kami”.
“Wow.
Dan kalian berdua sudah memakainya selama ini. Bahkan setelah dia
menyelingkuhimu dan segalanya”.
“itu
Jimmy” ujarnya, “ dia menyelingkuhiku dengan Jimmy”.
Sialan,
kakaknya sendiri. Banyak hal hancur berkeping-keping karena
informasi itu. “itulah kenapa kau marah karena menemukan dia dan
Groupie itu bersama. Dan ketika kau melihat Jimmy berbicara padaku
di pesta itu”.
“Ya,
itu sudah lama sekali, tapi.....Jimmy muncul kembali di acara Tv.
Kami ada di tengan-tengah Tour besar, bermain di spanyol pada saat
yang sama. Album kedua baru saja masuk ke top ten. Kami akhirnya
benar-benar menarik banyak orang”.
“Jadi
kau memaafkan mereka untuk menjaga Band tetap bersama?”
“Tidak.
Tidak persis. Aku baru saja mengerjakan banyak hal. Bahkan saat
itu Jimmy terlalu banyak minum. Dia sudah berubah”. Dia menjilat
bibirnya, mengamati meja. “aku minta maaf tentang malam itu. Amat
sangat menyesal dari yang bisa aku katakan. Apa yang kau
alami......aku tau bagaimana itu terlihat. Dan aku membenci diriku
karena membohongimu tentang anting-anting, karena masih memakainya
saat di Monterey”.
Dia
menyentil telingannya dengak kesal. Masih ada luka yang terihat
disana dengan kulit yang mengkilap, merah muda, hampir sembuh di
sekelilingnya. Itu sama sekali tidak tampak seperti lubang
anting-anting yang memudar.
“apa
yang kau lakukan disana?” tanyaku.
“Memotongnya
dengan pisau”. Dia mengangkat bahu. “lubang anting butuh waktu
bertahun-tahun untuk tumbuh. Membuat potongan baru ketika kau
melepasnya sehingga bisa sembuh dengan benar”.
“Oh”.
“aku
menunggu untuk berbicara denganmu karena aku butuh waktu. Kau pergi
setelah kau berjanji tidak akan pergi.... itu sangat sulit “.
“aku
tak pumya pilihan”.
Dia
membungkuk padaku, matanya mengeras. “kamu punya pilihan”.
“aku
baru saja melihat suamiku mencium wanita lain. Dan bahkan kau
menolak untuk membicarakannya dengan ku. Kau baru saja berteriak
padaku tentang pergi. Lagi”. Tanganku mencengkram tepi meja
dengan erat sehingga aku bisa merasakan kuku jariku menekan kayu.
“apa yang harus ku lakukan, David? Katakan padaku. Karena aku
telah sering memutar adegan itu di kepalaku dan selalu berakhir
dengan cara yang sama, dengan kau yang membanting pintu di
belakangku”.
“Shit”,
dia merosot kembali ke tempat duduknya. “kau tau kau yang pergi
adalah masalah bagiku. Kau harus tetap bersamaku, memberiku
kesempatan untuk menenangkan diri. Kita berhasil saat di Moterey
setelah perkelahian di Bar itu. Kita bisa melakukannya lagi”.
“Sex
yang kasar tidak memperbaiki segalanya. Terkadang kau benar-benar
harus berbicara”.
“aku
mencoba berbicara dengan mu malam itu di klub. Apa itu terpikirkan
oleh mu”.
Aku
bisa merakan wajahku memanas. Dan itu tambah membuatku kesal.
“Fuck,
dengar”, ujarnya, menggosok di belakang lehernya. “masalahnya,
aku harus meluruskan segalanya di kepalaku, okay? Aku butuh
mencari tau apakah kita bersama adalah hal yang benar. Sejujurnya,
Ev, aku tak ingin menyakitimu lagi”.
Sebulan
dia meninggalkan ku untuk menikmati kesengsaraanku. Itu sudaha da
di ujung lidahku untuk mengucapkan teri ma kasih. Atau mungkin
untuk menariknya pergi. Tapi ini terlalu serius.
“Kau
ingin berpikir lurus tentang kita di kepalamu? Itu hebat. Kuharap
aku juga bisa melakukan itu di kepalaku”, aku berhenti mengoceh
cukup lama untuk meminum bir lagi. Tenggorokanku memberi kertas
amplas kompetisi serius.
Dia
menahan diri dengan diam, memperhatikanku jatuh dan terbakar dengan
ketenangan yang menakutkan.
“Jadi,
aku hanyalah semacam irama”, aku melihat ke segala penjuru kecuali
dia. “apakah itu sudah mencover semua yang ingin kau katakan?'
“belum”.
“belum?
Masih ada lagi?” Kumohon, Tuhan, jangan biarkan lebih banyak lagi.
“Yeah”.
“katakan”
waktunya minum.
“Aku
mencintaimu”.
Aku
meludahkan bir ke seberang meja, keseluruh tangan kami yang bertaut.
“sialan”.
“aku
akan mengambilkan mu lap”, ujarnya,melepaskan tanganku, dan bangun
dari kursi nya. Beberapa saat kemudian dia kembali. Aku duduk
disana seperti boneka yang tak berguna saat dia membersihkan
lenganku kemudian membersihkan meja. Dengan hati-hati, dia menari
kursiku, membantuku berdiri dan membimbingku keluar dari Bar.
Dehaman suara lalu lintas dan keramaian udara kota membersihkan
indra ku. Aku mempunyai ruang untuk berpikir.
Dengan
segera kakiku bergerak. Mereka tau apa yang terjadi. Sepatu bootku
menginjak trotoar, menempatkan jarak yang serius antara aku dan
disana. Berada sejauh mungkin dari dia dan dari yang dia katakan.
Namun David tetap di sampingku.
Kami
berhenti di sudut jalan dan aku menekan tombol, menunggu lampu jalan.
“Jangan katakan itu lagi”.
“apakah
itu benar-benar kejutan? Kenapa aku sampai melakukan ini? Tentu
saja karena aku mencintaimu”.
“Tidak”,
aku menoleh padanya, wajahnya marah.
Bibirnya
membentuk garis yang ketat. “baik , aku tak akan mengatakan itu
lagi. Untuk sekarang. Tapi kita harus berbicara lebih banyak
lagi”.
Aku
menggeram, menggertakan gigiku.
“Ev”.
Bangsat.
Negosiasi bukanlah kehalian ku. Bukan dengannya. Aku ingin dia
pergi. Atau setidaknya, aku cukup yakin ingin dia pergi.
Menghilanglah sehingga aku bisa melanjutkan berkabung tentang dia dan
kami serta segala sesuatu yang mungkin kami miliki. Hilang sehingga
aku tidak perlu memikirkan kenyataan bahwa sekarang dia mengira dia
menncintai ku. Omong kosong yang benar-benar emosional. Saluran air
mataku menggila tepatnya. Aku menarik napas dalam-dalam mencoba
untuk mengendalikan diri.
“Nanti,
tidak hari ini”, ujarnya, dengan suara yang wajar dan masuk akal.
Aku sama sekali tidak mempercayainya.
“baik”.
Aku
melangkah ke blok lain dengan dia disampingku sampai di persimpangan
yang meninggalkan kami kedinginan, meninggalkan ruang untuk
percakapan. Dia lebih baik tidak berbicara. Setidaknya sampai aku
membersihakan omong kosong ku dan mengerti segalanya. Aku merapihkan
rok pencil ku, menyelipkan rambutku ke belakang, gelisah. Lampu
rambu-rambu itu terasa selamanya. Sejak kapan Portland berbalik
melawanku? I ini tidak adil.
“kita
belum selesai”. Ujarnya. Itu terdengar sepeti ancaman dan juga
janji.
**
pesan
pertama datang pada tengah malam, ketika aku sedang berbaring di
tempat tidur, membaca. Atau berusaha untuk membaca. Karena mencoba
untuk tidur telah menjadi bangkai. Perkuliahan segera kembali
tetapi aku merasa sulit untuk menaikan antusiasme ku yang biasa
tentang kuliahku. Aku memiliki perasaan terburuk bahwa benih
keraguan yang telah di tanam David tentang pilihan karir ku telah
mengakar di otakku. Aku menyukai arsitektur, tapi aku tidak
mencintainya. Apakah itu penting? Sayangnya, aku tak memiliki
jawaban. Terlalu banyak alasan- beberapa omong kosong dan beberapa
valid- tetapi tidak ada jawaban.
David
mungkin akan mengatakan bahwa aku bisa melakukan apapun yang aku
inginkan. Aku tau dengan sangat baik apa yang akan ayahku katakan.
Itu tidak akan indah.
Aku
sudah menghindari menemui orang tua ku sejak aku kembali. Cukup
mudah untuk dilakukan mengingat aku telah menutup ceramah yang ayaku
coba berikan padaku di hari kedua setelah aku kembali. Hubunganku
telah membeku sejak saat itu. Kejutan yang sebenarnya adalah aku
tidak terkejut. Mereka tidak mendorong apapun yang tidak secara
langsung mendukung rencana mereka. Dan ada alasan kenapa aku tak
pernah menelpon balik mereka ketika aku di Moterey. Karena aku tak
bisa memberitahu mereka hal-hal yang ingin mereka dengar lagi, dan
tampaknya lebih aman dengan tetap diam.
Nathan
telah ikut campur tentang orang tua ku, yang mana itu aku apresiasi,
tapi waktu telah habis. Kami semua di panggil untuk makan malam
besok malam. Kupikir pesan itu dari ibu yang akan memastikan aku
tidak menghindarinya. Terkadang dia bergadang menonton film hitam
putih ketika obat tidurnya tidak berkerja.
Aku
salah.
David
: dia mengejutkan ku ketika dia menciumku. Itu sebabnya aku
tidak langsung menghentikannya. Tetapi aku tidak menginginkannya.
Aku menatap ponselku, mengerutkan
kening.
David
: kau disana?
Aku:
ya
David
: aku perlu tau bahwa kau mempercayai semua tentang Martha.
Benarkah? Aku menarik napas,
mencari ke dalam. Ada rasa frustasi, banyak kebingungan, tetapi ada
kemarahanku yang akhirnya mereda sendiri setelah sekian lama.
Karena aku tidak ragu bahwa dia telah mengatakan yang sebenarnya.
Aku
: aku mempercayaimu.
David:
terima kasih. Aku tetap memikirkan lebih. Maukah kau mendengar?
'Aku
: ya.
David
: orang tuaku menikah karena Jimmy. Ibu pergi ketika aku berusia
dua belas tahun. Dia pemabuk.
David:
Jimmy telah membayar nya agar tetap diam. Dia telah menanggungnya
selama bertahun-tahun.
Aku
: Holy Hell !!
David
: Yeah. Aku sudah mendapatkan pengacara untuk itu sekarang.
Aku
; senang mendengarnya.
David
: Kami mempensiunkan Dad di Florida. Aku memberitahu dia tentang mu.
Dia ingin bertemu.
Aku
: sungguh? Aku tak tau harus berkata apa....
David
: bisakah aku datang?
Aku
: kau disini?'
aku tidak menunggu balasannya.
Melupakan celana pendek piyamaku dan kaos tua yang kusam, karena di
cuci berkali-kali sehingga warna aslinya memudar. Dia hanya harus
menghampiriku ketika dia menemukanku. Aku membuka kunci pintu depan
apartemen kami dan menuruni tangga dengan kaki telanjang, ponselku
masih di tanganku. Benar saja, bayangan yang menjulang tinggi
melalui kaca buram pintu depan gedung. Aku mendorong pintu terbuka
dan mendapati dia duduk di tangga. Di luar, malam lengang, penuh
kedamaian. Sebuah SUV mewah diparkir di pinggir jalan.
“Hei”, katanya, jarinya sibuk di
layar ponselnya, ponselku berbunyi.
David
: ingin mengucapkan selamat malam.
“Oke”, kataku, mendongak dari
layar. “Ayo masuk”
Satu sisi mulutnya terangkat dan dia
menatapku. Aku bertemu dengan tatapannya, dan menolak untuk membuat
tidak sadar diri. Dia tampaknya tak terganngu dengan gaya pakaian
tidur ku yang lusuh. Jika pun ada, senyumnya meningkat, matanya
memanas. “Kau akan pergi tidur”.
“Aku baru saja membaca. Tidak
bisa tidur”.
“apakah kakakmu disini?”, dia
berdiri dan mengikutiku menaiki tangga, sepatunya menekan keras
lantai kayu tua. Aku setengah berharap Mrs Lucia yang tua dari
lantai bawah untuk keluar dan berteriak, itu adalah hobinya.
“Tidak”, ujarku, menutup pintu
di belakang kami. “Dia dan Lauren Keluar”.
Dia melihat sekeliling apartemen
dengan penuh minat. Seperti biasa dia mengambil semua ruang. Aku
tak tau bagaimana dia melakukannya. Itu seperti trik pesulap. Entah
bagaimana caranya dia terlihat lebih besar dari yang sebenarnya. Dan
lelaki itu tampak tidak kecil dari awal. Tanpa tergesa-gesa sama
sekali, tatapannya bergerilya ke sekitar ruangan, mengamati dinding
pirus terang (Lauren yang mengecatnya) dan rak buku yang di tumpuk
rapi (aku yang melakukannya).
“apakah ini kamarmu?” tanyanya,
mencondongkan kepalanya ke kamarku.
“Ah, iya. Agak sedikit berantakan
sekarang”, aku menyelinap melewati dia dan mulai membersihkan
dengan cepat, mengambil buku-buku dan puing-puing lainnya yang
tersebar di lantai. Seharusnya aku meminta dia menunggu lima menit
sebelum dia datang, ibuku akan ngeri melihat ini. Sejak kembali dari
LA aku mebiarkan duniaku jatuh dalam kekacauan. Itu sesuai dengan
kondisi pikiranku yang lemah. Bukan berarti David perlu melihatnya.
Aku perlu membuat rencama untuk membersihkan tindakanku dan
benar-benar menaatinya kali ini.
“aku biasanya terorganisir”,
kataku. Menggapai-gapai, melakukan posisi mundur untuk apapun yang
ada di belakangku.
“itu tidak lah penting”.
“ini tak akan memakan waktu lama”.
“Ev”, ujarnya, memegang
pergelangan tanganku dengan cara yang sama dengan tatapannya yang
mengurungku. “aku tak peduli. Aku hanya ingin berbicara
denganmu”.
Sebuah pikiran mengerikan tiba-tiba
muncul di benakku.
“apakah kau akan pergi?”
tanyaku, baju kerja kotor hari ini mencengkram tanganku yang
tiba-tiba gemetar.
Pegangannnya menegang di
pergelangan tanganku. “kamu ingin aku pergi?”
“Tidak. Maksudku, apakah kau akan
meninggalkan Portland? Apakah ini alasan kenapa kau disini, untuk
mengucapkan selamat tinggal?”
“Tidak”.
“Oh”. Himpitan yang menghimpit
tulang rusukku yang telah mencapai jantung dan paru-paruku sedikit
melonggar. “Okay”.
“darimana itu datangnya?”
ketika aku tidak menjawabnya dia menarikku dengan lembut ke arahnya.
“Hei”.
Aku mengambil langkah enggan ke
arahnya, menjatuhkan cucian kotor. Dia menekan lagi, duduk di
tempat tidur, dan menarikku duduk di sampingnya. Aku agak tersandung
dengan pantat ku di kasur double ini alih-alih melakukannya dengan
cara yang anggun. Cerita hidupku. Objek tercapai, dia melepaskan
genggamannya padaku. Tanganku mengepal di tepi tempat tidur.
“Jadi, kau mendapat ekspresi aneh
di wajahmu, dan kemudian kau bertanya padaku apakah aku akan pergi”.
Katanya, mata bbiru nya sendu. “mau menjelaskan?”
“kau belum pernah muncul di tengah
malam sebelumnya. Kurasa aku bertanya-tanya apakah ada lebih dari
sekedar mampir”.
“Aku berkendara ke Apartemenmu dan
aku melihat lampumu masih menyala. Kupikir aku akan mengirimmu
pesan, melihat bagaimana suasana hatimu setelah pembicaraan kita hari
ini”. Dia mengusap dagunya yang berjenggot dengan telapak
tangannya. “plus, seperti yang aku katakan , aku terus memikirkan
hal-hal yang perlu aku katakan padamu”.
“Kau sering berkendara ke
apartemenku”.
Dia memberiku senyum masam. “hanya
beberapa kali. Ini caraku mengucapkan selamat malam padamu”.
“bagaimana kau tau jendela yang
mana yang milikku?”
“Ah, well, pada waktu aku
berbicara pada Lauren ketika aku pertama kali sampai di kota? Dia
memiliki lampu menyala di ruangan lain. Jadi yang satunya harusnya
milikmu”, dia tidak menantapku, malahan memilih untuk mengamati
foto-foto ku dan teman-temanku yang terpasang di dinding. “Kau
marah aku berkeliling ke sekitar?”
“Tidak” jawabku sejujurnya.
“kurasa aku sudah kehabisan amarah”.
“sungguh?”
“Yeah”.
Dia menghembuskan napas pelan dan
menatapku kembali, tanpa mengatakan apapun. Memar gelap masih berada
di bawah matanya, meski hidung bengkaknya sudah kembali ke ukuran
normal.
“Aku benar-benar minta maaf karean
Nate memukulmu”.
“Jika aku adalah kakakmu, aku akan
melakukan hal yang sama persis”. Dia mengaitkan siku di lututnya,
tetapi terus menghadap ke arahku.
“sungguh?”
“tak diragukan”.
Laki-laki dan kecendrungan mereka
untuk berkelahi, itu tak mengenal akhir.
Keheningan terseret keluar. Ini
tidak benar-benar tidak nyaman. Setidaknya kami tiak bertengkar
atau mengulangiadegan putus kami sekali lagi. Menjadi sakit hati
dan marah sudah terlalu melelahkan.
“bisakah kita bersantai saja?”
tanyaku.
“baiklah. Coba lihat ini” dia
mengambil iphone ku dan mulai mengaduk-aduk file musik ku. “dima
earbudnya?”
aku bangkit dan mengambilnya di
antara sampah di mejaku. David memasangnya saat itu, memberiku
earbud. Aku duduk disampingnya, ingin tau apa yang dipilih dari
musikku. Ketika hentakan, irama yang menghentak dari 'Jackson'
miliknya Johni Cash dan June Carter di mulai, aku memandangnya geli.
Dia menyeringai dan mengucapkan lirik. Kami memang menikah karena
demam.
“kau mengolok-olokku?”
kilasan geli melintas di matanya.
“aku mengolok-olok kita”.
“cukup adil”.
“apa lagi yang kau punya disini”.
Cash dan Carter selesai dan dia
melanjutkan mencari lagu-lagu. Aku mengamati wajahnya, menunggu
reaksi nya atas selera musikku. Yang aku dapati adalah dia menguap”.
“mereka tidak seburuk itu”, aku
protes.
“maaf. Hari yang melelahkan”.
“David, jika kau lelah. Kita
tidak perlu __”
“tidak, aku baik-baik saja. Tapi
jika kau tidak keberatan aku ingin berbaring?”
David di tempat tidurku, dia sudah
di tempat tidurku tapi.... “baiklah”.
Dia memberiku tatapan tajam tetapi
mulai menarik sepetu kets nya. “kau hanya bersikap sopan?”
“tidak, tidak apa-apa. Dan ,
maksudku, secara legal tempat tidur ini setengahnya masih milikmu,”
candaku, menarik lepas earbud sebelum dia bergerak untuk
melakukannya untukku. “kamu juga berbaring? Kita tidak bisa
berbagi musik jika ku tidak berbaring”.
Aku merangkak dan berbaring di
sampingnya , menggeliat sedikit, membuat diriku nyaman. Itu,
bagaimanapun juga, tempat tidurku. Dan dia akan jadi satu-satunya
lelaki yang pernah berbaring di atasnya. Bau harum sabunnya datang
padaku, bersih dan hangat, dan khas David. Sangat nikmat, aku ingat.
Untuk kali ini, rasa sakit tampaknya tidak melekat pada ingatan.
Aku menilik ke dlam kepalaku, memeriksa ulang. Ketika aku mengatakan
bahwa aku sudah kehabisan amarah ,, itu ternyara tidak lebih dari
kebenaran. Kami memiliki masalah kami, tapi dia yang menyelingkuhiku
bukanlah salah satu dari itu. Aku tau itu sekarang dan itu sangatlah
berarti.
“kemarilah”. Dia mengulurkan
ear bud dan mulai bermain-main dengan ponselku lagi.
“Bagaimana keadaan Jimmy?” aku
berguling ke sisiku, perlu melihatnya. Gari hidung dan rahangnya
yang kuat , lekukan bibirnya. Sudah berapa kali aku menciumnya?
Tidak cukup untuk bertahan jika untuk tidak pernah melakukan lagi.
“Dia melakuikan jauh lebih baik.
Tampak nya dia benar-benar sudah sembuh. Kurasa dia akan baik-baik
saja”.
“itu berita bagus”.
“setidaknya dia mengungkapkan
masalahnya dengan sejujurnya”, ujarnya, nadanya berubah pahit.
“ibu kami adalah bencana dari apa yang bisa aku dengar. Tapi
kemudian, dia selalu begitu. Dia selalu membawa kami ke taman
karena dia butuh mencetak angka. Dia menjadi layang-layang malam
lingkungan sekolah orang tua serta guru-guru.
Aku menutup mulut, membiarkan dia
mencurahkan. Hal terbaik yang bisa aku lakukan adalah berada disana
dan mendengarkannya. Rasa sakit dan kemarahan di suaranya sangat
memilukan. Orang tua ku memiliki masalah kesombongan, tentu saja,
tapi tidak seperti ini. Masa kecil David sangat lah buruk. Jika
saja aku bisa menampar ibunya karena menyakitinya saat ity , aku
akan melakukannya. Dua kali lipat.
“ayah mengabaikannya selama
bertahun-tahun. Dia bisa. Dia adalah sopir truk jarak jauh, berada
jauh hampir sepanjang waktu. Jimmy dan aku lah yang harus selalu
berkutat dengan masalah ibuku. Beberapa kali kami pulang hanya
untuk mendapati dia mengocehnkan segala macam hal dan pingsan di
sofa. Tidak ada makanan karena dia menghabiskan banyak uang untuk
membeli pill. Kemudian suatu haru kami pulang dari sekolah mendapati
dia dan tv hilang”. Dia menatap kosong, wajahnya murung. “dia
bahkan tidak meninggalkan pesan. Sekarang dia kembali dan dia
menyakiti Jimmy. Itu membuatku gila”.
“itu pasti sangatlah berat
untukmu”, kataku, “mendengar tentang ibumu dari Jimmy”.
Satu bahunya sedikit terangkat.
“Jimmy tidak seharusnya berurusan dengan dia sendirian. Katanya
dia ingin melindungiku. Sepertinya kakakku bukanlah bajingan yang
egois”.
“Terima kasih sudah mengirimi ku
pesan”.
“okay. Apa yang ingin kau
dengarkan?” perubahan topik yang tiba-tiba menyadarkanku bahwq
dia tidak ingin membicarakan keluarganya lagi.. dia menguap lagi,
rahangnya bergemeletuk. “Maaf”.
“The Saint Jhons”.Dia
mengangguk, membolak-balik menemukan satusatunya lagu yang kumiliki.
Petikan gitar yang lebut, mengisi kepalaku. Dia meletakkan ponsel
di dadanya dan kelopak matanya mulai turun. Seorang pria dan seorang
wanita bergantian bernyanyi tentang kepala dan hati mereka.
Sepanjang itu, wajahnya tetap tenang, rileks. Aku mulai
bertanya-tanya apakah dia tertidur. Tetapi ketika lagu selesai dia
berbalik untuk melihatku.
“bagus. Agak sedih”, ujarnya.
“kau tidak berpikir mereka akan
bersama pada akhirnya?”
dia, juga, berguling ke sisinya.
Tidak lebih lebar dari lebar tangan diantara kami. Dengan tatapan
ingin tau, dia menyerahkan ponsel padaku. “mainkan aku lagu yang
kau suka”.
Aku menggulir layar, mencoba
memutuskan apa yang harus kumainkan untuknya. “aku lupa
memberitahu mu, seseorang berkata mereka telah melihatmu hari ini.
Anonimitas mu mungkin akan segera berakhir”
dia menghela napas. “hal itu akan
terjadi cepat atau lambat. Mereka hanya harus terbiasa dengan aku
yang berada di sekitar”.
“Kamu benar-benar tidak pergi?”,
aku benar-benar mencoba agar suaraku tetap jelas tapi itu tidak
berhasil.
“Tidak. Aku tak kan pergi”.
dia menatapku dan aku hanya tau dia melihat segalanya. Semua
ketakutan dan impianku dan harapan ku bahwa aku melakukan yang
terbaik untuk menyembunyikannya , bahkan pada diriku sendiri. Tapi
aku tak bisa menyembunyikan dari dia walaupun aku mencoba. “okay?'
“okay”, kataku.
“Kamu bertanya padaku, apakah kau
adalah usahaku untuk jadi normal. Aku ingin kau mengerti, bahwa
itu sama sekali bukan. Bersamamu, apa yang kurasakan tentangmu, itu
membuatku jatuh cinta. Tapi karena itu aku mempertanyakan segakanya.
Itu membuatku ingin membuat segakanya lebih baik. Membuatku ingin
menjadi lebih baik. Aku tidak bisa bersenbunyi dari segala macam
omong kosong dan membuat-buat alasan ketika aku datang padamu. Tak
satupu n dari kita senang dengan hal-hal seperti itu dan aku ingin
kamu bahagia....” dahinya berkerut dan alis gelapnya tertarik.
“apakah kamu mengerti?”
“kurasa begitu”, aku berbisik,
merasakan begitu banyak untuknya saat ini, dan aku tak tau jalan yang
menuju kemana.
Dia menguap lagi, rahangnya
bergemeretak. “maaf. Fuck, aku kelelahan. Apa kau keberatan jika
aku memejamkan mataku untuk lima menit?'
“tidak”,
dia memejamkan mata. “mainkan
lagu yang lain?”
“sedang kulakukan”.
Aku memainakn untuknya “Revelator”
nya Gillian Welch, lagu terlama, dan paling menenangkan yang aku
temukan. Kurasa dia sudah tertidur setengah jalan. Sosoknya rileks
dan napasnya semakin dalam. Dengan hati-hati aku melepaskan earbud
dan meletakan ponsel. Aku menyalakan lampu samping tempat tidur dan
mematikan lampu utama, menutup pintu sehingga Lauren dan Nate yang
pulang tidak akan membangunkannya. Lalu aku berbaring dan hanya
menatapnya. Aku tidak tau berapa lanma. Dorongan untuk mengelus
wajahnya atau menyusuri tatonya membuat jariku gatal, tapi aku tak
ingin membangunkannya. Dia jelas membutuhkan tidur.
Ketika aku bangun di pagi hari dia
telah pergi. Kekecewaan adalah rasa pahit. Aku baru saja
mendapatkan tidur malam yang terbaik yang aku miliki selama beberapa
minggu, tanoa mimpi menegangkan dan mimpi-mimpi yang biasanya aku
rasakan kahir-akhir ini. Kapan dia pergi? Aku berguling terlentang
dan sesuatu berkerut, mengeluh keras. Dengan satu langkah , aku
mengambil selembar kertas. Itu jelas dirobek dari salah satu buku
catatanku. Pesannya singkat tetapi indah.
Aku
masih belum meninggalkan Portland.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar