Dua
puluh delapan hari kemudian...
wanita
ini membutuhkan waktu lama hanya untuk memesan. Matanya
berpindah-pindah antara diriku dan buku menu saat dia bersandar di
ujung counter. Aku tau arti tatapan itu. Aku sudah muak dengan
tatapan itu. Aku suka berada di cafe, dengan aroma biji kopi, dan
perpaduan menenangkan musik dan orang-orang yang mengobrol. Aku
menyukai persahabatan yang kami punya di belakang counter dan fakta
bahwa pekerjaan ini membuat tangan dan otakku tetap sibuk. Anehnya,
menjadi Barista membuatku santai. Aku bagus dalam itu. Dengan
kuliah ku yang menjadi hambatan yang konstan, aku senang atas fakta
itu. Jika segalanya pernah menjadi masalah, aku selalu mempunyai
kopi untuk membuatku bangkit. Itu adalah Modern- day di Portland
yang setara dengan yang di gaungkan. Kota ini berjalan dengan biji
kopi dan kafe-kafe. Kopi dan bir ada di darah kami.
Akhir-akhir
ini, bagaimanapun. Terus menjadi sesuatu yang menyebalkan untuk di
tangani.
“kau
terlihat familier”, dia memulai, seperti yang mereka semua lakukan.
“apakah kau ada di internet beberapa waktu lalu? Ada hubungannya
dengan David Ferris?”
setidaknya
aku tidak lagi berjengit ketika namanya disebutkan. Dan sudah
berhari-hari sejak aku merasakan dorongan untuk benar-benar muntah.
Tentunya bukan hamil, itu baru saja di patahkan.
Setelah
beberapa hari bersembunyi di kamar, menangis sejadi-jadinya, aku
mengambil setiap shift yang di berikan oleh kafe untuk membuatku
tetap sibuk. Aku tak bisa selamanya berkabung. Sayang sekali hatiku
tetap tidak yakin. Dia ada dalam mimpiku setiap malam ketika aku
menutup mata. Aku harus mengusirnya dari pikiranku seribu kali
sehari.
Saat
aku muncul, beberapa Paparazi yang berkumpul sudah kembali ke LA.
Tampaknya Jimmy sudah menjalani rehabilitasi. Lauren mengganti
saluran tiap kali aku masuk, tetapi itu tak bisa tidak untuk
mengetahui cukup berita untuk mengetahui apa yang sedang terjadi.
Tampaknya Stage Dive sedang di bicarakan dimana-mana. Seseorang
bahkan memintaku untuk menandatangani foto David yang sedang
berjalan masuk ke fasilitas perawatan, kepalanya menunduk dan tangan
di masukan ke sakunya. Dia tampak sangat kesepian. Beberapa kali,
aku hampir menelponya. Hanya untuk bertanya apakah dia baik-baik
saja. Seberapa bodohnya itu? Dan bagaimana jika saat aku menelpon
dan Martha yang menjawab? Untuk saat ini, Jimmy yang tumbang jauh
lebih menarik daripadaku aku. Aku baru saja menilai dari berita
akhir-akhir ini.
Tetapi
orang-orang, pelanggan, mereka membuatku jengkel. Diluar pekerjaan,
aku menjadi benar-benar tertutup. Dan itu membuat isu tersendiri
dalam daftar karena kakakku pada dasarnya tinggal bersama kami
sekarang. Orang-orang yang sedang jatuh cinta itu memuakkan. Itu
adalah fakta medis yang terbukti. Pelanggan dengan spekulasi
bersianar terang di mata kecil mereka tidak jauh lebih baik.
“Kamu
keliru”, kataku pada wanita usil itu.
Dia
memberiku tatapan malu. “kurasa tidak”.
Sepuluh
dolar untuknya kurasa di berusaha mendapatkan tanda tangan. Ini
akan menjadi kali kedelapan pada hari ini. Beberapa dari mereka
ingin mengajakku pulang untuk berhubungan intim karena, kau tau,
mantan bintang Rock. Vagina ku jelas-jelas harus menjadi sesuatu
yang istimewa. Kadang-kadang aku penasaran apakah mereka berpikir
ada sedikit plakat di paha ku yang mengatakan David Ferris ada
disana.
Wanita
ini, bagaimanapun, tidak memeriksaku. Tidak, dia menginginkan tanda
tangan.
“Dengar”,
katanya, spekulasi berubah ke bujukan. “aku tidak akan bertanya,
ini hanya bahwa aku adalh fans berat nya”.
“aku
tak bisa membantumu, maaf. Kami sebenarnya sudah akan tutup. Jadi
apakah kau akan memesan sesuatu sebelum kami tutup?” aku bertanya,
senyum yang menyenangkan dengan kuat terpatri di tempatnya. Sam akan
bangga dengan senyuman itu, yang palsu seperti itu. Tapi dengan
mataku aku memgatakan pada wanita itu kebenaran. Bahwa aku sudah
hilang kesabaran dan aku sejujurnya sudah tidak memiliki sisa
kesabaran sialan itu lagi. Terutama jika menyangkut David Ferris.
“bisakah
kau setidaknya memberitahuku apakah Band benar-benar bubar? Ayolah.
Semua orang mengatakan bahwa pengumuman bisa dibuat kapanpu
sekarang”.
“aku
tak tau tentang itu. Apakah kau akan memesan atau tidak?”
penolakan
lebih lanjut biasanya menyebabkan kemarahan atau air mata. Dia
memilih kemarahan. Pilihan yang bagus, karena air mata mengganggu
jiwa ku yang hidup. Aku muak dengan mereka, baik pada diriku sendiri
atau orang lain. Meskipun sudah jadi rahasia umum bahwa aku di
buang, mereka masih menganggapku memiliki koeksi. Atau begitulah
yang mereka harapkan. Dia memebrikan sedikit tawa palsu. “tak
perlu jadi jalang tentang itu. Apakah memberitahuku apa yang sedang
terjadi sungguh akan membunuhmu?”
“pergi”,
kata Manager tersayangku, Ruby. “sekarang juga. Pergi”.
Wanita
itu berubah kaget, mulutnya terbuka lebar. “apa?”
“Amanda,
panggil polisi”, Ruby berdiri menjulang disampingku.
“segera,
Boss”, Amanda membuka handpone nya dan mengetik nomor, memeloti
wanita itu dengan mata jahatnya. Amanda, sedang beralih dari
satu-satunya temen lesbian ku di sekolah menengah, menjadi berlatih
drama. Konfrontasi ini adalah bagian favoritnya hari ini. Mereka
mungkin telah melemahkan kekuatan ku, tetapi Amanda menyedot semua
kekuatan dari mereka. Sebuah kekuatan yang gelap dan jahat, dan
pasti, tapi itu semua kekuatannya dan dia bersenang-senang di
dalamnya. “Ya, kami mendapati seorang wanita dengan rambut pirang
palsu dan warna kulit kecoklatan yang buruk membuat masalah, pak
petugas. Aku cukup yakin aku melihatnya di sebuah pesta frat
minum-minuman keras padahal masih di bawah umur minggu lalu. Aku tak
ingin mengatakan apa yang terjadi selanjutnya tetapi rekamannya
tersedia di Youtube untuk anda tonton sebagai hiburan seandainya
anda berusia delapan belas tahun.
“tidak
herean dia mencampakkanmu. Aku melihat gambar itu, di pantatmu yang
selebar texas”, wanita itu mencibir dan kemudian keluar dari
kafe.
“apakah
kalian sungguh harus menggertak mereka?” tanyaku.
Amanda
mendecakkan lidahnya. “Please, dia yang memulainya”.
Aku
mendengar lebih buruk dari apa yang dia katakan. Jauh lebih buruk.
Beberapa kali aku harus mengganti alamat email ku sekarang untuk
menghengtikan email berisi kebencian yang tak berhenti masuk. Aku
telah menutup akun Facebook ku sejak awal.
Namun,
aku memeriksa bokongku untuk memastikan. Itu ejekan yang mendekati,
tapi aku yakin sebenarnya Texas, jauh lebih luas.
Sejauh
yang bisa aku tahu kau hidup dengan menjalani diet mint dan Latte.
Bokongmu bukanlah masalah” Amanda sudah lama memaafkanku karena
ciuman yang buruk di sekolah menengah, beruntungnya aku. Aku
beruntung memiliki teman seperti mereka. Aku benar-benar tak tau
bagaimana aku akan berhasil melewati sebulan terakhir tanpa mereka.
“aku
makan kok”
“Sungguh?
Jeans siapa itu?”
aku
mulai membersihkan mesin kopi karena benar-benar telah mendapati
waktu tutup. Itu, dan untuk alasan menghindari subjek. Faktanya
adalah, tertipu dan di bohongi oleh putra kesayangan Rock n Roll
memang cukup membuat diet. Jelas bukan yang ak u rekomendasikan.
Tidurku benar-benar omong kosong dan aku lelah sepanjang waktu. Aku
adalah jalang yang depresi. Diluar dan di dalam, aku tidak merasa
seperti diriku. Waktu yang telah aku habiskan bersama David,
bagaimana itu semua telah merubah berbagai hal, adalah kecenderungan
yang konstan, rasa gatal yang tak bisa aku garuk. Sebagian karena
aku tak memiliki kekuatan tetapi juga karena tak memiliki kemauan.
Kalian hanya akan bisa menyanyikan “Aku akan Bertahan”
berkali-kali sebelum dorongan untuk menghancurkan diri sendiri
mengambil alih.
“Lauren
tidak mengenakan ini. Karena katanya warna hitam yang salah dan
penempatan kantong di bagian belakang membuatnya terlihat gemuk.
Tampaknya penempatan kantong penting”.
“Dan
kau mulai mengenakan pakaian skinny sapi sejak kapan?”
“jangan
panggil dia seperti itu”.
Amanda
memutar matanya. “Please, dia menganggap itu pujian”.
Benar.
“Well, jeans ini bagus. Apa kau akan mengelap meja atau kau ingin
aku yang melakukannya?”
Amanda
hanya mendengus. “Jo dan aku ingin berterima kasih karena membantu
kami pindahan minggu kemarin. Jadi kami akan membawa mu keluar malam
ini. Minum-minum dan berdansa ahoy!”
“Oh”,
alkohol dan aku memiliki reputasi yang buruk. “aku tak tau”.
“aku
tau”.
“aku
memiliki rencana untuk....”.
“Tidak,
jangan coba-coba. Inilah alasan mengapa aku memberitahumu di
menit-menit terakhir. Aku tau kau akan mulai membuat alasan”. Mata
gelap Amanda berubah menjadi tanpa kompromi. “Ruby, aku membawa
para gadis keluar malam ini”.
“Ide
bagus”. Ruby berteriak dari dapur. “bawa dia keluar dari sini.
Aku akan bersih-bersih”.
Senyum
bahagia yang telah aku praktikan mencelos di wajahku. “Tapi--”
“ini
adalah mata sedih”, kata Ruby, menyita kain pembersih ku. “aku
tak tahan lagi. Tolong keluar dan bersenang-senang lah”
“apakah
aku sungguh pembunuh kesenangan?” tanyaku, tiba-tiba khawatir.
Sejujurnya aku telah merasa menutupi dengan baik di luar. Wajah
mereka mengatakan yang sebaliknya.
“Tidak.
Kau gadis berumur dua puluh satu tahun yang normal yang sedang
mengalami patah hati. Kau harus bangkit dan merebut kembali
hidupmu”, Ruby berusia awal tiga puluhan dan segera menikah.
“Percayalah padaku. Aku tahu yang terbaik. Pergilah”.
“Atau”
kata Amanda , mengayunkan jari ke arahku. “kau bisa duduk di
rumah menonton Walk in the Line untuk kedelapan kalinya sambil
mendengar kakakmu dan sahabatmu sedang bernafsu di kamar sebelah”.
Ketika
dia mengatakannya seperti itu....”ayo pergi”.
**
“aku
ingin menjadi Bi” aku mengumukan, karena itu sangatlah penting.
Seorang gadis harus memiliki tujuan. Aku mendorong kursiku
kebelakang dan bangkit. “ayo menari. Aku suka lagu ini”.
“kau
menyukai lagu-lagu dari band-band yang tidak terkenal”, Amanda
tertawa, mengikutiku menuju kerumunan. Pacarnya Jo hanya
menganggukan kepala, menggandeng tangannya. Vodca tak diragukan
lagi sama buruknya dengan Tequila, tapi aku merasa agak bimbang dan
sedikit bebas. Rasanya menyenangkan untuk pergi keluar dan perut
kosong yang telah menenggak tiga gelas minuman , sungguh. Aku
curiga Amanda telah membuat satu gelas nya dua kali lipat lebih keras
dari seharusnya. Rasanya luar biasa , menari, tertawa, dan lepas.
Dari semua taktik setelah putus cinta yang aku coba,, tetap sibuk
berkerja adalah yang paling baik. Tapi pergi keluar untuk menari
dan minum-minum tak seharusnya di abaikan.
Aku
menyelipkan rambutku ke belakang telinga karena kuncit kuda ku sudah
mulai lepas. Metafora yang sempurna untuk hidupku. Tak ada yang
berhasil sejak aku kembali dari LA. Tak ada yang bertahan. Cinta
adalah kebohongan dan Rock n Roll menyebalkan. Bla, bla, bla.
Saatnya minum lagi.
“aku
serius” kataku. “aku akan jadi Bi. Ini rencana baruku”.
“kurasa
itu rencana yang bagus”, teriak Jo, bergerak di sebelahku. Jo juga
berkerja di kafe, begitulah cara mereka bertemu. Dia memiliki rambut
biru panjang yang membuat iri semua orang.
Amanda
memutar matanya padaku. “kau bukan Bi. Sayang, jangan
mendorongnya”.
Jo
menyeringai, sama sekali tidak menyesal. “Minggu lalu dia ingin
menjadi Gay. Sebelumnya dia berbicara tentang biara. Kupikir ini
adalah langkah konstruktif menuju dia memaafkan setiap mahluk yang
memiliki penis dan bergerak dengan hidupnya”.
“aku
sudah bangkit dengan hidupku”, kataku.
“yang
mana mengapa kalian berdua telah membicarakan Dia selama empat jam
terakhir?” Amanda menyeringai, mengayunkan lengannya ke bahu Jo.
“Kami
tidak membicarakan dia. Kami mengolok-olok dia. Bagaimana cara kau
mengatakan “domba bau tukang Zinah yang ga berguna” dalam bahasa
jerman?” tanyaku, mencondonkan diri supaya bisa di dengar di
sela-sela musik. “Itu Favoritku”.
Jo
dan Amanda sibuk menari dan aku membiarkan mereka pergi, tidak
terganggu. Karena aku tidak takut sendirian. Aku penuh aksi dengan
kekuatan gadus lajang. Persetan David Ferris. Persetan semuanya.
Semua
musik bercampur menjadi satu hentakan yang lama dan sepanjang musik
aku terus bergerak, semuanya sempurna. Keringat menyayat leherku
dan aku membukan kancing-kancing lain di bajuku, melebarkan garis
leher. Aku mengabaikan orang lain yang menari di sekitarku. Aku
menutup mataku, tetap aman di dalam duniaku sendiri. Alkohol telah
memberiku bisikan yang bagus.
Untuk
beberapa alasan, tangan yang meluncur di atas pinggulku tidak
membuatku terganggu, meskipum mereka tak di undang. Mereka tidak
melanjutkan, tidak menuntutku. Pemilik tangan itu menari di
belakangku, menjaga jarak aman yang kecil diantara kami. Itu bagus.
Mungkin musik telah menghipnotisku. Atau mungkin aku kesepian,
karena aku tak melawannya. Untuk semua lagu selanjutnya kami tetap
seperti itu, menyatu bersama, bergerak. Irama itu melambat dan aku
mengangkat tanganku, mengalungkan tangan ke belakang lehernya.
Setelah sebulan menghindaris semua kontak dengan manusia, tubuhku
terbangun. Rambut pendek dan lembut di belakang lehernya menyapu
jari-jariku. Kulit halus dan hangat di bawahnya.
Tuhan,
itu sangat nikmat. Aku tak sadar betapa haus nya aku akan sentuhan.
Aku
menyandarkan kepalaku padanya dan dia membisikkan sesuatu dengan
lembut. Terlalu pelan untuk aku dengar. Rambut-rambut halus di
pipinya dan rahangnya dengan ringan menusuk sisi wajahku. Tangan
meluncur diatas tulang rusukku, ke atas lenganku. Jari-jari nya yang
lemah membelai lenganku yang sensitif. Tubuhnya kokoh di belakangku,
kuat, tetapu dia tetap menjaga sentuhannya lembut, terkendali. Aku
tidak di pasaran untuk di omabng-ombing. Hatiku terlalu memar untuk
itu, pikiranku terlalu waspada. Aku tak bisa membuat diriku menjauh
darinya. Rasanya terlalu nikmat disana.
“Evelyn”,
katanya, bibirnya menggoda telingaku.
Nafasku
tercekat, kelopak mataku terbuka. Aku berbalik untuk melihat David
menatapku. Rambut panjang itu sudah hilang. Rambutnya masih panjang
di bagian atas tetapi di potong pendek di bagian sisi. Dia bisa saja
mencukur ala Elvis jika itu cocok untuknya. Janggut pendek dan gelap
menutupi wajah bawahnya.
“K-Kamu
disini”, aku tergagap. Lidahku teras tebal dan tak berguna di
mulut keringku. Oh Tuhan, itu dia benar-benar disini. Di sini di
Portland.
“Yeah”
mata birunya membara. Dia tidak mengatakan apapun lagi. Musik
tetap mengalun , orang-orang tetap bergerak dunia hanya berhenti
untukku.
“Kenapa?”
“Ev”
Amanda meletakkan tangan di lenganku dan aku terlonjak, matranya
rusak. Dia memberi David pandangan sekilas dan kemudian wajahnya
kacau tidak suka. “apa yang dia lakukan disini?”
“Tidak
apa-apa”. Tatapannya berpindah-pindah antara aku dan David. Dia
tidak terlihat cukup senang. Cukup adil.
“Amanda,
Please”. Aku meremas jari-jarinya, mengangguk. Setelah beberapa
saat dia kembali ke Jo yang menatap David dengan rasa tak percaya
yang terang-terangan. Dan beberapa dosis yang masih menyehatkan
sindrom bertemu artis. Penampilan baru David dibuat untuk penyamaran
yang brilian. Kecuali kau tau siapa yang kau cari. Tentu saja.
Aku
mendorong kerumunan, keluar dari sana. Aku tau dia akan mengikuti.
Tentu saja dia akan mengikuti. Bukan kebetulan dia ada disana, meski
aku tak tau bagaimana dia menemukanku. Aku harus menjauh dari panas
dan kebisingan sehingga aku bisa berpikir jernih. Di pintu belakang
melewati toilet pria dan wanita. Disana, itulah yang aku inginkan.
Pintu hitam besar terbuka ke gang belakang. Membuka udara malam.
Beberapa bintang berkerlip di ketinggian. Kalau tidak, akan terasa
gelap disini, lembab dari hujan musim panas sebelumnya. Itu
mengerikan, kotor dan penuh kebencian. Penempatan yang ideal.
Aku
mungkin merasa sedikit dramatis.
Pintu
terbanting menutup dibelakang David. Dia menghadap padaku, tangan di
pinggul. Dia membuka mulutnya untuk mulai berbicara dan tidak, tidak
akan terjadi. Aku membentak.
“Kenapa
kau disini , David?”
“kita
butuh bicara”.
“tidak,
kita tidak butuh”.
Dia
menggosok mulutnya. “Please, ada hal yang perlu ku katakan
padamu”.
“sudah
sangat terlambat”.
Melihat
dia menghidupkan kembali rasa sakitnya. Seolah-olah aku memiliki
luka yang telah sangat lama di bawah kulit, menunggu untuk muncul
kembali. Namun, Aku tak bisa tidak menatapnya. Sebagian diriku
sangat ingin melihatnya, mendengar suaranya. Kepala dan hatiku
hancur. David sendiri tidak tampak hebat. Dia tampak lelah. Ada
bayangan di bawah matanya dan dia tampak sedikit pucat, bahkan dalam
pencahayaan jelek ini. Anting-anting itu hilang, semuanya hilang.
Bukannya aku peduli.
Dia
menjulang di atas kaki nya, matanya menatapku putus asa. “Jimmy
pergi ke Rehabilitasi dan ada hal-hal lain yang harus kuhadapi. Kami
harus melakukan terapi bersama sebagai bagian dari perawatannya. Itu
sebebnya aku tak bisa langsung datang”.
“aku
menyesal mendengar tentang Jimmy”.
Dia
mengangguk. “Terima kasih. Dia melakukan jauh lebih baik”.
“bagus.
Itu bagus”.
Mengangguk
lagi. “Ev, tentang Martha--”
“Whoa”
aku mengangkat tangan, mundur. “Tidak”.
Mulutnya
terhenti di ujung. “kita harus bicara”.
“haruskah?”
“Ya”
“Karena
sekarang kau telah memutuskan bahwa kau sudah siap? Fuck You, David.
Ini sudah sebulan. Dua puluh delapan hari tanpa kata-kata. Aku
prihatin dengan Kakakmu, tapi tidak”.
“aku
ingin memastikan bahwa aku datang padamu untuk alasan yang tepat”.
“aku
bahkan tak tau apa artinya itu”
“Ev”
“Tidak”,
aku menggelengkan kepalaku, pedih dan panas mendorongku keras. Jadi
aku mendorongnya lebih keras, mengirimnya satu langkah kebelakang.
Dia menghantam tembok dan aku tak punya tempat lain untuk pergi
bersamanya. Tapi itu tidak menghentikanku.
Aku
mendorong dia lagi dan dia menangkap tanganku. “Tenanglah”
“Tidak!”
tangannya
mengunci pergelangan tanganku. Dia menggertakkan giginya,
mengertakan rahangnya bersamaan. Aku mendengarnya. Luar biasa dia
tidak mematahkan apapun. “Tidak apa? Tidak bicara sekarang? Apa?
Apa maksudmu?”
“maksudku
tidak untuk segalanya dan apapun dengan mu”. Kata-kataku menggema
di gang sempit, sisi bagian atas gedung hingga menghilang di
kegelpaan langit malam. “kita sudah selesai, ingat? Kau sungguh
sudah selesai dengan ku. Aku tak ada artinya untukmu. Kau yang
sudah bilang sendiri”.
“Aku
salah. Sialan, Ev. Tenanglah. Dengarkan aku”.
“lepaskan
aku”
“aku
menyesal. Tapi itu bukan seperti yang kau pikirkan”.
Dari
semua pilihan, aku mendapatkan wajahnya. “kau tak bisa datang
kesini sekarang. Kau berbohong padaku. Kau menghianatiku”.
“Baby--”
“Jangan
berani-berani memanggilku begitu” teriak ku.
“aku
minta maaf”. Tatapannya menjelajahi wajahku, mencari-cari akal
sehat mungkin. Dia sialnya tidak beruntung. “Maafkan aku”.
“berhenti”.
“Maafkan
aku. Aku minta maaf”, berulang kali dia berkata, mengucapkan
kata-kata paling tidak berharga di semua ruang dan waktu. Aku harus
menghentikannya. Mendiamkan dia sebelum dia membuatku gila. Aku
menabrakkan mulutnya ke mulutku, menghentikan kata-kata yang tak
berguna. Dia mengerang dan menciuku dengan keras, memar di bibirku,
menyakitiku. Tapi kemudian aku menyakitinya juga. Rasa sakit
tidaklah membantu. Aku mendorong lidahku ke mulutnya, mengambil apa
yang seharunya menjadi milikku. Pada saat ini aku membencinya dan
mencintainya. Sepertinya tak ada bedanya.
Tanganku
di bebaskan dan aku mengalungkan ke lehernya. Dia membalik kami,
menempelkan punggungku di dinding bata kasar. Sentuhannya membakar
kulit dan tulangku. Semuanya begitu cepat, tak ada waktu untuk
bertanya-tanya tentang apakah ini bijaksana. Dia menganggkat gaunku
dan merobek celana dalamku. Dia tidak memberi kesempatan. Udara
malam yang dingin dan panas dari telapak tangannya melembut di
pahaku.
“aku
amat sangat merindukanmu”. Dia mengerang.
“David”.
Dia
menurunkan resletingnya dan mendorong bagian depan Jeansnya.
Kemudian dia mengangkat kakiku, membawanya ke pinggulnya. Tanganku
menarik lehernya. Kurasa aku sedang mencoba mendaki dia. Tidak
banyak yang dipikirkan untuk itu. Hanya untuk bisa sedekar mungkin
secara fisik dengannya. Dia menyesap bibirku, mengambil alih mulutku
ke ciuman keras yang lain. Batangnya menekan keras aku, masuk ke
dalam ku. Perasaan akan dirinya di dalam tubuhku membuat kepalaku
berputar. Sedikit nyeri ketika dia meregangkan tubuhku. Tangannya
yang lain meluncur dibawah pantatku lalu dia mengangkatku,
mendorong ke sepanjang jalan, membuatku mengerang. Aku mengatupkan
kaki ke sekeliling tubuhnya dan mengait erat-erat. Dia menggempur
dalam diriku dengan sedikit belas kasih. Kasar cocok untuk perasaan
kami. Kuku jariku mencakar lehernya, kakiku memukul mukul pantatnya.
Giginya di tekan kuat di sisi leherku. Rasa sakit ini sempurna.
“lebih
keras”, aku terengah-engah.
“Fuck,
yes”.
Batu
bata kasar menggesek punggungku, menarik kain bajuku. Mengendarai
dengan keras kemaluanya, menarik napasku. Aku berpegangan erat-erat,
mencoba merasakan perasaannya, ketegangan terbangun dalam diriku.
Itu terlalu banyak dan masih belum cukup. Pikiran bahwa ini bisa
menjadi waktu terakhir kami, seseorang yang secara brutal marah
bergabung seperti ini.....aku ingin menangis tapi aku tak memiliki
air mata. Jemarinya menyentuh pipiku, menandai dagingku. Tekanan
di dalam diriku semakin tinggi. Dia mengubah sudutnya
sedikit,memukul klitorisku dan aku datang dengan keras, lenganku
melingkari kepalanya, pipiku menempel di pipinya. Janggutnya menyapu
wajahku. Seluruh tubuhku bergetar dan bergetar.
“Evelyn”,
dia menggeram, menggesekan dirinya di diriku, mengosongkan dirinya
dalam diriku.
Setiap
otot tubuhku menjadi cair. Hanya itu yang bisa kulakukan untuk
bergantung padanya.
“tak
apa-apa , sayang”, mulutnya menekan wajahku yng basah. “tak
apa-apa, aku janji. Aku akan memperbaikinya”.
“Tu-turunkan
aku”.
Bahunya
terangkat dan jatuh dalam napas yang kasar dan dengan berhati-hati
dia menurunkanku. Dengan cepat aku menurunkan kembali rok dari
gaunku, merapihkan diriku. Seakan itu mungkin. Situasi ini diluar
kendali. Tanpa basa-basi dia menarik ke ats jeansnya dan membuat
dirinya rapih. Aku melihat ke sekeliling kecuali dirinya. Sebuah
gang. Oh tuhan.
“apa
kau baik-baik saja?” jemarinya mengelus wajahku, menyisipkan
rambutku ke belakang. Sampai aku meletakkan tanganku di bahunya,
memaksanya untuk mundur. Well, tidak memaksanya. Dia memilih untuk
memberiku ruang.
“Aku....um”
aku menjilat bibirku dan mencoba lagi. “aku harus pulang”.
“ayo.
Aku akan mendapatkan taksi untuk kita”.
“Tidak,
maafkan aku. Aku tau aku yang memulai ini. Tapi...” aku
menggelengkan kepalaku.
David
tercenung.
“ini
adalah perpisahan”.
“persetan
dengan itu. Jangan coba-coba mengatakan itu padaku”. Jemarinya
menyelinap di bawah daguku, membuatku memandangnya. “kita belum
selesai, kau dengar aku? Tidak secepat itu. Rencana baru. Aku tak
akan meninggalkan Portland sampai kita bicara. Aku berjanji padamu”.
“Tidak
malam ini”.
“Tidak.
Tidak malam ini. Kalau begitu besok?”
aku
membuka mulutku tapi tak ada satupun kata yang keluar. Aku tak tau
apa yang ingin ku katakan. Kukuku menancap bagian samping gaunku.
Apa yang kuinginkan saat ini bahkan masih misteri untukku. Untuk
menghapus memori tentangnya dari ekpala dan hatiku. Untuk membuat
napasku terkendali.
“Besok”,
dia mengulangi.
“aku
tak tau”. Sekarang aku merasa lelah, menghadapi dia. Aku bahkan
bisa tidur sepanjang tahun. Bahuku mencelos dan otakku membeku.
Dia
hanya memandangku, matanya intense. “okay”.
Dimana
yang menyisahkan kami, aku tak ada ide. Tapi aku mengangguk seakan
sesuatu telah di putuskan.
“bagus”
ujarnya, dia mengambil napas dalam-dalam.
Ototku
masih gemetar. Spermanya mengalir dari dalam diriku ke kakiku.
Shit. Kami memiliki hal yang harus dibicarakan tetapi hal-hal telah
berbeda sekarang.
“David,
kau melakukan sex aman, bukan, sebulan terakhir?”
“kau
tak perlu khawatir”
“bagus”.
Dia
melangkah ke depanku. “sejauh aku ketahui kita masih menikah.
Jadi tidak, Evelyn, aku tak pernah berhubungan dengan yang lain
dibelakangmu”.
Aku
tak memiliki apapun. Lututku gemetar. Mungkin karena aksi terbaru
yang mereka lihat. Kelegaan akan dirinya yang tidak membawa para
groupis yang ingin membalas dendam setelah perpisahan kami tidak bisa
menjadi bagian dirinya tentunya. Aku bahkan tak ingin memikirkan
Martha, Monster laut bertentakel yang berada di kedalaman.
Seks
sangat berantakan. Cinta jauh dan jauh lebih buruk.
Salah
satu dari kami harus pergi. Dia tidak bergerak jadi aku pergi,
kembali ke klub untuk menemukan Amanda dan Jo. Aku membutuhkan
celana baru dan transplantasi jantung. Dia mengikutiku, membuka
pintu. Gema yang berat dari musik meledak di malam hari.
Aku
bergegas ke toilet wanita dan mengunci diriku di dalam untuk
membersihkan diri. Ketika aku keluar untuk mencuci tanganku, melihat
ke kaca sangatlah sulit. Pencahayaan remang-remang tidak membantuku.
Rambut pirangku yang panjang menggantung di wajhku, ikatannya
berantakan karena tangan David. Mataku lebar dan terluka. Aku
tampak ketakutan, tetapi tak ingin ku katakan. Dan juga ada bekas
cupangan besar dari semua cupangan di leherku. Sialan.
Beberapa
pasang cewek masuk, cekikikan, dan antrian panjang di belakang
mereka. Sebelum pintu mengayun tertutup, aku meliri David yang
bersandar ke dinding di seberang, menunggu menatap sepatu botnya.
Obrolan gembira para gadis terdengar keras. Tetapi mereka tidak
menyebutkan namanya. Penyamaran David masih bertahan. Aku memeluk
diriku sendiri, aku keluar menemui dia.
“Siap
untuk pergi?” tanyanya, bangun dari dinding.
“Ya”.
Kami
berjalan kembali melalui klub, menghidari penari dan pemabuk, mencari
Amanda dan Jo. Mereka berada di tepi lantai dansa, berbicara.
Amanda dengan Wajah rewelnya.
Dia
menarikku dan alisnya melengkung. “apa kau bercanda?”
“Thanks
sudah mengajakku keluar, guys. Tetapi aku akan pulang ke rumah”,
kataku mengabaikan pandangannya yang tajam.
“Dengan
dia?” dia menyentakkan dagunya ke arah David, yang mengintai di
pundakku.
Jo
melangkah maju, memrangkulku dalam pelukan. “Abaikan dia. Kau
melakukan apa yang benar untukmu”.
“Terima
kasih”.
Amanda
memutar matanya dan mengikuti, lalu menarikku dalam pelukan. “Dia
melukaimu dengan sangat dalam”.
“Aku
tau”, mataku di aliri air mata. Sama sekali tak membantu.
“terima kasih telah mengajakku keluar”.
Aku
berani mempertaruhkan semua uang yang aku miliki, Amanda memangga
David di atas bahu ku dengan matanya. Aku hampir merasa kasihan
padanya. Hampir.
Kami
meninggalkan klub ketika salah satu lagunya terdengar di speaker.
Ada banyak teriakan dari para “Diver!” suara Jimmy mengeluarkan
Lirik, “ Damn! I hate these last days of love, cherry lips dan
long Goodbyes....”
David
menunduk dan kami bergegas keluar. Di luar di udara terbuka, lagu
itu tidak lebih dari dentuman Bass dan drum yang jauh. Aku terus
melirik secara sembunyi-bunyi, memeriksa dia benar-benar ada dan
bukan isapan jempol dari imajinasiku. Berkali-kali aku bermimpi dia
akan datang padaku. Dan tiap kali aku terbangun sendiri , wajahku
basah dengan air mata. Sekarang dia ada disini dan aku tak bisa
mengambil resiko. Jika dia menghancurkanku sekali lagi, aku tak
yakin aku akan berhasil bangkit kembali untuk kedua kalinya. Hatiku
mungkin tak berhasil. Jadi aku melakukan upaya terbaik untuk
menjaga mulut dan pikiranku tetap tertutup.
Ini
masih relatif awal dan ada banyak orang berkeliaran di luar. Aku
mengangkat tanganku dan melewati keramaian jalan dan sebuah taksi
berhenti setelahnya. David membuka pintu untukku. Aku masuk tanpa
mengucapkan sepatah kata.
“aku
akan mengantarmu ke rumah”, dia duduk di sampingku dan aku
terlonjak ke tempat duduk karena terkejut.
“Kamu
tidak perlu”.
“Ya.
Oke, aku perlu melakukan ini, jadi hanya.....”
“baiklah”.
“Kemana?”
sopir taksi bertanya, memberi kami pandangan tak tertarik dari kaca
spiom. Semacam pasangan bertengkar lain lagi di kursi belakangnya.
Aku yakin setidaknya dia telah melihat selusin malam ini.
David
mengocehkan alamatku tanpa bercela. Taksi ke luar ke arus lalu
lintas. Dia bisa mendapatkan alamatku dari Sam, dan untuk sisanya...
“Lauren”,
aku menghela nafas , merosot ke kursi. “tentu saja, itulah
bagaimana kamu tau dimana menemukanku”.
Dia
meringis. “aku berbicara dengan Lauren sebelumnya. Dengar, jangan
marah padanya. Dia melakukan banyak perlawanan”.
“benar”
“aku
serius. Dia memaki ku yang mengacaukan segalanya, berteriak padaku
selama setengah jam. Tolong jangan marah padanya”.
Aku
menggertakkan gigiku dan menatap ke luar jendela. Sampai
jari-jarinya meluncur di atas tanganku. Aku menarik kembali
tanganku.
“Kau
membiarkan aku masuk ke dalam dirimu tapi tak mengijinkanku memegang
tanganmu?” dia berbisik, wajahnya sedih di temaram lampu kendaraan
yang lewat dan lampu jalan.
Ujung
mulutku sudah ingin mengatakan bahwa itu adalah kecelakaan. Bahwa
apa yang telah terjadi diantara kami adalah salah. Tapi aku tak bisa
melakukan itu. Aku tau betapa itu akan melukainya. Kami saling
menatap, ketika mulutku menggantung terbuka , otakku tak berfungsi.
“aku
amat sangat merindukanmu”, ujarnya “kau tak bisa
membayangkannya”.
“berhenti”.
Bibirnya
terkatup tapi dia tidak mengalihkan pandangan. Aku duduk disana
terperangkap dalam tatapannya. Dia terlihat begitu berbeda tanpa
rambut panjangnya yang menghilang, dengan cambang pendek. Taksi
berhenti diluar blok dari flat ku dan si supir memberi kami tatapan
tidak sabar dari balik bahunya.
Aku
mendorong pintu terbuka, siap untuk pergi tapi juga ragu-ragu.
Kakiku melayang di udara tipis di atas trotoar. “sejujurnya aku
berpikir bahwa aku tak akan pernah melihatmu lagi”.
“Hei”,
katanya , lengannya membentang di belakang kursi. Jari-jarinya
meraih ke arahku tapi gagal memulai kontak. “kamu akan melihat ku
lagi. Besok”.
Aku
tak tau aku harus berkata apa.
“Besok”
ulangnya, suaranya pasti.
“aku
tak tau apakah ini akan mebuat perbedaan”
dia
mengangkat dagunya, menghirup dengan tajam. “aku tau aku telah
mengacaukan kita, tapi aku akan memperbaikinya. Hanya jangan merubah
pikiranmu, oke? Beri aku sebanyak itu”.
Aku
memberinya anggukan singkat dan bergegas masuk dengan kaki yang
tidak stabil. Begitu aku mengunci diri di dalam, taksi menjauh,
lampu belakangnya memuadar menjadi hitam melalui kaca buram pintu
lantai bawah.
Apa
yang harus lakuka sekarang?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar