David meraih bagian
belakang kaos nya dan melepasnya melalui kepalanya, “Aturan nomor
dua, jika aku melepas pakaianku maka kau juga harus melakukannnya.
Aturan melepas pakaian berlaku untuk percakapan semacam ini. Aku tau
kita perlu berbicara akan beberapa hal. Tapi tak ada alasan untuk
kita tidak bisa membuatnya lebih mudah”.
“ini akan membuat
lebih mudah?” sangat meragukan. Keselurihan kulit yang lembut,
hangat, menunggu sentuhanku dan jariku sudah gatal untuk
melakukannya. Menjaga lidahku tetap di dalam mulutku sementara perut
rata dan six packnya menguji kekuatan moralku tanpa akhir. Semua
kulit bertato terpampang indah, mendorong semua pikiran lurusku dari
pikiranku. Tuhan yang maha baik, pria itu memiliki kekuatan atas
diriku. Tapi tunggu dulu, kami telah menikah. Secara moral, aku di
wajibkan untuk mengagumi suamiku. Dan akan terasa tidak alami dan
salah jika melakukan sebaliknya.
“Lepaskan”,
katanya, sambil mengetukkan dagunya di pakaianku yang di anggap
melanggar aturan.
Tangga tetap tenang
dan sepi. Tidak ada tanda- tanda kehidupan.
“Dia tidak akan
kesini. Aku berjanji”, tangan David mencengkram bagian bawah
kaosku dan dengan hati-hati menariknya dari atas kepalaku,
membebaskan kuncit kuda ku yang terperangkap.
Ketika dia meraih
bra ku, aku menekan lengan bawahku ke dada , menahanya di tempat.
“mengapa aku tak bisa tetap memakai braku, untuk berjaga-jaga...”.
“itu melanggar
aturan. Kau benar-benar ingin melanggar aturan? Itu tidak seperti
dirimu”.
“David”.
“Evelyn”, tali
Bra menggantung santai saat dia melepaskan kaitannya. “aku butuh
melihat payudara telanjang mu, baby. Kau tak tau betapa aku
mencintai mereka. Lepaskan saja”.
“Mengapa kau
membuat semua aturan?”
“Aku hanya membuat
satu. Oh tidak, ada dua. Aku memiliki aturan juga untuk tidak
curang” dia menarik braku dan melonggarkan peganganku, membiarkan
dia mengambil bra ku. Tak mungkin aku menggerakkan tanganku.
“lanjutkan, kau
membuat beberapa aturan”, ujarnya, menggerakan jemarinya di
lenganku, membuat setiap rambut kecil berdiri tegak.
“apa kau mencoba
untuk mengalihkan perhatian ku dari pembicaraan kita dengan aturan
pakaian ini?”
“tentu saja tidak.
Sekarang buatlah aturan”.
Tanganku tetap
diletakkan dibawah daguku, lengan menutupi semua bagian esensial,
untuk berjaga-jaga. “tidak ada kebohongan. Tidak dalam apapun”.
“setuju”
aku mengangguk,
lega. Kami bisa menjalani segala hal tentang pernikahan ini. Aku
mengerti itu dalam kepala dan hatiku. Kita akan baik-baik saja.
“aku mempercayaimu”.
Dia berhenti,
menatapku. “thanks. Itu sangat berarti”.
Aku menunggu, tapi
dia tak mengatakan apapun lagi.
“apakah kau
mempercayaiku?” tanyaku, mengisi keheningan. Pada menit
kata-kata itu keluar dari bibirku aku langsung ingin menariknya
kembali. Jika aku harus menuntut kepercayaannya dan kasih sayangnya,
itu tidak berarti apapun. Lebih buruk dari itu, itu adalah bencana.
Aku bisa merasakannya, luka bergerigi diantara kami. Yang telah aku
buat. Dari semua waktu idiot ku adalah menjadi tidak sabaran! Aku
berharap sekarang adala h pertengahan musim dingin sehingga aku bisa
menancapkan kepalaku di tengah salju.
Tatapannya
mengembara , diatas bahuku. Ada jawaban untukku disana. Kejujuran
telah menunjukan padaku siapa bosnya. Bagaimana tentang itu?
Tiba-tiba aku merasa kedinginan yang tak ada hubungannya dengan
lepasnya bajuku, aku sangat ingin menarik kata-kata ku kembali.
“Aku menuju
kesana, Ev. Hanya... beri aku waktu”. Frustasi tergambar di
wajahnya. Dia menekan bibirnya sampai memutih. Lalu dia menatap
mataku. Apapun yang dilihatnya tidak membantu. “sialan”.
“Tak apa-apa,
sungguh”. Kataku, menerima kenyataan.
“Kau berbohong
padaku?”
“Tidak. Tidak.
Kita akan baik-baik saja”.
Sebagai ganti
jawabannya, dia menciumku.
Kau tidak bisa
mengalahkan gangguan pada saat yang tepat. Panas kembali bergegas
masuk dalam diriku. Penyesalan dan rasa sakitku mengambil tempat di
belakang ketika aku meletakkan tanganku di atas tangannya. Dengan
jemari yang bertaut aku menggerakan tangan kami yang bertaut untuk
menutupi payudaraku. Kami berdua mengerang. Panas telapak tangannya
terasa menusuk. Rasa dingin kekecewaan tak bisa melawannya.
Chemistri diantara kami selalu menang setiap saat. Aku harus
percaya bahwa akan lebih banyak perasaan mengikuti. Bahuku terdorong
kedepan, menekanku kuat ke tangannya seakan gravitasi telah
bergeser ke arahnya. Tetapi juga, aku ingin mulutnya. Sialan, aku
ingin merangkak dalam dirinya dan membaca pikirannya. Aku
menginginkan segalanya. Setiap sudut gelapnya. Setiap pikiran
menyimpangnya.
Bibir kami bertemu
lagi dan dia mengerang, tangannya memijat payudaraku. Lidahnya masuk
ke mulutku secepat dan semudah aku mendambakannya. Membutuhkannya.
Perutku meremas kencang dan kakiku melilitnya, memeluknya erat-erat.
Aku akan berjuang mati-matian untuk menjaganya. Jempol membelai
putingku, menggodaku. Tanganku menggeser lengannya,melengkung di
bahunya,berpegangan erat. Ciuman panas memenuhi seluruh wajahku,
rahangku, sisi leherku. Setengah telanjang ataupun tidak , kurasa
aku tak akan peduli walaupun marching band sekolahku berparade di
dalam ruangan. Mereka bisa memabawa semua anggota marching band.
Hanya ini yang penting untukku. Tak heran orang-orang melakukan sex
begitu serius, atau tidak cukup serius sama sekali. Sex menambah
kecerdikanmu dan mencuri tubuhmu. Rasanya seperti tersesat dan
ditemukan sekaligus. Terus terang, itu sedikit menakutkan.
“kita akan
baik-baik saja”, ujarnya, menggida lubang telingaku dengan giginya.
Menggesekan batangnya yang mengeras kepadaku. Tuhan memberkati
siapapun yang berpikir untuk memasang jahitan di jeans. Cahaya
menari di depan mataku. Apakah ini terasa nikmat untuknya? Aku
ingin menjadi yang terbaik dan aku ingin dia benar tentang kami yang
akan baik-baik saja.
“Sweet baby,
hanya butuh waktu” ujarnya, napasnya yang hangat menerpa kulitku.
“Karena dia”,
kataku, butuh untuk sampai disana dengan terbuka. Tak ada rahasia.
“Ya”, katanya,
suaranya sengau. “Karena dia”.
Kenyataan yang
manis.
“Evelyn, hanya kau
dan aku di dalam ini. Aku bersumpah”. Dia kembali ke mulutku dan
menciumku seolah-olah aku rapuh, hanya memberiku secercah rasa
dirinya. Kesadaran akan kehangatan, kokohnya bibirnya.
“Tunggu”
kataku, menurunkan tautan kakiku di dia.
Dia berkedip tak
mengerti, matanya bingung ke arahku.
“mundur ke
belakang. Aku ingin turun”.
“kamu?” mulutnya
yang indah itu menoleh ke bawah. Bagian depan celana jeansnya berada
dalam kondisi yang sangat jelas. Aku akan melakukan itu untuknya.
Kemenangan dengan berlari mengelilingi meja dapur mungkin akan
terlalu berlebihan, tapi tetap saja, rasanya memuaskan. Pemikiran
itu bertahan dengan baik di dalam diriku. Wanita itu tidak
melakukan itu padanya saat ini. Aku yang melakukannya.
Aku merosot dari
ujung counter dan dia memegangi pinggulku, mempermudahku sampai ke
lantai. Dengan sangat baik. Kakiku lemas, dia menunduk menatapku,
alisnya mengkerut.
“ada sesuatu yang
ingin ku lakukan”, aku menjelaskan, jariku bergetar gugup dan
penasaran. Pertama-tama aku melepaskan kaitan jeans nya sebelum
bergerak ke resletingnya.
Tangannya
menggenggam lenganku. “hey. Tunggu”.
Aku ragu-ragu,
menunggu apa yang harus dia katakan. Tentunya dia tidak akan
mencoba memberitahuku bahwa dia tidak menginginkan ini. Semua orang
menginginkan ini, atau setidaknya itulah yang orang-orang katakan
padaku. Dia tampak bingung, seolah-olah aku adalah bagian yang tidak
cocok dalam puzzle ini. Sejujurnya aku tidak tau apakah dia akan
berusaha menghentikanku atau mendesakku untuk terus.
“Apa ada masalah?”
aku bertanya, ketika dia tidak berbicara.
Perlahan-lahan dia
melepaskan tangannya dari pergelangan tangaanku, membebaskanku.
Dia menahan tanganku seakan aku akan menodongkan pistol padanya.
“ini yang kau inginkan?”
“iya. David,
kenapa ini jadi masalah besar? Apakah kau tidak ingin mulutku di
dirimu?”
senyum lembut
melengkung di bibirnya. “ kamu tidak tau betapa aku menginginkan
itu, tapi ini adalah kali pertama untuk mu, bukan?”
aku mengangguk ,
jari-jarinya mengotak -atik jeansnya , tetapi tidak melangkah lebih
jauh.
“itulah sebabnya
ini masalah besar. Aku ingin semua pengalaman pertamamu menjadi
sempurna. Bahkan ini. Dan aku benar-benar berkerja keras disini
memikirkan dirimu menghisapku”.
“Oh”.
“aku telah
memikirkanmu sepanjang hari. Aku terus mengacaukannya, aku tak bisa
berkonsentrasi dengan semua omong kosong ini. Sungguh luar biasa
kami bisa menyelesaikan semuanya”, dia mendorong jemarinya ke
rambut panjangnya, mendorongnya ke belakang kepalanya. Tangannya
ttinggal di atas kepalanya, meregangkan tubuhnya yang ramping dan
berotot. Memar di tulang rusuknya akibat perkelahian di bar semalam
membentuk noda abu-abu gelap,membaur dengan sempurna. Tatapannya tak
pernah meninggalkanku karena payudara masih menjadi bagian dari
diriku. Mataku, mulutku, payudaraku ; dia tidak bisa memutuskan mana
yang paling menarik baginya.
Dengan hati-hati,
aku menurunkan resleting di atas ereksinya. Tidak ada pakaian dalam.
Setidaknya aku tidak melompat kali ini ketika ereksi nya tiba-tiba
muncul. Dengan dua tangan aku menekan celana jeansnya, membebaskan
kemaluannya. Batangnya berdiri tegak dan bangga. Sama seperti pagi
ini ketika aku menakan tanganku ke sisi bawah, merasakan panas dari
kulit selembut sutra. Lucu, kulup laki-laki tidak pernah
menggerakkan ku secara khusus sebelumnya. Tapi sekarang aku merasa
terharu, ketika pahaku di bengkokan.
Bergerak dan lebih
dari sekedar perangkat lunak.
“Kau milikku”
bisikku, ibu jariku menggisok puncak kepalanya, merasakan rasa kasar
dan cekungan di bagian tengah. Mempelajari dia.
“Yeah”.
Titik manis berada
di bawah selipan kecil itu. Selama bertahun-tahun aku sudah banyak
membaca majalah dan mendengarkan cukup banyak cerita sex lauren
untuk mengetahui sebanyak mungkin. Dia memang suka menceritakan
detailnya. Aku membat catatan dalam pikiranku untuk berterima kasih
padanya, mengajaknya makan malam di suatu tempat yang bagus.
Aku menggerakkan
tanganku sehingga aku menggenggamnya dan memijat daerah itu dengan
alas ibu jariku, menunggu untuk melihat apa yang terjadi. Lebih
mudah untuk melihatnya tanpa gelembung sabung yang menghalangi.
Tidak butuh waktu lama. Khususnya tidak lama setelah aku
mengencangkan genggamanku sedikit dan memompa sedikit. Otot perutnya
bergoyang dan kembang kempis, sama seperti pagi tadi di kamar mandi.
Jari-jariku menggerkan kulit yang lembut dan halus, memijat daging
keras di bawah tanganku, memompa sekali, dua kali. Setetes cairan
seputih susu merembes dari celah kecil di atas.
“itu berarti kau
membunuhku” suami ku memberikan pencerahan, suarany terdengar
lantang. “kalau-kalau kau penasaran”.
Aku tersenyum.
Dia mengumpat.
“aku bersumpah ini
menjadi semakin besar tiap kali aku melihatnya”.
Senyumnya miring.
“kau menginspirsasiku”.
Aku mengelusnya
lagi dan dadanya naik turun. “Evelyn. Please”.
Saatnya membebaskan
dia dari kesengsaraan. Aku berlutut , lantai tidak nyaman di
bawahku. Jika kau akan berlutut di depan seseorang, beberapa
ketidaknyamanan kecil tampak sebagai bagian yang jelas di area itu.
Semuanya di tambahkan dalam atmosfer, pengalaman. Aroma musk nya
bertambah kuat hari ke hari. Aku mengambil batangnya ke tanganku
dan mencium pinggulnya, bernapas dalan-dalam.
Dia masih
memperhatikan. Aku memeriksanya untuk memastikan, Sialan, matanya
besar dan gelap dan hanya terfokus padaku. Disampingnya, tangannya
mencengkram counter seolah-olah dia berharap gempa bumi akan terjadi
kapan saja, buku-buku jarinya memutih.
Ketika aku
memasukannya ke mulutku dia mengerang. Ketidakberpengalamanku dan
ukurannya menghalangiku untuk memasukannya terlalu dalam. Dia
sepertinya tidak keberatan. Rasa asin dari kuluitnya dan rasa pahit
dari cairan itu, aroma hangatnya dan rasa dari kerasnya batangnya,
menyatu menjadi satu pengalaman unik. Menyenangkan David adalah hal
yang brilian.
Dia mengerang dan
pinggulnya tersentak, mendorongnya lebih jauh kedalam mulutku.
Tenggorokanku mengkerut karena terkejut dan aku tersedak sedikit.
Tangannya melayang ke rambutku, menepuk, dan menenangkan. “Fuck,
baby. Maaf”.
Aku melanjutkan
pelayananku, menggosok lidahku padanya, menggambarnya. Mencaritahu
cara terbaik untuk memasukannya ke mulutku. Melakukan segala cara
yang bisa membuatnya gemetar dan mengumpat. Betapa luar biasanya
pemikiran itu. Tangannya mengencang di rambutku, menarik beberapa,
dan aku menyukainya. Seluruhnya, segala hal yang mampu untuk
menghilangkan suamiku yang lelah akan dunia menjadi rasa gagap saat
memberinya semacam kenikmatan berhak mendapatkan investasi waktu yang
serius. Pinggulnya bergerak gelisah dan kemaluannya tersentak di
lidahku, mengisi mulutku dengan rasa asin, dan rasa pahit yang
lebih cepat dari pada yang bisa aku telan.
Jadi ini berantakan.
Lupakan. Rahangku sedikit sakit. Masalah besar. Dan aku bisa
menyelesaikannya dengan segelas air. Tapi reaksinya....
David jatuh berlutut
dan memelukku, segalanya lebih baik ketika dia memelukku erat
padanya. Rusukku berderak, dan dia meringsek ke padaku lagi dan
lagi saat dia berjuang untuk bernapas. Aku menekan wajahku ke
pundaknya dan menunggu sampai dia sedikit tenang untuk mencari
pujianku.
“apa itu tadi
okay?” tanyaku, cukup yakin untuk tanggapan yang baik. Yang
selalu merupakan waktu terbaik untuk bertanya, menurutku.
Dia mendengus.
Cuma itu? Aku duduk
disana merasa bangga akan diriku sendiri dan dia memberiku gerutuan.
Tidak, aku tidak butuh validasi lebih dari itu. Aku sama-sama
menginginkannya dan layak mendapatkannya. “Apa kau yakin?”
dia duduk bersandar
dan menatapku. Kemudian dia melihat ke sekeliling, mencari sesuatu.
Kaos oblong yang dia tanggalkan terlupakan di lantai. Dan kemudia
dia mengusap bawah daguku, membersihakanku. Bagus.
“ada beberapa di
pundakmu juga” aku menunjuk ke tumpahan malang yang kemungkinan
aku tempelkan padanya. Dia membersihakanya juga.
“Sex bisa menjadi
sangat berantakan”. Ujarnya.
“Ya, bisa”.
“Kau minum pil?”
“Kau tidak bisa
hamil dengan cara seperti itu David”.
Sisi mulutnya
bergetar. “Cute. Apa kau meminum pill?”
“Tidak, tapi aku
memiliki pengontrol kehamilan yang tertanam di lenganku karena
haidku tidak menentu jadi- “ mulutnya mengecup bagian atas
kepalaku, menciumku dengan keras dan dalam. Satu tangan menyanggah
bagian belakang kepalaku saat dia membawaku ke lantai, berbaring di
atasku. Lantai yang dingin dan keras dibawah punggung telanjangku
jelas tidak berasa. Tidak masalah selama dia menciumku. Tanganku
menempel di pundaknya, jari-jari meluncur diatas kulit licin.
“aku peduli dengan
haid mu, Ev. Sejujurnya sangat peduli”, dia mencium pipiku,
keningku.
“Thanks”.
“tapi sekarang aku
ingin tau bagaimana perasaan mu dengan kita tanpa penghalang”.
“maksudmu lebih
dari menghilangkan pakaian, yang ku pakai?”
“maksudku
bersetubuh tanpa kondom”, tangannya menangkup wajahku saat dia
menatap mataku, mata dengan warna biru yang dalam. “aku bersih.
Aku sudah di periksa. Aku tidak menggunakan narkoba dan aku selalu
menggunakan pelindung, bahkan sejak aku putus dengan dia. Tapi ini
terserah padamu”.
Menyebutkan si “dia”
sedikit membuatku kesal, tapi tidak berlangsung lama. Mustahil
dengan David yang melintang di atasku dan aroma sex yang begitu berat
di udara. Ditambah Pizza. Tapi terutama David. Dia membuat mulutku
berair, melupakan tentang makanan. Berpikir tidaklah mudah dalam
situasi ini. Aku telah berkata aku mempercayainya dan benar aku
mempercayai dia.
“Baby, pikirkan
lah”, katanya. “ tak perlu terburu-buru, okay?”
“Tidak. Kurasa
kita harus melakukannya”.
“kau yakin?”\
aku mengangguk.
Dia menghembskan
napas bert dan menciumku lagi.
“aku amat sangat
menyukai mulutmu”, dengan ujung jarinya dia menelusuri bibrku,
masih bengkak karena apa yang barusan kami lakukan.
“Kau sungguh
menyukainya? Apakah itu okay?”
“itu sempurna.
Tak ada yang kau lakukan dengan salah. Aku hampir kehilangan kendali
hanya karena kamu. Kau bisa dengan tidak sengaja menggigitku dan aku
akan tetap berpikir itu hot”. Dia tertawa kasar , lalu buru-buru
menambahkan. “Tapi jangan lakukan itu”
“Tidak”, aku
melengkungkan leherku dan menekan bibirku ke bibirnya, menciumnya
manis dan lambat. Menunjukan apa arti dia bagiku. Kami masih
berguling-guling di lantai dapur ketika bel oven berdecit,
mengejutkan kami. Lalu telpon berdering.
“Sialan”.
“aku akan
mengambil Pizza”, kataku, menggeliat keluar dari bawahnya.
“aku akan
mengangkat telepon. Tak ada seorangpun yang harusnya tau nomor ini”.
Sebuah sarung tangan
oven tergeletak menunggu di kounter dan aku menyelipkan tanganku.
Udara panas dan aroma keju meleleh tercium ketika aku membuka pintu
oven. Perutku bergemuruh. Jadi mungkin aku lapar setelah semua ini.
Pizza dengan sentuhan terbakar di bagian tepi. Tidak terlalu buruk.
Ujung brokoli yang aku panggang berwarna coklat keemasan. Kami bisa
berkonsentrasi di bagian tengah. Aku memindahkan pizza ke atas
kompor yang dingin dan menghentikan panas.
David berbicara
dengan tenang di latar belakang. Dia berdiri di depan tepi jendela,
kakinya terbuka lebar dan bahunya seperti dia sedang mempersiapkan
diri untuk serangan. Orang yang santai dan bahagia tidak akan
menyukai pose itu. Diluar matahari terbenam. Warna violet dan
abu-abu malam menebarkan bayang-bayang di kulitnya.
“Ya, ya , Adrian.
Aku tau”. Katanya.
Perasaan takut
mengencang kan satu persatu ototku setiap waktu. Tuhan kumohon,
jangan sekarang. Kami menjalaninya dengan sangat baik. Tidak
bisakah mereka menjauh sedikit lebih lama?
Jam berapa
penerbangannya?” tanya David.
“FUCK”, ujarnya
lagi kemudian
“Tidak, kami akan
berada disana. Tenang. Yeah, bye”.
Dia berbalik untuk
menghadapku, telpon menjuntai dari tangannya. “ada beberapa hal
terjadi di LA dan aku serta Mal harus ada disana. Adrian akan
mengirim helikopter untuk kita. Kita semua harus bersiap-siap”.
Senyumku menajamkan
wajahku, aku bisa merasakannya. “Baik”.
“Maaf, kita harus
memperpendek waktu disini. Kita akan segera kembali secepatnya,
yeah?”
“tentu saja. Tak
masalah”.
Itu adalah
kebohongan, karena kami akan kembali ke LA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar