Kamis, 28 Juni 2018

lick ch 14 b

David meraih bagian belakang kaos nya dan melepasnya melalui kepalanya, “Aturan nomor dua, jika aku melepas pakaianku maka kau juga harus melakukannnya. Aturan melepas pakaian berlaku untuk percakapan semacam ini. Aku tau kita perlu berbicara akan beberapa hal. Tapi tak ada alasan untuk kita tidak bisa membuatnya lebih mudah”.
“ini akan membuat lebih mudah?” sangat meragukan. Keselurihan kulit yang lembut, hangat, menunggu sentuhanku dan jariku sudah gatal untuk melakukannya. Menjaga lidahku tetap di dalam mulutku sementara perut rata dan six packnya menguji kekuatan moralku tanpa akhir. Semua kulit bertato terpampang indah, mendorong semua pikiran lurusku dari pikiranku. Tuhan yang maha baik, pria itu memiliki kekuatan atas diriku. Tapi tunggu dulu, kami telah menikah. Secara moral, aku di wajibkan untuk mengagumi suamiku. Dan akan terasa tidak alami dan salah jika melakukan sebaliknya.
“Lepaskan”, katanya, sambil mengetukkan dagunya di pakaianku yang di anggap melanggar aturan.
Tangga tetap tenang dan sepi. Tidak ada tanda- tanda kehidupan.
“Dia tidak akan kesini. Aku berjanji”, tangan David mencengkram bagian bawah kaosku dan dengan hati-hati menariknya dari atas kepalaku, membebaskan kuncit kuda ku yang terperangkap.
Ketika dia meraih bra ku, aku menekan lengan bawahku ke dada , menahanya di tempat. “mengapa aku tak bisa tetap memakai braku, untuk berjaga-jaga...”.
“itu melanggar aturan. Kau benar-benar ingin melanggar aturan? Itu tidak seperti dirimu”.
“David”.
“Evelyn”, tali Bra menggantung santai saat dia melepaskan kaitannya. “aku butuh melihat payudara telanjang mu, baby. Kau tak tau betapa aku mencintai mereka. Lepaskan saja”.
“Mengapa kau membuat semua aturan?”
“Aku hanya membuat satu. Oh tidak, ada dua. Aku memiliki aturan juga untuk tidak curang” dia menarik braku dan melonggarkan peganganku, membiarkan dia mengambil bra ku. Tak mungkin aku menggerakkan tanganku.
“lanjutkan, kau membuat beberapa aturan”, ujarnya, menggerakan jemarinya di lenganku, membuat setiap rambut kecil berdiri tegak.
“apa kau mencoba untuk mengalihkan perhatian ku dari pembicaraan kita dengan aturan pakaian ini?”
“tentu saja tidak. Sekarang buatlah aturan”.
Tanganku tetap diletakkan dibawah daguku, lengan menutupi semua bagian esensial, untuk berjaga-jaga. “tidak ada kebohongan. Tidak dalam apapun”.
“setuju”
aku mengangguk, lega. Kami bisa menjalani segala hal tentang pernikahan ini. Aku mengerti itu dalam kepala dan hatiku. Kita akan baik-baik saja. “aku mempercayaimu”.
Dia berhenti, menatapku. “thanks. Itu sangat berarti”.
Aku menunggu, tapi dia tak mengatakan apapun lagi.
“apakah kau mempercayaiku?” tanyaku, mengisi keheningan. Pada menit kata-kata itu keluar dari bibirku aku langsung ingin menariknya kembali. Jika aku harus menuntut kepercayaannya dan kasih sayangnya, itu tidak berarti apapun. Lebih buruk dari itu, itu adalah bencana. Aku bisa merasakannya, luka bergerigi diantara kami. Yang telah aku buat. Dari semua waktu idiot ku adalah menjadi tidak sabaran! Aku berharap sekarang adala h pertengahan musim dingin sehingga aku bisa menancapkan kepalaku di tengah salju.
Tatapannya mengembara , diatas bahuku. Ada jawaban untukku disana. Kejujuran telah menunjukan padaku siapa bosnya. Bagaimana tentang itu? Tiba-tiba aku merasa kedinginan yang tak ada hubungannya dengan lepasnya bajuku, aku sangat ingin menarik kata-kata ku kembali.
“Aku menuju kesana, Ev. Hanya... beri aku waktu”. Frustasi tergambar di wajahnya. Dia menekan bibirnya sampai memutih. Lalu dia menatap mataku. Apapun yang dilihatnya tidak membantu. “sialan”.
“Tak apa-apa, sungguh”. Kataku, menerima kenyataan.
“Kau berbohong padaku?”
“Tidak. Tidak. Kita akan baik-baik saja”.
Sebagai ganti jawabannya, dia menciumku.
Kau tidak bisa mengalahkan gangguan pada saat yang tepat. Panas kembali bergegas masuk dalam diriku. Penyesalan dan rasa sakitku mengambil tempat di belakang ketika aku meletakkan tanganku di atas tangannya. Dengan jemari yang bertaut aku menggerakan tangan kami yang bertaut untuk menutupi payudaraku. Kami berdua mengerang. Panas telapak tangannya terasa menusuk. Rasa dingin kekecewaan tak bisa melawannya. Chemistri diantara kami selalu menang setiap saat. Aku harus percaya bahwa akan lebih banyak perasaan mengikuti. Bahuku terdorong kedepan, menekanku kuat ke tangannya seakan gravitasi telah bergeser ke arahnya. Tetapi juga, aku ingin mulutnya. Sialan, aku ingin merangkak dalam dirinya dan membaca pikirannya. Aku menginginkan segalanya. Setiap sudut gelapnya. Setiap pikiran menyimpangnya.
Bibir kami bertemu lagi dan dia mengerang, tangannya memijat payudaraku. Lidahnya masuk ke mulutku secepat dan semudah aku mendambakannya. Membutuhkannya. Perutku meremas kencang dan kakiku melilitnya, memeluknya erat-erat. Aku akan berjuang mati-matian untuk menjaganya. Jempol membelai putingku, menggodaku. Tanganku menggeser lengannya,melengkung di bahunya,berpegangan erat. Ciuman panas memenuhi seluruh wajahku, rahangku, sisi leherku. Setengah telanjang ataupun tidak , kurasa aku tak akan peduli walaupun marching band sekolahku berparade di dalam ruangan. Mereka bisa memabawa semua anggota marching band. Hanya ini yang penting untukku. Tak heran orang-orang melakukan sex begitu serius, atau tidak cukup serius sama sekali. Sex menambah kecerdikanmu dan mencuri tubuhmu. Rasanya seperti tersesat dan ditemukan sekaligus. Terus terang, itu sedikit menakutkan.
“kita akan baik-baik saja”, ujarnya, menggida lubang telingaku dengan giginya. Menggesekan batangnya yang mengeras kepadaku. Tuhan memberkati siapapun yang berpikir untuk memasang jahitan di jeans. Cahaya menari di depan mataku. Apakah ini terasa nikmat untuknya? Aku ingin menjadi yang terbaik dan aku ingin dia benar tentang kami yang akan baik-baik saja.
“Sweet baby, hanya butuh waktu” ujarnya, napasnya yang hangat menerpa kulitku.
“Karena dia”, kataku, butuh untuk sampai disana dengan terbuka. Tak ada rahasia.
“Ya”, katanya, suaranya sengau. “Karena dia”.
Kenyataan yang manis.
“Evelyn, hanya kau dan aku di dalam ini. Aku bersumpah”. Dia kembali ke mulutku dan menciumku seolah-olah aku rapuh, hanya memberiku secercah rasa dirinya. Kesadaran akan kehangatan, kokohnya bibirnya.
“Tunggu” kataku, menurunkan tautan kakiku di dia.
Dia berkedip tak mengerti, matanya bingung ke arahku.
“mundur ke belakang. Aku ingin turun”.
“kamu?” mulutnya yang indah itu menoleh ke bawah. Bagian depan celana jeansnya berada dalam kondisi yang sangat jelas. Aku akan melakukan itu untuknya. Kemenangan dengan berlari mengelilingi meja dapur mungkin akan terlalu berlebihan, tapi tetap saja, rasanya memuaskan. Pemikiran itu bertahan dengan baik di dalam diriku. Wanita itu tidak melakukan itu padanya saat ini. Aku yang melakukannya.
Aku merosot dari ujung counter dan dia memegangi pinggulku, mempermudahku sampai ke lantai. Dengan sangat baik. Kakiku lemas, dia menunduk menatapku, alisnya mengkerut.
“ada sesuatu yang ingin ku lakukan”, aku menjelaskan, jariku bergetar gugup dan penasaran. Pertama-tama aku melepaskan kaitan jeans nya sebelum bergerak ke resletingnya.
Tangannya menggenggam lenganku. “hey. Tunggu”.
Aku ragu-ragu, menunggu apa yang harus dia katakan. Tentunya dia tidak akan mencoba memberitahuku bahwa dia tidak menginginkan ini. Semua orang menginginkan ini, atau setidaknya itulah yang orang-orang katakan padaku. Dia tampak bingung, seolah-olah aku adalah bagian yang tidak cocok dalam puzzle ini. Sejujurnya aku tidak tau apakah dia akan berusaha menghentikanku atau mendesakku untuk terus.
“Apa ada masalah?” aku bertanya, ketika dia tidak berbicara.
Perlahan-lahan dia melepaskan tangannya dari pergelangan tangaanku, membebaskanku. Dia menahan tanganku seakan aku akan menodongkan pistol padanya. “ini yang kau inginkan?”
“iya. David, kenapa ini jadi masalah besar? Apakah kau tidak ingin mulutku di dirimu?”
senyum lembut melengkung di bibirnya. “ kamu tidak tau betapa aku menginginkan itu, tapi ini adalah kali pertama untuk mu, bukan?”
aku mengangguk , jari-jarinya mengotak -atik jeansnya , tetapi tidak melangkah lebih jauh.
“itulah sebabnya ini masalah besar. Aku ingin semua pengalaman pertamamu menjadi sempurna. Bahkan ini. Dan aku benar-benar berkerja keras disini memikirkan dirimu menghisapku”.
“Oh”.
“aku telah memikirkanmu sepanjang hari. Aku terus mengacaukannya, aku tak bisa berkonsentrasi dengan semua omong kosong ini. Sungguh luar biasa kami bisa menyelesaikan semuanya”, dia mendorong jemarinya ke rambut panjangnya, mendorongnya ke belakang kepalanya. Tangannya ttinggal di atas kepalanya, meregangkan tubuhnya yang ramping dan berotot. Memar di tulang rusuknya akibat perkelahian di bar semalam membentuk noda abu-abu gelap,membaur dengan sempurna. Tatapannya tak pernah meninggalkanku karena payudara masih menjadi bagian dari diriku. Mataku, mulutku, payudaraku ; dia tidak bisa memutuskan mana yang paling menarik baginya.
Dengan hati-hati, aku menurunkan resleting di atas ereksinya. Tidak ada pakaian dalam. Setidaknya aku tidak melompat kali ini ketika ereksi nya tiba-tiba muncul. Dengan dua tangan aku menekan celana jeansnya, membebaskan kemaluannya. Batangnya berdiri tegak dan bangga. Sama seperti pagi ini ketika aku menakan tanganku ke sisi bawah, merasakan panas dari kulit selembut sutra. Lucu, kulup laki-laki tidak pernah menggerakkan ku secara khusus sebelumnya. Tapi sekarang aku merasa terharu, ketika pahaku di bengkokan.
Bergerak dan lebih dari sekedar perangkat lunak.
“Kau milikku” bisikku, ibu jariku menggisok puncak kepalanya, merasakan rasa kasar dan cekungan di bagian tengah. Mempelajari dia.
“Yeah”.
Titik manis berada di bawah selipan kecil itu. Selama bertahun-tahun aku sudah banyak membaca majalah dan mendengarkan cukup banyak cerita sex lauren untuk mengetahui sebanyak mungkin. Dia memang suka menceritakan detailnya. Aku membat catatan dalam pikiranku untuk berterima kasih padanya, mengajaknya makan malam di suatu tempat yang bagus.
Aku menggerakkan tanganku sehingga aku menggenggamnya dan memijat daerah itu dengan alas ibu jariku, menunggu untuk melihat apa yang terjadi. Lebih mudah untuk melihatnya tanpa gelembung sabung yang menghalangi. Tidak butuh waktu lama. Khususnya tidak lama setelah aku mengencangkan genggamanku sedikit dan memompa sedikit. Otot perutnya bergoyang dan kembang kempis, sama seperti pagi tadi di kamar mandi. Jari-jariku menggerkan kulit yang lembut dan halus, memijat daging keras di bawah tanganku, memompa sekali, dua kali. Setetes cairan seputih susu merembes dari celah kecil di atas.
“itu berarti kau membunuhku” suami ku memberikan pencerahan, suarany terdengar lantang. “kalau-kalau kau penasaran”.
Aku tersenyum.
Dia mengumpat.
“aku bersumpah ini menjadi semakin besar tiap kali aku melihatnya”.
Senyumnya miring. “kau menginspirsasiku”.
Aku mengelusnya lagi dan dadanya naik turun. “Evelyn. Please”.
Saatnya membebaskan dia dari kesengsaraan. Aku berlutut , lantai tidak nyaman di bawahku. Jika kau akan berlutut di depan seseorang, beberapa ketidaknyamanan kecil tampak sebagai bagian yang jelas di area itu. Semuanya di tambahkan dalam atmosfer, pengalaman. Aroma musk nya bertambah kuat hari ke hari. Aku mengambil batangnya ke tanganku dan mencium pinggulnya, bernapas dalan-dalam.
Dia masih memperhatikan. Aku memeriksanya untuk memastikan, Sialan, matanya besar dan gelap dan hanya terfokus padaku. Disampingnya, tangannya mencengkram counter seolah-olah dia berharap gempa bumi akan terjadi kapan saja, buku-buku jarinya memutih.
Ketika aku memasukannya ke mulutku dia mengerang. Ketidakberpengalamanku dan ukurannya menghalangiku untuk memasukannya terlalu dalam. Dia sepertinya tidak keberatan. Rasa asin dari kuluitnya dan rasa pahit dari cairan itu, aroma hangatnya dan rasa dari kerasnya batangnya, menyatu menjadi satu pengalaman unik. Menyenangkan David adalah hal yang brilian.
Dia mengerang dan pinggulnya tersentak, mendorongnya lebih jauh kedalam mulutku. Tenggorokanku mengkerut karena terkejut dan aku tersedak sedikit. Tangannya melayang ke rambutku, menepuk, dan menenangkan. “Fuck, baby. Maaf”.
Aku melanjutkan pelayananku, menggosok lidahku padanya, menggambarnya. Mencaritahu cara terbaik untuk memasukannya ke mulutku. Melakukan segala cara yang bisa membuatnya gemetar dan mengumpat. Betapa luar biasanya pemikiran itu. Tangannya mengencang di rambutku, menarik beberapa, dan aku menyukainya. Seluruhnya, segala hal yang mampu untuk menghilangkan suamiku yang lelah akan dunia menjadi rasa gagap saat memberinya semacam kenikmatan berhak mendapatkan investasi waktu yang serius. Pinggulnya bergerak gelisah dan kemaluannya tersentak di lidahku, mengisi mulutku dengan rasa asin, dan rasa pahit yang lebih cepat dari pada yang bisa aku telan.
Jadi ini berantakan. Lupakan. Rahangku sedikit sakit. Masalah besar. Dan aku bisa menyelesaikannya dengan segelas air. Tapi reaksinya....
David jatuh berlutut dan memelukku, segalanya lebih baik ketika dia memelukku erat padanya. Rusukku berderak, dan dia meringsek ke padaku lagi dan lagi saat dia berjuang untuk bernapas. Aku menekan wajahku ke pundaknya dan menunggu sampai dia sedikit tenang untuk mencari pujianku.
“apa itu tadi okay?” tanyaku, cukup yakin untuk tanggapan yang baik. Yang selalu merupakan waktu terbaik untuk bertanya, menurutku.
Dia mendengus.
Cuma itu? Aku duduk disana merasa bangga akan diriku sendiri dan dia memberiku gerutuan. Tidak, aku tidak butuh validasi lebih dari itu. Aku sama-sama menginginkannya dan layak mendapatkannya. “Apa kau yakin?”
dia duduk bersandar dan menatapku. Kemudian dia melihat ke sekeliling, mencari sesuatu. Kaos oblong yang dia tanggalkan terlupakan di lantai. Dan kemudia dia mengusap bawah daguku, membersihakanku. Bagus.
“ada beberapa di pundakmu juga” aku menunjuk ke tumpahan malang yang kemungkinan aku tempelkan padanya. Dia membersihakanya juga.
“Sex bisa menjadi sangat berantakan”. Ujarnya.
“Ya, bisa”.
“Kau minum pil?”
“Kau tidak bisa hamil dengan cara seperti itu David”.
Sisi mulutnya bergetar. “Cute. Apa kau meminum pill?”
“Tidak, tapi aku memiliki pengontrol kehamilan yang tertanam di lenganku karena haidku tidak menentu jadi- “ mulutnya mengecup bagian atas kepalaku, menciumku dengan keras dan dalam. Satu tangan menyanggah bagian belakang kepalaku saat dia membawaku ke lantai, berbaring di atasku. Lantai yang dingin dan keras dibawah punggung telanjangku jelas tidak berasa. Tidak masalah selama dia menciumku. Tanganku menempel di pundaknya, jari-jari meluncur diatas kulit licin.
“aku peduli dengan haid mu, Ev. Sejujurnya sangat peduli”, dia mencium pipiku, keningku.
“Thanks”.
“tapi sekarang aku ingin tau bagaimana perasaan mu dengan kita tanpa penghalang”.
“maksudmu lebih dari menghilangkan pakaian, yang ku pakai?”
“maksudku bersetubuh tanpa kondom”, tangannya menangkup wajahku saat dia menatap mataku, mata dengan warna biru yang dalam. “aku bersih. Aku sudah di periksa. Aku tidak menggunakan narkoba dan aku selalu menggunakan pelindung, bahkan sejak aku putus dengan dia. Tapi ini terserah padamu”.
Menyebutkan si “dia” sedikit membuatku kesal, tapi tidak berlangsung lama. Mustahil dengan David yang melintang di atasku dan aroma sex yang begitu berat di udara. Ditambah Pizza. Tapi terutama David. Dia membuat mulutku berair, melupakan tentang makanan. Berpikir tidaklah mudah dalam situasi ini. Aku telah berkata aku mempercayainya dan benar aku mempercayai dia.
“Baby, pikirkan lah”, katanya. “ tak perlu terburu-buru, okay?”
“Tidak. Kurasa kita harus melakukannya”.
“kau yakin?”\
aku mengangguk.
Dia menghembskan napas bert dan menciumku lagi.
“aku amat sangat menyukai mulutmu”, dengan ujung jarinya dia menelusuri bibrku, masih bengkak karena apa yang barusan kami lakukan.
“Kau sungguh menyukainya? Apakah itu okay?”
“itu sempurna. Tak ada yang kau lakukan dengan salah. Aku hampir kehilangan kendali hanya karena kamu. Kau bisa dengan tidak sengaja menggigitku dan aku akan tetap berpikir itu hot”. Dia tertawa kasar , lalu buru-buru menambahkan. “Tapi jangan lakukan itu”
“Tidak”, aku melengkungkan leherku dan menekan bibirku ke bibirnya, menciumnya manis dan lambat. Menunjukan apa arti dia bagiku. Kami masih berguling-guling di lantai dapur ketika bel oven berdecit, mengejutkan kami. Lalu telpon berdering.
“Sialan”.
“aku akan mengambil Pizza”, kataku, menggeliat keluar dari bawahnya.
“aku akan mengangkat telepon. Tak ada seorangpun yang harusnya tau nomor ini”.
Sebuah sarung tangan oven tergeletak menunggu di kounter dan aku menyelipkan tanganku. Udara panas dan aroma keju meleleh tercium ketika aku membuka pintu oven. Perutku bergemuruh. Jadi mungkin aku lapar setelah semua ini. Pizza dengan sentuhan terbakar di bagian tepi. Tidak terlalu buruk. Ujung brokoli yang aku panggang berwarna coklat keemasan. Kami bisa berkonsentrasi di bagian tengah. Aku memindahkan pizza ke atas kompor yang dingin dan menghentikan panas.
David berbicara dengan tenang di latar belakang. Dia berdiri di depan tepi jendela, kakinya terbuka lebar dan bahunya seperti dia sedang mempersiapkan diri untuk serangan. Orang yang santai dan bahagia tidak akan menyukai pose itu. Diluar matahari terbenam. Warna violet dan abu-abu malam menebarkan bayang-bayang di kulitnya.
“Ya, ya , Adrian. Aku tau”. Katanya.
Perasaan takut mengencang kan satu persatu ototku setiap waktu. Tuhan kumohon, jangan sekarang. Kami menjalaninya dengan sangat baik. Tidak bisakah mereka menjauh sedikit lebih lama?
Jam berapa penerbangannya?” tanya David.
“FUCK”, ujarnya lagi kemudian
“Tidak, kami akan berada disana. Tenang. Yeah, bye”.
Dia berbalik untuk menghadapku, telpon menjuntai dari tangannya. “ada beberapa hal terjadi di LA dan aku serta Mal harus ada disana. Adrian akan mengirim helikopter untuk kita. Kita semua harus bersiap-siap”.
Senyumku menajamkan wajahku, aku bisa merasakannya. “Baik”.
“Maaf, kita harus memperpendek waktu disini. Kita akan segera kembali secepatnya, yeah?”
“tentu saja. Tak masalah”.
Itu adalah kebohongan, karena kami akan kembali ke LA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

STUCK UP SUIT Chapter 8

GRAHAM AKU TIDAK MENDENGAR KABAR NYA SEPANJANG HARI di hari sabtu, dan tidak seperti yang aku harapkan juga. Soraya Venedetta san...