Aku
terlambat berkerja. Bergegas seperti orang gila berusaha
bersiap-siap. Aku berlari ke kamar mandi, melompat ke shower.
Memberikan gosokan yang baik di wajahku untuk membersihkan sisa-sisa
make up semalam. Hal-hal yang mengerikan, berkerak. Itu akan
mengganjarku dengan jerawat dari neraka. Semalam adalah mimpi yang
aneh. Tapi ini adalah kehidupan nyata. Bekerja dan kuliah dan
teman-temanku. Rencanaku untuk masa deoan. Itu adalah hal-hal yang
penting. Dan jika aku terus mengatakan pada diriku bahwa, semuanya
akan baik-baik saja, dan keren suatu saat nanti.
Ruby
tidak terlalu memikirkan apa yang kami kenakan saat berkerja di luar
T-shirt Cafe resmi. Awalnya hanya sebuah alternatif. Dia berencana
menjadi seorang penyair tetapi akhirnya mewarisi kedai kopi bibinya
di distrik Pearl. Perkembangan kota telah menaikan harga properti
dan Ruby menjadi pengusaha yang cukup kaya. Sekrang dia menulis
puisinya di dinding kafe. Kurasa kau tidak akan menemukan bos yang
lebih baik. Namun telat tetaplah telat. Dan itu tidak baik.
Aku
akan tetap mengkhawatirkan akan apa yang terjadi antara aku dan David
di gang itu. Menghidupkan kembali momen dimana dia memberitahuku
bvahwa dia menganggap kami masih menikah. Tidur akan jauh
bermanfaat. Sayang sekali otakku tak mau tertidur.
Aku
memakai rok pensil hitam , kaos resmi kafe, dan sepasang flat.
Selesai. Tidak akan ada yang dapat menutupi sembab di bawah mataku.
Orang-orang telah terbiasa dengan ku akhir-akhir ini. Butuh setengah
batang concealar untuk menutupi memar di leherku.
Aku
meraung keluar dari kamar mandi dalam uap panas, di waktu yang sama
aku melihat Lauren melenggang dari dapur, senyum lebar di wajahnya.
“kamu terlambat untuk berkerja”.
“Ya”.
Aku
mengcangklongkan tas tanganku di bahuku, meraih kunciku dari atas
meja dan bersiap pergi. Tak ada waktu untuik ini. Tidak sekarang.
Tak ada kemungkinan. Aku tak bisa membayangkan dia punya alasan
cukup bagus untuk berada di sisi David. Hampir satu bulan ini dia
menghabiskan banyak malam di sisiku, membiarkan ku memaki-maki David
ketika aku butuh melakukan itu. Karena terkadang, itu semua harus di
luapkan. Seringkali ku katakan pada Lauren bahwa aku tak berhak
memiliki teman seperti dia, dan dia memberikan ciuman kuat di pipi.
Kenapa dia mengkhianatiku sekarang? Aku menuruni tangga dengan
ekstra hentakan.
“Ev,
tunggu”, Lauren berlari mengejarku saat aku bergegas menuruni
tangga depan.
Aku
berbalik ke arahnya, kunci rumah ke pegang seakan itu adalah senjata.
“kau memberitahunya keberadaanku semalam”.
“apa
yang harusnya kulakukan?”
“Oh,
aku tak tau. Tidak memberitahu dia? Kau tau aku tak ingin bertemu
dengan dia”, aku menatapnya dan menyadari segala hal yang tak
kuinginkan. “rambut tertata dan ber make-up di jam seperti ini?
Sungguh, Lauren? Apa kau mengharapkan dia ada disini mungkin?”
dagunya
mengkerut saat dia memiliki kesadaran untuk merasa malu pada
akhirnya. “Maafkan aku. Kau benar, aku terbawa suasana. Tapi dia
disini untuk menembus kesalahannya. Kupikir kau setidaknya mungkin
ingin mendengar apa yang dia katakan”.
Aku
menggelengkan kepalaku, amukan menggelegak dalam diriku. “ bukan
urusanmu”.
“kamu
telah sengsara. Apa yang harus aku lakukan?” dia melemparkan
tangannya ke atas. “dia berkata dia datang untuk memperbaiki. Aku
percaya padanya”.
“Tentu
saja, dia David Ferris. Idola mu sejak remaja”.
“Tidak.
Jika disini tidak untuk mencium kakimu, aku akan membunuhnya, tak
peduli siapa dia, dia telah menyakitimu”, Lauren tampak tulus,
mulutnya mencuat dan matanya membesar. “aku minta maaf karena
berdandan pagi ini. Itu tak akan terjadi lagi”.
“Kau
terlihat hebat. Tetapi kau membuang-buang waktumu. Dia tidak akan
disini. Itu tidak akan terjadi”.
“Tidak?
Jadi siapa yang memberimu monster di lehermu?”
aku
bahkan tak perlu menjawabnya. Sial. Matahari telah naik ke atas
kepala, menghangat kan hari.
“Jika
ada kemungkinan kau berpikir bahwa dia orangnya” ujarnya, membuat
perutku melilit. “jika kalian berdua bisa menyelesaikan masalah
ini entah bagaimana caranya.... dia adalah satu-satunya yang pernah
mendapatkan dirimu. Caramu berbicara tentang dia...”
“kami
hanya bersama beberapa hari”
“kau
sungguh berpikir itu penting?”
“Iya.
Tidak. Aku tak tau” aku berdalih. Itu tidaklah cantik. “kami
tak pernah masuk akal, Lauren. Bahkan dari hari pertama”.
“Gah”
ujarnya, membuat suara tercekik untuk menyertainya. “ini tentang
rencana sialanmu, bukan? Biarkan aku memberitahumu tentang sesuatu.
Kau tak perlu masuk akal. Kau hanya perlu ingin bersama dan
bersedia melakukan apapun untuk mewujudkannya. Ini luar biasa
sederhana. Itu cinta, Ev, saling mengutamakan satu sama lain. Tak
peduli jika kau cocok atau tidak ke dalam rencana sialan yang
membuat ayahmu mencuci otakmu dan mempercayai bahwa itu adalah hal
yang inginkan dalam hidup”.
“ini
bukan tentang rencana”, aku menggosok wajahku dengan tanganku,
menahan air mata frustasi dan ketakutan. “dia menghancurkan ku.
Ini terasa seakan dia telah menghancurkanku. Bagaimana bisa
seseorang rela untuk mendapat kesempatan itu lagi?”
Lauren
menatapku, matanya terang. “aku tau dia menyakitimu. Jadi
hukumlah si bajingan itu, buat dia tetap menunggu. Si brengsek itu,
berhak atas itu. Tapi jika kau mencintainya, maka dengarkan lah apa
yang ingin dia katakan”.
Mungkin
aku menyikapinya dengan dada yang dingin dan kencang, serta mata yang
membengkak. Mendapati hatimu hancur seharusnya datang bersama
beberapa hal positif , beberapa perspektif yang mengimbangi hal yang
buruk. Aku seharusnya lebih bijak, lebih tangguh, tetapi aku tak
merasakan saat-saat itu. Aku mengguncang kunci rumahku. Ruby akan
membunuhku. Aku harus mengorbankan perjalananku yang biasa dan naik
trem untuk mendapatkan harapan dari neraka agar bokong sebesar
Texasku tidak di pecat. “saya harus pergi”.
Lauren
mengangguk, memasang wajah. “kau tau aku sangat mencintaimu
melebihi cintaku padanya. Tak perlu di pertanyakan”.
Aku
mendengus. “Thanks”.
“tapi
apakah kamu tidak menyadari bahwa kamu tak akan sekesal ini jika kamu
belum mencintainya walaupun sedikit?”
“aku
tak suka kau menjadi masuk akal di jam segini di pagi hari.
Hentikan”.
Dia
mundur selangkah, memberiku senyuman. “kau selalu ada untukku
ketika aku membutuhkan. Aku tak akan berhenti mengganggumu hanya
kerena kau tidak suka dengan apa yang kau dengar. Terimalah itu”.
“aku
mencintaimu, Lauren.
“Aku
tau, keturuna Thomas selalu tergila-gila padaku. Itulah kenapa,
kakakmu melakukan hal ini.....”
aku melarikan diri dari suara tawa
jahatnya.
Pekerjaan
berjalan lancar. Dua orang cowok mengajakku ke frat party yang akan
di adakan. Aku tak pernah menerima undangan apapun sebelum bersama
David. Karena itu aku menolak setelah dengan David. Kalau aku
memang benar telah pasca David. Siapa yang tau? Berbagai orang
mencoba untuk mendapatkan tanda tangan atau informasi dan aku
menjual kopi dan kue sebagai gantinya. Kami tutup menjelang senja.
Sepanjang
hari aku sudah gelisah, bertanya-tanya apakah dia akan datang. Besok
adalah hari ini, tetapi aku tidak melihat tanda apapun dari nya.
Mungkin dia berubah pikiran. Pikiranku beruabah dari menit ke menit
selanjutnya. Janji ku padanya untuk tidak memutuskan adalah
keputusan yang aman.
Kami
baru saja mengunci pintu ketika Ruby menusuk tulang rusukku dengan
sikunya. Mungkin sedikit lebih keras dari yang dia maksudkan karena
aku cukup yakin aku menderita cedera ginjal.
“dia
benar-benar disini”, desisnya, mengangguk pada David yang memang
sedang mengintai di dekatnya, menunggu. Dia ada disini seperti
yang dia katakan. Rasa gugup yang menyenangkan mengembang dalam
diriku. Dia mengenakan topi baseball dan jenggot, dia berbaur
dengan baik. Apalagi dengan potongan rambutnya. Hatiku sedikit
terisak karena dia kehilangan rambut panjangnya. Tetapi aku tak akan
pernah mengakuinya. Amanda sudah memberitahu Ruby tentang kemunculan
David semalam. Mengingat kurangnya paparazi dan penggemar yang
berteriak di sekitarnya, kehadirannya pastinya masih menjadi rahasia
dari penduduk kota.
Aku
menatapnya, tidak yakin bagaimana rasanya. Tadi malam di klub itu
nyata. Disini dan sekarang, ini lah diriku dalam kehidupan normal.
Melihat dia di dalamnya, aku tak tau apa yang aku rasakan.
Menggelisahkan adalah kata yang tepat.
“apakah
kau ingin bertemu dengannya?” tanyaku.
“Tidak,
aku menyimpan penilaianku. Dan kurasa bertemu dengannya akan
membuatku menyimpang. Dia sangat menarik, kan?” Ruby menatap
David perlahan, berlama-lama di atas celana Jeansnya yang lebih
panjang dari seharusnya. Dia memiliki fetish tentang paha pria.
Pemain sepakbola akan membuatnya heboh. Aneh bagi seorang penyair,
tetapi aku benar-benar sadar tidak ada sesuatu yang benar-benar cocok
untuk jenis tertentu. Semua orang memiliki keanehan tersendiri.
Ruby
terus menatap David seperti daging di pasar. “Mungkin jangan
menceraikannya”.
“Kamu
terdengar tidak memihak. Sampai jumpa lagi”.
Tangannya
mengait lenganku. “tunggu. Jika kau tetap bersamanya, apakah kau
masih akan berkerja untukku?”
“Iya.
Aku bahkan akan berusaha lebih tepat waktu. Selamat malam, Ruby”.
Dia
berdiri di trotoar, tangannya dimasukkan ke kantong celana jeansnya.
Melihatnya terasa seperti sedang berdiri di tepi tebing. Suara kecil
dibelakangku berbisik tentang konsekuensinya, kau tau mungkin kau
bisa terbang. Jika kau tak bisa, bayangkan serunya terjatuh. Akal,
disisi lain, menjerit-jerit dan membunuhku.
Pada
titik dimana tepatnya aku bisa memutuskan bahwa aku akan menjadi
gila?
“Evelyn”.
Semuanya
terhenti. Jika dia tau apa yang terjadi padaku ketika dia menyebutkan
namaku seperti itu, aku telah usai. Tuhan , aku merindukannya.
Sepertinya ada bagian dari diriku yang menghilang. Tapi kini setelah
dia kembali aku tak tau bagaimana kami bisa bersatu lagi. Aku tak
tau apakah kami bisa.
“Hai”,
kataku.
“Kau
terlihat lelah”, katanya, mulutnya mengarah ke bawah. “maksudku
kau terlihat cantik, tentu saja. Tapi...”
“Tidak
apa-apa” aku mempelajari trotoar sambil mengambil napas
dalam-dalam. “ini adalah hari yang sibuk”.
“jadi
ini tempatmu berkerja?”
“Ya”.
Kafe
Ruby tenang dan kosong. Lampu-lampu kecil berkerlap-kerlip di
jendela -jendela di samping pamflet yang di tempelkan pada kaca iklan
ini dan itu. Lampu jalan berkerlap kerlip di sekitar kami.
“Terdengar
bagus. Dengar kita tak perlu bicara sekarang”, katanya. “aku
hanya ingin me ngantarmu pulang”.
Aku
menyilangkan tangan di atas dadaku. “kau tidak perlu melakukan
itu”.
“itu
tidak seperti sebuah tugas. Biarkan aku mengantarmu pulang , Ev,
Please”.
Aku
mengangguk dan setelah beberapa saat memulai langkah ragu-ragu di
jalanan kota. David melangkah di sampingku. Apa yang harus di
bicarakan? Setiap topik sepertinya sudah pernah dibicarakan. Sebuah
lubang terbuka penuh dengan pertaruhan yang tajam tergeletak di
setiap sudut. Dia terus memandangku dengan tatapan curiga. Membuka
mulutnya kemudian menutupnya. Rupanya situasi ini menyebalkan bagi
kami berdua. Aku tak bisa membuat diriku membicarakan LA. Semalam
terlihat seperti teritori yang lebih aman. Tunggu. Tidak, bukan.
Membicarakan kembali sex di gang tak akan pernah lulus ujian
kecerdasaan.
“Bagaimana
harimu?” dia bertanya “selain sibuk”.
Mengapa
aku tak memikirkan sesuatu yang tidak berbahaya seperti itu?
“Ah,baik.
Beberapa pasang gadis datang dengan barang-barang yang mereka ingin
kau tanda tangani. Beberapa orang ingin memberimu Demo Tape mereka
dari band Garage-Reggae-Blues mereka. Salah satu atlet terkenal dari
kampus datang untuk memberitahuku nomor ponselnya. Dia pikir kami
bisa bersenang-senang kapan-kapan”, aku mengoceh, mencoba
meringankan suasana.
Wajahnya
menjadi bergetar, alis gelapnya tertarik rapat. “sialan. Itu
sudah sering terjadi?'
dan
aku adalah idiot yang telah membuka mulutku. “itu bukan masalah
besar, David. Aku mengatakan padanya bahwa aku sibuk dan dia pergi”.
“Emang
sudah seharusnya”, dia menjulurkan dagunya, memberiku tatapan
lama. “kau mencoba membuatku cemburu?”.
“Tidak.
Mulutku mengoceh begitu saja tanpa dipikir terlebih dahulu. Maaf.
Semuanya cukup rumit”.
“aku
cemburu”.
Aku
memandangnya dengan terkejut. Aku tak tau mengapa. Dia sudah
mengatakan dengan jelas semalam bahwa dia disini untukku. Tetapi
pengetahuan bahwa aku tak sendirian di tebing curam, berpikir untuk
melepaskan diri.....ada banyak kenyamanan dalam hal itu.
“Ayo”
ujarnya, melanjutkan berjalan. Di tikungan kami berhenti, menunggu
lalu lintas berhenti.
“aku
mungkin akan menyuruh Sam kesini untuk menjagamu” katanya. “aku
tak ingin orang-orang mengganggumu berkerja”.
“sesukanya
aku pada Sam, dia bisa tetap tinggal ditempatnya. Orang normal tidak
membawa pengawal saat berkerja”.
Dahinya
berkerut tetapi dia diam saja. Kami menyebrang jalan, melanjutkan.
Sebuah trem melintas, semuanya menyala. Aku lebih suka berjalan,
menikmati beberapa saat di luar setelah seharian di dalam. Ditambah,
Portland sangatlah indah : kafe-kafe, tempat-tempat pembuatan bir
dan sebuah hati yang aneh. Terimalah itu, LA.
“Jadi
apa yang kau lakukan hari ini?” aku bertanya,membuktikan pada
diriku sendiri sebagai pemenang penuh dalam pertaruhan obrolan
kreatif.
“hanya
berkeliling kota, mengecek beberapa hal. Aku tak sering berperan
sebagai turis. Kita akan belok kiri dari sini” katanya, mengubah
dari jalan normal yang biasanya ku lalui.
“Kemana
kita akan pergi?”
“Tunggulah
disini. Aku akan mengambil sesuatu” dia mengantarku ke tempat
Pizza yang terkadang aku datangi bersama Lauren. “Pizza adalah
satu-satunya hal yang aku tau kau pasti makan. Mereka pun bersedia
menempel setiap sayuran yang bisa aku pikirkan, jadi ku harap kau
akan menyukainya”.
Tempat
ini hanya seperempet penuh karena baru jam awal buka. Dinding bata
polos dan meja hitam. Sebuah jukebook megalunkan sesuatu dari The
Beatles. Aku berdiri di ambang pintu , ragu-ragu untuk melangkah
lebih jauh dengannya. Pria itu mengangguk pada David dan mengambil
pesanan dari penghangat di belakangnya. David berterima kasih
padanya dan kembali ke arahku.
“kamu
tak harus melakukan itu”, aku melangkah keluar ke jalan, memberikan
tatapan mencurigakan ke kotak Pizza.
“ini
hanya pizza,Ev”, katanya, “rilex. Kau bahkan tak perlu memintaku
untuk berbagi denganku jika kau tak menginginkannya. Jalan mana yang
menuju ke tempat mu dari sini?”
“Kiri”
kami
berjalan satu blok lagi dalam kesunyian dengan David membawa kotak
pizza tinggi-tinggi di satu tangan.
“berhenti
mengerutkan kening”, katanya. “Ketika aku menjemputmu semalam
kau lebih ringan dibanding saat kau di Monterey. Kau telah
kehilangan berat badan”.
Aku
mengangkat bahu. Tidak mau membahasnya. Jelas tak mengingat dia
mengangkat ku dan kaki ku mengait di tubuhnya dan betapa aku
merindukan dia dan suara saat dia--
“Yah,
Well, aku menyukai dirimu yang dulu”, katanya, “aku menyukai
lekuk tubuhmu. Jadi aku datang dengan rencana baru. Kau akan
mendaparkan piza dengan lima belas keju di atasnya sampai kau
mendapatkan lekuk tubuhmu kembali”.
“insting
pertama ku disini adalah untuk mengatakan sesuatu yang kasar
tentang bagaimana tubuhku sudah bukan lagi urusanmu”.
“untungnya
kau berpikir dua kali sebelum mengatakan itu, huh? Khususnya sejak
kau membiarkan ku kembali masuk ke tubuhmu semalam”. Dia melihat
mulutku yang mencebik berbarengan dengan dirinya pun yang mencebik.
“ dengar, aku hanya tak ingin kau kehilangan berat badanmu dan
sakit, terutama karena diriku. Sesederhana itu. Lupakan sisanya
dan berhentilah melihat pizza itu dengan pandangan jijik atau kau
akan melukai perasaannya”.
“kau
bukanlah boss ku” gumamku.
Dia
mengeluarkan tawa. “kau merasa lebih baik dengan mengatakan itu?”
“Iya”.
Aku
memberinya senyuman waspada. Memiliki dia disampingku lagi terasa
terlalu mudah. Aku seharusnya tidak merasa nyaman, siapa yang tau
kapan dia akan mempermalukanku lagi? Tapi sebenarnya , aku ingin dia
disana begitu terpuruk hingga sakit.
“Ba--”
dia berdeham , mencoba lagi, tanpa sentimen yang akan membuatnya
otomatis dibanting. “Teman. Apakah kita berteman lagi?”
“aku
tak tau”.
Dia
menggelengkan kepalanya. “kita teman. Ev, kau sedih, kau lelah,
dan kau kehilangan berat badanmu. Dan aku sangat membenci diriku
sendiri karena aku lah yang menyebabkan itu. Aku akan memperbaikinya
untuk mu selangkah demi selangkah. Hanya.... beri aku sedikit
ruang untuk bermanuver disini. Aku bersumpah tak akan terlalu
membuatmu sedih”.
“aku
tak mempercayaimu lagi , David”.
“senyum
menggodanya menghilang. “aku tau kau tak percaya padaku. Dan
ketika kau siap kita akan membicarakan itu”.
Aku
menelan ludah dengan keras di tenggorokanku.
“ketika
kau siap”, dia menegaskan kembali. “ayo. Segera sampai ke rumah
sehingga kau bisa memakannya ketika pizza nya masih panas”.
Kami
berjalan di sisa jalan pulang dalam keheningan. Kurasa itu cocok.
David memberiku senyuman kecil sesekali. Tampaknya senyumannya
tulus.
Dia
bergegas menaiki tangga di belakangku, tidak terlalu peduli untuk
melihat-lihat. Aku lupa kalau dia sudah kesini semalam ketika dia
mencari tau keberadaanku pada Lauren. Aku membuka kunci dan
mengintip ke dalam, aku masih trauma memergoki kakakku dengan Lauren
di sofa minggu lalu. Tinggal bersama mereka tidak akan berhasil
dalam jangka panjang. Kupikir semua orang akan mencapai titik dimana
mereka membutuhkan ruang mereka sendiri.
Tapi
sebulan terakhir, menguntungkan untuk Nate dan aku. Itu memberi kami
kesempatan untuk berbicara. Kami lebih dekat daripada yang pernah
kami lakukan. Dia mencintai pekerjaannya di bengkel mekanik. Dia
bahagia dan puas. Lauren benar, dia telah berubah. Kakakku telah
menemukan apa yang dia inginkan dan dimana dia berasal. Sekarang
jika aku bisa menemukan semua omong kosong ku dan melakukan hal yang
sama.
Musik
rock dimainkan dengan lembut dan Nate dan Lauren menari di tengah
ruangan. Sesuatu yang jelas spontan, mengingat pakaian kerja
kakakku yang masih berminyak. Lauren tampak nya tidak peduli,
memeluknya erat, menatap matanya.
Aku
berdeham untuk mengumumkan kedatangan kami dan masuk ke ruangan.
Nate
menoleh dan memberiku senyum ramah. Tapi kemudian dia melihat David.
Darah menutupi wajahnya dan matanya berubah. Suhu diruangan ini
meroket.
“Nate”,
berusaha meraihnya saat dia menghampiri David.
“Shit”,
Lauren berlari mengejarnya. “Tidak!”.
Kepalan
tangan Natemenghajar wajah David. Pizza melayang. David terhuyung
ke belakang, Darah mengalir dari hidungnya.
“you
fucking asshole”, teriak
kakakku.
Aku
melompat ke punggung Nate, mencoba untuk menghentikannya. Lauren
memegang lengan Nate. David tidak melakukan apapun. Dia menutupi
wajah malangnya tapi tidak membuat gerakan apapun untuk melindungi
diri dari dampak yang lebih jauh.
“aku
akan membunuhmu karena melukainya”, Nate meraung
David
hanya memandangnya, matanya menerima.
“Stop,
Nate”, kaki terseret di lantai,lenganku melilit tenggorokan
kakakku.
“Kau
mau dia disini?” Nate bertanya padaku, tidak percaya. “apakah
kau serius?” lalu dia melihat Lauren menarik lengannya. “apa
yang sedang kau lakukan?”
“Ini
antara mereka, Nate”.
“apa?
Tidak. Kau telah melihat apa yang telah dia lakuan ke Evelyn.
Bagaimana adikku terlihat selama sebulan terakhir”.
“kau
butuh menenangkan diri. Ev tidak membutuhkan ini”, Tangan Lauren
menepuk-nepuk wajah Nate. “Please, Babe. Ini bukanlah dirimu”.
Perlahan,
Nate menari diri. Bahunya turun kembali ke level normal,
otot-ototnya melemas. Aku menghentikan kekanganku di lehernya, tapi
itu tidak juga bisa menahannya dengan cukup baik. Kakakku
bertindak seperti banteng yang marah dengan sangat baik. Darah
terlihat dari sela-sela jemari David, jatuh lantai. “sialan.
Kemarilah”, aku memegang lengannya dan membimbingnya ke kamar
mandi.
Dia
membungkuk di atas westafel, menyumpah diam-diam, tetapi sering.
Aku menggulung beberapa tisu toilet dan menyerahkan padanya. Dia
menjejalkannya di bawah lubang hidungnya yang berdarah.
“apakah
hidungmu patah?”
“aku
tak tau”, suaranya meredam, bindeng.
“aku
minta maaf”.
“tak
apa”, dari saku belakang jeansnya terdengar suara dering.
“aku
akan mengambilnya”, dengan hati-hati, aku menarik ponselnya. Nama
yang muncul di layarnya membuatku membeku. Alam semesta pastinya
sedang bermain lelucon. Pasti. Kecuali itu bukanlah lelucon. Ini
hanyalah patah hati yang sama yang dimainkan berulang kali di dalam
hatiku. Aku bisa merasakan serpihan sedingin es mengalir di nadiku.
“Ini
Dia”, aku menyerahkan ponsel padanya.
Diatas
gumpalan tisu toilet yang berdarah, hidungnya tampak membengkak,
tetapi utuh. Perkelahian tidaklah membantu. Tak peduli kemarahan
yang merasuki ku, membuatku goyah saat itu.
Tatapan
nya terlonjak dari layar ke aku. “Ev”,
“kau
sebaiknya pergi. Aku ingin kamu pergi”.
“aku
sudah tidak berbicara dengan Martha sejak malam itu. Aku tidak ada
hubungan apapun dengan dia”.
Aku
menggelengkan kepala, dari ucapannya. Telepon berdering nyaring,
suara itu merusak gendang telingaku. Suaranya menggema terus menerus
di dinding kamar mandi yang kecil. Ponselnya bergetar di tanganku
dan seluruh tubuhku gemetar. “ambil sebelum aku menghancurkannya”.
Jemarinya
yang berlumuran darah, mengambil ponsel dari tanganku.
“kau
harus membiarkanku menjelaskan” katanya. “aku berjanji, dia
sudah pergi”.
“lalu
kenapa dia menelponmu?”
“aku
tak tau dan aku tak mau menjawab. Aku sudah tidak berbicara padanya
sejak aku memecat dia. Kau harus mempercayaiku”.
“tapi,
aku tak percaya. Maksudku, bagaimana aku bisa percaya?”
dia
mengedipkan matanya yang terluka padau. Kami hanya saling memandang
saat kesadaran mulai mucul. Ini tidak akan berhasil. Ini tak akan
pernah berhasil. Dia selalu memiliki rahasia dan kebohongan dan
aku selalu berada di luar untuk melihat ke dalam. Tak ada yang
berubah. Hatiku hancur sekali lagi. Mengejutkan, sungguh, dan
bahwa ada cukup banyak yang harus di khawatirkan.
“pergilah”,
kataku, mata bodohku mengalirkan air mata.
Tanpa
sepatah katapun dia keluar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar