Adrian murka atas
memar di wajah David. Dia juga sepertinya tidak terlalu senang
melihatku lagi. Ada kilatan singkat gigi hiu sebelum aku didorong
masuk je sudut ruang ganti besar menjauh dari bahaya. Petugas
keamanan berdiri di luar, hanya membiarkan mereka yang memiliki
undangan ke ruang pribadi.
Pertunjukan di
adakan di sebuah ballroom di salah satu hotel besar dan mewah di
kota. Bayak lampu lilin berkelap kelip dan satin merah, meja
bundar besar di jejali para bintang, dan orang-orang cantik yang
menemani mereka. Untungnya aku mengenakan gaun biru, satu-satunya
yang menutupi semuanya dari kejauhan dan sepasang sepatu tinggi yang
telah dipesan oleh Martha. Kaetrin, si gadis bikini , teman lama
David, berada di sisi lain ruangan, mengenakan gaun merah dan
cemberut. Dia akan mendapatkan kerutan jika terus seperti itu.
Syukurlah, dia bosan mencemberutiku setelah beberapa saat, dan
berjalan pergi. Aku tidak menyalahkannya karena marah. Jika aku
kehilangan David, aku juga akan kesal. Para wanita berdiri di dekat
David, berharap mendapatkan perhatiannya. Aku bisa ber high -five
dengan seseorang dari cara David mengabaikan mereka. Tak ada
tanda-tanda Jimmy. Mal duudk dengan seorang gadis asia yang sangat
mempesona di satu lutut dan di lutut satunya dengan seorang gadis
pirang, terlalu sibuk untuk mengobrol denganku. Aku masih belum
bertemu dengan anggota ke empat band, Ben.
“Hey”, ujar
David, mengganti gelas kristal ku yang tersentuh dengan sebotol air
mineral. “kupikir kau mungkin lebih suka ini. Apa semua baik-baik
saja?”
“Ya, thanks.
Semuanya baik-baik saja”.
Pria yang luar
biasa, dia tau aku masih belum cukup pulih dari Vegas untuk merasakan
alkohol lagi. Dia mengangguk dan mengantikan segelas sampanye
dengan air. Kemudian dia mulai melepas jaket kulitnya. Orang lain
mungkin akan mengenakan tuxedo tetapi David tetap dengan jeans dan
boots nya. Satu-satunya yang menggambarkan acara ini hanyalah kemeja
hitam dengan kancing sampai ke bawah nya. “buat aku senang dengan
memakai ini”.
“Kau tidak suka
gaunku?”
“tentu saja aku
suka. Tapi Ac terlalu dingin disini”. Ujarnya, membungkuskan
jaket ke bahuku.
“Tidak, tidak
dingin”.
Dia memberiku
seringai menawan yang akan mampu mencairkan hati yang mengeras.
Hatiku tidak tahan. Dengan lengan di tiap sisi kepalaku dia
merunduk, memblok pandangan ruang yang tersisa dan semua orang yang
ada di dalamnya.
“Percayalah, kau
akan menemukan ini sedikit terlalu dingin”, pandangannya jatuh ke
bahuku dan rasa mengerti menyambangiku. Gaun ini dibuat dari
beberapa bahan mengkilat dan tipis. Cantik, tapi tidak begitu halus
dengan cara-cara tertentu. Dan tentu saja bra ku tidak membantu sama
sekali.
“Oh”, kataku.
“Mm. Dan aku
disana, mencoba membicarakan pekerjaan dengan Adrian, tetapi aku
tidak bisa. Aku benar-benar terganggu karena aku menyukai
gantunganmu”.
“Luar biasa”,
aku merangkul dadaku sedapat mungkin”
“mereka sangat
cantik dan mereka mengisi tanganku dengan tepat. Itu seperti kami
terbuat untuk satu sama lain, ya kan?”
“David”, aku
menyeringai seperti orang tolol dan bodoh.
“terkadang ada
ekspresi hampir tersenyum di wajahmu. Dan aku bertanya-tanya apa
yang sedang kau pikirkan , berdiri disana mengamati segalanya”.
“tak ada yang
khusus, hanya meresapi semuanya. Dan menunggu kau bermain”.
“begitukah
sekarang?”
“tentu saja. Aku
tak sabar lagi”.
Dia menciumku lembut
di bibir. “setelah aku selesai kita akan pergi dari sini, yeah?
Pergi ke suatu tempat. Hanya kau dan aku. Kita akan melakukan
apapun yang kau suka. Berkedara atau mencari sesuatu untuk dimakan,
mungkin.
“cuma kita?”
“iya. Apapun yang
kau inginkan”.
“itu terdengar
hebat”.
Tatapannya kembali
ke dadaku. “kau masih sedikit kedinginan. Aku bisa
menghangatkanmu. Apakah kau sengaja menggodaku di tempat umum?”
“itu salah”, aku
berbalik untuk meneguk air. Udara arktik ataupun bukan, aku perlu
pendinginan.
“Yeah, itulah yang
aku pikirkan. Ayo. Dengan payudara yang besar diikuti juga dengan
tanggung jawab yang besar”, dia meraih tanganku dan membimbingku
melewati kerumunan orang-orang yang berpesta saat aku tertawa. Dia
tidak berhenti untuk siapapun.
Ada sebuah ruang
kecil yang menempel dengan rak pakaian dan beberapa make up yang
tersebar di sekitar. Cermin di dinding, buket bunga besar, dan sofa
yang sangat banyak di tempati. Jimmy duduk disana dengan setelan
necis , kaki di buka lebar denga seorang wanita berlutut diantara
kakinya. Wajah di pangkuan, kepala terayun. Tidak ada hadiah untuk
menebak aoa yang mereka lakukan. Merah gaunnya memberiku identitas
nya, meskipun aku bisa memiliki hidup yang lama dan bahagia dengan
tanpa mengenali. Rambut gelap Kaetrin digenggam erat di genggaman
Jimmy. Di tangan satunya lagi , Jimmy menganngkat botol wiski.
Dua lembar serbuk putih yang rapi tergeletak di meja kopi bersama
sedotan perak kecil.
Sialan. Jadi ini
gaya hidup Rock n Roll. Tiba-tiba telapak tanganku berkeringat.
Tapi ini bukan apa yang David lakukan. Ini bukan dia. Aku tau itu.
“Ev”, kata Jimmy
dengan suara serak, senyuman tipis dan pelan menyebar di wajahnya.
“Terlihat cantik, darling”.
Aku menutup mulutku.
“Ayo” tangan
David mencengkram pundakku menjauhkan ku dari tempat ini. Dia sangat
marah, mulutnya mencebik.
“Apa, kau tidak
menyapa Kaetrin, Dave? Itu agak kasar. Kupikir kalian berdua
berteman baik”.
“Persetan, Jimmy”.
Dibelakang kami
Jimmy menggeram panjang dan keras saat pertunjukan di sofa mencapai
puncaknya. Suamiku membanting pintu hingga menutup. Pesta
berlanjut, gelas-gelas berdenting, musik berdentam di pengeras suara
dan begitu banyak obrolan. Kami menjauh dari sana, tapi David
menatap ke kejauhan. Wajahnya di penuhi ketegangan.
“David?”
“Lima menit”,
teriak Adrian, bertepuk tangan tinggi-tinggi di udara. “waktunya
pertunjukan. Ayo pergi”.
Kelopak mata David
berkedip cepat seolah dia terbangun di tengah mimpi buruk.
Suasana dalam
ruangan ini tiba-tiba dipenuhi kegembiraan. Para penonton bersorak
dan Jimmy terhuyung-huyung keluar dengan Kaetrin dibelakangnya.
Lebih banyak sorak sorai dan dukungan bagi band untuk naik ke
panggung, diikuti dengan pemahaman atas penampilan Jimmy dan gadis
itu.
“Ayo lakukan ini!”
teriak Jimmy, menggoyang kan tangan dan menupuk bahu orang-orang
saat dia bergerak melewati ruangan. “Ayo, Davie”.
Bahu suami ku
terangkat. “Martha”.
Wanita itu
melenggang, wajahnya adalah topeng penuh kehati-hatian. “apa yang
bisa ku bantu?”
“Jaga Ev saat aku
diatas panggung”.
“baiklah”
“Dengar, aku akan
pergi tapi aku akan segera kembali”, ujarnya padaku.
“tentu saja.
Pergilah”.
Dengan ciuman di
dahiku dia pergi, bahunya membungkuk dengan protektif. Aku memiliki
dorongan paling gila untuk mengejarnya. Untuk menghentikannya.
Melakukan sesuatu. Mal bergabung dengannya di pintu dan menempelkan
lengannya di leher David. David tidak melihat ke belakang. Sebagian
besar orang-orang mengikuti mereka. Aku berdiri sendiri, menyaksikan
kepergian orang-orang. Dia benar, ruangan ini dingin. Aku
menggenggam jaketnya yang melingkupiku lebih erat, membiarkan aroma
tubuhnya menenangkanku. Semuanya baik-baik saja. Jika aku terus
mengatakan itu pada diriku sendiri, cepat atau lambat itu akan
menjadi kenyataan. Bahkan semakin sedikit yang aku mengerti akan
membuatnya berhasil. Dan aku harus memiliki keyakinan. Dan sial,
aku memang memiliki keyakinan. Tapi senyumku telah lama hilang.
Martha
memperhatikanku, ekspresinya tak bernoda tak pernah berubah.
Setelah beberapa
saat, bibir merahnya terbuka. “aku sudah mengenal David sejak
lama”.
“itu bagus”
kataku, menolak terintimidasi dengan tatapannya yang dingin.
“iya. Dia sangat
berbakat dan bersemangat. Itu membuat dia menjadi sangat intens pada
tiap hal, bersemangat”.
Aku diam saja.
“terkadang itu
terbawa. Itu tidak berarti apa-apa”. Martha menatap cincin ku.
Dengan gerakan yang elegan , dia menyelipkan rambutnya ke belakang
telinga nya. Diatas kumpulan batu-batu merah tua yang indah, ada
berlian tunggal , kecil dan berkelap-kelip. Sedikit lebih kecil dari
sekedar chip, tampaknya tidak sesuai dengan venneer mahal Martha.
“saat dirimu siap, aku akan menunjukan dimana kau bisa menonton
pertunjukannya”.
Sensasi meliuk-liuk
yang dimulai ketika David menjauh dariku menjadi lebih kuat.
Disampingku, Martha menunggu dengan sabar, tanpa mengucapkan sepatah
katapun, untuk itu aku bersyukur. Dia sudah mengatakan cukup
banyak. Hanya kekacauan batu merah yang menggantung di telinga
satunya. Rasa paranoid tidaklah indah. Mungkinkah itu adalah
pasangan dari anting yang di kenakan David? Tidak. Itu tidak masuk
akal.
Banyak orang
mengenakan anting-anting berlian solitaire yang kecil. Bahkan
jutawan.
Aku mendorong air ku
ke samping, memaksakan senyum. “bisa kita pergi?”
**
melihat
pertunjukannya sungguh luar biasa. Martha membawaku ke spot di
samping panggung, di balik tirai, tapi itu masih terasa seakan aku
tepat di tengah pertunjukan. Pertunjukannya keras dan menggetarkan.
Musik berdentam di dadaku , membuat jantung memacu. Musiknya adalah
pengalih perhatian yang luar biasa dari kekhawatiranku tentang
anting-anting. David dan aku butuh bicara. Aku sudah menunggu lama,
sampai dia merasa cukup nyaman untuk menceritakan padaku, tapi
pertanyaan-pertanyaanku sudah tak dapat di bendung. Aku tak mau
selalu menebak-nebak dengan dia dengan cara ini. Kami butuh jujur.
Dengan gitar di
tangannya, David adalah dewa. Sekelompok kecil orang-orang
memujanya. Tangannya bergerak ke senar gitar elektriknya dengan
presisi yang basolut, penuh konsentrasi. Otot-otot yang merenggang
di lengannya membuat tatonya menjadi hidup. Aku berdiri
mengaguminya, mulutku terbuka. Ada orang lain di panggung juga, tapi
David seakan memantraiku. Aku hanya melihat sisi pribadi dirinya ,
siapa dia ketika bersamaku. Ini tampak seperti alam yang lain. Orang
asing. Suamiku sudah kembali ke dirinya si performer. Bintang
rock.. itu sebenarnya sedikit menakutkan. Tapi saat ini, gairahnya
sangat masuk akal bagiku. Bakatnya adalah anugrah. Mereka memainkan
lima lagu, setelah itu diumunkan artis besar lainnya yang akan
mengambil alih panggung. Keempat anggota band keluar dari pintu
samping. Martha telah menghilang dariku. Sulit untuk kesal tentang
itu, meskipun belakang pagung menjadi lorong dan ruang ganti.
Wanita itu adalah monster. Aku lebih baik sendirian.
Aku berjalan kembali
dengan cara ku sendiri, mengambil langkah-langkah kecil dan pelan
karena sepatu bootsku membunuhku. Lepuh melapisi jari-jariku
dimana tali menyayat dan menggesek kulitku. Tak masalah,
kegembiraanku tak akan redup. Memori musik ini tetap bersamaku.
Cara David begitu masuk dalam pertunjukan, keduanya menggembirakan
dan asing. Menggambarkan ketergesaan.
Aku tersenyum dan
bersumpah, diam-diam, mengabaikan kakiku yang malang dan memutar
jalanku melalui para roadies, teknisi suara, make up artis dan
pengemar.
“Child Bride”,
Mal mengecup keras pipiku. “aku menuju klub. Kalian akan ikut
atau kembali ke sarang cinta kalian?”
“Tak tau. Ijinkan
aku menemukan david. Ngomong-ngomong tadi itu luar biasa. Kalian
brilian”.
“senang kau
menyukainya. Tapi jangan bilang-bilang David aku yang membuat acara
itu berhasil. Dia sangat berharga untuk hal-hal seperti itu”.
“bibirku
terkunci”.
Dia tertawa. “dia
menjadi lebih baik dengan mu, kau tau? Tipe artistik memiliki
kebiasaan buruk untuk menghilang semaunya sendiri. Dia lebih banyak
tersenyum setelah beberapa hari bersamamu daripada yang aku lihat dia
lakukan selama lima tahun terakhir di satukan. Kau baik untuknya”.
“sungguh?”
Mal menyeringai.
“sungguh. Katakan padanya aku akan pergi ke Charlote. Sampai
jumpa disana, mungkin”.
“baiklah”.
Mal berangkat dan
aku berjalan menuju ruang ganti band melalui sekumpulan orang yang
lebih besar dan lebih baik menerobos orang -orang yang berkerumun.
Didalam ruang ganti, bagaimanapun, segalanya terasa hening. Jimmy
dan Adrian berdiri meringkuk di lorong, asyik mengobrol ketika
akumlewat. Jelas tidak berhenti. Sam dan seorang petugas keamanan
di belakngnya mengannguk padaku ketika aku lewat.
Pintu menuju ke
ruang belakang dimana Jimmy sibuk baru -baru ini terbuka lebar.
Suara David terdengar olehku, seterang hari, diluar bising di luaran
sana. Aku seakan sudah menyatu dengan dia dalam level alam semesta.
Menakutkan dan juga menyenangkan dalam waktu yang sama. Aku sudah
tidak sabar untuk keluar dari sini bersamanya dan melakukan apapun.
Pergi menemui Mal atau mengadakan acara sendiri. Aku tak peduli ,
sepanjang kami bersama.
Aku hanya ingin
bersamanya.
Suara Martha yang
meninggikan suara dari dalam ruang yang sama menurunkan
kebahagianku.
“Jangan”
seseorang berkata dari belakangku, menghentikanku ke pintu.
Aku berbalik untuk
menghadap anggota ke empat : Ben. Aku mengingat dia sekarang dari
beberapa pertujukam yang Lauren paksakan untuk untuk aku lihat
bertahun-tahun lalu. Dia bermain bass dan dia membuat Sam si
pengawal terlihat seperti kucing yang imut dan lembut. Rambut hitam
pendek dan leher banteng. Menarik dengan cara yang aneh , pembunih
berantai. Meskipun itu hanya cara dia menatapku, mata birunya sangat
serius dan rahangnya kaku. Satu lagi pengguna narkoba, mungkin.
Bagiku, dia tidak terasa apapun keculi sesuatu ya g buruk.
“biarkan mereka
menyelesaikan semuanya”, ujarnya, suaranya pelan. Tatapannya
tertuju ke pintu yang terbuka setengah. “kau tak tau bagaimana
mereka ketika mereka bersama”.
“apa?” aku
mundur sedikit dan dia melihat, mengambil langkah kesamping untuk
lebih dekat dengan pintu. Mencoba untuk membuat manuver keluar.
Ben hanya
memandangku, lengannya yang kekar menghalangi jalan. “Mal bilang
kamu baik dan aku percaya itu. Tapi dia adalah adikku. David dan
dia sudah saling tergila-gila, bahkan sejak kami kecil”.
“aku tak
mengerti”, aku berjengit, menggucangkan kepalaku.
“aku tau”.
“minggir, Ben”
“maafkan aku. Aku
tak bisa melakukan itu”.
Faktanya, dia tidak
perlu melakuakan apapun. Aku menahan pandangannya, memastikan aku
menaruh perhatian penuh padanya. Kemudian aku menyeimbangkan berat
badanku dengan salah satu tumitku, dan menggunakan tumit yang lain
untuk menendang pintu terbuka. Karena tidak tertutup sepenuhnya,
pintu akan berayun kedalam dengan mudah.
David berdiri dengan
punggungnya sebagian berbalik ke arah kami. Tangan Martha ada di
rambutnya, memeluknya. Mulut mereka menempel. Ciuman yang keras dan
buruk. Atau mungkin itulah yang terlihat dari luar.
Aku tak merasakan
apapun. Melihat itu harusnya membuatku murka , tapi tidak. Itu
membuatku terasa kecil dan itu mematikanku dari dalam. Jika pun
ada, rasanya aneh yang tak terhindarkan. Potongan-potongan semuanya
ada disana. Aku sangat bodoh, berusaha tidak melihat semua ini.
Memikirkan semuanya akan baik-baik saja.
Sebuah suara keluar
dari tenggorokanku dan David memisahkan diri dari Martha. Dia
menoleh ke arahku.
“Ev”, katanya,
wajahnya tertarik dan matanya cerah.
Hatiku pasti sudah
menyerah. Darah tidak mengalir. Tangan dan kakiku sedingin es. Aku
menggelengkan kepalaku. Aku tak memiliki apapun. Aku melangkah
mundur dan dia mengulurkan tangannya padaku.
“Jangan”,
katanya.
“David”Martha
memberinya senyuman berbahaya. Tak ada kata lain untuk itu.
Tangannya membelai lengan David seolah-olah dia bisa menancapkan
kukunya kapan saja. Kurasa dia bisa.
David datang padaku.
Aku mengambil beberapa langkah mundur, terseok-seok dengan heelsku.
Dia berhenti dan menatapku seakan aku orang asing.
“Baby, ini bukan
apa-apa” ujarnya. Dia meraihku lagi. Aku memluk lenganku erat di
dadaku, melindungiku dari rasa sakit. Terlalu terlambat.
“itu dia? Dia
kekasih jama sekolah?
Otot lamanya yang
familiar mencuat dari rahangnya. “itu sudah lama berlalu. Itu
tidak penting”.
“Oh Tuhan ,
David”.
“ini tak ada
hubungannya dengan kita”/.
Semakin dia bicara,
semakin dingin kurasakan. Aku melakukan yang terbaik untuk tidak
mempedulikan Martha dan Ben yang mengamati di belakang.
David mengumpat.
“ayo, kita pergi dari sini”.
Aku menggelengkan
kepalaku pelan. Dia menggenggam lenganku, menghentikanku untuk
mundur lebih jauh. “apa yang kau lakukan Evelyn?”
“apa yang kau
lakukan David? Apa yang telah kau lakukan?”
“Tak ada”,
katanya, giginya bergemeletuk. “aku tak melakukan hal sialan
apapun. Kau bilang kau mempercayaiku”.
“kenapa kalian
berdua masih mengenakan anting yang sama jika sudah tak ada
apa-apa?”
tanganya melayang ke
telinganga , menutupi antingnya. “ini tidak seperti itu”.
“kenapa dia masih
berkerja padamu?”
“kau bilang kau
mempercayaiku”, dia mengulanng.
“kenapa tetap
mempertahankan rumah di Monterey selama bertahun tahun?”
“Tidak” ujarnya
dan kemudian berhenti.
Aku menatapnya, tak
percaya. “Tidak? Hanya itu? Itu tidak cukup. Apakah aku
seharusnya tidak melihat semua ini? Mengabaikan itu?”
“kamu tidak
mengerti”
“Kalau begitu
jelaskan padaku”, aku memohon. Matanya menatap lurus ke arahku.
Aku mungkin juga tidak berbicara. Pertanyaanku tidak terjawab, sama
seperti yang pernah mereka alami. “Kau tidak bisa melakukanya ,
kan?”
aku mundur selangkah
lagi dan wajahnya mengeras marah . Tangannya mengepal di kedua
sisinya. “jangan berani-berani meninggalkanku. Kau sudah
berjanji”.
Aku tak mengenalnya
sama sekali. Aku menatapnya terpaku, membiarkan amarahnya menyapuku.
Tak bisa berharap untuk menembus luka itu. Tak mungkin.
“kau keluar dari
sini dan ini berakhir. Jangan berpikir untuk kembali”.
“baik”.
“aku
sungguh-sungguh. Kau tak akan berarti apapun untukku”.
Di belakang David,
mulut Ben terbuka, tapi tidak ada yang keluar. Sama seperti itu.
Bahkan mati rasa pun ada batasnya.
“Evelyn!” David
menggeram.
Aku melepas sepatu
bodoh itu dan pergi tanpa alas kaki menuju pintu keluar besar.
Sangat nyaman. Normalnya aku tak mengenakan heels seperti itu. Tak
ada salah nya dengan normal. Aku sudah lama kecanduan dengan dosis
yamg menumpuk itu. Aku akan membungkus diriku dengan kapas,
melindungi diriku dari segalanya. Aku punya kafe untuk kembali dan
kuliah untuk mulai dipikirkan. Aku memiliki kehidupan yang
menunggu.\
sebuah pintu
dibanting menutup di belakangku. Sesuatu memukul pintu di sisi lain.
Suara teriakan itu di bungkam.
Diluar pintu ruang
ganti, Jimmy dan Adrian sedang bercakap-cakap mendalam. Maksudku
Adrian berbicara dan Jimmy menatap langit-langit, memyeringai seperti
orang gila. Aku tak yakin roket bisa mencapai Jimmy, dia tampak
mengawang.
“Maaf”, kataku,
mengintrupsi
Adrian berbalik dan
mengerutkan kening, kilatan gigi yang cerah datang terlambat.
“Evelyn. Sayang, aku sedang di tengah-tengah sesuatu yang
penting disini--”
“aku ingin kembali
ke Portland”,.
“Kamu mau? Oke”
dia menggosok kedua tangannya. Ah, aku membuatnya senang.
Senyumnya lebar , tulus untuk pertama kali dan sangat cerah. Lampu
depan tak ada apa-apanya. Dia tampaknya telah menahan diri
sebelumnya.
“Sam !”
teriaknya.
Pengawal itu muncul,
melambaikan tangan diantara kerumunan dengan mudah. “Mrs Ferris”.
“Miss Thomas”,
adrian mengoreksi. “Maukah kau mengantar dia dengan aman ke
rumahnya, terima kasih, Sam?”
ekspresi profesional
yang sopan tidak menghilang sedikitpun. “Ya, sir. Tentu”.
“bagus sekali”.
“Jimmy mulai
tertawa, tawa besar yang mengguncang seluruh tubuhnya. Dia mulai
terkekeh, samar-samar dia mengingatkan ku pada penyihir jahat dalam
The Wizard of Oz. Jika saja si penyihir pernah menggunakan crack
atau kokain atau apapu yang telah Jimmy hisap. Tentu saja.
Orang-orang ini,
mereka tidak masuk akal.
Aku tidak termasuk
disini. Aku tak pernah berada disini.
“lewat sini”
Sam menekan tangannya di punggungku dengan pelan, yang cukup untuk
membuatku bergerak. Saatnya pulang ke rumah, bangun dari mimpi
yang terlalu indah untuk jadi kenyataan yang telah berubah menjadi
mimpi buruk yang menyesatkan.
Tawa itu semakin
nyaring dan lantang, terngiang -ngiang di telingaku, sampai tiba-tiba
terputus. Aku berbalik seketika untuk melihat Jimmy yang jatuh b ke
tanah, setelan jasnya berantakan. Seorang wanita tersentak. Yang
lain tertawa dan memutar mata.
“Sialan”, geram
Adrian, berlutut di samping Pria tak sadarkan diri itu. Dia menampar
wajah Jimmy. “Jimmy. Jimmy!”.
Pengawal yang lebih
berotot muncuk, mengerumuni penyanyi yang jatuh, menghalangi
pandangan.
“Jangan lagi”,
Teriak Adrian. “Panggilkan Dokter kesini. Sialan, Jimmy”.
“Mrs Ferris?”
tanya Sam.
“apa dia baik-baik
saja?”
Sam merengut di
tempat kejadian. “dia mungkin baru saja pingsan. Sudah sering
terjadi belakangan ini. Bisa kita pergi?”
“Bawa aku keluar
dari sini, Sam. Please”.
**
aku sampai di
Portland sebelum matahari terbit. Aku tidak menangis selama
perjalanan. Seolah-olah otakku telah mendiagnosis keadaan darurat
dan membakar emosiku. Aku merasa mati rasa, seolah-olah Sam bisa
saja bisa saja membelokkan ku ke lalu lintas terdekat dan aku tidak
akan mengintip. Aku telah selesai, membeku. Kami pergi melewati
mansion agar Sam dapat mengambil tas ku sebelum ke bandara. Dia
mengantarkanku ke jet dan kami terbang ke Portland. Dia
mengeluarkanku dari jet dan mengantarku pulang.
Sam bersikeras
membawakan tasku, sama seperti dia yang bersikeras memanggil nama
pernikahan ku. Pria itu melakukan lirikan sekilas yang paling
halus dan prihatin yang pernah aku lihat. Tidak pernah terlalu
banyak berkata, aku sangat menghargai itu.
Aku membuat diriku
yang menyedihkan berjalan menaiki tangga apartemen yang Lauren dan
aku tinggali. Rumah adalah ruang tamu beraroma bawang milik nyonya
Lucia di lantai bawah, yang selalu memasak. Wallpaper hijau yang
mengelupas, dan lantai kayu yang usang dan bernoda. Beruntung aku
memakai converse atau kaki ku akan penuh serpihan. Lantai ini tidak
seperti lantai rumah David yang berkilau. Kau bisa melihat dirimu
sendiri di mesin penghisap debu.
Sial. Aku tak mau
memikirkan diaa. Semua memori itu berhak masuk yang di kubur dibawah
pikiranku. Tak akan pernah lagi ingatan itu melihat cahaya.
Kunciku masih cocok
. Itu menenangkanku. Aku seolah telah hilang selama bertahun-tahun
bukannya beberapa hari. Ini bahkan tak sampai seminggu. Aku pergi
kamis dini hari dan sekarang hari selasa. Kurang dari enam hari
yang pendek. Ini gila. Segalanya terasa berbeda. Aku mendorong
pintu membuka, berusaha hening karena ini tengah malam. Lauren bisa
saja telah tidur. Atau mungkin belum. Aku mendengar suara tawa.
Dia mungkin,
sebenarnya, terbaring di meja sarapan kecil kami, cekikian ketika
pria menjejalkan kepalanya di salah satu kaos kebesaran yang
dikenakannya. Pria itu membenamkan wajahnya di belahan dadanya dan
menggelitiknya. Untuk celana pria itu masih terpasang, siapapun
dia. Mereka benar-benar menikmatinya, tidak menyadari kedatangan
kami sama sekali.
Sam menatap ke
dinding seberang , menghindari pemandangan. Pria malang, hal-hal ini
harus dia saksikan selama bertahun-tahun.
“Hai”, kataku.
“Um, Lauren”.
Lauren menjerit dan
berguling, memelintir pria itu di kaos nya saat dia berjuang untuk
bebas. Jika dia secara tidak sengaja mencekiknya, setidaknya pria
itu akan senang, mengingat pemandangannya.'
“Ev”, katanya
terengah-engah. “kau kembali”.
Pria itu akhirnya
membebaskan wajahnya.
“Nathan?”
tanyaku, terbius. Aku memiringkan kepalaku untuk memastikan,
menyipitkan mataku.
“Hau”, kakakku
mengangkat satu tangan sambil menurunkan kaos Lauren dengan tangan
satunya. “Apa kabar?”
“Baik, yeah”,
ujarku. “Sam, ini temanku Lauren dan Kakakku Nathan. Guys, ini
Sam”.
Sam mengangguk sopan
dan meletakkan tas ku. “apa ada lagi yang perlu aku bantu Mrs
Ferris?”
“Tidak, Sam.
Terimakasih karena telah mengantar ku pulang”.
“sama-sama”,
dia melihat ke pintu kemudian berbalik padaku, kerutan kecil di
alisnya. Aku tak bisa memastikan, tapi ku pikir aku tak sedekat itu
hingga Sam mengerutkan keningnya. Ekspresi wajahnya tampak terbatas.
Tertahan mugkin kata yang lebih baik. Dia mengulurkan tangan dan
memberikan tepukan kaku di punggung. Lalu dia pergi, menutup pintu
di belakangnya.
Mataku memanas, air
mata mengancam turun. Aku berkedip seperti orang gila, menahannya.
Kebaikannya hampir membuatku kebas, sialan. Aku belum mampu
membalasnya.
“Jadi, kalian
berdua?” tanyaku.
“kami bersama.
Ya”. Kata Lauren , sambil meraih kebelakang. Nate meraih
tangannya dan memegang erat-erat. Mereka benar-benar terlihat
serasi. Padahal, serius, berapa banyak orang asing yang bisa
terlihat seperti itu? Dunia ku telah berubah. Rasanya berbeda.
Walaupun apartemen ini tampak sama. Banyak hal terjadi dimana aku
meninggalka n mereka. Koleksi Lauren tentang kucing porselen gila
masih duduk di rak yang mengumpulkan debu. Furnitur murah atau
bekas, dinding biru kehijauan kami belum berubah,. Meskipun aku tak
akan menggunakan meja lagi, mengingat apa yang aku lihat. Tuhan ntah
apa lagi yang mereka lakukan disana.
Aku melenturkan
jemariku, menginginkan sebagian hidupku kembali ke jalurku. “kupikir
kalian saling membenci?”
“benar”, aku
Lauren. “tapi, kau tau.... sekarang tidak. Ini sebenarnya adalah
kisah yang tidak rumit. Ini terjadi ketika kau pergi”,
“Wow”
“Gaun yang bagus”
kata Lauren, melihat keselurahanku
“Thanks”.
“Valentino?”
aku merapihkan
bahan biru itu di perutku. “aku tak tau”.
“Itu adalah
pernyataan, yang cocok dengan sepatu kets”, kata Lauren. Lalu dia
memberi nathan tatapan. Mereka rupanya telah melakukan komunikasi
diam-diam karena Nathan bergerak ke kamar Lauren. Menarik...
sahabatku dan
kakakku. Dia tidak pernah mengatakan sepatah katapun. Tapi
kemudian, ada banyak hal yang tidak ku sampaikan padanya. Mungkin
kita telah melewati usia berbegi tiap hal kecil terakhir dari
kehidupan kita. Betapa menyedihkanya.
Kesepian dan dosis
mengasihani diri yang membuatku kedinginan dan aku memeluk diriku
sendiri.
Lauren datang dan
menyingkirkan salah satu tanganku. “Hon, apa yang terjadi?”
aku menggelengkan
kepala, menepis pertanyaan. “aku tidak bisa. Belum”.
Dia bergabung dengan
ku bersandar di dinding. “aku punya es krim”.
“jenis apa?”
“Triple choc. Aku
berpikir untuk menyiksa kakakmu dengan itu secara eksplisit”.
Ada minat samar ku
pada es krim. Aku menggosok wajahku dengan tanganku. “Lauren ,
jika kau menyayangiku, kau tak akan pernah mengatakan hal seperti itu
lagi padaku”.
“sorry”.
Aku hampir
tersenyum. Mulutku tampak nya hampir mendekati itu tapi itu
menghilang di akhie. Nate membuatmu bahagiam, bukan?”
“Ya, dia membuatku
bahagia. Itu terasa seperti.... aku tak tau, seakan kami seirama
atau semacamnya. Sejak malam dia menjemputku dari rumah orang
tua mu, kita sudah bersama. Rasanya benar. Dia tidak lagi pemarah
seperti dulu di SMA. Dia sudah menyerah menjadi bajingan. Sialnya,
dari kami berdua dia orang yang bijaksana”, dia mencebik. “Tapi
hari-hari kita berbagi segala hal terakhir tentang hidup kita
benar-benar berakhir, bukan?”
“aku kira begitu”.
“Ah, baiklah.
Kita akan selalu memiliki sekolah menengah”.
“Ya”, aku
berhasil tersenyum.
“Hon, aku minta
maaf hal-hal menjadi buruk. Maksudku, itu adalah alasan kau
kembali terlihat berantakan dalam balutan gaun yang sangat indah
itu” dia memandangi gaunku dengan penuh nafsu.
“kamu bisa
memilikinya”, sial , dia bisa memiliki barang-barang lain juga.
Aku tak pernah ingin menyentuh semua itu lagi. Jaketnya aku
tinggalkan bersama Sam , dan cincinnya aku masukkan ke dalam saku.
Sam akan mengurusnya. Mengantar itu kembali pada David. Tangan ku
tampak kosong tanpanya, lebih ringan. Lebih ringan dan lebih bebas
harusnya menghilang bersama, tapi ternyata tidak. Didalam diriku ada
beban yang sangat besar. Aku telah menyeret bokong sialanku
berjam-jam sekarang. Ke pesawat. Masuk ke mobil. Naik tangga.
Tidak ada waktu dan jarak yang membantu sejauh ini.
“Aku ingin
memelukmu tapi kau memancarkan aura Jangan-sentuh -aku”. Katanya,
sambil menyadarkan tangannya di pinggulnya yang ramping. “katakan
padaku apa yang harus di lakukan”.
“Maaf”, senyum
yang aku berikan padanya terlihat terpaksa dan mengerikan. Aku bisa
merasakannya. “Nanti?”
“seberapa lama
nanti? Karena sejujurnya kamu terlihat sangat membutuhkan
bercerita”.
Aku tak bisa
menghentikan air mataku kali ini. Air mataku mulai mengalir, tak mau
berhenti. Aku menyeka nya dengan sia-sia, lalu menyerah dan
menutupi wajahku dengan tanganku. “Brengsek”
Lauren memelukku,
memelukku erat-erat. “biarkan saja”.
Aku melakukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar