Kamis, 28 Juni 2018

LICK ENAM BELAS

Adrian murka atas memar di wajah David. Dia juga sepertinya tidak terlalu senang melihatku lagi. Ada kilatan singkat gigi hiu sebelum aku didorong masuk je sudut ruang ganti besar menjauh dari bahaya. Petugas keamanan berdiri di luar, hanya membiarkan mereka yang memiliki undangan ke ruang pribadi.
Pertunjukan di adakan di sebuah ballroom di salah satu hotel besar dan mewah di kota. Bayak lampu lilin berkelap kelip dan satin merah, meja bundar besar di jejali para bintang, dan orang-orang cantik yang menemani mereka. Untungnya aku mengenakan gaun biru, satu-satunya yang menutupi semuanya dari kejauhan dan sepasang sepatu tinggi yang telah dipesan oleh Martha. Kaetrin, si gadis bikini , teman lama David, berada di sisi lain ruangan, mengenakan gaun merah dan cemberut. Dia akan mendapatkan kerutan jika terus seperti itu. Syukurlah, dia bosan mencemberutiku setelah beberapa saat, dan berjalan pergi. Aku tidak menyalahkannya karena marah. Jika aku kehilangan David, aku juga akan kesal. Para wanita berdiri di dekat David, berharap mendapatkan perhatiannya. Aku bisa ber high -five dengan seseorang dari cara David mengabaikan mereka. Tak ada tanda-tanda Jimmy. Mal duudk dengan seorang gadis asia yang sangat mempesona di satu lutut dan di lutut satunya dengan seorang gadis pirang, terlalu sibuk untuk mengobrol denganku. Aku masih belum bertemu dengan anggota ke empat band, Ben.
“Hey”, ujar David, mengganti gelas kristal ku yang tersentuh dengan sebotol air mineral. “kupikir kau mungkin lebih suka ini. Apa semua baik-baik saja?”
“Ya, thanks. Semuanya baik-baik saja”.
Pria yang luar biasa, dia tau aku masih belum cukup pulih dari Vegas untuk merasakan alkohol lagi. Dia mengangguk dan mengantikan segelas sampanye dengan air. Kemudian dia mulai melepas jaket kulitnya. Orang lain mungkin akan mengenakan tuxedo tetapi David tetap dengan jeans dan boots nya. Satu-satunya yang menggambarkan acara ini hanyalah kemeja hitam dengan kancing sampai ke bawah nya. “buat aku senang dengan memakai ini”.
“Kau tidak suka gaunku?”
“tentu saja aku suka. Tapi Ac terlalu dingin disini”. Ujarnya, membungkuskan jaket ke bahuku.
“Tidak, tidak dingin”.
Dia memberiku seringai menawan yang akan mampu mencairkan hati yang mengeras. Hatiku tidak tahan. Dengan lengan di tiap sisi kepalaku dia merunduk, memblok pandangan ruang yang tersisa dan semua orang yang ada di dalamnya.
“Percayalah, kau akan menemukan ini sedikit terlalu dingin”, pandangannya jatuh ke bahuku dan rasa mengerti menyambangiku. Gaun ini dibuat dari beberapa bahan mengkilat dan tipis. Cantik, tapi tidak begitu halus dengan cara-cara tertentu. Dan tentu saja bra ku tidak membantu sama sekali.
“Oh”, kataku.
“Mm. Dan aku disana, mencoba membicarakan pekerjaan dengan Adrian, tetapi aku tidak bisa. Aku benar-benar terganggu karena aku menyukai gantunganmu”.
“Luar biasa”, aku merangkul dadaku sedapat mungkin”
“mereka sangat cantik dan mereka mengisi tanganku dengan tepat. Itu seperti kami terbuat untuk satu sama lain, ya kan?”
“David”, aku menyeringai seperti orang tolol dan bodoh.
“terkadang ada ekspresi hampir tersenyum di wajahmu. Dan aku bertanya-tanya apa yang sedang kau pikirkan , berdiri disana mengamati segalanya”.
“tak ada yang khusus, hanya meresapi semuanya. Dan menunggu kau bermain”.
“begitukah sekarang?”
“tentu saja. Aku tak sabar lagi”.
Dia menciumku lembut di bibir. “setelah aku selesai kita akan pergi dari sini, yeah? Pergi ke suatu tempat. Hanya kau dan aku. Kita akan melakukan apapun yang kau suka. Berkedara atau mencari sesuatu untuk dimakan, mungkin.
“cuma kita?”
“iya. Apapun yang kau inginkan”.
“itu terdengar hebat”.
Tatapannya kembali ke dadaku. “kau masih sedikit kedinginan. Aku bisa menghangatkanmu. Apakah kau sengaja menggodaku di tempat umum?”
“itu salah”, aku berbalik untuk meneguk air. Udara arktik ataupun bukan, aku perlu pendinginan.
“Yeah, itulah yang aku pikirkan. Ayo. Dengan payudara yang besar diikuti juga dengan tanggung jawab yang besar”, dia meraih tanganku dan membimbingku melewati kerumunan orang-orang yang berpesta saat aku tertawa. Dia tidak berhenti untuk siapapun.
Ada sebuah ruang kecil yang menempel dengan rak pakaian dan beberapa make up yang tersebar di sekitar. Cermin di dinding, buket bunga besar, dan sofa yang sangat banyak di tempati. Jimmy duduk disana dengan setelan necis , kaki di buka lebar denga seorang wanita berlutut diantara kakinya. Wajah di pangkuan, kepala terayun. Tidak ada hadiah untuk menebak aoa yang mereka lakukan. Merah gaunnya memberiku identitas nya, meskipun aku bisa memiliki hidup yang lama dan bahagia dengan tanpa mengenali. Rambut gelap Kaetrin digenggam erat di genggaman Jimmy. Di tangan satunya lagi , Jimmy menganngkat botol wiski. Dua lembar serbuk putih yang rapi tergeletak di meja kopi bersama sedotan perak kecil.
Sialan. Jadi ini gaya hidup Rock n Roll. Tiba-tiba telapak tanganku berkeringat. Tapi ini bukan apa yang David lakukan. Ini bukan dia. Aku tau itu.
“Ev”, kata Jimmy dengan suara serak, senyuman tipis dan pelan menyebar di wajahnya. “Terlihat cantik, darling”.
Aku menutup mulutku.
“Ayo” tangan David mencengkram pundakku menjauhkan ku dari tempat ini. Dia sangat marah, mulutnya mencebik.
“Apa, kau tidak menyapa Kaetrin, Dave? Itu agak kasar. Kupikir kalian berdua berteman baik”.
“Persetan, Jimmy”.
Dibelakang kami Jimmy menggeram panjang dan keras saat pertunjukan di sofa mencapai puncaknya. Suamiku membanting pintu hingga menutup. Pesta berlanjut, gelas-gelas berdenting, musik berdentam di pengeras suara dan begitu banyak obrolan. Kami menjauh dari sana, tapi David menatap ke kejauhan. Wajahnya di penuhi ketegangan.
“David?”
“Lima menit”, teriak Adrian, bertepuk tangan tinggi-tinggi di udara. “waktunya pertunjukan. Ayo pergi”.
Kelopak mata David berkedip cepat seolah dia terbangun di tengah mimpi buruk.
Suasana dalam ruangan ini tiba-tiba dipenuhi kegembiraan. Para penonton bersorak dan Jimmy terhuyung-huyung keluar dengan Kaetrin dibelakangnya. Lebih banyak sorak sorai dan dukungan bagi band untuk naik ke panggung, diikuti dengan pemahaman atas penampilan Jimmy dan gadis itu.
“Ayo lakukan ini!” teriak Jimmy, menggoyang kan tangan dan menupuk bahu orang-orang saat dia bergerak melewati ruangan. “Ayo, Davie”.
Bahu suami ku terangkat. “Martha”.
Wanita itu melenggang, wajahnya adalah topeng penuh kehati-hatian. “apa yang bisa ku bantu?”
“Jaga Ev saat aku diatas panggung”.
“baiklah”
“Dengar, aku akan pergi tapi aku akan segera kembali”, ujarnya padaku.
“tentu saja. Pergilah”.
Dengan ciuman di dahiku dia pergi, bahunya membungkuk dengan protektif. Aku memiliki dorongan paling gila untuk mengejarnya. Untuk menghentikannya. Melakukan sesuatu. Mal bergabung dengannya di pintu dan menempelkan lengannya di leher David. David tidak melihat ke belakang. Sebagian besar orang-orang mengikuti mereka. Aku berdiri sendiri, menyaksikan kepergian orang-orang. Dia benar, ruangan ini dingin. Aku menggenggam jaketnya yang melingkupiku lebih erat, membiarkan aroma tubuhnya menenangkanku. Semuanya baik-baik saja. Jika aku terus mengatakan itu pada diriku sendiri, cepat atau lambat itu akan menjadi kenyataan. Bahkan semakin sedikit yang aku mengerti akan membuatnya berhasil. Dan aku harus memiliki keyakinan. Dan sial, aku memang memiliki keyakinan. Tapi senyumku telah lama hilang.
Martha memperhatikanku, ekspresinya tak bernoda tak pernah berubah.
Setelah beberapa saat, bibir merahnya terbuka. “aku sudah mengenal David sejak lama”.
“itu bagus” kataku, menolak terintimidasi dengan tatapannya yang dingin.
“iya. Dia sangat berbakat dan bersemangat. Itu membuat dia menjadi sangat intens pada tiap hal, bersemangat”.
Aku diam saja.
“terkadang itu terbawa. Itu tidak berarti apa-apa”. Martha menatap cincin ku. Dengan gerakan yang elegan , dia menyelipkan rambutnya ke belakang telinga nya. Diatas kumpulan batu-batu merah tua yang indah, ada berlian tunggal , kecil dan berkelap-kelip. Sedikit lebih kecil dari sekedar chip, tampaknya tidak sesuai dengan venneer mahal Martha. “saat dirimu siap, aku akan menunjukan dimana kau bisa menonton pertunjukannya”.
Sensasi meliuk-liuk yang dimulai ketika David menjauh dariku menjadi lebih kuat. Disampingku, Martha menunggu dengan sabar, tanpa mengucapkan sepatah katapun, untuk itu aku bersyukur. Dia sudah mengatakan cukup banyak. Hanya kekacauan batu merah yang menggantung di telinga satunya. Rasa paranoid tidaklah indah. Mungkinkah itu adalah pasangan dari anting yang di kenakan David? Tidak. Itu tidak masuk akal.
Banyak orang mengenakan anting-anting berlian solitaire yang kecil. Bahkan jutawan.
Aku mendorong air ku ke samping, memaksakan senyum. “bisa kita pergi?”

**
melihat pertunjukannya sungguh luar biasa. Martha membawaku ke spot di samping panggung, di balik tirai, tapi itu masih terasa seakan aku tepat di tengah pertunjukan. Pertunjukannya keras dan menggetarkan. Musik berdentam di dadaku , membuat jantung memacu. Musiknya adalah pengalih perhatian yang luar biasa dari kekhawatiranku tentang anting-anting. David dan aku butuh bicara. Aku sudah menunggu lama, sampai dia merasa cukup nyaman untuk menceritakan padaku, tapi pertanyaan-pertanyaanku sudah tak dapat di bendung. Aku tak mau selalu menebak-nebak dengan dia dengan cara ini. Kami butuh jujur.
Dengan gitar di tangannya, David adalah dewa. Sekelompok kecil orang-orang memujanya. Tangannya bergerak ke senar gitar elektriknya dengan presisi yang basolut, penuh konsentrasi. Otot-otot yang merenggang di lengannya membuat tatonya menjadi hidup. Aku berdiri mengaguminya, mulutku terbuka. Ada orang lain di panggung juga, tapi David seakan memantraiku. Aku hanya melihat sisi pribadi dirinya , siapa dia ketika bersamaku. Ini tampak seperti alam yang lain. Orang asing. Suamiku sudah kembali ke dirinya si performer. Bintang rock.. itu sebenarnya sedikit menakutkan. Tapi saat ini, gairahnya sangat masuk akal bagiku. Bakatnya adalah anugrah. Mereka memainkan lima lagu, setelah itu diumunkan artis besar lainnya yang akan mengambil alih panggung. Keempat anggota band keluar dari pintu samping. Martha telah menghilang dariku. Sulit untuk kesal tentang itu, meskipun belakang pagung menjadi lorong dan ruang ganti. Wanita itu adalah monster. Aku lebih baik sendirian.
Aku berjalan kembali dengan cara ku sendiri, mengambil langkah-langkah kecil dan pelan karena sepatu bootsku membunuhku. Lepuh melapisi jari-jariku dimana tali menyayat dan menggesek kulitku. Tak masalah, kegembiraanku tak akan redup. Memori musik ini tetap bersamaku. Cara David begitu masuk dalam pertunjukan, keduanya menggembirakan dan asing. Menggambarkan ketergesaan.
Aku tersenyum dan bersumpah, diam-diam, mengabaikan kakiku yang malang dan memutar jalanku melalui para roadies, teknisi suara, make up artis dan pengemar.
“Child Bride”, Mal mengecup keras pipiku. “aku menuju klub. Kalian akan ikut atau kembali ke sarang cinta kalian?”
“Tak tau. Ijinkan aku menemukan david. Ngomong-ngomong tadi itu luar biasa. Kalian brilian”.
“senang kau menyukainya. Tapi jangan bilang-bilang David aku yang membuat acara itu berhasil. Dia sangat berharga untuk hal-hal seperti itu”.
“bibirku terkunci”.
Dia tertawa. “dia menjadi lebih baik dengan mu, kau tau? Tipe artistik memiliki kebiasaan buruk untuk menghilang semaunya sendiri. Dia lebih banyak tersenyum setelah beberapa hari bersamamu daripada yang aku lihat dia lakukan selama lima tahun terakhir di satukan. Kau baik untuknya”.
“sungguh?”
Mal menyeringai. “sungguh. Katakan padanya aku akan pergi ke Charlote. Sampai jumpa disana, mungkin”.
“baiklah”.
Mal berangkat dan aku berjalan menuju ruang ganti band melalui sekumpulan orang yang lebih besar dan lebih baik menerobos orang -orang yang berkerumun. Didalam ruang ganti, bagaimanapun, segalanya terasa hening. Jimmy dan Adrian berdiri meringkuk di lorong, asyik mengobrol ketika akumlewat. Jelas tidak berhenti. Sam dan seorang petugas keamanan di belakngnya mengannguk padaku ketika aku lewat.
Pintu menuju ke ruang belakang dimana Jimmy sibuk baru -baru ini terbuka lebar. Suara David terdengar olehku, seterang hari, diluar bising di luaran sana. Aku seakan sudah menyatu dengan dia dalam level alam semesta. Menakutkan dan juga menyenangkan dalam waktu yang sama. Aku sudah tidak sabar untuk keluar dari sini bersamanya dan melakukan apapun. Pergi menemui Mal atau mengadakan acara sendiri. Aku tak peduli , sepanjang kami bersama.
Aku hanya ingin bersamanya.
Suara Martha yang meninggikan suara dari dalam ruang yang sama menurunkan kebahagianku.
“Jangan” seseorang berkata dari belakangku, menghentikanku ke pintu.
Aku berbalik untuk menghadap anggota ke empat : Ben. Aku mengingat dia sekarang dari beberapa pertujukam yang Lauren paksakan untuk untuk aku lihat bertahun-tahun lalu. Dia bermain bass dan dia membuat Sam si pengawal terlihat seperti kucing yang imut dan lembut. Rambut hitam pendek dan leher banteng. Menarik dengan cara yang aneh , pembunih berantai. Meskipun itu hanya cara dia menatapku, mata birunya sangat serius dan rahangnya kaku. Satu lagi pengguna narkoba, mungkin. Bagiku, dia tidak terasa apapun keculi sesuatu ya g buruk.
“biarkan mereka menyelesaikan semuanya”, ujarnya, suaranya pelan. Tatapannya tertuju ke pintu yang terbuka setengah. “kau tak tau bagaimana mereka ketika mereka bersama”.
“apa?” aku mundur sedikit dan dia melihat, mengambil langkah kesamping untuk lebih dekat dengan pintu. Mencoba untuk membuat manuver keluar.
Ben hanya memandangku, lengannya yang kekar menghalangi jalan. “Mal bilang kamu baik dan aku percaya itu. Tapi dia adalah adikku. David dan dia sudah saling tergila-gila, bahkan sejak kami kecil”.
“aku tak mengerti”, aku berjengit, menggucangkan kepalaku.
“aku tau”.
“minggir, Ben”
“maafkan aku. Aku tak bisa melakukan itu”.
Faktanya, dia tidak perlu melakuakan apapun. Aku menahan pandangannya, memastikan aku menaruh perhatian penuh padanya. Kemudian aku menyeimbangkan berat badanku dengan salah satu tumitku, dan menggunakan tumit yang lain untuk menendang pintu terbuka. Karena tidak tertutup sepenuhnya, pintu akan berayun kedalam dengan mudah.
David berdiri dengan punggungnya sebagian berbalik ke arah kami. Tangan Martha ada di rambutnya, memeluknya. Mulut mereka menempel. Ciuman yang keras dan buruk. Atau mungkin itulah yang terlihat dari luar.
Aku tak merasakan apapun. Melihat itu harusnya membuatku murka , tapi tidak. Itu membuatku terasa kecil dan itu mematikanku dari dalam. Jika pun ada, rasanya aneh yang tak terhindarkan. Potongan-potongan semuanya ada disana. Aku sangat bodoh, berusaha tidak melihat semua ini. Memikirkan semuanya akan baik-baik saja.
Sebuah suara keluar dari tenggorokanku dan David memisahkan diri dari Martha. Dia menoleh ke arahku.
“Ev”, katanya, wajahnya tertarik dan matanya cerah.
Hatiku pasti sudah menyerah. Darah tidak mengalir. Tangan dan kakiku sedingin es. Aku menggelengkan kepalaku. Aku tak memiliki apapun. Aku melangkah mundur dan dia mengulurkan tangannya padaku.
“Jangan”, katanya.
“David”Martha memberinya senyuman berbahaya. Tak ada kata lain untuk itu. Tangannya membelai lengan David seolah-olah dia bisa menancapkan kukunya kapan saja. Kurasa dia bisa.
David datang padaku. Aku mengambil beberapa langkah mundur, terseok-seok dengan heelsku. Dia berhenti dan menatapku seakan aku orang asing.
“Baby, ini bukan apa-apa” ujarnya. Dia meraihku lagi. Aku memluk lenganku erat di dadaku, melindungiku dari rasa sakit. Terlalu terlambat.
“itu dia? Dia kekasih jama sekolah?
Otot lamanya yang familiar mencuat dari rahangnya. “itu sudah lama berlalu. Itu tidak penting”.
“Oh Tuhan , David”.
“ini tak ada hubungannya dengan kita”/.
Semakin dia bicara, semakin dingin kurasakan. Aku melakukan yang terbaik untuk tidak mempedulikan Martha dan Ben yang mengamati di belakang.
David mengumpat. “ayo, kita pergi dari sini”.
Aku menggelengkan kepalaku pelan. Dia menggenggam lenganku, menghentikanku untuk mundur lebih jauh. “apa yang kau lakukan Evelyn?”
“apa yang kau lakukan David? Apa yang telah kau lakukan?”
“Tak ada”, katanya, giginya bergemeletuk. “aku tak melakukan hal sialan apapun. Kau bilang kau mempercayaiku”.
“kenapa kalian berdua masih mengenakan anting yang sama jika sudah tak ada apa-apa?”
tanganya melayang ke telinganga , menutupi antingnya. “ini tidak seperti itu”.
“kenapa dia masih berkerja padamu?”
“kau bilang kau mempercayaiku”, dia mengulanng.
“kenapa tetap mempertahankan rumah di Monterey selama bertahun tahun?”
“Tidak” ujarnya dan kemudian berhenti.
Aku menatapnya, tak percaya. “Tidak? Hanya itu? Itu tidak cukup. Apakah aku seharusnya tidak melihat semua ini? Mengabaikan itu?”
“kamu tidak mengerti”
“Kalau begitu jelaskan padaku”, aku memohon. Matanya menatap lurus ke arahku. Aku mungkin juga tidak berbicara. Pertanyaanku tidak terjawab, sama seperti yang pernah mereka alami. “Kau tidak bisa melakukanya , kan?”
aku mundur selangkah lagi dan wajahnya mengeras marah . Tangannya mengepal di kedua sisinya. “jangan berani-berani meninggalkanku. Kau sudah berjanji”.
Aku tak mengenalnya sama sekali. Aku menatapnya terpaku, membiarkan amarahnya menyapuku. Tak bisa berharap untuk menembus luka itu. Tak mungkin.
“kau keluar dari sini dan ini berakhir. Jangan berpikir untuk kembali”.
“baik”.
“aku sungguh-sungguh. Kau tak akan berarti apapun untukku”.
Di belakang David, mulut Ben terbuka, tapi tidak ada yang keluar. Sama seperti itu. Bahkan mati rasa pun ada batasnya.
“Evelyn!” David menggeram.
Aku melepas sepatu bodoh itu dan pergi tanpa alas kaki menuju pintu keluar besar. Sangat nyaman. Normalnya aku tak mengenakan heels seperti itu. Tak ada salah nya dengan normal. Aku sudah lama kecanduan dengan dosis yamg menumpuk itu. Aku akan membungkus diriku dengan kapas, melindungi diriku dari segalanya. Aku punya kafe untuk kembali dan kuliah untuk mulai dipikirkan. Aku memiliki kehidupan yang menunggu.\
sebuah pintu dibanting menutup di belakangku. Sesuatu memukul pintu di sisi lain. Suara teriakan itu di bungkam.
Diluar pintu ruang ganti, Jimmy dan Adrian sedang bercakap-cakap mendalam. Maksudku Adrian berbicara dan Jimmy menatap langit-langit, memyeringai seperti orang gila. Aku tak yakin roket bisa mencapai Jimmy, dia tampak mengawang.
“Maaf”, kataku, mengintrupsi
Adrian berbalik dan mengerutkan kening, kilatan gigi yang cerah datang terlambat. “Evelyn. Sayang, aku sedang di tengah-tengah sesuatu yang penting disini--”
“aku ingin kembali ke Portland”,.
“Kamu mau? Oke” dia menggosok kedua tangannya. Ah, aku membuatnya senang. Senyumnya lebar , tulus untuk pertama kali dan sangat cerah. Lampu depan tak ada apa-apanya. Dia tampaknya telah menahan diri sebelumnya.
“Sam !” teriaknya.
Pengawal itu muncul, melambaikan tangan diantara kerumunan dengan mudah. “Mrs Ferris”.
“Miss Thomas”, adrian mengoreksi. “Maukah kau mengantar dia dengan aman ke rumahnya, terima kasih, Sam?”
ekspresi profesional yang sopan tidak menghilang sedikitpun. “Ya, sir. Tentu”.
“bagus sekali”.
“Jimmy mulai tertawa, tawa besar yang mengguncang seluruh tubuhnya. Dia mulai terkekeh, samar-samar dia mengingatkan ku pada penyihir jahat dalam The Wizard of Oz. Jika saja si penyihir pernah menggunakan crack atau kokain atau apapu yang telah Jimmy hisap. Tentu saja.
Orang-orang ini, mereka tidak masuk akal.
Aku tidak termasuk disini. Aku tak pernah berada disini.
“lewat sini” Sam menekan tangannya di punggungku dengan pelan, yang cukup untuk membuatku bergerak. Saatnya pulang ke rumah, bangun dari mimpi yang terlalu indah untuk jadi kenyataan yang telah berubah menjadi mimpi buruk yang menyesatkan.
Tawa itu semakin nyaring dan lantang, terngiang -ngiang di telingaku, sampai tiba-tiba terputus. Aku berbalik seketika untuk melihat Jimmy yang jatuh b ke tanah, setelan jasnya berantakan. Seorang wanita tersentak. Yang lain tertawa dan memutar mata.
“Sialan”, geram Adrian, berlutut di samping Pria tak sadarkan diri itu. Dia menampar wajah Jimmy. “Jimmy. Jimmy!”.
Pengawal yang lebih berotot muncuk, mengerumuni penyanyi yang jatuh, menghalangi pandangan.
“Jangan lagi”, Teriak Adrian. “Panggilkan Dokter kesini. Sialan, Jimmy”.
“Mrs Ferris?” tanya Sam.
“apa dia baik-baik saja?”
Sam merengut di tempat kejadian. “dia mungkin baru saja pingsan. Sudah sering terjadi belakangan ini. Bisa kita pergi?”
“Bawa aku keluar dari sini, Sam. Please”.

**
aku sampai di Portland sebelum matahari terbit. Aku tidak menangis selama perjalanan. Seolah-olah otakku telah mendiagnosis keadaan darurat dan membakar emosiku. Aku merasa mati rasa, seolah-olah Sam bisa saja bisa saja membelokkan ku ke lalu lintas terdekat dan aku tidak akan mengintip. Aku telah selesai, membeku. Kami pergi melewati mansion agar Sam dapat mengambil tas ku sebelum ke bandara. Dia mengantarkanku ke jet dan kami terbang ke Portland. Dia mengeluarkanku dari jet dan mengantarku pulang.
Sam bersikeras membawakan tasku, sama seperti dia yang bersikeras memanggil nama pernikahan ku. Pria itu melakukan lirikan sekilas yang paling halus dan prihatin yang pernah aku lihat. Tidak pernah terlalu banyak berkata, aku sangat menghargai itu.
Aku membuat diriku yang menyedihkan berjalan menaiki tangga apartemen yang Lauren dan aku tinggali. Rumah adalah ruang tamu beraroma bawang milik nyonya Lucia di lantai bawah, yang selalu memasak. Wallpaper hijau yang mengelupas, dan lantai kayu yang usang dan bernoda. Beruntung aku memakai converse atau kaki ku akan penuh serpihan. Lantai ini tidak seperti lantai rumah David yang berkilau. Kau bisa melihat dirimu sendiri di mesin penghisap debu.
Sial. Aku tak mau memikirkan diaa. Semua memori itu berhak masuk yang di kubur dibawah pikiranku. Tak akan pernah lagi ingatan itu melihat cahaya.
Kunciku masih cocok . Itu menenangkanku. Aku seolah telah hilang selama bertahun-tahun bukannya beberapa hari. Ini bahkan tak sampai seminggu. Aku pergi kamis dini hari dan sekarang hari selasa. Kurang dari enam hari yang pendek. Ini gila. Segalanya terasa berbeda. Aku mendorong pintu membuka, berusaha hening karena ini tengah malam. Lauren bisa saja telah tidur. Atau mungkin belum. Aku mendengar suara tawa.
Dia mungkin, sebenarnya, terbaring di meja sarapan kecil kami, cekikian ketika pria menjejalkan kepalanya di salah satu kaos kebesaran yang dikenakannya. Pria itu membenamkan wajahnya di belahan dadanya dan menggelitiknya. Untuk celana pria itu masih terpasang, siapapun dia. Mereka benar-benar menikmatinya, tidak menyadari kedatangan kami sama sekali.
Sam menatap ke dinding seberang , menghindari pemandangan. Pria malang, hal-hal ini harus dia saksikan selama bertahun-tahun.
“Hai”, kataku. “Um, Lauren”.
Lauren menjerit dan berguling, memelintir pria itu di kaos nya saat dia berjuang untuk bebas. Jika dia secara tidak sengaja mencekiknya, setidaknya pria itu akan senang, mengingat pemandangannya.'
“Ev”, katanya terengah-engah. “kau kembali”.
Pria itu akhirnya membebaskan wajahnya.
“Nathan?” tanyaku, terbius. Aku memiringkan kepalaku untuk memastikan, menyipitkan mataku.
“Hau”, kakakku mengangkat satu tangan sambil menurunkan kaos Lauren dengan tangan satunya. “Apa kabar?”
“Baik, yeah”, ujarku. “Sam, ini temanku Lauren dan Kakakku Nathan. Guys, ini Sam”.
Sam mengangguk sopan dan meletakkan tas ku. “apa ada lagi yang perlu aku bantu Mrs Ferris?”
“Tidak, Sam. Terimakasih karena telah mengantar ku pulang”.
“sama-sama”, dia melihat ke pintu kemudian berbalik padaku, kerutan kecil di alisnya. Aku tak bisa memastikan, tapi ku pikir aku tak sedekat itu hingga Sam mengerutkan keningnya. Ekspresi wajahnya tampak terbatas. Tertahan mugkin kata yang lebih baik. Dia mengulurkan tangan dan memberikan tepukan kaku di punggung. Lalu dia pergi, menutup pintu di belakangnya.
Mataku memanas, air mata mengancam turun. Aku berkedip seperti orang gila, menahannya. Kebaikannya hampir membuatku kebas, sialan. Aku belum mampu membalasnya.
“Jadi, kalian berdua?” tanyaku.
“kami bersama. Ya”. Kata Lauren , sambil meraih kebelakang. Nate meraih tangannya dan memegang erat-erat. Mereka benar-benar terlihat serasi. Padahal, serius, berapa banyak orang asing yang bisa terlihat seperti itu? Dunia ku telah berubah. Rasanya berbeda. Walaupun apartemen ini tampak sama. Banyak hal terjadi dimana aku meninggalka n mereka. Koleksi Lauren tentang kucing porselen gila masih duduk di rak yang mengumpulkan debu. Furnitur murah atau bekas, dinding biru kehijauan kami belum berubah,. Meskipun aku tak akan menggunakan meja lagi, mengingat apa yang aku lihat. Tuhan ntah apa lagi yang mereka lakukan disana.
Aku melenturkan jemariku, menginginkan sebagian hidupku kembali ke jalurku. “kupikir kalian saling membenci?”
“benar”, aku Lauren. “tapi, kau tau.... sekarang tidak. Ini sebenarnya adalah kisah yang tidak rumit. Ini terjadi ketika kau pergi”,
“Wow”
“Gaun yang bagus” kata Lauren, melihat keselurahanku
“Thanks”.
“Valentino?”
aku merapihkan bahan biru itu di perutku. “aku tak tau”.
“Itu adalah pernyataan, yang cocok dengan sepatu kets”, kata Lauren. Lalu dia memberi nathan tatapan. Mereka rupanya telah melakukan komunikasi diam-diam karena Nathan bergerak ke kamar Lauren. Menarik...
sahabatku dan kakakku. Dia tidak pernah mengatakan sepatah katapun. Tapi kemudian, ada banyak hal yang tidak ku sampaikan padanya. Mungkin kita telah melewati usia berbegi tiap hal kecil terakhir dari kehidupan kita. Betapa menyedihkanya.
Kesepian dan dosis mengasihani diri yang membuatku kedinginan dan aku memeluk diriku sendiri.
Lauren datang dan menyingkirkan salah satu tanganku. “Hon, apa yang terjadi?”
aku menggelengkan kepala, menepis pertanyaan. “aku tidak bisa. Belum”.
Dia bergabung dengan ku bersandar di dinding. “aku punya es krim”.
“jenis apa?”
“Triple choc. Aku berpikir untuk menyiksa kakakmu dengan itu secara eksplisit”.
Ada minat samar ku pada es krim. Aku menggosok wajahku dengan tanganku. “Lauren , jika kau menyayangiku, kau tak akan pernah mengatakan hal seperti itu lagi padaku”.
“sorry”.
Aku hampir tersenyum. Mulutku tampak nya hampir mendekati itu tapi itu menghilang di akhie. Nate membuatmu bahagiam, bukan?”
“Ya, dia membuatku bahagia. Itu terasa seperti.... aku tak tau, seakan kami seirama atau semacamnya. Sejak malam dia menjemputku dari rumah orang tua mu, kita sudah bersama. Rasanya benar. Dia tidak lagi pemarah seperti dulu di SMA. Dia sudah menyerah menjadi bajingan. Sialnya, dari kami berdua dia orang yang bijaksana”, dia mencebik. “Tapi hari-hari kita berbagi segala hal terakhir tentang hidup kita benar-benar berakhir, bukan?”
“aku kira begitu”.
“Ah, baiklah. Kita akan selalu memiliki sekolah menengah”.
“Ya”, aku berhasil tersenyum.
“Hon, aku minta maaf hal-hal menjadi buruk. Maksudku, itu adalah alasan kau kembali terlihat berantakan dalam balutan gaun yang sangat indah itu” dia memandangi gaunku dengan penuh nafsu.
“kamu bisa memilikinya”, sial , dia bisa memiliki barang-barang lain juga. Aku tak pernah ingin menyentuh semua itu lagi. Jaketnya aku tinggalkan bersama Sam , dan cincinnya aku masukkan ke dalam saku. Sam akan mengurusnya. Mengantar itu kembali pada David. Tangan ku tampak kosong tanpanya, lebih ringan. Lebih ringan dan lebih bebas harusnya menghilang bersama, tapi ternyata tidak. Didalam diriku ada beban yang sangat besar. Aku telah menyeret bokong sialanku berjam-jam sekarang. Ke pesawat. Masuk ke mobil. Naik tangga. Tidak ada waktu dan jarak yang membantu sejauh ini.
“Aku ingin memelukmu tapi kau memancarkan aura Jangan-sentuh -aku”. Katanya, sambil menyadarkan tangannya di pinggulnya yang ramping. “katakan padaku apa yang harus di lakukan”.
“Maaf”, senyum yang aku berikan padanya terlihat terpaksa dan mengerikan. Aku bisa merasakannya. “Nanti?”
“seberapa lama nanti? Karena sejujurnya kamu terlihat sangat membutuhkan bercerita”.
Aku tak bisa menghentikan air mataku kali ini. Air mataku mulai mengalir, tak mau berhenti. Aku menyeka nya dengan sia-sia, lalu menyerah dan menutupi wajahku dengan tanganku. “Brengsek”
Lauren memelukku, memelukku erat-erat. “biarkan saja”.
Aku melakukannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

STUCK UP SUIT Chapter 8

GRAHAM AKU TIDAK MENDENGAR KABAR NYA SEPANJANG HARI di hari sabtu, dan tidak seperti yang aku harapkan juga. Soraya Venedetta san...