Kamis, 28 Juni 2018

lick 11

Kami menghabiskan sisa siang dengan kembali ke studio rekaman dengan Tyler dan Mal. Ketika David sedang tidak bermain dia menarikku ke pangkuannya. Ketika dia sibuk dengan gitarnya, aku mendengarkan dalam kekaguman akan bakatnya. Dia tidak bernyanyi, sehingga tetap meninggalkan ku dalam gelap akan liriknya. Tapi musiknya begitu indah walaupun masih mentah, semacam Rock n Roll. Mal tampak puas dengan Materi baru ini, dia menghentakkan-hentakan kepalanya sepanjang waktu.
Tyler mengarahkan di balik board megah yang berisi tombol- tombol dan membuat panggilan cepat “ mainkan bagian lick nya lagi , Dave” suamiku mengangguk dan jarinya bergerak ke fretboard, menciptakan sihir.
Pam sibuk sejak kami di lantai atas , mulai membuka kardus-kardus. Ketika dia bergerak untuk kembali menyelesaikan pekerjaannya di awal sore aku bergabung bersamanya. Diminta ataupun tidak, ini tidak adil jika dia mengerjakan pekerjaan ini sendirian. Ditambah, ini membuat senang kebutuhan dalam diriku untuk mengorganisir. Aku menyelinap ke bawah sekarang dan kemudian saat jam demi jam berlalu, mencuri ciumana, sebelum kembali ke atas untuk membantu Pam lagi. David dan rekannya tetap tenggelam dalam musik. Mereka naik ke atas hanya untu mencari makanan atau minuman tetapi tergesa-gesa kembali ke studio.
“beginilah kalau mereka sedang rekaman. Mereka lupa diri, terlalu tenggelam dalam musik. Beberapa kali makan malam telah di lewati oleh Tyler karena alasan lupa!” kata Pam, tangannya sibuk membuka kardus terakhir.
“ini pekerjaan mereka, tetapi juga cinta pertama mereka”, dia melanjutkan, membersihkan debu dari mangkuk bergaya asia. “Kau tau para Pacar-pacar masa lalu selalu berkeliaran di sekitar, mabuk dan menelpon mereka setiap saat, dan meminta mereka untuk datang?”
Aku tertawa. “Bagaimana cara mu menghadapi untuk tidak menjadi prioritas utama?”.
“aku harus mencapai sebuah keseimbangan. Musik adalah bagian dari diri mereka yang harus kau terima,Sayang. Melawannya tidak akan berhasil. Pernahkah kau merasa sangat bersemangat akan sesuatu?”.
“Tidak”, jawabku dengan jujur, menatap instrumen bersenar lainnya yang tak pernah aku lihat bentuknya. Ada ukiran rumit yang mengelilingi lubang suara. “aku menikmati kuliah. Aku suka menjadi seorang barista, itu pekerjaan yang hebat. Aku sangat menyukai orang-orang. Tapi aku tidak bisa bergantung pada kopi untuk sisa hidupku”, aku berhenti, meringis. “Oh Tuhan, itu kata-kata Ayahku. Lupakan aku pernah mengatakan itu”.
“kau bisa menggantungkan hidupmu pada kopi seumur hidup mu, jika kau memilih begitu”. Tapi terkadang butuh waktu untuk menemukan hal yang kau sukai. Tak perlu terburu-buru. Aku dilahirkan di besarkan sebagai seorang fotografer”.
“itu hebat”.
Pam tersenyum , tatapannya tampak jauh. “begitulah aku dan Tyler bertemu. Aku pergi tour bersama band untuk beberapa hari dan Tyler ada diwaktu itu. Dan aku berakhir dengan ikut tour keliling Eropa bersama mereka. Kami menikah di Venice di hari terakhir Tour dan kami telah bersama sejak saat itu”.
“itu cerita yang sangat luar biasa”.
“Yeah “ Pam mendesah. “Itu adalah waktu yang luar biasa”.
“Apakah kau kuliah fotografi?”
“Tidak. Ayahku yang mengajariku. Dia berkerja untuk National Geograpic. Dia meletakkan kamera di tanganku saat umurku enam tahun dan aku menolak untuk mengembalikannya. Dan keesokan harinya dia membelikanku kamera bekas. Aku membawanya kemanapun aku pergi. Setiap kali aku melihat dari balik lensa. Well, kau tau maksudku..... dunia terlihat masuk akal ketika aku melihatnya dengan cara seperti itu, semuanya terlihat indah, special”. Dia menarik keluar beberapa buku dari kardus, dan meletakkan buku-buku itu rak yang menempel di tembok. Kami sudah mengatus sebagian dari rak-rak itu dengan berbagai buku dan cindera mata.
“kau tau, David sudah mengencani banyak gadis selama bertahun-tahun. Tapi dia terlihat berbeda denganmu, aku tak tau.... cara dia menatapmu, kurasa itu luar biasa. Ini pertama kalinya dia membawa seseorang kesini setelah enam tahun”.
“Kenapa tempat ini kosong dalam waktu yang lama?”.
Senyum Pam menghilang dan dia menghindari mataku. “Dia ingin tempat ini adalah tempat untuk dia pulang ke rumah, tapi banyak hal berubah. Band baru saja menjadi besar. Kurasa segala hal menjadi rumit. Dia lebih bisa menjelaskan padamu dengan lebih baik”.
“Baiklah” kataku, merasa tertarik.
Pam duduk kembali dengan bertumpu pada pahanya, melihat ke sekeliling ruangan. “Mendengarkanku mengoceh. Kurasa kita layak mendapatkan istirahat”.
“Aku setuju”.
Hampir setengah dari kardus-kardus itu telah terbuka. Isinya, kita tidak akan bisa langsung memikirkan seperti rumah dengan menjejerkannya sepanjang tembok. Sebuah sofa hitam besar mewah telah dikirimkan. Sofa itu sesuai dengan rumah dan pemiliknya yang sempurna. Dengan berbagai permadani, lukisan, dan instrumen yang berserakan, tempat itu hampir terlihat seperti rumah. Aku bertanya-tanya aakah David akan langsung menyetujui pengaturan ini. Dengan mudah, aku bisa membayangkan kami akan menghabiskan waktu disini ketika aku sedang tidak ada kelas. Atau mungkin liburan setelah selesai tur. Masa depan kami adalah hal yang indah dan mempesona, dipenuhi dengan janji.
Namun , disini, dan sekarang, aku belum bisa menelpon Lauren. Fakta membuatku merasa bersalah. Menjelaskan situasi ini tidak menarik begitu pula harus mengakui perasaanku yang tumbuh dengan cepat pada David.
“Ayo, kita pergi membeli makanan di ujung jalan. Bar itu memiliki masakan iga terbaik yang pernah kau rasakan. Tyler sangat tergila-gila dengan itu”. Kata Pam.
“itu ide yang brilian. Aku akan memberitahu David kemana kita pergi. Haruskah aku berganti pakaian?” aku mengenakan jeans dan tank top hitam, sepasang sepatu converse, satu-satunya sepatu yang bisa aku temukan diantara barang-barang yang dibelikan Martha yang tidak berhak 4 inchi. Untuk sesaat, aku terlihat sepeti gadis Rock n Roll. Pam mengenakan Jeans dan kaos putih, kalung turqois di lehernya. Secara teori itu casual, tapi Pam adalah wanita yang nyentik.
“Pakaian mu baik -baik saja”, ungkap nya. “tak perlu khawatir. Ini acara santai saja”.
“Baiklah”.
Suara musik masih mengalun di lantai bawah, ketika aku turun ke bawah pintu nya masih tertutup dan lampu berwarna merah menyala. Aku bisa melihat Tyler dengan Headphone terpasang, sibuk dengan konsol. Aku lupa mencharge handphone ku saat semua pekerjaan barusan. Tapi aku tak memiliki nomor David jadi aku pun tak bisa mengirim pesan padanya. Aku tak ingin mengintrupsi. Akhirnya, aku meninggalkan note di kursi dapur. Kami tidak akan pergi lama. David mungkin saja tidak akan sadar.
Bar itu adalh bar tradisional dari kayu denga sebuah jukebox besar dan tiga meja biliar besar. Para staff meneriakkan “hallo” ke Pam saat kami masuk. Tak seorangpun melirik kami, itu melegakan. Tempat ini penuh. Terasa menyenangkan bisa berbaur dengan banyak orang, hanya jadi bagian dari keramaian. Pam sudah memesan di depan, tapi pesanan kami belum juga siap. Tampaknya dapur sedang sama sibuknya dengan Bar. Kami memesan beberapa minuman dan duduk untuk menunggu. Ini tempat yang bagus, sangat nyaman. Ada banyak sekali tawa dan musik Country menggema dari jukebox. Jemariku berketuk mengikuti irama.
“Ayo menari”, kata Pam, menggenggam tanganku dan menarikku keluar dari kursiku. Dia menggeark-gerakkan kepala dan bergoyang saat aku mengikutinya masuk ke keramaian lantai dansa.
Aku merasa bahagian melepaskan semua. Sugarland berubah menjadi Miranda Lambert dan aku mengangkat lenganku, bergerak mengikuti musik. Seorang pria menghampiriku dari belakang dan menggenggam pinggangku tapi aku mengambil langkah menghindar dan menggelengkan kepalaku sambil tersenyum. Dia balik menyeringai padaku dan tetap menari, tidak bergerak menjauh. Seorang pria memutar Pam dan dia berteriak, membiarkan pria itu menariknya ke sebuh pegangan yang longgar. Mereka tampak saling kenal.
Ketika seorang pria di sampingku bergerak sedikit lebih dekat aku tidak memprotes. Dia tetap menjada tangannya dan itu cukup bersahabat. Aku tak tau lagu yang selanjutnya, tapi lagu itu memiliki irama yang bagus dan kami tetap bergerak. Kulitku mulai dipenuhi peluh, rambutku menggantung di wajahku. Kemudian Lgu Dierk Bantley di putar. Aku naksir berat padanya sejak aku berumur dua belas tahun, tapi itu semua karena rambut pirang nya yang indah dan tidak ada hubungannya dengan musiknya. Cintaku padanya adalah hal yang memalukan.
Satu pria bergerak menjauh dan pria yang lain mengambil posisinya, menyelipkam lengannya ke pinggulku dan mencoba menariku. Aku meletakkan tanganku di dadanya dan mendorongnya, memberinya senyum yang sama dan menggelengkan kepala seperti yang kulakukan terakhir kali. Dia tampaknya hanya setinggi aku, dibalik topi nya yang besar, tapi dia sangat kekar. Dia memiliki dada yang sangat besar dan dia berbau aroma rokok.
“Tidak”, seruku, masih mencoba untuk mendorongnya. “Maaf”.
“Tak usah meminta Maaf, Darling”, dia berteriak di telingaku, dan mengetuk keningku dengan pinggiran topinya. “menarilah denganku”.
“Ayo”.
Dia menyeringai dan tangannya menepuk keras bokongku. Bajingan ini mulai menggesek-gesekan diri ke tubuhku.
“Hey!” aku mendorongnya, tapi dia tetap bergeming.
“Darling”, si bajingan itu mencondongkan tubuh untuk menciumku, menghantamku hidungku dengan pinggiran topinya . Ini sakit. Aku juga membencinya. Andai aku bisa menggerakkan kakiku diantara luttutnya dan menghantam selangkangannya, aku bahkan bisa mengalahkannya atau mungkin meninggalkannya merintih di lantai menangis memanggil ibunya. Keduanya sama baiknya.
Aku mendorong kakiku diatara kedua kakinya semakin dekat dengan tujuanku. Lebih dekat.
.....
“Lepaskan dia”, David secara ajaib muncul dari kerumunan di samping kami, ototnya menyembul di rahangnya. Oh sial, dia tampak siap membunuh.
“Tunggu giliranmu”, koboi itu balas berteriak, mendorong pinggulnya ke arahku. Tuhan, ini menjijikkan. Aku bisa muntah. Dan itu tidak kurang dari apa yang pantas dia dapatkan.
David menggeram. Kemudian dia meraih topi pria itu dan melemparkannya terbang ke kerumunan. Pria itu berputar seperti piring dan tangannya menjauh dariku.
Aku melangkah kebelakang, dan akhirnya bebas. “David --”.
Dia melihatku sesaat, koboi itu berayun. Tinjunya menghantam rahang David. Kepala David tersentak ke belakang dan dia terhuyung. Koboi itu menukik nya. Mereka mendarat dengan keras, tergeletak di lantai dansa. Tinju dihantamkan. Kaki saling menendang. Aku hampir tidak bisa melihat siapa yang melakukan apa. Orang-orang membentuk lingkaran di sekeliling mereka, mengawasi. Tidak ada yang melakukan sesuatu untuk menghentikannya. Darah muncrat, dan menyembur ke lantai. Pasangan itu berguling dan mendorong dan David keluar sebagai yang diatas. Kemudian secepat itu pula dia jatuh ke samping. Denyut nadiku berdebar dibelakang telingaku. Kekerasan itu mengejutkan. Nathan sering terlibat perkelahian sepulang sekolah. Aku membencinya, Darah dan kotoran , kemarahan yang tak beralasan.
Tapi aku ha nya bisa berdiri, mematung dalam dingin. Aku tak bisa melakukan apapun.
Sebuah tangan yang kuat meraih tanganku, menghentikan gerakan majuku.
“Jangan”, kata Mal.
Kemudian dia dan beberapa orang lain masuk. kelegaan mengalir dalam diriku. Mal dan Tyler memisahkan David dan si koboi. Beberapa orang yang lain menahan si bodoh yang berwajah berdarah yang mengomel tentang topinya. Dasar tolol.
Mereka mengusir David dari Bar, menyeretnya ke belakang. Melalui pintu depan dan menuruni tangga mereka membawanya ketika kaki David masih sibuk menendang-nedang berusaha untuk kembali masuk. Dan dia terus melawan sampai mereka melemparkan dia masuk ke jeep besar Mal
“Hentikan”, Mal berteriak di wajah David. “ini sudah selesai”.
David merosot di kendaraan. Darah merembes dari satu lubang hidungnya. Rambutnya yang gelap menggantung diwajahnya. Bahkan dalam bayang-bayang dia terlihat bengkak, cidera. Tidak ada separuh dari orang itu, tapi tetap saja.
“apakah kau baik-baik saja?” aku melangkah mendekat untuk melihat seberapa parah lukanya. “Aku baik-baik saja”, katanya, bahunya masih naik turun saat dia melihat ke tanah. “ayo pergi”.
Bergerak lambat, dia berbalik dan membuka pintu samping penumpang, memanjat masuk. Dengan gumaman selamat tinggal, Pam dan Tyler menuju mobil mereka sendiri. Beberapa orang berdiri di tangga masuk Bar, mengawasi. Satu orang memegang tongkat baseball seolah-olah dia berharap masalah berlanjut.
“Ev, masuk ke mobil”, Mal membuka pintu kursi belakang dan mengantarku masuk. “ayo polisi bisa saja datang atau malah lebih buruk”.
Yang lebih buruk adalah pers. Aku tau itu sekarang. Mereka akan mengalami semua ini dalam waktu singkat.
Aku masuk ke mobil.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

STUCK UP SUIT Chapter 8

GRAHAM AKU TIDAK MENDENGAR KABAR NYA SEPANJANG HARI di hari sabtu, dan tidak seperti yang aku harapkan juga. Soraya Venedetta san...