“Jangan
balikkan punggungmu padaku Dante.
Tatap aku. Bukankah setidaknya aku berhak atas sedikit rasa hormat”.
Ketegangan
memancar darinya saat dia berbalik menghadapku. Dia tidak mendekat,
tapi dia menatapku. Untuk kali ini, dia tidak berpura-pura tidak
melihat. Mata birunya berkeliaran di tubuhku yang terpapar.
Putingku
mengeras di udara pendingin yang ada di kantornya, tapi aku tidak
menutup bathrobe sutraku, meskipun ada dorongan kuat untuk menutupi
diriku terhadap pengamatan Dnate. Tatapannya tertuju ke bagian atas
pahaku yang lebih panjang dibanding sisa tubuhku dan sedikit harapan
memenuhiku. “apakah aku istrimu?”
alis
pirangnya menyatu. “tentu saja. Memang begitu”. Ada sedikit hal
yang tak bisa aku pahami dalam suaranya.
“Kalau
begitu klaim hak mu , Dante. Jadikan aku milikmu”.
Dia
tidak bergerak tapi matanya meluncur ke putingku yang tegak.
Tatapannya hampir seperti sesuatu yang fisik, seperti sentuhan tak
kasat mata pada kulit telanjangku.
Aku
tidak sampai mengemis. Aku tau aku hampir mendapatkannya. Aku ingin
berhubungan sex malam ini. “aku juga memiliki kebutuhan. Apakah
kau lebih suka jika aku menemukan kekasih yang lain yang
membebaskanmu dari beban untuk menyentuhku?” aku tak yakin bisa
melewatinya. Tidak, aku yakin aku tak bisa melewatinya, tapi
tindakan provokasi ini adalah cara terakhirku. Jika Dante tidak
bereaksi dengan hal itu, maka aku tak tau harus bagaimana lagi.
“Tidak”,
katanya tajam, sesuatu yang penuh amarah dan posesif menerobos
topengnya yang sempurna. Dia menekan bibirnya, rahanya terkunci, dan
berjalan ke arahku. Aku menggigil karena kebutuhan dan kegembiraan
saat dia berhenti di depanku. Dia tidak meraihku tapi aku mendeteksi
sedikit keinginan di matanya. Tidak banyak, tapi cukup membangkitkan
keberanianku. Aku menjembatani jarak yang tersisa di antara kami dan
meringkukkan jariku di atas bahunya yang kuat, menekan tubuh
telanjangku di tubuh bagian depannya. Bahan kasar setelan bisnisnya
menggosok dengan nikmat putingku yang sensitif dan aku mengeluarkan
erangan kecil. Tekanan diantara kedua kakiku hampir tak tertahankan.
Mata Dante melotot saat dia menunduk menatapku. Perlahan dia
melingkarkan lengan di sekelilingku dan meletakkan telapak tangannya
di punggung bawahku.
Eforia
membanjiriku. Dia tidak mengabaikanku lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar