Rabu, 31 Januari 2018

Chapter Dua belas Part B

Romero menunggu di luar toko selama kami berbelanja. Dia kemungkinan telah memeriksa sebelumnya tentang ada tidaknya jalan yang bisa kami gunakan untuk melarikan diri. Aku belum memberitahunya tentang rencana kami untuk pergi ke klub. Akan lebih baik jika aku membeberkan padanya pada saat- saat terakhir.

Gianna bersiul saat aku berbalik sehingga dia bisa mengagumi pakaianku. “Sialan. Kau adalah sex on legs. Atau malah death on legs, karena Luca kemungkinan akan membunuh setiap pria yang memandangmu dengan cara yang salah”.

Aku memutar mataku. “Luca tak akan membunuh siapapun hanya karena melihat”.
“Mau bertaruh untuk itu?”
Tidak, aku tak mau. Aku tak pernah mengenakan sesuatu yang sexi di depan umum. Celana kulit hitam memeluk tubuhku erat-erat, mereka tampak seperti kulit kedua. Blus tanpa lengan berwarna hitam aku tarik ke ikat pinggangku, menampakkan push – up bra gemerlap di bawahnya.
“Kau juga tidak terlihat terlalu lusuh”, kataku,
Gianna melompat ke tempat tidurku. “Menurutmu?” dia melontarkan senyum menggoda padaku. Dia terlihat amat sangat hot dengan stocking hitam sebatas paha dan hotpants kulit berwarna hitam.
Kau Jail bait”. Untung kita tidak perlu khawatir akan di tangkap. Aku menghubungkan lengan kami dan membawanya keluar dari kamar tidue dan menuruni tangga. Romero sedang duduk di sofa, membersihkan pisaunya. Matanya melirik ke atas dan dia terdiam tanpa bergerak sama sekali. Matanya mengembara ke tubuh kami. Dia tak pernah secara terbuka menatapku.
“Apakah kau sedang memandangi kami?” aku tidak bisa tidak menggodanya. Dia selalu begitu terkendali. Sekilas sifat manuasiawinya ini membuatku lega.
Dia berdiri tiba-tiba, menyisipkan pisau kembali ke tempatnya. Matanya kembali tertuju ke wajahku. “ada apa?” ada sedikit ketegangan dalam suaranya.
Aku mendekatinya dan dia benar-benar tegang seakan mengira aku akan menerkamnya. Itu membuatku tertawa. “Gianna dan aku ingin pergi ke Marquee”. Itu adalah salah satu klub terpanas di kota.
Romero menggelengkan kepalanya. “Itu milik Bravta”.
“Oh, apa klub terkeren milik Familia?”.
Romero tidak mengatakan apapun pada awalnya. Dia merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya, mungkin untuk menghubungi Luca. Kemarahan menggelegak dalam diriku. Aku tak percaya dia perlu meminta izin kepada Luca. Aku menatap Gianna dan mengangguk ke arah Romero yang sudah mulai mengetik. Gianna mendekati Romero dan benar-benar meremas pantat Romero. Romero terlonjak dan aku memanfaatkan kesempatan itu untuk merebut ponselnya. Dia mengambil langkah mengancam ke arahku, matanya berkobar karena marah,lalu dia membeku. “Aria”, katanya. “Kembalikan”.
Aku menyelipkan ponsel ke pinggang celanaku. Celana ku cukup ketat sehingga sehingga tak ada resiko terjatuh.
Gianna melangkah menjauh dari Romero, menyeringai. “Mengapa kau tidak merogoh ke pinggang celana Aria dan mengambilnya? Aku akan memgambil foto dan mengirimkannya ke Luca”.
Mata Romero menempel ke ponselnya yang ada di celanaku, tapi aku tau dia tak akan mencoba untuk mengambilnya. “Ini tidak Lucu”.
“Tidak, memang Tidak”, kataku tajam. “aku sudah dewasa. Jika aku menyuruhmu untuk membawaku ke Klub, aku tak ingin kau meminta izin pada suamiku. Aku bukan anak kecil , juga bukanlah propertinya”.
“Kau milik Luca”, Romero berkata dengan lembut.
Aku melangkah mendekatinya, begitu dekat sehingga aku harus mendongakkan kepalaku. “Gianna dan aku akan pergi ke klub. Jadi terkecuali kau ingin menahan ku di bawah todongan senjata, kau akan mengantar kami kesana atau membiarkan kami pergi sendiri”.
Rahang Romero mengencang. Tatapan matanya membuatku sadar bahwa dia adalah pengawalku. Untuk pertama kalinya aku di ingatkan bahwa Romero adalah seorang pembunuh. “aku akan mengantarmu. Tapi kau akan pergi ke Sphere. Itu milik Luca”.
“Apakah itu lebih baik?”.
“Itu lebih keren dibanding Marquee sialan”. Romero benar-benar kesal.
“Bawa kami kesana”, dia mengenakan jaketnya dan mengantar kami ke lift. “Luca tidak akan menyukainya,” katanya.

##

aku dan Gianna duduk di belakang saat Romero mengarahkan mobilmya melewati lalu lintas. Aku menarik ponsel dan memeriksa pesan Romero.
Ingin pergi ke klub, diizinkan?
Dia berhasil mengirimnya sebelum aku menyambar ponselnya, tapi jawaban Luca datang sesudahnya.
Tidak.
Darahku mendidih. Gianna mendengus. “Aku sama sekali tak bisa percaya akan kegugupannya”.
Romero melirik kami dai kaca spion. “Apakah Luca membalas?”.
“Yeah”, kataku. “Dia bilang kau harus selalu ada di dekat kami setiap saat”.
Romero mempercayai kebohonganku dan benar-benar santai. Gianna mengedipkan mata. Luca akan marah besar, tapi aku tak cukup peduli. Romero memarkir mobil di gang samping dan membawa kami berkeliling gedung. Antrian panjang penikmat pesta menunggu di depan pintu masuk tapi Romero mengantar kami melewatinya.
“Hei, keparat tolol, ada antrean”, teriak seorang pria. Teriak seorang pria. Romero berhenti, kemarahan yang dingin menggantikan ketenangannnya yang biasa.
“Majulah,” Romero berkata pada kami sebelum dia berbalik ke arah pria tadi. Gianna menggenggam tanganku dan menyeretku ke dua penjaga di depan. Mereka sama tinggi dan berototnya seperti Luca.
“Kalian tidak terlihat cukup umur untuk bisa masuk ke dalam Klub” kata pria berkulit gelap itu.
“apakah itu jadi masalah?” kata Gianna sambil tersenyum kecil.
Mata mereka bergerak ke sesuatu di belakangku. “Romero”, katanya dengan sedikit kebingungan.
“Dia Milik bos, Jorge. Ini Aria Vittielo dan adiknya Gianna Scuderi dari Chicago Outfit”.
Kedua pria itu memandang kami, kemudian melangkah mundur dengan hormat. “Kami tidak tau dia akan datang kesini malam ini. Boss tidak mengatakan apapun”. Kata Jorge.
Romero meringis, tapi tidak mengatakan apapun. Sebagai gantinya dia membawaku dan Gianna ke dalam, melewati ruangan tempat menyimpan jas yang diwarnai cahaya kebiruan dan area bar. Di belakang itu pintu terbuka mengarah ke lantai dansa yang gelap. Lampu biru dan putih menyala dan denyut hip hop meledak ke arah kami. Gianna menarik tanganku , ingin masuk ke arah itu.
“Kita harus menemui Luca dulu”, kata Romero.
“Dia disini?” tanyaku heran.
Romero mengangguk. “Klub ini memiliki beberapa ruang belakang dan ruang bawah tanah tempat kami menangani bisnis”.
“Mengapa kau tidak pergi memberitahunya bahwa aku dan Gianna ada disini sementara Gianna dan aku memasuki lantai dansa”.
Romero menatapku. “Tak akan terjadi sampai Neraka membeku”.
“Kalau begitu itu masalahmu. Gianna dan aku akan menari”, Romero memegang pergelangan tanganku. Aku menegang. “Lepaskan aku saat ini juga”, desisku dan dia melakukannya, dadanya terengah-engah. Gianna dan aku masuk ke klub. Beat musik bergetar di bawah kaki kami seolah lantai mulai hidup. Klub penuh sesak dengan tubuh menggeliat. Romero membayangi adik ku dan aku saat kami meringsek ke kerumunan penari menuju area bar yang lain.
“Dua Gin dan Tonic” kataku. Si Bartender mengerutkan kening sebentar sebelum melihat Romero, lalu menyiapkan minuman kami, dan menyerahkan ke kami. Romero membungkuk di atas bar dan mengatakan sesuatu pada pria itu, yang mengangguk dan berjalan memutari bar. Aku tau apa artinya. Aku meneguk minuman kerasku , lalu meletakannya dan bergerak ke lantai dansa.
Aku membiarkan musik mengklaim tubuhku dan mulai menggeliat mengalahkannya. Gianna menyeringai lebar, menengadahkan kepalanya ke belakang. Dia terlihat lebih bahagia daripada yang pernah aku liat dalam waktu lama. Dia menggerakan pinggul dan pantatnya, berjoget dan menggoyangkan pinggulnya. Aku melangkah mendekat dan menirukkan gerakkannya. Mata kami terkunci saat kami kehilangan semua hal di sekitar kami, saat kami membiarkan musik membawa siapa diri kami. Aku tak yakin dimana Romero berada dan aku tak peduli. Ini terasa seperti kebebasan.
Pria memperhatikan kita. Aku tak membalas tatapan lapar mereka. Tak adil untuk memancing mereka. Gianna tidak mengendalikan diri sepertiku. Dia tersenyum dan mengggoda, mengedip-ngedipkan bulu matanya dan mengusap rambutnya. Beberapa orang mulai menari di sekitar kami. Gianna menekan salah satu dari mereka, tangannya di dadanya. Seorang pria lain menganggkat alis ke arahku,tapi aku menggelengkan kepala. Dia membuka mulutnya lalu menutupnya dan mundur.
Aku tak perlu melihat ke belakang. Aku tetap menari. Aku tau siapa yang ada di belakangku, tau dari tatapan hormat para pria di sekitar ku, dari tatapan kekaguman para wanita. Aku memutar pinggulku, menunggingkan pantatkui, menganggkat lenganku. Tangan yang kokoh meraih pinggulku. Untuk sesaat aku khawatir bahwa tangan itu tangan seorang bajingan tolol, tapi itu adalah tangan kokoh yang aku kenal. Aku melengkung, menekan pantatku ke selangkangannya. Aku tersenyu,. Aku dilingkupi tubuh berotot dan napas hangat Luca menyapu telingaku. “Untuk siapa kau menari?”.
Aku memiringkan kepalaku untuk menatap mata kelabu nya. “Kamu. Cuma dirimu”.
Ekspresi Luca tampak lapar, tapi masih ada sedikit kemarahan juga. “Apa yang kau lakukan disini?”
“Menari”.
Dia menyipitkan matanya. “aku mengatakan pada Romero 'Tidak'”.
“Aku bukan propertimu Luca. Jangan memperlakukanku seperti itu”.
Jari-jarinya di pinggangku menegang. “Kau milikku Aria dan aku melinduungi milikku”.
“Aku tak keberatan di lindungi, tapi aku keberatan di penjara”, aku memutar lengan Luca, melihat Gianna yang bertengkar sengit dengan Matteo. “Menarilah denganku”, teriakku.
Dan Luca melakukannya. Aku tau dari foto-foto yang beredar di internet bahwa dia dulu sering berada di klub dan itu tak diragukan ketika dia menggerakan tubuhnya. Seorang pria setinggi dan seberotot dia tidak seharusnya bisa bergerak dengan begitu lihai. Matanya tak pernah meninggalkanku, tangannya dengan posesif di pinggangku. Luca membungkuk ke arahku dan berbisik di telingaku. “kau terlihat sangat Hot, Aria. Dan setiap pria di klub menginginkanmu dan aku ingin membumuh mereka semua”.
“aku hanya milikmu”. Aku berkata dengan Galak dan Demi Tuhan itu adalah kenyataannya, bukan hanya karena cincin di jariku yang menandaiku sebagai miliknya. Bibir Luca meringsek ke bibirku, garang, menuntut, posesif dan aku terbuka untuknya , membiarkan dia mengklaimku di depan semua orang.
“Sialan aku mengeras”, Luca menggeram di bibirku dan aku bisa merasakan ereksinya menempel di perutku. “Sialan. Aku sudah ada janji dengan salah satu distributorku dalam lima menit kedepan”. Aku tak bertanya akan apa yang di distribusikan. Aku tidak ingin tau.
“Tak apa”, kataku. “Kembalilah saat kau ada waktu. Aku akan mengambil minuman”.
“Pergilah ke area VIP”.
Aku menggelengkan kepala. “Aku ingin berpura-pura menjadi gadis biasa malam ini”.
“Tak ada seorangpun yang melihatmu akan berpikir bahwa kau adalah gadis biasa”, matanya mengelilingi tubuhku, dan aku menggigil. Lalu dia mundur selangkah, dengan wajah menyesal. “Cesare dan Romero akan mengawasimu”, aku baru akan mengangguk saat melihat wajah yang familier di area VIP , memperhatikanku. Grace.
Napasku tertahan. Dia duduk di pangkuan pria lain jadi dia disini tidak untuk Luca tapi tatapan matanya mengatakan semuanya. Dia tidak benar-benar dengan pria itu. Luca mengikuti arah pandanganku dan mengumpat. “Dia tidak disini karena aku”.
“Ya, dia disini untukmu”.
“Aku tak bisa mengusirnya. Dia datang kesini setiap saat untuk berpesta. Aku tak pernah bertemu dengannya sejak malam itu. Aku biasanya tetap di belakang”.
Aku mengangguk, ada yang mengganjal di tenggorokanku. Luca meraih daguku, dengan ibu jari dan telunjuknya, memaksaku untuk menatap matanya. “Hanya ada dirimu, Aria”. Dia melirik arlojinya, dan mundur. “Aku benar-benar harus pergi sekarang. Aku akan kembali secepatnya”. Dia berputar dan berjalan melewati kerumunan. Matteo mengikutinya dari belakang dan Gianna melangkah ke sampingku. “Dasar Bajingan”.
“Siapa?” kataku bingung. Grace telah menghilang dari Area Vip.
“Matteo. Berani-beraninya dia menyuruhku untuk tidak menari dengan pria lain. Siapa dia? Pemilikku. Persetan dengan dia”, dia berhenti sejenak. “apakah kau baik-baik saja”.
“Yeah”, bisikku. “Ayo kita pergi ke Bar”, Romero dan Cesare masuk dan melangkah di belakang kami tapi akui berbalik dan menghadap mereka, merasa gelisah. “Bisakah kalian mengawasi kami dari kejauhan? Kalian membuatku gila”, tanpa sepatah katapun mereka berpisah dan mengambil posisi di sudut-sudut Klub. Aku menghembuskan napas dan duduk di bangku bar.
Aku memesan dua Gin dan Tonic yang baru dan meneguk dalam-dalam cairan dingin itu dan mencoba Rileks. Gianna menggoyang-goyangkan kakinya. “kau bisa menari” kataku padanya, tapi dia menggelengkan kepalanya dan mengangkat kepala nya ke arah musik. “Dalam beberapa menit. Kamu terlihat pucat”.
“Aku baik-baik saja” kataku, mataku mencari-cari tanda-tanda Grace di klu, tapi tampaknya dia menghilang di udara yang tipis. Lagian Terlalu banyak orang di lantai dansa untuk bisa menemukan dia.
“Aku perlu ke toilet”, kata Gianna beberapa saat kemudian. Gin dan Tonic nya sudah mulai habis.
“aku butuh duduk untuk beberapa menit”.
Gianna memberiku tatapan khawatir kemudian dia menyelinap dan Cesare mengikuti dalam jarak aman.
Aku meletakkan kepalaku di telapak tanganku, menarik napas dalam-dalam. Sebuah lengan menyentuh lenganku, mengejutkanku. Aku menghindar saat seorang pria dengan rambut pirang panjang bersender di counter di sampingku. Dia mengambil sedotan melewatiku. Jaketnya menggesek payudaraku dan aku bersandar menjauh, dan membuang muka, tidak nyaman akan tatapan yang dia berikan padaku.
“Siapa namamu?” dia berteriak.
Aku berusaha mengabaikan dia. Sesuatu tentang pria ini sungguh membuatku ngeri. Aku menyesap minumanku dan berpura-pura sibuk mencari seseorang. Pria ini tetap melirikku dengan senyum mengerikan di wajahnya yang tidak di cukur. “Apa kau sedang menunggu seseorang?”
aku berpaling, benar-benar mengabaikannya, dan menimbulkan masalah besar karena ini. Jika aku mulai panik, Romero akan datang dan bertindak. Mungkin dia sudah mengarah kesini. Pandanganku mulai buram dan perutku sedikit mual. Aku menyesap minumanku tapi itu tidak membantu. Aku turun dari bangku tapi kakiku goyah dan aku merasa pusing. Aku meraih meja di belakangku. Tiba-tiba, mulut pria itu ada di telingaku, bau rokoknya nya yang anyir di wajahku. “aku akan menggagahi pantatmu yang ketat. Aku akan membuatmu menjerit, sundal”. Cengkramannya di lenganku terasa meremukkan saat dia mencoba menyeretku dari bar. Mataku menemukan Romero yang mengarah padaku, tangannya di bawah jaketnya dimana pistol dan pisaunya perada. Tidak sabar dengan pergerakan ku yang lamban, penyerangku melingkarkan lengan di tubuhku seperti pacar yang penuh kasih sayang yang membantu pacarnya keluar dari klub karena mabuk. “aku akan menidurimu seperti binatang. Aku akan menyetubuhimu hingga berdarah-darah, Jalang”, serunya di telingaku. Aku menatapnya, anggota tubuhku terasa berat, mulutku seperti penuh dengan kapas. Aku pernah mendengar kata-kata seperti itu belum lama ini.
Aku memaksa bibirku tersenyum. “Kau akan Mati, Man”.
Kebingungan melintas di wajah pria itu beberapa saat sebelum dia mengalami kesakitan. Dia melepaskanku, dan kakiku melemas, tapi Cesare menangkapku, lengannya menggantikan lengan pria itu. Mataku melirik Gianna. Dia bergegas ke samping Cesare, wajahnya tampak khawatir. Romero mendekat di belakang penyerangku, pisaunya menancap di paha pria itu. “Kau akan mengikuti kami. Jika kau mencoba lari, kau akan mati”.
“Bawa minumannya”, Kata Cesare pada Gianna, “tapi jangan minum”.
Cesare setengah menarikku ke bagian belakang Klub dan menuruni tangga. Dia membuka pintu dan masuk ke semacam kantor. Matteo bangkit dari kursinya. “apa yang sedang terjadi?”.
“Mungkin Roofies” Kata Romero, dan mengguncang pria yang sedang dia pegang.
“Aku akan memanggil Luca” kata Matteo sambil tersenyum. Dia berjalan melalui pintu lain dan sesat kemudian Luca berjalan ke ruangan, setinggi dan semengesankan seperti biasanya. Aku menggantung di pegangan Cesare, wajahku setengah menempel di dadanya. Mata Luca menyipit, lalu melayang diantara aku dan penyerangku.
“Apa yang terjadi?” dia menggeram.
Tiba-tiba dia berada di depanku, mengangkatku ke lengannya. Kepalaku tertuju ke dadanya saat aku menatapnya. Dia menurunkanku di sofa. Gianna berlutut di sampingku, mencengkram tanganku. “apa yang terjadi padanya?”.
“Roofies”, kata Romero lagi. “Orang sakit ini mencoba menyeretnya keluar”.
Luca berjalan ke arah penyerangku. “Kau memasukan Roofies ke minuman istriku, Rick?”.
Luca mengenal pria itu? Kebingungan berkedip dalam pikiranku yang kabur.
“Istri! Aku tidak tau dia milikmu. Aku tak tau. Aku bersumpah!”, bibir bawah pria itu bergetar.
Luca mendorong tangan Romero menjauh dan jari-jarinya menggenggam gagang pisau yang masih terbenam di kaki Rick. Dia memutar pisau itu dan Rick menjerit. Romero memegangi Pria itu dengan tangannya. “apa yang akan kau lakukan pada istriku ketika kau membawa nya keluar?”.
“Tidak ada! “ Teriak pria itu.
“Tidak ada? Jadi jika orang-orangku tidak menghentikanmu, kau pasti akan mengantarnya ke rumah sakit”, suara Luca menyenangkan, tenang, dan wajahnya tanpa emosi.
Pegangan tangan Gianna padaku sangat menyakitkan. Aku menelan ludah dan berdeham. “Aku akan menyetubuhi pantat mu yang ketat” bisikku.
Kepala Luca berputar, lalu dia berada di sampingku, wajahnya berada di dekatku, aku bisa menciumnya. Mungkin ini efek Roofies, tapi aku benar-benar ingin menciumnya dengan sangat tepat pada saat ini, ingin merobek kemejanya, ingin untuk....
“Apa yang barusan kau katakan , Aria?”
“Aku akan menyetubuhi pantat ketatmu. Aku akan membuatmu menjerit, Jalang. Dan aku akan menyetubuhimu hingga berdarah-darah, Sundal. Itu yang dia katakan padaku”. Luca menatap langsung ke mataku, otot rahangnnya bergerak. Sebelum dia bisa bergerak, Gianna melompat berdiri dan berlari ke arah Rick. Dia memukul wajah Rick dan menendang pangkal pahanya, dan berusaha keras melepaskan diri dari pegangan Matteo saat Matteo menyeretnya menjauh dari Rick.
“Kau akan mati!” teriaknya.
Luca menegakkan tubuh dan dia berhenti bergerak.
“Lepaskan aku”, Gianna mendesis,
“Kau berjanji untuk menjaga kelakuanmu?” Matteo bertanya dengan senyum geli.
Dia mengannguk dan tatapannya tertuju pada Rick. Matteo melepaskan tangannya dan dia meluruskan bajunya. “Mereka akan membuatmu berdarah”, katanya dingin. “ Dan aku berharap mereka memerkosa pantat jelek mu dengan gagang sapu yang ada disana.
“Gianna”, sergahku. Dia menghampiriku dan duduk di tepi sofa, meraih tanganku lagi.
Matteo tidak mengalihkan pandangannya dari Gianna. “Aku akan membuat dia membayarnya, Gianna”.
“Tidak” Luca berkata dengan tegas. Rick tampak siap untuk merasa lega. “Dia adalah tanggung jawabku” Matteo dan Luca bertukar pandang lama, lalu Matteo mengangguk.
Luca mendekatkan wajahnya ke wajah Rick. “Kau ingin menyetubuhi istriku? Ingin membuatmu menjerit?” Suaranya merobek rasa pusingku dan mengirimkan rasa menggigil di punggungku. Aku senang itu tidak di arahkan padaku. Aku pernah takut pada Luca sebelumnya. Tapi dia tak pernah terdengar seperti ini. Rick menggeleng panik. “Tidak, Kumohon”.
Luca melingkarkan tangannya di leher Rick dan menganggkatnya sampai berdiri berjinjit dan wajahnya menjadi merah. Lalu dia melemparkannya dan Rick menabrak dinding dan meringkuk di lantai.
“Kuharap kau lapar”, Luca menggeram. “karena aku akan memberimu makan Burungmu”.
“Bawa gadis-gadis itu ke mobil, Romero” Perintah Matteo, saat Luca menghunus pisaunya. Romero mengangkatku ke pelukannya dan berjalan keluar melalui pintu belakang, Gianna mendekat. Rasa pusing menyelimuti otakku dan aku menempelkan wajahkku ke jaket Romero. Dia menegang.
Gianna mendengus. “apa kau pikir Luca akan memotong penis mu hanya karena Aria menempel padamu ketika dia Sakit?”.
“Luca adalah bos ku dan Aria adalah miliknya”.
Gianna menggumamkan sesuatu dibawah nafasnya tapi aku aku tak bisa mencerna kata-katanya.
“Bukakan pintu untukku”, Romero berkata dan aku berbaring di kursi kulit yang dingin. Gianna mengangkat kepalaku dan menaruhnya di pangkuannya. Jari-jarinya mengurai rambutku dan dia menempelkan keningnya ke keningku. “Pria itu mendapatkan apa yang layak dia dapatkan”.
Aku menutup mataku. Aku telah mengantarkan pria itu ke kematian dengan kata-kataku. Pembunuhan pertamaku. “Pengawalmu bahkan tak berani menunggu di dalam mobil bersama kita. Luca adalah binatang buas”.
“Romero tetap mengawasi” aku berbisik.
“Tentu”, aku pasti ketiduran karena tiba-tiba pintu terbuka dan Luca berbicara. “Bagaimana keadaannya?”.
“Astaga” kata Gianna, suaranya melengking. “Kau berlumuran darah”.
Aku membuka mataku, tapi sulit fokus.
“Hanya bajuku,” kata Luca dengan rasa jengkel dalam suaranya. Ada suara gemerisik.
“Kau tak tau malu”, kata Gianna.
“Aku melepas bajuku, bukan celanaku, Sialan. Apa kau pernah menutup mulutmu?”
“Ini Bos”.
Samar-samar aku melihat Luca memakai kemeja baru. “Bakar yang satu itu dan urus segalanya. Romero. Aku akan menyetir”.
Sebuah tangan mengelus pipiku dan wajah Luca melayang di atasku. Lalu dia pergi, pintu tertutup dan dia masuk ke kursi pengemudi. Mobil mulai bergerak dan perutku bergejolak.
Gianna mencondongkan tubuh ke depan , kepalanya diantara tempat duduk. “Kau cukup besar, kau tau itu? Jika saja kau belum menikah dengan kakakku dan bukan bajingan seperti itu, aku mungkin mempertimbangkan untuk memberi mu kesempatan”.
“Gianna “ aku mengerang. Ketika dia ketakutan, atau gugup atau marah, dia tak pernah bisa berhenti bicara, dan semakin lama dia berbicara, semakin menyinggung perkataannya. Dan di sekitar Luca dia terus menerus emosi.
“Apakah kucing mencuri lidahmu? Ku dengar kau selalu melompat kemanapun yang tidak memiliki penis”, kata Gianna.
Luca masih tidak mengatakan apapun. Aku berharap aku bisa melihat wajahnya untuk mencari tau seberapa dekat dia akan meledak. Dia telah membunuh seorang pria belum lama ini; Gianna benar-benar harus menutup mulut.
Gianna mundur kebelakang, tapi aku tau dia belum selesai. Dia belum akan me yerah, sampai dia berhasil membuat Luca murka. Luca masuk ke parkiran bawah tanah. “Kita sampai” Gianna berbisik di telingaku. Aku berharap dia bisa berbicara secukupnya pada Luca seperti dia berbicara padaku.
Pintu mobil terbuka dan Luca mengangkatku ke pelukannya. Dia membawaku ke lift pribadi dan melangkah masuk . Lampu halogen yang terang membuat perih mataku tapi aku tetap membuka mataku untuk mengawasi Gianna dan Luca di kaca. Dia membungkuk di samping Luca dan ekspresinya tidak menjadi pertanda baik. “Pernahkah kau melakukan Threesome”.
Luca tidak bergerak seinchi pun. Dia menunduk menatapku tapi aku tetap menjaga perhatianku ke arah kaca, mencoab untuk mengirimkan pesan diam-diam pada Gianna untuk bisa menutup mulutna. “Berapa banyak wanita yang sudah pernah kau perkosa selain kakakku?”
Kepala Luca terangkat, matanya membara ketika menatap Gianna. Aku menekan telapak tanganku dengan lembut ke punggung Luca dan dia melirik ke bawah ke arahku. Tensinya mengendur. “bisakah kau melakukan hal lain dengan mulutmu selain menggonggong”.
Gianna berdiri tegak. “Seperti apa? Memberimu Blowjob?”.
Luca tertawa. “Girl, kau bahkan tak pernah melihat penis. Jadi tutup saja mulutmu”.
“Gianna”. Seruku sambil memperingatkan. Akhirnya , aku sampai di lantai atas dan Luca melangkah masuk ke Penthouse kami. Dia menuju tangga kamar tidur kami saat Gianna menghalangi jalannya. “Kemana kau akan membawanya?”
“Tidurlah,” kata Luca, mencoba menghindari adikku, tapi Gianna mengikuti gerakannya.
“Dia mabuk karena Roofies. Itu mungkin kesempatan yang kau tunggu-tunggu. Aku tak akan membiarkan dia sendirian denganmu”.
Luca menjadi sangat diam sepert srigala yang nyaris menyerang. “Aku hanya akan mengatakannya sekali dan sebaikknya kau mematuhi; menyingkir dari jalanku dan pergilah tidur”.
“Atau apa?”.
“Gianna , Ku mohon”, aku memohom. Dia mencari -cari wajahku , kemudian dia mengangguk sekali dan dengan cepat mencium pipiku. “Cepetlah sembuh”.
Luca berjalan melewatinya, menggendongku menaiki tangga dan kemudia masuk ke kamar tidur utama. Rasa mual yang mendesak jauh di dalam perutku berubah menjadi desakan yang mendesak. “Aku akan muntah”.
Luca membawaku ke kamar mandi dan memelukku di toilet saat aku muntah, ketika aku selesai, aku berkata. “Maafkan aku”.
“Untuk apa?” dia membantuku berdiri, meskipun satu-satunya yang membuatku tegak adalah pegangannya di pinggangku.
“Karena muntah”.
Luca menggelengkan kepalanya dan menyodorkan handuk basah. Tanganku bergetar saat aku menyeka wajahku. “ada baiknya kau mengeluarkan sebagian dari sistem tubuhmu. Roofies sialan. Itu satu-satunya cara agar pecundang jelek seperti Rick bisa memasukan penis mereka ke dalam Vagina.
Dia membawaku kembali ke kamar dan menuju tempat tidur. “Bisakah kau menanggalkan pakaianmu?”.
“Yeah”. Pada saat Luca pergi, aku terjatuh ke belakang dan mendarat di kasur. Tawa menggelegak terlepas dari ku, lalu gelombang rasa pusing yang baru menimpaku dan aku mengerang. Luca membungkuk di atasku, wajahnya sedikit buram.
“Aku akan melepaskan pakaianmu. Pakaianmu berbau asap dan muntah”. Aku tak yakin mengapa dia memberitahuku. Bukankah dia sudah pernah melihatku telanjang sebelumnya. Dia meraih ujung bajuku dan menarik ke atas kepalaku. Aku mengawasinya ketika dia membuka resleting celana kulitku dan menariknya menuruni kakiku, buku-buku jarinya menggesek kulitku dan meninggalkan rasa merinding di tiap kulit yang dilewatinya. Dia melepas sepatuku yang berkilau, dan melemparkaknya ke tanah sebelum berdiri dan menatapku. Dia berbalik tiba-tiba dan menghilang dari pandanganku. Titik-titik menari nari keluar dan masuk dari penglihatanku dan aku berada di ambang tawa lain saat Luca kembali dan membantuku mengenakan salah satu kemejanya . Dia hanya mengenakan celana pendeknya. Dia melingkarkan lengan di bawah lutut dan pundakku, lalu memindahkan tubuhku sampai kepalaku tertelungkup di atas bantal, lalu dia tidur disampingku.
“Kau mengesankan, kau tau?” Aku mengoceh.
Luca mengamati wajahku, lalu menempelkan telapak tangan di dahiku. Aku terkikik dan mengulurkan tangan , ingin menyentuh tatonya tapi salah menilai jarak dan menyapukan ujung jariku ke perutnya lalu turun. Dia mendesis, merenggut tanganku dan menekan nya di perutku. “Aria, kau dalam pengaruh obat bius. Cobalah untuk tidur”.
“Mungkin aku tak mau tidur”, aku menggeliat dalam cengkramannya.
“Tidak, kau harus tidur”.
Aku menguap. “Maukah kau memelukku?”.
Luca tidak mengatakan apa-apa. Tapi dia mematikan lampu dan memelukku dari belakang. “sebaiknya kau berbaring miring berjaga-jaga takutnya kau akan muntah lagi”.
“Apakah kau membunuhnya?”.
Ada sebuah jeda. “Ya”.
“Sekarang ada darah di tanganku”.
“Kau tidak membunuhnya”.
“Tapi kau membunuhnya karena aku”.
“Aku seorang pembunuh , Aria. Itu tidak ada hubungannya denganmu”. Itu ada hubungannya denganku, tapi aku terlalu lelah untuk mendebat.
Aku mendengarkan napasnya dan detak jantungnya. “Kau tau, terkadang aku berharap bisa membencimu, tapi aku tidak bisa. Kurasa aku mencintaimu. Aku tak pernah menyangka aku bisa mencintaimu. Dan terkadang aku bertanya-tanya bagaimana rasanya jika kau bercinta denganku”.
Luca menempelkan bibirnya di leherku. “Tidur”.
“Tapi kau tidak mencintaiku”, gumamku. “Kau tak ingin bercinta denganku. Kau ingin meniduriku karena aku milikmu”, pelukannya mengencang. “Terkadang aku berharap kau mengklaimku pada malam pernikahan kita, sehingga setidaknya aku tak akan mengharapkan sesuatu yang tak akan pernah ada. Kau ingin bersetubuh seperti kau meniduri Grace, seperti binatang. Karena itulah dia memberitahuku bahwa kau akan meniduriku hingga berdarah-darah, bukan?”
lidahku terasa berat dan kelopak mataku saling menempel. Aku sedang berbicara omong kosong, kata-kata kasar yang seharusnya tak ku ucapkan.
“Kapan dia mengatakan itu,Aria, Kapan?”
suara tajam Luca tidak bisa merobek kabut yang menutupi pikiranku dan kegelapan yang mengenalku.



**
JAILBAIT : ORANG YANG USIA NYA LEBIH MUDA DARI USIA YANG DI PERBOLEHKAN UNTUK MELAKUKAN AKTIVITAS SEKSUAL, DENGAN IMPLIKASI BAHWA  ORANG YANG BERUSIA DI ATAS USIA YANG DI LEGALKAN MENGANGGAP MEREKA MENARIK.  ISTILAH JAILBAIT BERASAL DARI FAKTA BAHWA MELAKUKAN AKTIVITAS SEKSUAL DENGAN ANAK DI BAWAH UMUR TERGOLONG PEMERKOSAAN MENURUT UNDANG -UNDANG.

ROOFIES: Obat jenis Benzodiazepin untuk mengobati keluhan tidur dan sering di gunakan sebagai obat bius dalam kasus pemerkosaan.

SEX ON LEGS ;  orang yang sangat menarik secara seksual 

1 komentar:

STUCK UP SUIT Chapter 8

GRAHAM AKU TIDAK MENDENGAR KABAR NYA SEPANJANG HARI di hari sabtu, dan tidak seperti yang aku harapkan juga. Soraya Venedetta san...