Minggu, 25 Februari 2018

Bound by Honor Chapter Tujuh Belas

Awan tebal menggantung di Langit New York, tetapi hujan tidak turun. Ini cocok untuk kesempatan kali ini. Untuk pemakaman Salvatore Vittielo, elit New York, Familia serta anggota terpenting dari Chicago telah berkumpul di pemakaman. Pemakaman di sekelilingnya telah di tutup dan sebagian besar anggota New York berjaga untuk memastikan The Bravta tidak mengganggu pemakaman tersebut. Pertemuan anggota terpenting New York dan Chicago saat ini merupakan sebuah resiko, tapi menghormati Capo dei Capi lebih penting.
Luca berdiri tegak dan tabah disamping makam ayahnya. Dia sekarang adalah Capo dei Capi baru dan dia tidak bisa menunjukan sedikit kelemahan apapun, bahkan setelah kematian ayahnya. Luca dan ayahnya tidak terlalu dekat dengan ayahnya dalam pengertian tradisional, tapi kehilangan orang tua mu, tak peduli sekejam dan sedingin apapun orang tuamu, selalu menciptakan lubang dalam dirimu. Bisa kukatakan banyak pria yang lebih tua di Familia menatap Luca dengan tatapan penuh perhitungan di mata mereka.
Luca tidak menunjukan indikasi apapun bahwa dia menyadari tapi tentu saja itu hanya sebual peran. Jadi segera setelah dia mendapatkan kekuasaannya adalah saat yang paling berbahaya. Aku tidak mengenal Salvatore Vittielo dengan baik dan aku tidak menyesal. Untukku pemakamannya hanya berarti satu hal; aku memiliki kesempatan untuk bertemu keluarga ku lagi.
Gianna, Fabi dan Lily berdiri bersama ayah dan ibu diantara para tamu dari Chicago Outfit. Mereka tiba pagi ini dan aku tidak sabar untuk meluangkan waktu bersama mereka. Setiap tamu menjabat tangan Luca, menepuk bahunya, mengucapkan beberapa kata penghiburan, kebanyakan dari mereka berbohong. Berapa banyak dari orang-orang ini yang menunggu kesempatan untuk merampas kekuasaan dari tangan Luca?
Ketika sampai pada giliran ayahku, aku harus menahan diriku untuk tidak menyerangnya karena menyetujui pernikahan antara Gianna dan Matteo. Sebagai gantinya aku menggertakan gigiku dan memberi senyum dingin. Gianna dengan tajam menghindari mata Matteo. Dia sudah kehilangan beberapa berat badan dan membuatku sedih karena melihat dia tanpa harapan.
Aku senang pemakaman telah selesai. Orang-orang itu mengadakan pertemuan yang telah dijadwalkan pada malam hari untuk membahas meningkatnya serangan orang-orang Rusia. Di dunia kami tidak ada waktu untuk meratapi kematian berlarut-larut. Chicago dan New York perlu menemukan cara untuk menghentikan Bravta sebelum Capo kehilangan nyawanya. Dan itu akan menjadi Luca, atau Dante Cavallaro.
**
Luca menginginkanku keluar dari New York, jadi dia mengirimku ke Vittielo Mansion di Hamptons. Gianna, Fabi dan Lily diijinkan untuk menemaniku semalam sebelum mereka harus pulang ke Chicago besok sore. Aku memiliki firasat ayah berharap mengatakan beberapa alasan masuk akal pada Gianna tentang kesepakatan pernikahannya dengan Matteo. Pesta pertunangan telah direncanakan pada awal November, jadi Gianna tidak punya waktu lama untuk menyesuaikan diri. Ibu tinggal bersama Ayah di Manhattan, tapi mereka mengirim Umberto bersama kami. Dia , Cesare dan Romero harus menjaga kami tetap aman.
Kami tiba di Mansion sekitar jam makan malam dan staf sudah menyiapkan makan malam untuk kami. Hatiku membuncah dengan bahagia saat Gianna, Lily , Fabi dan aku duduk bersama di meja makan yang panjang, tapi agak hening, karena ketiga pengawal kami membicarakan ancaman Rusia dengan suara sunyi, dan oleh Gianna yang menolak makan lebih dari dua gigitan. Aku tidak ingin membicarakan pertunangannya dengan Matteo dengan semua orang ada disana. Kemudian saat mereka tidur, Gianna dan aku punya cukup waktu untuk itu.
Fabi adalah satu-satunya yang menghidupkan percakapan di sisi meja kami saat dia memberitahuku dengan penuh semangat tentang koleksi pisau yang diberikan ayah untuknya. Lily sibuk diam-diam mengagumi dengan Tatapan kagum ke Romero yang sama sekali tidak menyadari tatapan kagumnya.
Setelah makan malam, kami pindah ke Loggia yang menghadap ke laut. Langit malam disini berkelip dengan bintang-bintang. Di New york kau akan jarang sekali melihatnya. Cesare telah pergi untuk melakukan apa yang mungkin dia lakukan, mungkin memeriksa sistem keamanan, dan Umberto serta Romero telah menetap di ruang tamu; darisana mereka bisa tetap mengawasi kami tanpa harus mendengar percakapan kami. Faby berbaring meringkuk disamping Lily, tertidur lelap, saat dia mengetik di ponselnya saat sesekali dia melirik Romero.
“Apa kau ingin berbicara?” aku berbisik ke Gianna yang duduk disampingku, kedua kakinya di tekan ke dadanya. Dia menggelengkan kepalanya. Rasanya seolah ada keretakan diantara kami sejak dia mendapat berita akan pertunangannya dan aku tidak tau mengapa. “Gianna, Please”.
“Tak ada yang bisa dibicarakan”.
“Mungkin itu tak seburuk yang kau pikirkan”. Dia menatapku tak percaya tapi aku terus berbicara. “Ketika aku tau aku harus menikah dengan Luca, aku sangat ketakutan, tapi aku harus menyesuaikan diri dengan Luca. Luca dan aku berjalan jauh lebih baik dari yang aku pikirkan”.
Gianna melotot. “Aku tidak seperti dirimu, Aria. Kau ingin menyenangkannya, melakukan apapun yang dia katakan. Aku tidak seperti itu. Aku tidak akan tunduk pada siapapun”.
Aku tersentak. Gianna tak pernah mengecamku seperti itu.
Dia melompat berdiri. Aku mencoba menangkap lengannya tapi dia mengguncangku. “Tinggalkan aku sendiri. Aku tidak ingin berbicara denganmu sekarang”. Dia berbalik dan bergegas menuju pantai. Aku berdiri, tidak yakin apakah harus mengikutinya, tapi aku tau dia tidak akan mendengarkanku saat dia sedang seperti itu. Umberto melangkah keluar. Aku mengangkat tangan. “Jangan, beri waktu beberapa menit untuk dia menenangkan diri. Dia sedang kesal”.
Umberto mengangguk, lalu matanya melesat ke Fabi. “Saya harus membawanya ke tempat tidur”.
Aku sudah akan mengangguk saat alarm- yang memekakan telinga memecah keheningan, tapi alarm berhenti beberapa menit kemudian. Mata Fabi melebar saat dia berpegangan erat pada Lily, keduanya menatap ka arahku seolah aku tau apa yang sedang terjadi. Romero bergegas ke arah kami, dua senjata ditarik, , ketika sebuah titik merah nampak di kening Umberto. Aku menjerit tapi itu sudah terlalu terlambat. Ada tembakan dan kepala Umberto terpental ke belakang, darah memercik ke segala penjuru. Lily mulai menjerit, dan aku masih tidak bisa bergerak. Aku menatp ke mata Umberto yang tewas. Seorang pria yang aku kenal sepanjang hidupku.
Romero melemparkan diri ke arahku, dan kami mendarat di lantai saat peluru kedua menghantam pintu kaca, membuat pecahannya berhamburan.
“Apa yang terjadi?” teriakku, kepanikan mengguncang tubuhku.
“The Bravta”, hanya itu yang Romero katakan saat dia menggiring kami melewati ruang tamu. Aku berjuang melawan dia. Lily dan Fabi meringgkuk di samping kursi santai, masih di area tembak si sniper. “Selamatkan mereka!”.
Tapi Romero mengabaikan perintahku dan dia terlalu kuat untukku. Dia mendorongku ke dinding di dalam ruang tamu, cengkramannya menggigit kulitku, matanya tajam dan liar. “Tetaplah disini jangan bergerak”.
“Lily dan Fabi”, aku tersentak.
Dia mengangguk, lalu merunduk dan bergegas kembali ke luar. Aku gemetar. Romero kembali bersam,a saudara ku, yang berpegangan padanya dengan putus asa. Aku memeluk mereka dengan erat-erat saat mereka berbaring disampingku. Dan kemudian dunia ku oleng.
“Gianna”, Bisikku.
Romero tidak mendengarku. Dia berteriak ke teleponnya. “Dimana? Berapa banyak?” wajahnya pucat. “Persetan”, dia betpaling padaku dan ekspresinya membuat perutku mencelos. “Rusia ada di property itu. Terlalu banyak untuk kita. Aku akan membawamu ke panic room di basement dan kita akan menunggu disana sampai bantuan tiba”.
Dia menggenggam lenganku tapi aku menariknya. “Bawa Lily dan Fabi kesana. Aku harus memperingatkan Gianna”.
“Kau adalah tanggung jawabku”. Romero mendesis. Disuatu tempat , kaca pecah berhamburan. Dan suara tembakan berdentang.
“Aku tidak peduli. Aku tak akan ikut denganmu, dan kau akan menuruti apa yang aku katakan. Bawa mereka ke panik room. Jika sesuatu terjadi pada Lily dan Fabi aku akan bunuh diri dan tak satupun kekuatan di dunia ini baik dirimu ataupun Luca yang bisa mengubahnya. Aku ingin kau melindungi mereka. Jaga mereka tetap aman.. itu satu-satunya yang penting untukku”.
“Kau harus ikut dengan kami”.
Aku menggelengkan kepala. “Aku harus menemukan Gianna”.
“Luca akan segera datang”.
Aku tau itu tidak benar. “Pergi, Sekarang!”.
Kami saling menatap, akhirnya dia berpaling ke adik-adikku. “ Tetaplah merunduk dan ikuti perintahku”.
Suara pria menjerit kan sesuatu dalam bahasa Rusia, dan lebih banyak tembakan di tembakkan. Cesare tak akan mampu menahan mereka lebih lama lagi jika jumlah suara menjadi indikasi.
Romero mendorong pistol ke rahku. Dan aku mengambilnya, lalu merunduk dan berlari keluar. Darah Umberto memnuhi ubin batu tapi aku tidak melihat ke mayatnya. Aku bergegas menuruni undakan menuju ke teluk saat melihat getaran di ponselku. Aku menariknya keluar dan menempelkan ke telingaku saat aku mengamati pantai untuk mencari Gianna.
“Aria?” suara khawatir Luca terdengar. “Apa kau aman?”.
“Mereka membunuh Umberto”, adalah hal yang pertama keluar dari mulutku.
“Dimana dirimu?”.
“Mencari Gianna”.
“Aria, dimana Romero? Kenapa dia tidak membawamu ke Panic Room?”.
“Aku harus menemukan Gianna”.
“Aria”, Luca terdengar putus asa. “The Bravta menginginkan dirimu. Masuklah ke Panic Room. Aku sedang di Helicopter. Aku akan ada disana dalam dua puluh menit. Aku sudah di perjalanan”. Luca membutuhkan lebih dari dua puluh menit bahkan dengan helicopter dan dia tidak bisa membawa sebanyak mungkin anak buahnya, jadi tidak ada yang bisa mengatakan berapa lama waktu yang dibutuhkannya untuk berjuang masuk ke dalam mansion. Ada kemungkinan dia akan gagal.
Gianna berlari ke arahku, matanya melebar.
“Aku tidak bisa berbicara lagi,” bisikku.
“Aria-”.
“Apa yang terjadi?” tanya Gianna saat dia terhuyung-huyung menghampiriku.
“Bravta”. Aku menariknya ke dermaga tempat perahu itu berlabuh. Akan lebih aman bersembunyi disana dibanding masuk ke dalam dan mencari Panic Room. Papan dermaga menggerang dibawag berat badan kami saat kami berjalan menuju kapal. Tapi kemudian jeritan Lily menembus malam dan aku membeku. Gianna dan aku saling pandang. Tanpa sepatah katapun, kami berbalik dan bergegas ek dalam rumah.
Jantungku berdegup kencang di dadaku saat kami tiba di loggia. Ruang tamu sepi. Aku berlutut disamping Umberto dan mengambil pisaunya walaupun aku gemetaran. Aku menyerahkan satu pada Gianna dan memasukan pisau lipat ke kantong belakangku.
“Ayo” aku berbisik. Aku bahkan tak tau apa yang akan aku dan Gianna lakukan saat kami masuk ke dalam. Aku pernah menembak sekali dan aku pernah mengendalikan pisau hanya waktu aku berlatih tanding dengan Luca , dan itu bukan pertanda baik untuk melawan mafia Rusia. Tapi aku tau aku tak akan bisa hidup dengan diriku sendiri jika aku sampai kehilangan Lily dan Fabi.
Gianna dan aku merangkak masuk. Hari sudah gelap. Seseorang pasti mematikan lampu di seluruh rumah. Aku menahan napasku tapi ini sungguh keheningan yang menakutkan. Aku mendekato pintu yang mengarah ke lobbi saat sebuah lengan terangkat dan melingkari pinggangku. Aku berseru, berjuang, mencoba memirinhkan pistol ke arah penyerangku, tapi dia memutar pergelangan tanganku. Rasa sakit melanda pergelangan tanganku dan pistol terjatuh dari jariku. Gianna terkesiap di belakangku. Aku menendang. Sebuah suara yang dalam menggeram dibelakang ku dalam bahasa Rusia. Ya Tuhan. Kakiku menghantam tulang keringnya. Dia mendorongku menjauh dan sebelum aku bisa menggapai keseimbanganku dia meninju bibirku. Penglihatanku menjadi gelap dan aku berlutut saat darah memenuhi mulutku dan menetes di daguku, rasa asin yang hangat membuat empedu naik ke tenggorokanku.
Jari -jari menjambak rambutku dan aku terhimpit di kakiku, menangis karena sakit di kulit kepalaku. Penyerangku tidak peduli dan dia menyeretklu ke lobi dengan menarik rambutku. Aku bisa melihat Gianna di pelukan pria jangkung lainnya. Dia pingsan, memar telah terbentuk di dahinya.
Aku di lemparkan ke lantai di depan kaki berpakaian jeans dan dengan cepat aku menatap ke arah wajah bopeng dan mata biru dingin. “Siapa namamu, pelacur?” tanyanya dengan bahasa inggir beraksen berat. Tidakkah dia mengenaliku? Aku tampak nya terlihat berbeda dengan darah di wajahku. Aku menatapnya dengan sikap menantang. Dia menendang perutku dan aku terjungkal, terengah-engah. “Siapa namamu?”.
Mataku terarah ke tubuh disebelah kananku. Cesare. Dia membuat suara berdeguk, mencengkram luka berdarah di perutnya. Aku tidak melihat Lily, Fabi ataupun Romero dimanapun dan aku berharap mereka berhasil sampai di panik room. Paling tidak, mereka akan bertahan.
Sebuah tangan mencengkram daguku dan merenggut kepalaku. “Maukah kau memberitahuku namamu atau aku harus membuat Igor menyakiti dia?” dia mengangguk ke arah Gianna yang terbaring disisinya di lantai marmer, berkedip linglung.
“Aria”, kataku pelan.
“Seperti Aria Vittielo?” seorang bertanya dengan senyuman kejam.
Aku mengangguk. Tak ada gunanya menyangkal hal itu. Dia mengatakan sesuatu dalam bahasa Rusia dan orang-orang itu terbahak-bahak. Kulitku merinding karena cara mereka menatapku.
“Dimana yang lainnya? bayanganmu dan para anak-anak?”.
Membutuhkan waktu beberapa menit untuk menyadari akan siapa yang dia maksud dengan bayangan. “Aku tidak tau”. Kataku .
Igor menedang Gianna. Dan dia menjerit. Matanya menatapku dan aku bisa melihat dia tidak ingin aku mengatakan apapun, tapi bagaimana aku bisa tahan melihat mereka menyakitinya?
Suara-suara serta tembakan mendekat dari arah luar. Pemimpin rusia menarikku dan menarik punggungku ke dadanya sebelum menekan pisau di tenggorokanku.
Rasa takut melumpuhkan tubuhku saat aku mendengar suara pertempuran. Aku diseret mundur mendekati ruang tamu. Igor menarik Gianna dengan menarik rambutnya. Gianna tampaknya tak mampu berdiri. Seorang mafia rusia terlempar kebelakang saat peluru menembus tenggorokannya. “Kami menangkap istrimu , Vittielo. Jika kau ingin melihatnya tetap utuh sebaiknya kau berhenti menyerang dan jatuhkan senjatamu”.
Luca masuk, pistol di masing-masing tangan. Matteo ada di belakangnya.
“Jadi, ini istrimu , Vittielo?” kata pria itu, napas panasnya di leherku. Aku menggeliat di dekapannya tapi dia memelukku erat-erat. Pisau itu mengiris kulitku dan aku menjadi diam.
Wajah Luca adalah sebuah topeng penuh kemarahan saat dia menatap penyanderaku. Mateo memutar-mutar pisau di tangannya berkali-kali, matanya berkedip ke arah Gianna yang gemetar di lantai. Cesare berhenti berdeguk. Malam ini bisa berakhir dengan kami yang tenggelam dalam darah kami sendiri.
“Lepaskan dia, Vitali”. Luca menggeram.
Vitali meraih tenggorokanku. “Kurasa tidak”.
Aku hampir tidak bisa bernapas dalam pelukannya, tapi yang kupikirkan hanyalah aku bisa kehilangan semua orang yang aku cintai malam ini. Aku tak tahan menyaksikan semua orang mati.
“Kau mengambil sesuatu yang menjadi milik kami, Vittielo, dan sekarang aku memiliki sesuatu yang menjadi milikmu”. Vitali menjilat pipiku dan aku hampir muntah. “Aku ingin tau dimana tempatnya”.
Luca melangkah maju, lalu membeku saat Vitali mengangkat pisau ke tenggorokanku lagi. “Jatuhkan senjatamu atau aku akan memotong tenggorokannya”.
Vitali tolol saat mengira Luca akan melakukan itu, tapi kemudian aku menyaksikan dengan ngeri saat Luca menjatuhkan senapannya ke lantai.
“Istrimu rasanya nikmat. Aku ingin tau apakah dia terasa nikmat dimanapun”. Dia membalik tubuhku sehingga aku menghadapnya. Napasnya yang berbau busuk menusuk wajahku. Dari sudut mataku, aku bisa melihat Luca mengawasiku, tapi aku berharap dia bisa berpaling. Aku tak ingin dia melihat ini. Bibir Vitali mendekat. Aku yakin aku akan muntah.
Aku mencoba menghindar ke belakang tapi dia tertawa terbahak-bahak dan mencengkram pinggulku tapi aku hampir tidak menyadarinya, karena pergerakanku, pisau lipat menusuk pantatku. Saat Vitali menjilati daguku, aku menyelipkan tanganku ke kantong belakangku, menarik pisau keluar, melepaskan pisau itu, dan menghujamkannya ke pahanya.
Dia berteriak, terhuyung mundur dan peperangan pecah. Luca praktis terbang melintasi ruangan dan menarikku ke arahnya saat dia menggorok tenggorokan Vitali dari arah telinga satu ke telinga satunya. Kepala pria itu miring kebelakang, dan darah menyembur keluar, lalu dia terjungkal. Peluru merobek udara, dan terjerat. Lantai licin karena darah dan hanya lengan Luca yang memegang lenganku yang menahanku tetap tegak. Dia mungkin telah menjatuhkan pisaunya di satu titik karena dia sedang menembak peluru demi peluru keluar dari pistol hitam ramping dengan peredam. Aku mengambil pistol yang berada di genangan darah. Terasa licin ditanganku tapi bobotnya terasa ringan. Tiba-tiba Romero juga ada disana. Mataku mencoba menemukan Gianna tapi dia telah pergi dari lantai tempatnya tadi.
Luca menembak musuh yang lain lagi dan dia meraih ke bawah untuk mengambil pistol dari pria yang mati saat senjatanya kehabisan peluru, ketika salah satu mafia Rusia di arah kanan kami mengacungkan pistol ke Luca. Aku menjerit untuk memberi peringatan dan pada saat yang sama terseok-seok maju dan mengarahkan senjataku ke orang itu dan melepaskan tembakan. Aku bahkan tidak memikirkan apapun. Aku telah bersumpah pada diriku sendiri bahwa aku tidak akan melihat orang yang aku cintai meninggal malam ini bahkan kalaupun aku harus mati duluan.
Peluru menghantam bahuku dan dunia ku meledak dalam sakit. Tembakanku mengenai kepala pria itu dan dia jatuh mati ke tanah. Luca menarikku ke sisinya, tapi pandanganku menggelap.
Saat aku tersadar lagi, Luca memelukku erat-erat. Terdengar hening di sekitar kami kecuali suara seseorang yang merintih. Butuh beberapa saat bagiku untuk menyadari bahwa itu adalah rintihanku sendiri dan kemudian rasa sakit itu menyelimuti diriku dan aku berharap aku tidak sadar tapi aku perlu tau apakah semua orang baik-baik saja. “Kau baik-baik saja?” kataku dengan suara serak.
Luca gemetar dihadapanku. “Ya” dia menggerutu. “Tapi dirimu tidak”. Dia menekan bahuku. Dan mungkin itu menjelaskan darimana asal rasa skitnya. Bagian depan dan belakang kemejaku licin dengan cairan hangat.
“Bagaimana dengan Gianna, Lily dan Fabi?” aku berbisik bahkan saat kegelapan ingin mengklaimku lagi.
“Baik-baik saja” seru Gianna dari suatu tempat. Dia terdengar jauh atau mungkin itu hanyalah imajinasiku. Luca mengayunkan tangannya ke bawah tubuhku dan berdiri. Aku menangis kesakitan, air mata jebol dari mataku. Lobi penuh sesak dengan orang-orang kami.
“Aku akan mengantarmu ke Rumah sakit”, kata Luca.
“Luca”, Matteo berkata penuh dengan peringatan. “Biarkan Doc menanganinya. Dia telah mengurus bisnis kita selama bertahun-tahun”.
“Tidak”, Luca membentak. “Aria butuh perawatan yang layak. Dia kehilangan terlalu banyak darah”. Aku bisa melihat beberapa anak buah Luca menoleh ke arah yang lain sebelum mereka berpura-pura sibuk. Luca adalah Capo mereka. Dia tidak boleh menunjukan kelemahan, bahkan padaku.
“Aku bisa melakukan transfusi darah”. Terdengar suara yang dalam dan menenangkan. Doc. Umurnya lebih dari enam puluh tahun dengan rambut seputih salju dan wajah yang baik hati.
Cengkraman Luca padaku mengencang. Aku mencengkram lengannya. “Tak apa-apa Luca. Biarkan dia mengurusku. Aku tak ingin kau membawaku ke rumah sakit. Itu terlalu berbahaya”.
Mata Luca menunjukan keraguan, lalu perlahan dia mengangguk. “Ikuti aku!” dia membawaku ke tangga, tapi aku kehilangan kesadaran lagi.

**
aku terbangun di tempat tidur empuk, merasa babak belur dan berkabut. Mataku perlahan terbuka. Gianna berbaring di sampingku, tidur. Di luar terlihat terang, jadi mungkin beberapa jam telah terlewat. Aku memar besar di keningnya, tapi seharusnya aku terlihat lebih parah. Kami sendirian dan kekecewaan memenuhi ku. Aku mencoba duduk dan mendapat ganjaran nyeri di pundakku. Melirik ke bawah aku menemukan lengan dan bahu atasku terbungkus perban.
Gianna menggeliat, dan dia memberiku semyum lega. “Kau sudah bangun”.
“Yeah”, aku berbisik. Mulutku terasa seakan dipenuhi kapas.
“Luca , telah menjaga tempat tidurmu hampir sepanajang malam, tapi Matteo memaksa nya keluar dan membantu Matteo dengan mafia Rusia yang mereka tangkap”.
“Mereka menangkap beberapa?”
“Yeah, mereka mencoba mengambil informasi dari mereka”.
Bibirku berjengit, tapi aku tak bisa merasa kasihan pada mereka. “Bagaimana kabarmu?”.
“Lebih baik dibanding dirimu”. Kata Gianna, kemudian dia memejamkan matanya. “Aku minta maaf karena membentakmu kemarin. Aku akan membenci diriku selamanya jika itu adalah hal terakhir yang aku katakan padamu”.
Aku menggelengkan kepalaku. “Tak apa”.
Dia melompat turun dari tempat tidur. “aku sebaiknya memberitahu Luca bahwa kau telah bangun atau dia akan mencabut kepalaku”.
Dia menghilang, dan beberapa menit kemudian , Luca melangkah masuk. Dia berdiri di ambang pintu, ekspresinya tidak terbaca saat dia membiarkan pandangannya mengembara di atasku. Lalu dia melangkah ke tempat tidur dan mencium keningku. “Kau butuh Morfin?”.
Bahuku serasa seperti dibakar. “Yeah”.
Luca berbalik ke arah meja disamping tempat tidur dan mengambil jarum suntik. Dia meraih lenganku dan menyuntikkan jarum di lekukan lenganku. Ketika dia telah selesai, dia melemparkan jarum suntik ke kotak sampah tapi tidak melepaskan tanganku. Aku mengaitkan jariku. “Apakah kita telah kehilangan seseorang?”.
“Beberapa. Cesare dan beberapa prajurit”. Dia berkata, kemudian terdiam. “Dan Umberto”.
“Aku tau. Aku melihat dia di tembak”. Perutku bergejolak hebat. Masih terasa tidak nyata. Aku harus menulis surat pada istri Umberto, tapi aku butuh pikiran yang waras untuk itu.
“Apa yang dimaksud oleh Vitali ketika dia berkata kau mengambil sesuatu yang menjadi miliknya”.
Bibir Luca menipis. “ kami menggagalkan salah satu pengiriman Narkoba mereka. Tapi itu tidaklah penting sekarang”.
“Lalu apa yang penting?”.
“Bahwa aku hampir kehilangan dirimu. Diriku yang melihatmu tertembak”, kata Luca dengan suara aneh, tapi ekspresinya tidak menunjukan apapun. “Kau beruntung peluru itu hanya mengenai bahu mu. Doc mengatakan itu akan sembuh total dan kau akan bisa menggunakan lenganmu seperti sediakala”.
Aku mencoba tersenyum, tapi morfin membuatku mengantuk. Aku berkedip, berusaha tetap terjaga, Luca membungkuk. “Jangan lakukan itu lagi”.
“Apa?” aku menarik napas.
“Menghadang peluru untukku”.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

STUCK UP SUIT Chapter 8

GRAHAM AKU TIDAK MENDENGAR KABAR NYA SEPANJANG HARI di hari sabtu, dan tidak seperti yang aku harapkan juga. Soraya Venedetta san...