Awan tebal
menggantung di Langit New York, tetapi hujan tidak turun. Ini cocok
untuk kesempatan kali ini. Untuk pemakaman Salvatore Vittielo, elit
New York, Familia serta anggota terpenting dari Chicago telah
berkumpul di pemakaman. Pemakaman di sekelilingnya telah di tutup
dan sebagian besar anggota New York berjaga untuk memastikan The
Bravta tidak mengganggu pemakaman tersebut. Pertemuan anggota
terpenting New York dan Chicago saat ini merupakan sebuah resiko,
tapi menghormati Capo dei Capi lebih penting.
Luca berdiri tegak
dan tabah disamping makam ayahnya. Dia sekarang adalah Capo dei Capi
baru dan dia tidak bisa menunjukan sedikit kelemahan apapun, bahkan
setelah kematian ayahnya. Luca dan ayahnya tidak terlalu dekat
dengan ayahnya dalam pengertian tradisional, tapi kehilangan orang
tua mu, tak peduli sekejam dan sedingin apapun orang tuamu, selalu
menciptakan lubang dalam dirimu. Bisa kukatakan banyak pria yang
lebih tua di Familia menatap Luca dengan tatapan penuh perhitungan di
mata mereka.
Luca tidak
menunjukan indikasi apapun bahwa dia menyadari tapi tentu saja itu
hanya sebual peran. Jadi segera setelah dia mendapatkan
kekuasaannya adalah saat yang paling berbahaya. Aku tidak mengenal
Salvatore Vittielo dengan baik dan aku tidak menyesal. Untukku
pemakamannya hanya berarti satu hal; aku memiliki kesempatan untuk
bertemu keluarga ku lagi.
Gianna, Fabi dan
Lily berdiri bersama ayah dan ibu diantara para tamu dari Chicago
Outfit. Mereka tiba pagi ini dan aku tidak sabar untuk meluangkan
waktu bersama mereka. Setiap tamu menjabat tangan Luca, menepuk
bahunya, mengucapkan beberapa kata penghiburan, kebanyakan dari
mereka berbohong. Berapa banyak dari orang-orang ini yang menunggu
kesempatan untuk merampas kekuasaan dari tangan Luca?
Ketika sampai pada
giliran ayahku, aku harus menahan diriku untuk tidak menyerangnya
karena menyetujui pernikahan antara Gianna dan Matteo. Sebagai
gantinya aku menggertakan gigiku dan memberi senyum dingin. Gianna
dengan tajam menghindari mata Matteo. Dia sudah kehilangan beberapa
berat badan dan membuatku sedih karena melihat dia tanpa harapan.
Aku senang pemakaman
telah selesai. Orang-orang itu mengadakan pertemuan yang telah
dijadwalkan pada malam hari untuk membahas meningkatnya serangan
orang-orang Rusia. Di dunia kami tidak ada waktu untuk meratapi
kematian berlarut-larut. Chicago dan New York perlu menemukan cara
untuk menghentikan Bravta sebelum Capo kehilangan nyawanya. Dan itu
akan menjadi Luca, atau Dante Cavallaro.
**
Luca menginginkanku
keluar dari New York, jadi dia mengirimku ke Vittielo Mansion di
Hamptons. Gianna, Fabi dan Lily diijinkan untuk menemaniku semalam
sebelum mereka harus pulang ke Chicago besok sore. Aku memiliki
firasat ayah berharap mengatakan beberapa alasan masuk akal pada
Gianna tentang kesepakatan pernikahannya dengan Matteo. Pesta
pertunangan telah direncanakan pada awal November, jadi Gianna tidak
punya waktu lama untuk menyesuaikan diri. Ibu tinggal bersama Ayah
di Manhattan, tapi mereka mengirim Umberto bersama kami. Dia ,
Cesare dan Romero harus menjaga kami tetap aman.
Kami tiba di Mansion
sekitar jam makan malam dan staf sudah menyiapkan makan malam untuk
kami. Hatiku membuncah dengan bahagia saat Gianna, Lily , Fabi dan
aku duduk bersama di meja makan yang panjang, tapi agak hening,
karena ketiga pengawal kami membicarakan ancaman Rusia dengan suara
sunyi, dan oleh Gianna yang menolak makan lebih dari dua gigitan.
Aku tidak ingin membicarakan pertunangannya dengan Matteo dengan
semua orang ada disana. Kemudian saat mereka tidur, Gianna dan aku
punya cukup waktu untuk itu.
Fabi adalah
satu-satunya yang menghidupkan percakapan di sisi meja kami saat dia
memberitahuku dengan penuh semangat tentang koleksi pisau yang
diberikan ayah untuknya. Lily sibuk diam-diam mengagumi dengan
Tatapan kagum ke Romero yang sama sekali tidak menyadari tatapan
kagumnya.
Setelah makan malam,
kami pindah ke Loggia yang menghadap ke laut. Langit malam disini
berkelip dengan bintang-bintang. Di New york kau akan jarang sekali
melihatnya. Cesare telah pergi untuk melakukan apa yang mungkin dia
lakukan, mungkin memeriksa sistem keamanan, dan Umberto serta Romero
telah menetap di ruang tamu; darisana mereka bisa tetap mengawasi
kami tanpa harus mendengar percakapan kami. Faby berbaring meringkuk
disamping Lily, tertidur lelap, saat dia mengetik di ponselnya saat
sesekali dia melirik Romero.
“Apa kau ingin
berbicara?” aku berbisik ke Gianna yang duduk disampingku, kedua
kakinya di tekan ke dadanya. Dia menggelengkan kepalanya. Rasanya
seolah ada keretakan diantara kami sejak dia mendapat berita akan
pertunangannya dan aku tidak tau mengapa. “Gianna, Please”.
“Tak ada yang bisa
dibicarakan”.
“Mungkin itu tak
seburuk yang kau pikirkan”. Dia menatapku tak percaya tapi aku
terus berbicara. “Ketika aku tau aku harus menikah dengan Luca,
aku sangat ketakutan, tapi aku harus menyesuaikan diri dengan Luca.
Luca dan aku berjalan jauh lebih baik dari yang aku pikirkan”.
Gianna melotot.
“Aku tidak seperti dirimu, Aria. Kau ingin menyenangkannya,
melakukan apapun yang dia katakan. Aku tidak seperti itu. Aku tidak
akan tunduk pada siapapun”.
Aku tersentak.
Gianna tak pernah mengecamku seperti itu.
Dia melompat
berdiri. Aku mencoba menangkap lengannya tapi dia mengguncangku.
“Tinggalkan aku sendiri. Aku tidak ingin berbicara denganmu
sekarang”. Dia berbalik dan bergegas menuju pantai. Aku berdiri,
tidak yakin apakah harus mengikutinya, tapi aku tau dia tidak akan
mendengarkanku saat dia sedang seperti itu. Umberto melangkah
keluar. Aku mengangkat tangan. “Jangan, beri waktu beberapa menit
untuk dia menenangkan diri. Dia sedang kesal”.
Umberto mengangguk,
lalu matanya melesat ke Fabi. “Saya harus membawanya ke tempat
tidur”.
Aku sudah akan
mengangguk saat alarm- yang memekakan telinga memecah keheningan,
tapi alarm berhenti beberapa menit kemudian. Mata Fabi melebar saat
dia berpegangan erat pada Lily, keduanya menatap ka arahku seolah
aku tau apa yang sedang terjadi. Romero bergegas ke arah kami, dua
senjata ditarik, , ketika sebuah titik merah nampak di kening
Umberto. Aku menjerit tapi itu sudah terlalu terlambat. Ada
tembakan dan kepala Umberto terpental ke belakang, darah memercik ke
segala penjuru. Lily mulai menjerit, dan aku masih tidak bisa
bergerak. Aku menatp ke mata Umberto yang tewas. Seorang pria yang
aku kenal sepanjang hidupku.
Romero melemparkan
diri ke arahku, dan kami mendarat di lantai saat peluru kedua
menghantam pintu kaca, membuat pecahannya berhamburan.
“Apa yang
terjadi?” teriakku, kepanikan mengguncang tubuhku.
“The Bravta”,
hanya itu yang Romero katakan saat dia menggiring kami melewati
ruang tamu. Aku berjuang melawan dia. Lily dan Fabi meringgkuk di
samping kursi santai, masih di area tembak si sniper. “Selamatkan
mereka!”.
Tapi Romero
mengabaikan perintahku dan dia terlalu kuat untukku. Dia
mendorongku ke dinding di dalam ruang tamu, cengkramannya menggigit
kulitku, matanya tajam dan liar. “Tetaplah disini jangan
bergerak”.
“Lily dan Fabi”,
aku tersentak.
Dia mengangguk, lalu
merunduk dan bergegas kembali ke luar. Aku gemetar. Romero kembali
bersam,a saudara ku, yang berpegangan padanya dengan putus asa. Aku
memeluk mereka dengan erat-erat saat mereka berbaring disampingku.
Dan kemudian dunia ku oleng.
“Gianna”,
Bisikku.
Romero tidak
mendengarku. Dia berteriak ke teleponnya. “Dimana? Berapa
banyak?” wajahnya pucat. “Persetan”, dia betpaling padaku
dan ekspresinya membuat perutku mencelos. “Rusia ada di property
itu. Terlalu banyak untuk kita. Aku akan membawamu ke panic room di
basement dan kita akan menunggu disana sampai bantuan tiba”.
Dia menggenggam
lenganku tapi aku menariknya. “Bawa Lily dan Fabi kesana. Aku
harus memperingatkan Gianna”.
“Kau adalah
tanggung jawabku”. Romero mendesis. Disuatu tempat , kaca pecah
berhamburan. Dan suara tembakan berdentang.
“Aku tidak peduli.
Aku tak akan ikut denganmu, dan kau akan menuruti apa yang aku
katakan. Bawa mereka ke panik room. Jika sesuatu terjadi pada Lily
dan Fabi aku akan bunuh diri dan tak satupun kekuatan di dunia ini
baik dirimu ataupun Luca yang bisa mengubahnya. Aku ingin kau
melindungi mereka. Jaga mereka tetap aman.. itu satu-satunya yang
penting untukku”.
“Kau harus ikut
dengan kami”.
Aku menggelengkan
kepala. “Aku harus menemukan Gianna”.
“Luca akan segera
datang”.
Aku tau itu tidak
benar. “Pergi, Sekarang!”.
Kami saling menatap,
akhirnya dia berpaling ke adik-adikku. “ Tetaplah merunduk dan
ikuti perintahku”.
Suara pria menjerit
kan sesuatu dalam bahasa Rusia, dan lebih banyak tembakan di
tembakkan. Cesare tak akan mampu menahan mereka lebih lama lagi
jika jumlah suara menjadi indikasi.
Romero mendorong
pistol ke rahku. Dan aku mengambilnya, lalu merunduk dan berlari
keluar. Darah Umberto memnuhi ubin batu tapi aku tidak melihat ke
mayatnya. Aku bergegas menuruni undakan menuju ke teluk saat
melihat getaran di ponselku. Aku menariknya keluar dan menempelkan
ke telingaku saat aku mengamati pantai untuk mencari Gianna.
“Aria?” suara
khawatir Luca terdengar. “Apa kau aman?”.
“Mereka membunuh
Umberto”, adalah hal yang pertama keluar dari mulutku.
“Dimana dirimu?”.
“Mencari Gianna”.
“Aria, dimana
Romero? Kenapa dia tidak membawamu ke Panic Room?”.
“Aku harus
menemukan Gianna”.
“Aria”, Luca
terdengar putus asa. “The Bravta menginginkan dirimu. Masuklah ke
Panic Room. Aku sedang di Helicopter. Aku akan ada disana dalam dua
puluh menit. Aku sudah di perjalanan”. Luca membutuhkan lebih
dari dua puluh menit bahkan dengan helicopter dan dia tidak bisa
membawa sebanyak mungkin anak buahnya, jadi tidak ada yang bisa
mengatakan berapa lama waktu yang dibutuhkannya untuk berjuang masuk
ke dalam mansion. Ada kemungkinan dia akan gagal.
Gianna berlari ke
arahku, matanya melebar.
“Aku tidak bisa
berbicara lagi,” bisikku.
“Aria-”.
“Apa yang
terjadi?” tanya Gianna saat dia terhuyung-huyung menghampiriku.
“Bravta”. Aku
menariknya ke dermaga tempat perahu itu berlabuh. Akan lebih aman
bersembunyi disana dibanding masuk ke dalam dan mencari Panic Room.
Papan dermaga menggerang dibawag berat badan kami saat kami berjalan
menuju kapal. Tapi kemudian jeritan Lily menembus malam dan aku
membeku. Gianna dan aku saling pandang. Tanpa sepatah katapun, kami
berbalik dan bergegas ek dalam rumah.
Jantungku berdegup
kencang di dadaku saat kami tiba di loggia. Ruang tamu sepi. Aku
berlutut disamping Umberto dan mengambil pisaunya walaupun aku
gemetaran. Aku menyerahkan satu pada Gianna dan memasukan pisau
lipat ke kantong belakangku.
“Ayo” aku
berbisik. Aku bahkan tak tau apa yang akan aku dan Gianna lakukan
saat kami masuk ke dalam. Aku pernah menembak sekali dan aku pernah
mengendalikan pisau hanya waktu aku berlatih tanding dengan Luca ,
dan itu bukan pertanda baik untuk melawan mafia Rusia. Tapi aku tau
aku tak akan bisa hidup dengan diriku sendiri jika aku sampai
kehilangan Lily dan Fabi.
Gianna dan aku
merangkak masuk. Hari sudah gelap. Seseorang pasti mematikan lampu
di seluruh rumah. Aku menahan napasku tapi ini sungguh keheningan
yang menakutkan. Aku mendekato pintu yang mengarah ke lobbi saat
sebuah lengan terangkat dan melingkari pinggangku. Aku berseru,
berjuang, mencoba memirinhkan pistol ke arah penyerangku, tapi dia
memutar pergelangan tanganku. Rasa sakit melanda pergelangan
tanganku dan pistol terjatuh dari jariku. Gianna terkesiap di
belakangku. Aku menendang. Sebuah suara yang dalam menggeram
dibelakang ku dalam bahasa Rusia. Ya Tuhan. Kakiku menghantam
tulang keringnya. Dia mendorongku menjauh dan sebelum aku bisa
menggapai keseimbanganku dia meninju bibirku. Penglihatanku menjadi
gelap dan aku berlutut saat darah memenuhi mulutku dan menetes di
daguku, rasa asin yang hangat membuat empedu naik ke tenggorokanku.
Jari -jari menjambak
rambutku dan aku terhimpit di kakiku, menangis karena sakit di kulit
kepalaku. Penyerangku tidak peduli dan dia menyeretklu ke lobi
dengan menarik rambutku. Aku bisa melihat Gianna di pelukan pria
jangkung lainnya. Dia pingsan, memar telah terbentuk di dahinya.
Aku di lemparkan ke
lantai di depan kaki berpakaian jeans dan dengan cepat aku menatap
ke arah wajah bopeng dan mata biru dingin. “Siapa namamu,
pelacur?” tanyanya dengan bahasa inggir beraksen berat. Tidakkah
dia mengenaliku? Aku tampak nya terlihat berbeda dengan darah di
wajahku. Aku menatapnya dengan sikap menantang. Dia menendang
perutku dan aku terjungkal, terengah-engah. “Siapa namamu?”.
Mataku terarah ke
tubuh disebelah kananku. Cesare. Dia membuat suara berdeguk,
mencengkram luka berdarah di perutnya. Aku tidak melihat Lily, Fabi
ataupun Romero dimanapun dan aku berharap mereka berhasil sampai di
panik room. Paling tidak, mereka akan bertahan.
Sebuah tangan
mencengkram daguku dan merenggut kepalaku. “Maukah kau
memberitahuku namamu atau aku harus membuat Igor menyakiti dia?”
dia mengangguk ke arah Gianna yang terbaring disisinya di lantai
marmer, berkedip linglung.
“Aria”, kataku
pelan.
“Seperti Aria
Vittielo?” seorang bertanya dengan senyuman kejam.
Aku mengangguk. Tak
ada gunanya menyangkal hal itu. Dia mengatakan sesuatu dalam bahasa
Rusia dan orang-orang itu terbahak-bahak. Kulitku merinding karena
cara mereka menatapku.
“Dimana yang
lainnya? bayanganmu dan para anak-anak?”.
Membutuhkan waktu
beberapa menit untuk menyadari akan siapa yang dia maksud dengan
bayangan. “Aku tidak tau”. Kataku .
Igor menedang
Gianna. Dan dia menjerit. Matanya menatapku dan aku bisa melihat
dia tidak ingin aku mengatakan apapun, tapi bagaimana aku bisa tahan
melihat mereka menyakitinya?
Suara-suara serta
tembakan mendekat dari arah luar. Pemimpin rusia menarikku dan
menarik punggungku ke dadanya sebelum menekan pisau di tenggorokanku.
Rasa takut
melumpuhkan tubuhku saat aku mendengar suara pertempuran. Aku
diseret mundur mendekati ruang tamu. Igor menarik Gianna dengan
menarik rambutnya. Gianna tampaknya tak mampu berdiri. Seorang
mafia rusia terlempar kebelakang saat peluru menembus tenggorokannya.
“Kami menangkap istrimu , Vittielo. Jika kau ingin melihatnya
tetap utuh sebaiknya kau berhenti menyerang dan jatuhkan senjatamu”.
Luca masuk, pistol
di masing-masing tangan. Matteo ada di belakangnya.
“Jadi, ini istrimu
, Vittielo?” kata pria itu, napas panasnya di leherku. Aku
menggeliat di dekapannya tapi dia memelukku erat-erat. Pisau itu
mengiris kulitku dan aku menjadi diam.
Wajah Luca adalah
sebuah topeng penuh kemarahan saat dia menatap penyanderaku. Mateo
memutar-mutar pisau di tangannya berkali-kali, matanya berkedip ke
arah Gianna yang gemetar di lantai. Cesare berhenti berdeguk. Malam
ini bisa berakhir dengan kami yang tenggelam dalam darah kami
sendiri.
“Lepaskan dia,
Vitali”. Luca menggeram.
Vitali meraih
tenggorokanku. “Kurasa tidak”.
Aku hampir tidak
bisa bernapas dalam pelukannya, tapi yang kupikirkan hanyalah aku
bisa kehilangan semua orang yang aku cintai malam ini. Aku tak tahan
menyaksikan semua orang mati.
“Kau mengambil
sesuatu yang menjadi milik kami, Vittielo, dan sekarang aku memiliki
sesuatu yang menjadi milikmu”. Vitali menjilat pipiku dan aku
hampir muntah. “Aku ingin tau dimana tempatnya”.
Luca melangkah maju,
lalu membeku saat Vitali mengangkat pisau ke tenggorokanku lagi.
“Jatuhkan senjatamu atau aku akan memotong tenggorokannya”.
Vitali tolol saat
mengira Luca akan melakukan itu, tapi kemudian aku menyaksikan dengan
ngeri saat Luca menjatuhkan senapannya ke lantai.
“Istrimu rasanya
nikmat. Aku ingin tau apakah dia terasa nikmat dimanapun”. Dia
membalik tubuhku sehingga aku menghadapnya. Napasnya yang berbau
busuk menusuk wajahku. Dari sudut mataku, aku bisa melihat Luca
mengawasiku, tapi aku berharap dia bisa berpaling. Aku tak ingin dia
melihat ini. Bibir Vitali mendekat. Aku yakin aku akan muntah.
Aku mencoba
menghindar ke belakang tapi dia tertawa terbahak-bahak dan
mencengkram pinggulku tapi aku hampir tidak menyadarinya, karena
pergerakanku, pisau lipat menusuk pantatku. Saat Vitali menjilati
daguku, aku menyelipkan tanganku ke kantong belakangku, menarik
pisau keluar, melepaskan pisau itu, dan menghujamkannya ke pahanya.
Dia berteriak,
terhuyung mundur dan peperangan pecah. Luca praktis terbang
melintasi ruangan dan menarikku ke arahnya saat dia menggorok
tenggorokan Vitali dari arah telinga satu ke telinga satunya. Kepala
pria itu miring kebelakang, dan darah menyembur keluar, lalu dia
terjungkal. Peluru merobek udara, dan terjerat. Lantai licin
karena darah dan hanya lengan Luca yang memegang lenganku yang
menahanku tetap tegak. Dia mungkin telah menjatuhkan pisaunya di
satu titik karena dia sedang menembak peluru demi peluru keluar
dari pistol hitam ramping dengan peredam. Aku mengambil pistol yang
berada di genangan darah. Terasa licin ditanganku tapi bobotnya
terasa ringan. Tiba-tiba Romero juga ada disana. Mataku mencoba
menemukan Gianna tapi dia telah pergi dari lantai tempatnya tadi.
Luca menembak musuh
yang lain lagi dan dia meraih ke bawah untuk mengambil pistol dari
pria yang mati saat senjatanya kehabisan peluru, ketika salah satu
mafia Rusia di arah kanan kami mengacungkan pistol ke Luca. Aku
menjerit untuk memberi peringatan dan pada saat yang sama
terseok-seok maju dan mengarahkan senjataku ke orang itu dan
melepaskan tembakan. Aku bahkan tidak memikirkan apapun. Aku telah
bersumpah pada diriku sendiri bahwa aku tidak akan melihat orang yang
aku cintai meninggal malam ini bahkan kalaupun aku harus mati duluan.
Peluru menghantam
bahuku dan dunia ku meledak dalam sakit. Tembakanku mengenai kepala
pria itu dan dia jatuh mati ke tanah. Luca menarikku ke sisinya,
tapi pandanganku menggelap.
Saat aku tersadar
lagi, Luca memelukku erat-erat. Terdengar hening di sekitar kami
kecuali suara seseorang yang merintih. Butuh beberapa saat bagiku
untuk menyadari bahwa itu adalah rintihanku sendiri dan kemudian
rasa sakit itu menyelimuti diriku dan aku berharap aku tidak sadar
tapi aku perlu tau apakah semua orang baik-baik saja. “Kau
baik-baik saja?” kataku dengan suara serak.
Luca gemetar
dihadapanku. “Ya” dia menggerutu. “Tapi dirimu tidak”.
Dia menekan bahuku. Dan mungkin itu menjelaskan darimana asal rasa
skitnya. Bagian depan dan belakang kemejaku licin dengan cairan
hangat.
“Bagaimana dengan
Gianna, Lily dan Fabi?” aku berbisik bahkan saat kegelapan ingin
mengklaimku lagi.
“Baik-baik saja”
seru Gianna dari suatu tempat. Dia terdengar jauh atau mungkin itu
hanyalah imajinasiku. Luca mengayunkan tangannya ke bawah tubuhku
dan berdiri. Aku menangis kesakitan, air mata jebol dari mataku.
Lobi penuh sesak dengan orang-orang kami.
“Aku akan
mengantarmu ke Rumah sakit”, kata Luca.
“Luca”, Matteo
berkata penuh dengan peringatan. “Biarkan Doc menanganinya. Dia
telah mengurus bisnis kita selama bertahun-tahun”.
“Tidak”, Luca
membentak. “Aria butuh perawatan yang layak. Dia kehilangan
terlalu banyak darah”. Aku bisa melihat beberapa anak buah Luca
menoleh ke arah yang lain sebelum mereka berpura-pura sibuk. Luca
adalah Capo mereka. Dia tidak boleh menunjukan kelemahan, bahkan
padaku.
“Aku bisa
melakukan transfusi darah”. Terdengar suara yang dalam dan
menenangkan. Doc. Umurnya lebih dari enam puluh tahun dengan rambut
seputih salju dan wajah yang baik hati.
Cengkraman Luca
padaku mengencang. Aku mencengkram lengannya. “Tak apa-apa Luca.
Biarkan dia mengurusku. Aku tak ingin kau membawaku ke rumah sakit.
Itu terlalu berbahaya”.
Mata Luca menunjukan
keraguan, lalu perlahan dia mengangguk. “Ikuti aku!” dia
membawaku ke tangga, tapi aku kehilangan kesadaran lagi.
**
aku terbangun di
tempat tidur empuk, merasa babak belur dan berkabut. Mataku
perlahan terbuka. Gianna berbaring di sampingku, tidur. Di luar
terlihat terang, jadi mungkin beberapa jam telah terlewat. Aku
memar besar di keningnya, tapi seharusnya aku terlihat lebih parah.
Kami sendirian dan kekecewaan memenuhi ku. Aku mencoba duduk dan
mendapat ganjaran nyeri di pundakku. Melirik ke bawah aku menemukan
lengan dan bahu atasku terbungkus perban.
Gianna menggeliat,
dan dia memberiku semyum lega. “Kau sudah bangun”.
“Yeah”, aku
berbisik. Mulutku terasa seakan dipenuhi kapas.
“Luca , telah
menjaga tempat tidurmu hampir sepanajang malam, tapi Matteo memaksa
nya keluar dan membantu Matteo dengan mafia Rusia yang mereka
tangkap”.
“Mereka menangkap
beberapa?”
“Yeah, mereka
mencoba mengambil informasi dari mereka”.
Bibirku berjengit,
tapi aku tak bisa merasa kasihan pada mereka. “Bagaimana
kabarmu?”.
“Lebih baik
dibanding dirimu”. Kata Gianna, kemudian dia memejamkan matanya.
“Aku minta maaf karena membentakmu kemarin. Aku akan membenci
diriku selamanya jika itu adalah hal terakhir yang aku katakan
padamu”.
Aku menggelengkan
kepalaku. “Tak apa”.
Dia melompat turun
dari tempat tidur. “aku sebaiknya memberitahu Luca bahwa kau telah
bangun atau dia akan mencabut kepalaku”.
Dia menghilang, dan
beberapa menit kemudian , Luca melangkah masuk. Dia berdiri di
ambang pintu, ekspresinya tidak terbaca saat dia membiarkan
pandangannya mengembara di atasku. Lalu dia melangkah ke tempat
tidur dan mencium keningku. “Kau butuh Morfin?”.
Bahuku serasa
seperti dibakar. “Yeah”.
Luca berbalik ke
arah meja disamping tempat tidur dan mengambil jarum suntik. Dia
meraih lenganku dan menyuntikkan jarum di lekukan lenganku. Ketika
dia telah selesai, dia melemparkan jarum suntik ke kotak sampah tapi
tidak melepaskan tanganku. Aku mengaitkan jariku. “Apakah kita
telah kehilangan seseorang?”.
“Beberapa. Cesare
dan beberapa prajurit”. Dia berkata, kemudian terdiam. “Dan
Umberto”.
“Aku tau. Aku
melihat dia di tembak”. Perutku bergejolak hebat. Masih terasa
tidak nyata. Aku harus menulis surat pada istri Umberto, tapi aku
butuh pikiran yang waras untuk itu.
“Apa yang dimaksud
oleh Vitali ketika dia berkata kau mengambil sesuatu yang menjadi
miliknya”.
Bibir Luca menipis.
“ kami menggagalkan salah satu pengiriman Narkoba mereka. Tapi
itu tidaklah penting sekarang”.
“Lalu apa yang
penting?”.
“Bahwa aku hampir
kehilangan dirimu. Diriku yang melihatmu tertembak”, kata Luca
dengan suara aneh, tapi ekspresinya tidak menunjukan apapun. “Kau
beruntung peluru itu hanya mengenai bahu mu. Doc mengatakan itu akan
sembuh total dan kau akan bisa menggunakan lenganmu seperti
sediakala”.
Aku mencoba
tersenyum, tapi morfin membuatku mengantuk. Aku berkedip, berusaha
tetap terjaga, Luca membungkuk. “Jangan lakukan itu lagi”.
“Apa?” aku
menarik napas.
“Menghadang peluru
untukku”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar