Sabtu, 06 Januari 2018

Bound by Honor Chapter 9 Part A

Perjalanan ke New York berlalu dalam keheningan. Aku senang Luca tidak mencoba untuk bercakap-cakap. Aku ingin sendirian dengan pikiran dan kesedihanku. Sebentar lagi gedung- gedung pencakar langit akan bermunculan di sekitar mobil saat kami menjelajahi New York dalam kecepatan lambat. Aku tak peduli. Semakin lama perjalanan maka semakin lama pula aku bisa berpura-pura bahwa aku tak memiliki rumah baru, tapi akhirnya kami memasuki garasi bawah tanah. Kami keluar dari mobil tanpa sepatah kata pun dan Luca mengambil tas kami dari bagasi. Sebagian besar barang-barangku sudah dibawa ke apartemen Luca beberapa hari yang lalu tapi ini adalah kali pertama aku melihat tempat dia tinggal.

Aku berlama-lama disamping mobil saat Luca menuju pintu lift. Dia melirik lewat bahunya dan berhenti juga. “berpikir untuk kabur?”.

Setiap hari.

Aku menghampirinya. “kau akan menemukanku”, kataku singkat.

“aku akan melakukannya”. Ada suara sekeras baja dalam suaranya. Dia memasukan sebuah kartu di dalam slot dan pintu lift meluncur terbuka, memperlihatkan marmer, cermin dan lampu gantung kecil. Lift ini membuat semua nya jelas bahwa ini bukanlah gedung apartemen biasa. Kami melangkah masuk dan rasa gugup berkumpul di perutku.

Aku sendirian dengan Luca semalam dan pada saat perjalanan kesini tapi pikiran akan sendirian di penthouse nya entah kenapa terasa lebih buruk. Ini adalah kerajaannya. Siapa yang aku bodohi? Hampir seluruh new york adalah kerajaannya. Dia bersandar di dinding kaca dan mengawasiku saat lift mulai naik. Aku berharap bisa mengatakan sesuatu, apapun. Itu akan mengalihkanku dari kepanikan yang naik ke tenggorokanku. Mataku melayang ke layar yang menunjukan lantai tempat kami berada. Kami sudah berada di lantai dua puluh dan belum juga berhenti.

“ini adalah lift pribadi. Ini hanya mengarah ke dua lantai bangunan terakhir. Penthouseku ada dipuncak dan Matteo memiliki apartemen satu lantai dibawahku”.

“bisakah dia datang ke Penthouse kita kapanppun dia mau?”

Luca mengamati wajahku. “Apakah kau takut dengan Matteo?”

“aku takut pada kalian berdua. Tapi Matteo tampak tidak stabil sementara aku ragu kau akan melakukan sesuatu yang aku tidak ingin kau lakukan. Kau tampak seperti seseorang yang selalu memegang kendali”.

“Terkadang aku kehilangan kontrol”.

Aku memutar cincin kawin di sekitar jariku, menghindari tatapannya. Itu adalah informasi yang tak perlu aku ketahui.

“kau tak perlu khawatir mengenai Matteo. Dia biasanya datang ketempatku kapanpun dia mau, tapi semuanya akan berubah sekarang,setelah aku menikah. Kebanyakan bisnis kami dipindahkan ke beberapa tempat lain”.

Suara elevator berdenting dan mulai berhenti, pintunya membuka. Luca memberi isyarat agar aku keluar lebih dahulu. Ya aku melakukannya dan segera mendapati diriku berada di ruang tamu yang besar dengan sofa putih yang ramping, lantai kayu yang keras dan gelap, perapian modern dengan kaca dan metal, meja dan sideboard hitam, serta lampu gantung avante grande. Hampir tak berwarna sama sekali, kecuali beberapa buah karya seni modern di dinding dan beberapa karya seni yang terbuat dari kaca. Tetapi keselurahan dinding yang menghadap ke lift terbuat dari kaca. Jendela yang terbuka menampilkan pemandangan ke arah teras dan roof garden, dan juga gedung-gedung pencakar langit diluaran sana dan juga Central Park. Bagian langit-langitnya terbuka diatas area ruang tamu dan sebuah tangga mengarah ke lantai dua penthouse.

Aku berjalan lebih jauh ke dalam apartemen dan memiringkan kepalaku. Kaca penghubung memungkinkan memperlihatkan pemandangan lantai atas yang jelas; sebuah galeri cerah dengan beberapa pintu bercabang.

Sebuah dapur terbuka menempati sisi kiri ruang tamu dan sebuah meja makan hitam besar menandai perbatasan antara ruang makan dan ruang tamu. Aku bisa merasakan tatapan Luca padaku saat aku mengamati semuanya. Aku mendekati jendela dan mengintip keluar . Aku tak pernah tinggal di apartemen, bahkan adanya taman di atas atap pun tidak merubah fakta bahwa ini adalah penjara yang tinggi.

“Barang-barangmu ada di kamar tidur lantai atas. Marianna tidak yakin kalau-kalau kau ingin menyusunnya sendiri , jadi dia membiarkan barang-barangmu tetap di koper”.

“Siapa Marianna?”.

Luca mendekat dari belakangku. Tatapan kami bertemu di pantulan yang ada di kaca. “dia asisiten rumah tanggaku. Dia berada disini dua kali dalam seminggu”.

Aku penasaran apakah Marianna adalah gundiknya juga. Beberapa lelaki di dunia kami dengan terang-terangan berani untuk merendahkan istrinya dengan membawa pelacurnya ke rumah mereka. “Berapa umurnya?”.

Bibir Luca terangkat. “Apa kau cemburu?”. Dia meletakkan tangannya di pinggangku dan aku menegang. Dia tidak menarik diri, tapi aku bisa melihat kemarahan melintas di wajahnya. Tapi aku juga mencatat, bahwa dia belum menjawab pertanyaanku.

Aku melangkah melepaskan pegangannya dan menuju ke arah pintu kaca yang mengarah ke roof garden. Aku menengok ke arah Luca. “bolehkah aku pergi keluar?”

rahangnya mengeras. Dia tidak bodoh. Dia menyadari bagaimana cepatnya aku mengelak dari sentuhannya. “sekarang ini adalah rumahmu juga”.

Aku tidak merasa seperti itu. Aku tak yakin aku akan bisa merasa seperti itu. Aku membuka pintu dan melangkah keluar. Diluar berangin dan suara klakson terdengar dari jalanan dibawah sana. Furniture berwarna putih berjajar sepanjang teras tapi diluarnya terdapat taman kecil yang terawat baik menuju ke pembatas kaca. Bahkan ada Jacuzzi yang cukup besar untuk memuat enam orang. Dua kursi berjemur di atur disamping Jacuzzi. Aku melangkah ke tepi taman dan membiarkan pandanganku mengembara ke Central Park. Itu adalah pemandangan yang indah.

“Kau tidak berpikir untuk melompat , kan?” tanya Luca sambil mencengkram pegangan tangga disampingku.

Aku memiringkan wajahku ke arahnya, mencoba mengukur apakah ada humor disana. Dia tampak serius. “Mengapa aku mesti bunuh diri?”.

“Beberapa wanita di dunia kita melihatnya sebagai satu-satunya cara untuk mendapat kebebasan. Pernikahan ini adalah penjaramu”.

Aku menilai jarak antara atap dan tanah. Kematian sudah pasti. Tapi aku tak pernah mempertimbangkan untuk bunuh diri. Sebelum melakukan itu, aku akan lari. “aku tak akan melakukan itu demi keluargaku. Lily, Gianna, dan Fabi akan patah hati”.

Luca mengangguk. Aku tak dapat membaca ekspresinya dan itu membuatku gila. “Ayo kembali ke dalam”. Sambil meletakkan tangannya di punggung bawahku dan mengarahkanku ke apartemen. Dia menutup pintu dan berbalik menghadapku. “aku harus menghadiri meeting tiga puluh menit lagi, tapi aku akan kembali dalam beberapa jam. Aku ingin membawamu ke restauran favoritku untuk makan malam”.

“Oh?” ujarku, terkejut. “seperti Kencan?”.

Ujung bibir Luca terangkat,tapi dia tidak tersenyum. “kau bisa menyebutnya begitu. Kita belum pernah melakukan kencan sungguhan”. Dia menglungkan lengannya di tengah tubuhku dan menarikku ke arahnya. Aku membeku, dan binar-binar menghilang dari matanya.

“Kapan kau akan berhenti takut padaku?”.

“Kau tak ingin aku takut padamu?” aku selalu berpikir ketakutanku akan membuat hidupnya lebih mudah jika aku selalu ketakutan padanya. Akan membuat dia lebih mudah mengendalikanku.

Alis coklat Luca terangkat bersamaan. “kau adalah istriku. Kita akan menghabiskan sisa hidup kita bersama. Aku tak ingin membuat wanita disampingku ketakutan”.

Itu sungguh mengejutkanku. Ibu mencintai Ayah tapi dia juga takut pada Ayah. “apakah ada orang diluaran sana yang tidak takut padamu?”.

“Beberapa”.dia menundukan kepalanya dan menekan bibirnya ke bibirku. Dia menciumku tampa tergesa-gesa hingga aku merasa santai dibawah sentuhannya dan kemudian membuka bibirku. Aku mengangkat lengankun dan dengan ragu-ragu menyentuh bagian belakang lehernya, jari-jariku menyisir rambutnya. Tanganku yang lainnya menekan dadanya, menikmati rasa dari otot-ototnya. Dia menarik diri.

“separuh otakku mengatakan untuk membatalkan meeting sialan ini”, dia menggosokkan ibu jarinya ke atas bibirku. “tapi masih ada cukup banyak waktu untuk ini nanti”. Dia melirik ke jam tangannya. “aku sungguh harus pergi sekarang. Romero akan berada disini ketika aku pergi. Gunakan waktumu dan berkelilinglah”. Setelah itu dia berjalan menuju pintu dan pergi.

Untuk sesaat. Aku menatap ke arah pintu, bertanya-tanya akankah ada yang akan menghentikanku jika aku berjalan keluar dari gedung ini. Sebagai gantinya aku malah berjalan menuju tangga dan naik ke lantai dua. Hanya ada satu pintu berwarna putih yang terbuka dan aku aku mendorongnya membuka. Kamar tidur utama terpampang dihadapanku. Seperti ruang tamu, seluruh dinding terdiri dari kaca yang menghadap ke New York. Tempat tidur berukuran besar menghadap ke jendela. Aku bertanya-tanya bagaimana rasanya melihat matahari terbit dari tempat tidur. Dinding dibalik tempat tidur dilapisi kain hitam. Di ujung ruangan , terdapat pintu masuk menuju lemari pakaian dan disebelah kanannya , aku bisa melihat bak mandi berdiri bebas melalui dinding kaca yang memisahkan kamar tidur dan kamar mandi.

Aku berjalan ke arah kamar mandi. Bahkan dari bak mandi aku bisa melihat pemandangan kota, meskipun berdinding kaca, wastafel dan kamar mandi tidak terlihat dari kamar tidur, dan sebuah toilet terdapat di ruangan sendiri yang sangat kecil.

“Aria?”

aku tersentak. Jantungku berdegup kencang saat aku perlahan mengikuti arah suara dan menemukan Romero ada di galeri, membawa tas ku. “Aku tak bermaksud membuatmu terkejut”. Ujarnya , saat melihat wajahku. Aku mengangguk. “Dimana aku bisa meletakkan tasmu?”.

Aku lupa Luca menjatuhkan tas ku di sofa. “aku tak tau. Mungkin di walk – in Closet?”.

Dia berjalan melewatiku dan meletakkan tas di tatakan dalam lemari. Ketiga koperku dan dua box pindahan ada disampingnya. “apakah kau tau, aku perlu berdandan atau tidak malam ini? Luca mengatakan bahwa dia ingin membawaku ke restoran favoritnya, tapi dia tak memberitahuku pakaian seperti apa yang harus ku kenakan”.

Romero tersenyum. Tidak. Dan tidak ada Dress code”.

“kenapa? Apakah ke KFC?” aku sebenarnya belum pernah makan KFC. Ayah dan ibuku tak akan pernah membawa kami ke tempat seperti itu. Gianna,Lily, dan aku pernah membujuk Umberto untuk membawa kami ke Mc Donalds dan itu adalah satu-satunya pengalamanku dengan restoran fast food.

“tidak juga. Kurasa Luca ingin memberimu kejutan”.

Aku meragukan itu. “mungkin aku harus berberes”. Aku memberi isyarat ke arah koper-koperku.

Romero tetap menjaga jarak aman denganku. Dia baik tetapi tetap profesional. “Apa kau butuh bantuan?”.

Aku sungguh tidak ingin Romero menyentuh pakaian dalamku. “tidak. Aku lebih suka mengerjakannya sendiri”.

Rasa belas kasih memenuhi wajah Romero sebelum dia berbalik dan pergi. Aku menunggu sampai aku yakin dia sudah sampai di lantai bawah sebelum membuka kotak pertama. Dibagian atas ada fotoku bersama Gianna,Lily, dan Fabi. Aku menangis untuk ketiga kalinya dalam kurun waktu kurang dari dua puluh empat jam. Aku baru bertemu mereka pagi ini , tapi kenapa aku bisa merasa begitu kesepian?

**

ketika Luca pulang kerumah hampir lima jam kemudian, aku sudah mengenakan rok dan blouse tipis tanpa lengan. Meski sudah mengerahkan usaha terbaikku, mataku masih sedikit merah karena menangis. Ada keterbatasan akan apa yang bisa dilakukan oleh Make up. Luca segera menyadari, dan matanya tertuju ke mataku, lalu melesat ke arah foto keluargaku yang berada di meja samping tempat tidur.

“Aku tidak tau di sisi mana dirimu tidur. Aku bisa memindahkan kemeja samping jika kau mau”. Kataku.

“Tidak, tak apa-apa”. Kelelahan tertulis jelas di wajahnya.

“apakah rapatnya baik-baik saja?”.
Luca membuang muka. “Mari kita tak usah membicarakan itu. Aku kelaparan”. Dia mengulurkan tangannya dan aku meraihnya lalu mengikutinya ke lift. Dia tegang dan nyaris tak mengucapkan sepatah katapun saat kami mengendarai mobilnya. Aku tak begitu yakin apakah dia mengharapkanku untuk bercakap-cakap, dan aku terlalu lelah untuk mencoba.

Saat kami berhenti di lampu merah, dia melirik ke atas. “Kau terlihat mengagumkan”.

“Terima kasih”.

Dia memarkir mobilnya di tempat parkir yang terjaga keamanannya di mana mereka menjaga mobil satu sama lain, lalu kami berjalan menyusuri jalanan dengan restoran kecil yang menawarkan segalanya mulai dari masakan india, libia, hingga ke sushi. Dia berhenti di restoran masakan korea dan membukakan pintu untukku. Tertegun aku masuk kedalam ruangan yang sesak dan sempit.

Meja-meja kecil diatur saling berdekatan satu sama lain dan sebuah bar dibagian depan menawarkan berbagai minuman berakohol yang labelnya bahkan tak bisa aku baca, dia membimbing kami kebagian belakang restoran dan memberi kami meja kosong yang tersisa. Orang-orang dimeja disamping kami memandang Luca dengan mata terbelalak, kemungkinan bertamya-tanya bagaimana dia bisa muat. Aku duduk di bangku panjang yang memanjang keseluruh ruangan dan Luca duduk di kursi seberang ku. Pria disampingnya menggeser kursinya ke samping, jadi Luca akan memiliki lebih banyak tempat. Apakah mereka tau siapa dia atau mereka hanya bersikap sopan?

“kau terlihat terkejut”. Kata Luca setelah pelayan mengambil pesanan minuman kami dan meninggalkan kami dengan buku menu.

“aku tidak terpikir kau akan mengajak ke restoran asia , mengingat tentang semuanya”. Hanya itu yang bisa aku katakan di restoran yang ramai ini, tapi Luca tau bahwa aku sedang membicarakan tentang Taiwan Triad.

“restoran ini adalah restoran asia terbaik di kota, dan ini bukan milik rantai Asia”.

Aku mengerutkan kening. Apakah dibawah perlindungan Familia?

“ini independen”.

“Masih ada restoran independen di New York?”.

Pasangan disamping kami memberiku tatapan aneh. Untuk mereka percakapan kami kemungkinan sedikit aneh.

“Beberapa, akan tetapi masih dalam tahap negosiasi”.

Aku mendengus.

Luca menunjuk ke arah menu. “apa kau butuh bantuan?”.

“Yeah, aku belum pernah mencoba masakan korea”.

“Tofu yang di bumbui serta daging bulgogi enak”.

“kau makan Tofu?”

Luca mengangkat bahu. “jika itu dimasak seperti ini, maka iya”.

Aku menggelengkan kepalaku. Ini seperti tak nyata. “pesan saja yang menurutmu paling lezat. Aku makan semuanya kecuali hati”.

“Aku suka wanita yang makan lebih dari sekedar salad”.

Pelayan datang untuk mengambil pesanan kami. Aku kebingungan dengan sumpit, mencoba mencari tau cara terbaik untuk menggunakannya.

“pernahkah kau menggunakan sumpit sebelumnya?”. Luca bertanya dengan menyeringai. Apa dia sedang mengolok-olok aku?.

Orangtua ku hanya membawa kami ke restoran italia dan aku tak diijinkan pergi kemanapun sendirian”. Kepahitan berdering dalam suaraku.

“Kau boleh pergi kemanapun kau mau sekarang”.
“sungguh? Sendirian?”.
Luca merendahkan suaranya. “dengan Romero atau aku , atau Cesare ketika Romero berhalangan”.
Tentu saja.
“kemarilah, ku tunjukan caranya”. Dia mengambil sumpitnya sendiru dan mengangkatnya. Aku mencoba meniru cara dia memegang dan setelah beberapa kali percobaan, aku mampu untuk menggerakan sumpit tanpa menjatuhkannya. Ketika makanan kami tiba, aku menyadari bahwa lebih susah untuk mengambil sesuatu dengan menggunakan sumpit.
Luca mengamati dengan tatapan geli ketika aku mencoba tiga kali untuk mengambil sepotong tofu ke bibirku.
“tidak heran gadis-gadis New York begitu kurus kalau mereka harus makan seperti ini terus”.
“Kau jauh lebih cantik dibanding mereka semua”. Ujarnya. Aku mengamati wajahnya, mencoba untuk mencaei tau apakah dia berkata jujur, tapi seperti biasanya wajahnya tetap tak terbaca. Aku membiarkan diriku mengagumi matanya. Matanya memiliki cincin yang lebih hitam diantara warna abu-abu. Matanya tak nampak dingin kali ini, tapi aku mengingat matanya dengan cara seperti itu.

“Lezat,” kataku. Luca mengambil sepotong tofu berikutnya dan aku mengambil dengan penuh semangat. Ini lebih baik dibandingkan aku harus mencoba mengambilnya dengan sumpit.

Aku bersyukur karena Luca menunjukan sisi normal dirinya padaku. Ini memberiku harapan, mungkin memang itu niatnya tapi aku tak peduli.

**

rasa nyaman yang terbangun ketika kami makan malam menguap ketika aku dan Luca kembali ke Penthouse dan melangkah ke kamar. Aku pergi ke kamar mandi dan menghabiskan waktu untuk bersiap-siap sebelum aku kembali ke kamar.

Mata Luca mengamati gaun tidur hitam panjang berbahan satin ku. Gaun itu mencapai betisku tapi memiliki celah yang naik hingga ke paha ku. Ini jauh lebih sederhana dibandingkan dengan gaun mengerikan yang kupakai dimalam pernikahan kami. Namun aku yakin ada hasrat dimatanya.

Begitu dia menghilang ke kamar mandi, aku berjalan menuju jendela dan menyibukkan diri menyaksikan cakrawala malam. Aku hampir sama gugupnya dengan semalam. Aku tau aku belum siap untuk lebih dari sekedar ciuman. Aku tidak berbalik saat mendengar Luca muncul dari sampingku. Perawakannya yang mengesankan tercermin dari jendela. Seperti kemarin dia hanya mengenakan celana. Aku melihatnya mengulurkan tangan untukku, dan setiap otot tubuhku menegang. Andaikan dia melihat reaksiku, dia tidak menampakkannya. Dia menempelkan buku jarinya disepanjang tulang belakangku, membuat sensasi kesemutan ditubuhku. Ketika aku tak bereaksi , dia mengulurkan tangannya, telapak tangan ke atas, sebuah undangan bukan perintah, namun aku tau hanya ada satu jawaban yang benar.

Aku menghadapnya,tapi mataku terarah ke luka memanjang di telapak tangannya. Aku menggerakan ujung jariku kesana. “ apakah ini karena sumpah darah?” aku mengintip ke arah wajahnya yang tak terbaca. Aku tau sebelum upacara inisiasi, para pria harus mengucurkan darahnya saat mereka mengucapkan sumpahnya.

“Bukan. Ini”. Dia menunjukan tangan satunya dimana luka kecil merusak telapak tangannya. “Itu” dia berkata sambil mengangguk ke arah bekas luka yang masih aku sentuh “.....terjadi karena pertarungan. Aku harus menghadang pisau dengan tanganku”.

Aku ingin bertanya tentang kali pertama dia membunuh orang, tapi dia mengaitkan jarinya ke sepanjang lenganku dan menggiringku ke arah ranjang. Tenggorokan menjadi begitu sempit untuk kata-kata ketika dia duduk di atas matras dan menarikku ke celah antara dua kakinya. Aku mencoba santai menanggapi ciumannya dan ketika dia tak melakukan gerakan apapun yang lebih jauh aku sebenarnya merasa rasa tegang mulai menghilang dan mulai menikmati mulutnya yang berpengalaman, namun ketika dia berbaring dan menarikku ke ranjang bersamanya.

Ciumannya menjadi lebih memaksa dan aku bisa merasakan ereksinya menekan pahaku. Akumasih tidak menarik diri. Aku bisa melakukan ini. Aku tau ini akan terjadi. Tangannya menangkup payudaraku dan aku menegang meskipun niat terbaikku untuk tidak begitu. Dia tidak mengehentikannya dan juga tidak memindahkan tangannya. Ciumannya membuatku sulit berpikir. Apakah akan sangat buruk jika tidur dengan Luca? Dia mundur beberapa inci dan menjalarkan ciuman ke telingaku. “aku tak pernah ingin menyetubuhi wanita sebesar keinginanku menyetubuhimu sekarang”.

Aku membeku. Kata-katanya membuatku terasa murahan. Dia adalah suamiku dan dia memiliki hak atas tubuhku, jika kau bertanya pada siapapun di keluargaku, tapi aku berhak mendapat yang lebih baik dari itu. Aku tak ingin disetubuhi seperti dia menyetubuhi wanita- wanita lain. Aku istrinya. Aku menginginkan lebih. Aku mengalihkan kepalku dan menekan telapak tanganku di dadanya. Setelah sesaat, dia mengalah.

“aku tak menginginkan ini”. Kataku, tanpa menyembunyikan rasa jijikku padanya.

Aku tidak melihatnya tapi aku bisa merasakan rasa frustasinya. Apa yang dia pikirkan? Bahwa aku akan tiba-tiba merasa cukup nyaman untuk tidur dengannya hanya karena dia membawaku makan malam sekali? Apakah ini cara kerjanya dengan wanita-wanita lain? Untuk waktu yang cukup lama dia tak melakukan apapun hanya mengamatiku, kemudian dia melepaskan dirinya dariku.

Dia mematikan lampu dalam diam dan berbaring di sisi tempat tidurnya. Aku berharap setidaknya dia merengkuhku. Ini adalah malam pertama aku berada jauh dari keluargaku. Akan terasa menyenangkan jika dia setidaknya menenangkanku, tapi aku tak akan memintanya melakukan itu. Sebaliknya kau menarik selimut dan memejamkan mataku.

**
ketika aku terbangun keesokan pagi. Luca sudah pergi. Tak ada catatan, atau bahkan sms di ponselku. Dia pasti sangat kesal. Aku menyingkirkan selimut. Bajingan. Dia tau aku tak mengenal siapapun di New York dan dia sama sekali tak peduli. Aku meraih laptopku dan membuka emailku. Gianna telah mengirimu tiga email baru. Dan yang terakhir hampir terlihat mengancam. Aku mengangkat gagang telepon. Hanya mendengar suaranya sudah cukup membuatku lebih baik. Aku tak membutuhkan Luca ataupun orang lain, selama aku memiliki Gianna.

Aroma kopi dan sesuatu yang manis akhirnya menarikku keluar dari kamar tidur dan menuju ke lantai bawah. Panci berdenting di dapur saat aku bebrbelok di tikungan, aku menemukan seorang wanita kecil gemuk yang tampak cukup tua untuk menjadi nenekku di kompor, membuat pancakes. Rambutnya yang bau-abu gelap diikat dengan hairnet. Romero bertengger di bangku bar yang menempel dengan Kitchen island, secangkir kopi ada di hadapannya. Dia menoleh ketika aku mendekat dan matanya mengamati gaun tidurku sebelum dia menyentakkan kepalanya. Sungguh?

Wanita itu berbalik dan tersenyum ramah. Kau pasti Aria. Aku Marriana”.

Aku menghampirinya untuk menjabat tangannya tapi dia menarikku ke pelukan, menekanku di dadanya yang lebar. “Kau cantik, Bambina. Tak heran Luca jatuh cinta padamu”.

Aku menelan komentar sinis. “Baunya lezat”.

“Duduklah. Sarapan akan siap dalam beberapa menit. Cukup untuk Romero dan dirimu”.

Aku duduk disamping Romero. Dia masih memandang ke arah lain dengan tajam. “Apa masalahmu? Aku tidak telanjang”. Kataku saat aku tidak tahan lagi.

Marriana tertawa. “Bocah laki-laki ini khawatir Luca tahu dia melirik gadisnya”.

Aku menggelengkan kepala, kesal. Jika Romero bersikeras menjadi pengecut, dia harus makan dengan mata tertutup. Aku tidak mengenakan bathrobe karena aku tak membutuhkan perlindungan dirumahku sendiri.

**

aku sudah tertidur saat Luca pulang malam itu. Sementara dia menghabiskan waktunya di luar melakukan sesuatu, aku justru menjadi tawanan di penthouse bodoh ini. Satu-satunya orang yang menemaniku adalah Marriana dan Romero, tapi dia pergi setelah menyiapkan makan malam, dan Romero bukanlah teman yang komunikatif. Aku melihat saat luca keluar dari kamar mandi, baru saja mandi. Dia hampir tak menghiraukanku. Apakah dia pikir aku peduli? Saat dia berbaring disampingku dan mematikan lampu, aku berkata dalam kegelapan. “Bisakah aku berjalan-jalan ke kota besok?”.

“Selama kau membawa Romero bersamamu”. Adalah jawaban singkatnya.

Aku menelan rasa sakit dan frustasiku. Ketika dia membawaku ke restoran favoritnya aku berpikir bahwa dia mencoba untuk membuat pernikahan ini berhasil tapi itu semua hanyalah cara untuk membawaku ke tempat tidur. Dan sekarang dia menghukumku dengan perlakuan diamnya.

Tapi, aku tidak membutuhkannya, tak akan pernah. Aku melayang ke arah ritme suara napasnya yang berirama.

Aku terbangun di tengah malam karena mimpi buruk. Tangan Luca melingkar disepanjang tubuhku, tubuhku meringkuk ke tubuhnya. Aku bisa saja melepaskan diri, tapi kedekatan tubuhnya membuatku merasa baik. Sebagian dari diriku masih mengharapkan pernikahan ini berhasil.

**
aku sangat merindukan Gianna dan Lily,hal itu hampir bersifat fisik. Romero mencoba untuk tidak terlihat tapi dia selalu ada disana. “mau berbelanja?”.

Aku hampir tertawa. Apakah menurutnya belanja membuat segalanya lebih baik? Mungkin itu berhasil untuk beberapa orang, tapi jelas bukan untukku. “Tidak, tapi aku ingin membeli sesuatu untuk dimakan. Gianna mengirimiku email tentang beberapa restoran yang ingin dia coba saat berkunjung. Aku ingin pergi ke salah satu restoran itu hari ini”.

Romero tampak tidak yakin sebentar, dan aku meledak. “Aku sudah meminta izin pada Luca beberapa malam yang lalu, jadi kau tak perlu khawatir. Aku diizinkan meninggalkan penjara ini”.

Dia mengerutkan kening. “Aku tau. Dia sudah bilang”.

Ini konyol. Aku meninggalkannya berdiri di tengah ruang tamu dan bergegas naik ke tempat tidur. Dengan cepat aku mengenakan gaun musim panas yang bagus serta sandal, meraih tas, dan kaca mata hitamku sebelum kembali ke bawah. Romero tidak bergerak dari tempatnya. Kenapa dia tidak bisa berpura-pura bahwa dia adalah seseorang selain pengawalku.

“Ayo pergi”, aku memerintah padanya. Jika dia ingin bertingkah sebagai pengawalku , maka aku kan memperlakukannya seperti itu. Romero mengenakan jaket diatas kemejanya untuk menyembunyikan sarung senjatanya, kemudian menekan tombol elevator. Kami tidak berbicara selama perjalan turun. Ini pertama kalinya aku melihat Loby gedung apartemen ini. Lobby nya bercorak, ber marmer hitam ,dan berseni modern dan dan seorang resepsionis paruh baya berdiri di belakang counter gloss berwarna putih. Dia memiringkan kepalanya ke arah Romero sebelum matanya melotot ke arahku dengan rasa ingin tau yang jelas. “Selamat siang, Nyonya Vittielo,” katanya dengan suara yang terlalu sopan. Aku hampir tersandung karena dia memanggilku seperti itu. Mudah untuk melupakan bahwa aku bukanlah Scudery lagi. Namun bagaimanapun suamiku tak pernah terlihat.

Aku mengangguk sebagai pengakuan, lalu dengan cepat bergegas keluar. Hawa panas menerpa tubuhku saat aku meninggalkan gedung ber-AC. Musim panas di kota, tak ada yang bisa diharapkan. Aroma knalpot dan sampah seakan melintas dijalanan seperti kabut. Romero selangkah dibelakangku dan aku bertanya-tanya bagaimana dia bisa menahan panas dengan pakaiannya.

“kurasa kita perlu naik taksi”, kataku saat aku melangkah ke tepi jalan. Romero menggelengkan kepalanya tapi aku sudah mengangkat tanganku dan sebuah taksi membelok ke samping dan berhenti di sampingku.

**

Romero berada beberapa langkah di belakangku, tatapan waspada di punggungku. Itu membuatku gila. Orang-orang menganggap kami aneh. “Bisakah kau berjalan di sampingku?” tanyaku saat kami menyusuri Greenwich Street tempat restoran itu berada. “Aku tak ingin orang-orang itu berpikir kau sedang menjaga ku”. Mungkin dia masih kesal karena aku menyuruhnya naik taksi, bukan BMW hitam yang menjeritkan kesan mafia dari kejauhan.

“Aku sedang menjagamu”.
Aku berhenti hingga dia melangkah disampingku. Bagian luar restoran dikelilingi bunga liar yang tumbuh di pot terakota dan bagian dalamnya mengingatkanku pada pub inggris yang pernah aku baca. Sepertinya setiap pelayan di tato, dan meja-meja saling berdekatan sehingga kau bisa makan dari piring orang disebelahmu. Aku bisa melihat kenapa Gianna menyukainya.

Bibir Remero berjengit tanda ketidaksetujuan yang jelas. Ini mungkin adalah mimpi buruk seorang pengawal. “apakah kau sudah mereservasi?” seorang wanita tinggi dengan tindikan di bawah bibir bertanya.

“Belum”. Romero menyipitkan matanya seolah tak percaya seseorang benar-benar menanyakan hal seperti itu. Aku menyukainya, disinilah aku bukan Aria, istri Luca Vittielo. “Kami hanya berdua saja. Dan tidak butuh waktu lama”, kataku sopan.

Wanita itu melihat ke arah Romero dan aku lalu tersenyum. “Kalian punya waktu satu jam. Kalian adalah pasangan yang imut”.

Dia berbalik untuk membawa kami kemeja kami , karena itulah dia tidak melihat ekspresi Romero. “Kenapa kau tidak mengoreksinya?” tanya nya pelan.

“Kenapa harus?”.

“Karena kita bukan pasangan, kau adalah milik Luca?”.

“Benar. Dan juga Bukan”.

Romero tidak mendebat lagi, tapi aku tau itu membuatnya tidak nyaman untuk bertingkah seakan kami bukanlah pengawal dan istri bosnya. Aku makan salad dengan saus paling lezat dan menikmati menonton orang-orang disekitar kita, sementara Romero makan burger dan memantau lingkungan sekitar kita. Aku tak sabar untuk membawa Gianna kesini. Kesedihan memenuhi pikiranku. Aku tak pernah merasa kesepian selama hidupku. Hanya dua hari dalam hidup baruku dan aku benar-benar tak tau bagaimana bertahan hidup ribuan hari yang akan menyusul. “Jadi nanti Luca akan pulang larut malam ?”.

“Kurasa”, kata Romero mengelak.

Setelah makan, aku memaksa Romero untuk berjalan-jalan dilingkungan restoran sedikit lebih lama, tapi akhirnya aku merasa frustasi dengan postur tubuhnya yang kaku dan ketidaknyamanan yang jelas, dan aku setuju untuk kembali ke apartemen.

**

Ketika taksi berhenti di depan gedung apartemen, Romero membayar sopir, dan aku keluar dari taksi. Saat aku mendekati pintu depan , aku mengenali salah satu sepupu Luca duduk di Lobby. Apa yang sedang dia lakukan disini? Kami hanya pernah bercakap-cakap beberapa kalimat di saat pesta pernikahan dan aku tak mendapat kesan bahwa dia tertarik dengan persahabatan. Bingung, aku melangkah ke lobbi. Mata Cosima memelototiku dan dia menghampiriku tanpa ragu dan memelukku sampai aku terkejut, lalu dia menekankan sesuatu ke tanganku. “Ini, jangan biarkan Romero atau orang lain melihatnya. Sekarang tersenyumlah”.

Aku melakukannya, tertegun. Aku bisa merasakan selembar kertas yang terlipat dan terasa ada sebuah kunci di telapak tanganku. Dengan cepat aku menyimpannya di dompetku saat Romero muncul disampingku. “apa yang kau lakukan disini, Cosima?” ada sedikit kecurigaan dalam suaranya.

Dia tersenyum menunjukan gigi pada Romero. “aku hanya ingin mengetahui kabar Aria, dan mengajaknya untuk janji makan siang segera. Tapi sekarang aku harus pergi. Aku memiliki janji dengan penata rambut”. Dia memberiku peringatan, lalu dia berjalan keluar, sepatu hak tingginya bergeletuk di lantai marmer.

Romero mengawasiku. “Apa yang dia katakan?”.

“seperti yang dia katakan padamu”. Kataku, sambil mengangkat dagu. “aku ingin naik sekarang”. Dia ingin aku bertindak seperti atasannya, jadi dia tidak bisa mengharapkan aku bisa membuka diri padanya. Dia mengangguk dan menuntunku ke lift dengan anggukan singkat kearah dua resepsionis.

Saat kami memasuki Penthouse, aku mohon diri dan memasuki kamar mandi tamu. Aku mengeluarkan apa yang Cosima berikan padaku dan membuka selembar kertas itu.

Aria.

Ini adalah kunci ke salah satu apartemen Vittielo. Datanglah kesana jam 10 malam ini untuk melihat apa yang suami mu lakukan ketika kau menghangatkan tempat tidurnya. Ahti-hati dan diam, dan jangan beritahu siapapun. Romero akan berusaha mennghentikanmu. Singkirkan dia.

Alamatnya ada di bagian bawah kertas. Catatan itu tidak di tanda tangani dan di ketik dengan komputer. Apakah dari Cosima? Ini tak masuk akal. Aku membacanya lagi dan lagi. Ini bisa saja tipuan , atau , lebih buruk: jebakan, tapi rasa penasaran membakar tubuhku. Luca sebenarnya bukan satu-satunya suami yang tak pernah terlihat. Masalah satu-satunya bagaimana caranya ke apartemen itu dan bagaimana menyingkirkan Romero. Dia tak pernah meninggalkan sisiku.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

STUCK UP SUIT Chapter 8

GRAHAM AKU TIDAK MENDENGAR KABAR NYA SEPANJANG HARI di hari sabtu, dan tidak seperti yang aku harapkan juga. Soraya Venedetta san...