Perjalanan ke New York
berlalu dalam keheningan. Aku senang Luca tidak mencoba untuk
bercakap-cakap. Aku ingin sendirian dengan pikiran dan kesedihanku.
Sebentar lagi gedung- gedung pencakar langit akan bermunculan di
sekitar mobil saat kami menjelajahi New York dalam kecepatan lambat.
Aku tak peduli. Semakin lama perjalanan maka semakin lama pula aku
bisa berpura-pura bahwa aku tak memiliki rumah baru, tapi akhirnya
kami memasuki garasi bawah tanah. Kami keluar dari mobil tanpa
sepatah kata pun dan Luca mengambil tas kami dari bagasi. Sebagian
besar barang-barangku sudah dibawa ke apartemen Luca beberapa hari
yang lalu tapi ini adalah kali pertama aku melihat tempat dia
tinggal.
Aku berlama-lama
disamping mobil saat Luca menuju pintu lift. Dia melirik lewat
bahunya dan berhenti juga. “berpikir untuk kabur?”.
Setiap hari.
Aku
menghampirinya. “kau akan menemukanku”, kataku singkat.
“aku
akan melakukannya”. Ada suara sekeras baja dalam suaranya. Dia
memasukan sebuah kartu di dalam slot dan pintu lift meluncur
terbuka, memperlihatkan marmer, cermin dan lampu gantung kecil. Lift
ini membuat semua nya jelas bahwa ini bukanlah gedung apartemen
biasa. Kami melangkah masuk dan rasa gugup berkumpul di perutku.
Aku
sendirian dengan Luca semalam dan pada saat perjalanan kesini tapi
pikiran akan sendirian di penthouse nya entah kenapa terasa lebih
buruk. Ini adalah kerajaannya. Siapa yang aku bodohi? Hampir
seluruh new york adalah kerajaannya. Dia bersandar di dinding kaca
dan mengawasiku saat lift mulai naik. Aku berharap bisa mengatakan
sesuatu, apapun. Itu akan mengalihkanku dari kepanikan yang naik ke
tenggorokanku. Mataku melayang ke layar yang menunjukan lantai
tempat kami berada. Kami sudah berada di lantai dua puluh dan belum
juga berhenti.
“ini
adalah lift pribadi. Ini hanya mengarah ke dua lantai bangunan
terakhir. Penthouseku ada dipuncak dan Matteo memiliki apartemen
satu lantai dibawahku”.
“bisakah
dia datang ke Penthouse kita kapanppun dia mau?”
Luca mengamati wajahku. “Apakah kau takut dengan Matteo?”
“aku takut pada kalian berdua. Tapi Matteo tampak tidak stabil
sementara aku ragu kau akan melakukan sesuatu yang aku tidak ingin
kau lakukan. Kau tampak seperti seseorang yang selalu memegang
kendali”.
“Terkadang aku kehilangan kontrol”.
Aku memutar cincin kawin di sekitar jariku, menghindari tatapannya.
Itu adalah informasi yang tak perlu aku ketahui.
“kau tak perlu khawatir mengenai Matteo. Dia biasanya datang
ketempatku kapanpun dia mau, tapi semuanya akan berubah
sekarang,setelah aku menikah. Kebanyakan bisnis kami dipindahkan ke
beberapa tempat lain”.
Suara elevator berdenting dan mulai berhenti, pintunya membuka. Luca
memberi isyarat agar aku keluar lebih dahulu. Ya aku melakukannya
dan segera mendapati diriku berada di ruang tamu yang besar dengan
sofa putih yang ramping, lantai kayu yang keras dan gelap, perapian
modern dengan kaca dan metal, meja dan sideboard hitam, serta lampu
gantung avante grande. Hampir tak berwarna sama sekali, kecuali
beberapa buah karya seni modern di dinding dan beberapa karya seni
yang terbuat dari kaca. Tetapi keselurahan dinding yang menghadap ke
lift terbuat dari kaca. Jendela yang terbuka menampilkan pemandangan
ke arah teras dan roof garden, dan juga gedung-gedung pencakar langit
diluaran sana dan juga Central Park. Bagian langit-langitnya terbuka
diatas area ruang tamu dan sebuah tangga mengarah ke lantai dua
penthouse.
Aku berjalan lebih jauh ke dalam apartemen dan memiringkan kepalaku.
Kaca penghubung memungkinkan memperlihatkan pemandangan lantai atas
yang jelas; sebuah galeri cerah dengan beberapa pintu bercabang.
Sebuah dapur terbuka menempati sisi kiri ruang tamu dan sebuah meja
makan hitam besar menandai perbatasan antara ruang makan dan ruang
tamu. Aku bisa merasakan tatapan Luca padaku saat aku mengamati
semuanya. Aku mendekati jendela dan mengintip keluar . Aku tak
pernah tinggal di apartemen, bahkan adanya taman di atas atap pun
tidak merubah fakta bahwa ini adalah penjara yang tinggi.
“Barang-barangmu ada di kamar tidur lantai atas. Marianna tidak
yakin kalau-kalau kau ingin menyusunnya sendiri , jadi dia membiarkan
barang-barangmu tetap di koper”.
“Siapa Marianna?”.
Luca mendekat dari belakangku. Tatapan kami bertemu di pantulan yang
ada di kaca. “dia asisiten rumah tanggaku. Dia berada disini dua
kali dalam seminggu”.
Aku penasaran apakah Marianna adalah gundiknya juga. Beberapa lelaki
di dunia kami dengan terang-terangan berani untuk merendahkan
istrinya dengan membawa pelacurnya ke rumah mereka. “Berapa
umurnya?”.
Bibir Luca terangkat. “Apa kau cemburu?”. Dia meletakkan
tangannya di pinggangku dan aku menegang. Dia tidak menarik diri,
tapi aku bisa melihat kemarahan melintas di wajahnya. Tapi aku juga
mencatat, bahwa dia belum menjawab pertanyaanku.
Aku melangkah melepaskan pegangannya dan menuju ke arah pintu kaca
yang mengarah ke roof garden. Aku menengok ke arah Luca. “bolehkah
aku pergi keluar?”
rahangnya mengeras. Dia tidak bodoh. Dia menyadari bagaimana
cepatnya aku mengelak dari sentuhannya. “sekarang ini adalah
rumahmu juga”.
Aku tidak merasa seperti itu. Aku tak yakin aku akan bisa merasa
seperti itu. Aku membuka pintu dan melangkah keluar. Diluar
berangin dan suara klakson terdengar dari jalanan dibawah sana.
Furniture berwarna putih berjajar sepanjang teras tapi diluarnya
terdapat taman kecil yang terawat baik menuju ke pembatas kaca.
Bahkan ada Jacuzzi yang cukup besar untuk memuat enam orang. Dua
kursi berjemur di atur disamping Jacuzzi. Aku melangkah ke tepi
taman dan membiarkan pandanganku mengembara ke Central Park. Itu
adalah pemandangan yang indah.
“Kau tidak berpikir untuk melompat , kan?” tanya Luca sambil
mencengkram pegangan tangga disampingku.
Aku memiringkan wajahku ke arahnya, mencoba mengukur apakah ada
humor disana. Dia tampak serius. “Mengapa aku mesti bunuh diri?”.
“Beberapa wanita di dunia kita melihatnya sebagai satu-satunya cara
untuk mendapat kebebasan. Pernikahan ini adalah penjaramu”.
Aku menilai jarak antara atap dan tanah. Kematian sudah pasti. Tapi
aku tak pernah mempertimbangkan untuk bunuh diri. Sebelum melakukan
itu, aku akan lari. “aku tak akan melakukan itu demi keluargaku.
Lily, Gianna, dan Fabi akan patah hati”.
Luca mengangguk. Aku tak dapat membaca ekspresinya dan itu membuatku
gila. “Ayo kembali ke dalam”. Sambil meletakkan tangannya di
punggung bawahku dan mengarahkanku ke apartemen. Dia menutup pintu
dan berbalik menghadapku. “aku harus menghadiri meeting tiga puluh
menit lagi, tapi aku akan kembali dalam beberapa jam. Aku ingin
membawamu ke restauran favoritku untuk makan malam”.
“Oh?” ujarku, terkejut. “seperti Kencan?”.
Ujung bibir Luca terangkat,tapi dia tidak tersenyum. “kau bisa
menyebutnya begitu. Kita belum pernah melakukan kencan sungguhan”.
Dia menglungkan lengannya di tengah tubuhku dan menarikku ke
arahnya. Aku membeku, dan binar-binar menghilang dari matanya.
“Kapan kau akan berhenti takut padaku?”.
“Kau tak ingin aku takut padamu?” aku selalu berpikir
ketakutanku akan membuat hidupnya lebih mudah jika aku selalu
ketakutan padanya. Akan membuat dia lebih mudah mengendalikanku.
Alis coklat Luca terangkat bersamaan. “kau adalah istriku. Kita
akan menghabiskan sisa hidup kita bersama. Aku tak ingin membuat
wanita disampingku ketakutan”.
Itu sungguh mengejutkanku. Ibu mencintai Ayah tapi dia juga takut
pada Ayah. “apakah ada orang diluaran sana yang tidak takut
padamu?”.
“Beberapa”.dia menundukan kepalanya dan menekan bibirnya ke
bibirku. Dia menciumku tampa tergesa-gesa hingga aku merasa santai
dibawah sentuhannya dan kemudian membuka bibirku. Aku mengangkat
lengankun dan dengan ragu-ragu menyentuh bagian belakang lehernya,
jari-jariku menyisir rambutnya. Tanganku yang lainnya menekan
dadanya, menikmati rasa dari otot-ototnya. Dia menarik diri.
“separuh otakku mengatakan untuk membatalkan meeting sialan ini”,
dia menggosokkan ibu jarinya ke atas bibirku. “tapi masih ada
cukup banyak waktu untuk ini nanti”. Dia melirik ke jam tangannya.
“aku sungguh harus pergi sekarang. Romero akan berada disini
ketika aku pergi. Gunakan waktumu dan berkelilinglah”. Setelah
itu dia berjalan menuju pintu dan pergi.
Untuk sesaat. Aku menatap ke arah pintu, bertanya-tanya akankah ada
yang akan menghentikanku jika aku berjalan keluar dari gedung ini.
Sebagai gantinya aku malah berjalan menuju tangga dan naik ke lantai
dua. Hanya ada satu pintu berwarna putih yang terbuka dan aku aku
mendorongnya membuka. Kamar tidur utama terpampang dihadapanku.
Seperti ruang tamu, seluruh dinding terdiri dari kaca yang menghadap
ke New York. Tempat tidur berukuran besar menghadap ke jendela. Aku
bertanya-tanya bagaimana rasanya melihat matahari terbit dari tempat
tidur. Dinding dibalik tempat tidur dilapisi kain hitam. Di ujung
ruangan , terdapat pintu masuk menuju lemari pakaian dan disebelah
kanannya , aku bisa melihat bak mandi berdiri bebas melalui dinding
kaca yang memisahkan kamar tidur dan kamar mandi.
Aku berjalan ke arah kamar mandi. Bahkan dari bak mandi aku bisa
melihat pemandangan kota, meskipun berdinding kaca, wastafel dan
kamar mandi tidak terlihat dari kamar tidur, dan sebuah toilet
terdapat di ruangan sendiri yang sangat kecil.
“Aria?”
aku tersentak. Jantungku berdegup kencang saat aku perlahan
mengikuti arah suara dan menemukan Romero ada di galeri, membawa tas
ku. “Aku tak bermaksud membuatmu terkejut”. Ujarnya , saat
melihat wajahku. Aku mengangguk. “Dimana aku bisa meletakkan
tasmu?”.
Aku lupa Luca menjatuhkan tas ku di sofa. “aku tak tau. Mungkin
di walk – in Closet?”.
Dia berjalan melewatiku dan meletakkan tas di tatakan dalam lemari.
Ketiga koperku dan dua box pindahan ada disampingnya. “apakah kau
tau, aku perlu berdandan atau tidak malam ini? Luca mengatakan bahwa
dia ingin membawaku ke restoran favoritnya, tapi dia tak
memberitahuku pakaian seperti apa yang harus ku kenakan”.
Romero tersenyum. Tidak. Dan tidak ada Dress code”.
“kenapa? Apakah ke KFC?” aku sebenarnya belum pernah makan KFC.
Ayah dan ibuku tak akan pernah membawa kami ke tempat seperti itu.
Gianna,Lily, dan aku pernah membujuk Umberto untuk membawa kami ke Mc
Donalds dan itu adalah satu-satunya pengalamanku dengan restoran fast
food.
“tidak juga. Kurasa Luca ingin memberimu kejutan”.
Aku meragukan itu. “mungkin aku harus berberes”. Aku memberi
isyarat ke arah koper-koperku.
Romero tetap menjaga jarak aman denganku. Dia baik tetapi tetap
profesional. “Apa kau butuh bantuan?”.
Aku sungguh tidak ingin Romero menyentuh pakaian dalamku. “tidak.
Aku lebih suka mengerjakannya sendiri”.
Rasa belas kasih memenuhi wajah Romero sebelum dia berbalik dan
pergi. Aku menunggu sampai aku yakin dia sudah sampai di lantai
bawah sebelum membuka kotak pertama. Dibagian atas ada fotoku
bersama Gianna,Lily, dan Fabi. Aku menangis untuk ketiga kalinya
dalam kurun waktu kurang dari dua puluh empat jam. Aku baru bertemu
mereka pagi ini , tapi kenapa aku bisa merasa begitu kesepian?
**
ketika Luca pulang kerumah hampir lima jam kemudian, aku sudah
mengenakan rok dan blouse tipis tanpa lengan. Meski sudah
mengerahkan usaha terbaikku, mataku masih sedikit merah karena
menangis. Ada keterbatasan akan apa yang bisa dilakukan oleh Make
up. Luca segera menyadari, dan matanya tertuju ke mataku, lalu
melesat ke arah foto keluargaku yang berada di meja samping tempat
tidur.
“Aku tidak tau di sisi mana dirimu tidur. Aku bisa memindahkan
kemeja samping jika kau mau”. Kataku.
“Tidak, tak apa-apa”. Kelelahan tertulis jelas di wajahnya.
“apakah rapatnya baik-baik saja?”.
Luca membuang muka. “Mari kita tak usah membicarakan itu. Aku
kelaparan”. Dia mengulurkan tangannya dan aku meraihnya lalu
mengikutinya ke lift. Dia tegang dan nyaris tak mengucapkan sepatah
katapun saat kami mengendarai mobilnya. Aku tak begitu yakin apakah
dia mengharapkanku untuk bercakap-cakap, dan aku terlalu lelah untuk
mencoba.
Saat kami berhenti di lampu merah, dia melirik ke atas. “Kau
terlihat mengagumkan”.
“Terima kasih”.
Dia memarkir mobilnya di tempat parkir yang terjaga keamanannya di
mana mereka menjaga mobil satu sama lain, lalu kami berjalan
menyusuri jalanan dengan restoran kecil yang menawarkan segalanya
mulai dari masakan india, libia, hingga ke sushi. Dia berhenti di
restoran masakan korea dan membukakan pintu untukku. Tertegun aku
masuk kedalam ruangan yang sesak dan sempit.
Meja-meja kecil diatur saling berdekatan satu sama lain dan sebuah
bar dibagian depan menawarkan berbagai minuman berakohol yang
labelnya bahkan tak bisa aku baca, dia membimbing kami kebagian
belakang restoran dan memberi kami meja kosong yang tersisa.
Orang-orang dimeja disamping kami memandang Luca dengan mata
terbelalak, kemungkinan bertamya-tanya bagaimana dia bisa muat. Aku
duduk di bangku panjang yang memanjang keseluruh ruangan dan Luca
duduk di kursi seberang ku. Pria disampingnya menggeser kursinya ke
samping, jadi Luca akan memiliki lebih banyak tempat. Apakah mereka
tau siapa dia atau mereka hanya bersikap sopan?
“kau terlihat terkejut”. Kata Luca setelah pelayan mengambil
pesanan minuman kami dan meninggalkan kami dengan buku menu.
“aku tidak terpikir kau akan mengajak ke restoran asia , mengingat
tentang semuanya”. Hanya itu yang bisa aku katakan di restoran
yang ramai ini, tapi Luca tau bahwa aku sedang membicarakan tentang
Taiwan Triad.
“restoran ini adalah restoran asia terbaik di kota, dan ini bukan
milik rantai Asia”.
Aku mengerutkan kening. Apakah dibawah perlindungan Familia?
“ini independen”.
“Masih ada restoran independen di New York?”.
Pasangan disamping kami memberiku tatapan aneh. Untuk mereka
percakapan kami kemungkinan sedikit aneh.
“Beberapa, akan tetapi masih dalam tahap negosiasi”.
Aku mendengus.
Luca menunjuk ke arah menu. “apa kau butuh bantuan?”.
“Yeah, aku belum pernah mencoba masakan korea”.
“Tofu yang di bumbui serta daging bulgogi enak”.
“kau makan Tofu?”
Luca mengangkat bahu. “jika itu dimasak seperti ini, maka iya”.
Aku menggelengkan kepalaku. Ini seperti tak nyata. “pesan saja
yang menurutmu paling lezat. Aku makan semuanya kecuali hati”.
“Aku suka wanita yang makan lebih dari sekedar salad”.
Pelayan datang untuk mengambil pesanan kami. Aku kebingungan dengan
sumpit, mencoba mencari tau cara terbaik untuk menggunakannya.
“pernahkah kau menggunakan sumpit sebelumnya?”. Luca bertanya
dengan menyeringai. Apa dia sedang mengolok-olok aku?.
Orangtua ku hanya membawa kami ke restoran italia dan aku tak
diijinkan pergi kemanapun sendirian”. Kepahitan berdering dalam
suaraku.
“Kau boleh pergi kemanapun kau mau sekarang”.
“sungguh? Sendirian?”.
Luca merendahkan suaranya. “dengan Romero atau aku , atau Cesare
ketika Romero berhalangan”.
Tentu saja.
“kemarilah, ku tunjukan caranya”. Dia mengambil sumpitnya
sendiru dan mengangkatnya. Aku mencoba meniru cara dia memegang dan
setelah beberapa kali percobaan, aku mampu untuk menggerakan sumpit
tanpa menjatuhkannya. Ketika makanan kami tiba, aku menyadari bahwa
lebih susah untuk mengambil sesuatu dengan menggunakan sumpit.
Luca mengamati dengan tatapan geli ketika aku mencoba tiga kali untuk
mengambil sepotong tofu ke bibirku.
“tidak heran gadis-gadis New York begitu kurus kalau mereka harus
makan seperti ini terus”.
“Kau jauh lebih cantik dibanding mereka semua”. Ujarnya. Aku
mengamati wajahnya, mencoba untuk mencaei tau apakah dia berkata
jujur, tapi seperti biasanya wajahnya tetap tak terbaca. Aku
membiarkan diriku mengagumi matanya. Matanya memiliki cincin yang
lebih hitam diantara warna abu-abu. Matanya tak nampak dingin kali
ini, tapi aku mengingat matanya dengan cara seperti itu.
“Lezat,” kataku. Luca mengambil sepotong tofu berikutnya dan
aku mengambil dengan penuh semangat. Ini lebih baik dibandingkan aku
harus mencoba mengambilnya dengan sumpit.
Aku bersyukur karena Luca menunjukan sisi normal dirinya padaku. Ini
memberiku harapan, mungkin memang itu niatnya tapi aku tak peduli.
**
rasa nyaman yang terbangun ketika kami makan malam menguap ketika aku
dan Luca kembali ke Penthouse dan melangkah ke kamar. Aku pergi ke
kamar mandi dan menghabiskan waktu untuk bersiap-siap sebelum aku
kembali ke kamar.
Mata Luca mengamati gaun tidur hitam panjang berbahan satin ku.
Gaun itu mencapai betisku tapi memiliki celah yang naik hingga ke
paha ku. Ini jauh lebih sederhana dibandingkan dengan gaun
mengerikan yang kupakai dimalam pernikahan kami. Namun aku yakin
ada hasrat dimatanya.
Begitu dia menghilang ke kamar mandi, aku berjalan menuju jendela dan
menyibukkan diri menyaksikan cakrawala malam. Aku hampir sama
gugupnya dengan semalam. Aku tau aku belum siap untuk lebih dari
sekedar ciuman. Aku tidak berbalik saat mendengar Luca muncul dari
sampingku. Perawakannya yang mengesankan tercermin dari jendela.
Seperti kemarin dia hanya mengenakan celana. Aku melihatnya
mengulurkan tangan untukku, dan setiap otot tubuhku menegang.
Andaikan dia melihat reaksiku, dia tidak menampakkannya. Dia
menempelkan buku jarinya disepanjang tulang belakangku, membuat
sensasi kesemutan ditubuhku. Ketika aku tak bereaksi , dia
mengulurkan tangannya, telapak tangan ke atas, sebuah undangan bukan
perintah, namun aku tau hanya ada satu jawaban yang benar.
Aku menghadapnya,tapi mataku terarah ke luka memanjang di telapak
tangannya. Aku menggerakan ujung jariku kesana. “ apakah ini
karena sumpah darah?” aku mengintip ke arah wajahnya yang tak
terbaca. Aku tau sebelum upacara inisiasi, para pria harus
mengucurkan darahnya saat mereka mengucapkan sumpahnya.
“Bukan. Ini”. Dia menunjukan tangan satunya dimana luka kecil
merusak telapak tangannya. “Itu” dia berkata sambil mengangguk
ke arah bekas luka yang masih aku sentuh “.....terjadi karena
pertarungan. Aku harus menghadang pisau dengan tanganku”.
Aku ingin bertanya tentang kali pertama dia membunuh orang, tapi dia
mengaitkan jarinya ke sepanjang lenganku dan menggiringku ke arah
ranjang. Tenggorokan menjadi begitu sempit untuk kata-kata ketika
dia duduk di atas matras dan menarikku ke celah antara dua kakinya.
Aku mencoba santai menanggapi ciumannya dan ketika dia tak melakukan
gerakan apapun yang lebih jauh aku sebenarnya merasa rasa tegang
mulai menghilang dan mulai menikmati mulutnya yang berpengalaman,
namun ketika dia berbaring dan menarikku ke ranjang bersamanya.
Ciumannya menjadi lebih memaksa dan aku bisa merasakan ereksinya
menekan pahaku. Akumasih tidak menarik diri. Aku bisa melakukan
ini. Aku tau ini akan terjadi. Tangannya menangkup payudaraku dan
aku menegang meskipun niat terbaikku untuk tidak begitu. Dia tidak
mengehentikannya dan juga tidak memindahkan tangannya. Ciumannya
membuatku sulit berpikir. Apakah akan sangat buruk jika tidur dengan
Luca? Dia mundur beberapa inci dan menjalarkan ciuman ke telingaku.
“aku tak pernah ingin menyetubuhi wanita sebesar keinginanku
menyetubuhimu sekarang”.
Aku membeku. Kata-katanya membuatku terasa murahan. Dia adalah
suamiku dan dia memiliki hak atas tubuhku, jika kau bertanya pada
siapapun di keluargaku, tapi aku berhak mendapat yang lebih baik
dari itu. Aku tak ingin disetubuhi seperti dia menyetubuhi wanita-
wanita lain. Aku istrinya. Aku menginginkan lebih. Aku
mengalihkan kepalku dan menekan telapak tanganku di dadanya. Setelah
sesaat, dia mengalah.
“aku tak menginginkan ini”. Kataku, tanpa menyembunyikan rasa
jijikku padanya.
Aku tidak melihatnya tapi aku bisa merasakan rasa frustasinya. Apa
yang dia pikirkan? Bahwa aku akan tiba-tiba merasa cukup nyaman
untuk tidur dengannya hanya karena dia membawaku makan malam sekali?
Apakah ini cara kerjanya dengan wanita-wanita lain? Untuk waktu yang
cukup lama dia tak melakukan apapun hanya mengamatiku, kemudian dia
melepaskan dirinya dariku.
Dia mematikan lampu dalam diam dan berbaring di sisi tempat tidurnya.
Aku berharap setidaknya dia merengkuhku. Ini adalah malam pertama
aku berada jauh dari keluargaku. Akan terasa menyenangkan jika dia
setidaknya menenangkanku, tapi aku tak akan memintanya melakukan itu.
Sebaliknya kau menarik selimut dan memejamkan mataku.
**
ketika aku terbangun keesokan pagi. Luca sudah pergi. Tak ada
catatan, atau bahkan sms di ponselku. Dia pasti sangat kesal. Aku
menyingkirkan selimut. Bajingan. Dia tau aku tak mengenal
siapapun di New York dan dia sama sekali tak peduli. Aku meraih
laptopku dan membuka emailku. Gianna telah mengirimu tiga email
baru. Dan yang terakhir hampir terlihat mengancam. Aku mengangkat
gagang telepon. Hanya mendengar suaranya sudah cukup membuatku lebih
baik. Aku tak membutuhkan Luca ataupun orang lain, selama aku
memiliki Gianna.
Aroma kopi dan sesuatu yang manis akhirnya menarikku keluar dari
kamar tidur dan menuju ke lantai bawah. Panci berdenting di dapur
saat aku bebrbelok di tikungan, aku menemukan seorang wanita kecil
gemuk yang tampak cukup tua untuk menjadi nenekku di kompor, membuat
pancakes. Rambutnya yang bau-abu gelap diikat dengan hairnet.
Romero bertengger di bangku bar yang menempel dengan Kitchen island,
secangkir kopi ada di hadapannya. Dia menoleh ketika aku mendekat
dan matanya mengamati gaun tidurku sebelum dia menyentakkan
kepalanya. Sungguh?
Wanita itu berbalik dan tersenyum ramah. Kau pasti Aria. Aku
Marriana”.
Aku menghampirinya untuk menjabat tangannya tapi dia menarikku ke
pelukan, menekanku di dadanya yang lebar. “Kau cantik, Bambina.
Tak heran Luca jatuh cinta padamu”.
Aku menelan komentar sinis. “Baunya lezat”.
“Duduklah. Sarapan akan siap dalam beberapa menit. Cukup untuk
Romero dan dirimu”.
Aku duduk disamping Romero. Dia masih memandang ke arah lain dengan
tajam. “Apa masalahmu? Aku tidak telanjang”. Kataku saat aku
tidak tahan lagi.
Marriana tertawa. “Bocah laki-laki ini khawatir Luca tahu dia
melirik gadisnya”.
Aku menggelengkan kepala, kesal. Jika Romero bersikeras menjadi
pengecut, dia harus makan dengan mata tertutup. Aku tidak mengenakan
bathrobe karena aku tak membutuhkan perlindungan dirumahku sendiri.
**
aku sudah tertidur saat Luca pulang malam itu. Sementara dia
menghabiskan waktunya di luar melakukan sesuatu, aku justru menjadi
tawanan di penthouse bodoh ini. Satu-satunya orang yang menemaniku
adalah Marriana dan Romero, tapi dia pergi setelah menyiapkan makan
malam, dan Romero bukanlah teman yang komunikatif. Aku melihat saat
luca keluar dari kamar mandi, baru saja mandi. Dia hampir tak
menghiraukanku. Apakah dia pikir aku peduli? Saat dia berbaring
disampingku dan mematikan lampu, aku berkata dalam kegelapan.
“Bisakah aku berjalan-jalan ke kota besok?”.
“Selama kau membawa Romero bersamamu”. Adalah jawaban
singkatnya.
Aku menelan rasa sakit dan frustasiku. Ketika dia membawaku ke
restoran favoritnya aku berpikir bahwa dia mencoba untuk membuat
pernikahan ini berhasil tapi itu semua hanyalah cara untuk membawaku
ke tempat tidur. Dan sekarang dia menghukumku dengan perlakuan
diamnya.
Tapi, aku tidak membutuhkannya, tak akan pernah. Aku melayang ke
arah ritme suara napasnya yang berirama.
Aku terbangun di tengah malam karena mimpi buruk. Tangan Luca
melingkar disepanjang tubuhku, tubuhku meringkuk ke tubuhnya. Aku
bisa saja melepaskan diri, tapi kedekatan tubuhnya membuatku merasa
baik. Sebagian dari diriku masih mengharapkan pernikahan ini
berhasil.
**
aku sangat merindukan Gianna dan Lily,hal itu hampir bersifat fisik.
Romero mencoba untuk tidak terlihat tapi dia selalu ada disana. “mau
berbelanja?”.
Aku hampir tertawa. Apakah menurutnya belanja membuat segalanya
lebih baik? Mungkin itu berhasil untuk beberapa orang, tapi jelas
bukan untukku. “Tidak, tapi aku ingin membeli sesuatu untuk
dimakan. Gianna mengirimiku email tentang beberapa restoran yang
ingin dia coba saat berkunjung. Aku ingin pergi ke salah satu
restoran itu hari ini”.
Romero tampak tidak yakin sebentar, dan aku meledak. “Aku sudah
meminta izin pada Luca beberapa malam yang lalu, jadi kau tak perlu
khawatir. Aku diizinkan meninggalkan penjara ini”.
Dia mengerutkan kening. “Aku tau. Dia sudah bilang”.
Ini konyol. Aku meninggalkannya berdiri di tengah ruang tamu dan
bergegas naik ke tempat tidur. Dengan cepat aku mengenakan gaun
musim panas yang bagus serta sandal, meraih tas, dan kaca mata
hitamku sebelum kembali ke bawah. Romero tidak bergerak dari
tempatnya. Kenapa dia tidak bisa berpura-pura bahwa dia adalah
seseorang selain pengawalku.
“Ayo pergi”, aku memerintah padanya. Jika dia ingin bertingkah
sebagai pengawalku , maka aku kan memperlakukannya seperti itu.
Romero mengenakan jaket diatas kemejanya untuk menyembunyikan sarung
senjatanya, kemudian menekan tombol elevator. Kami tidak berbicara
selama perjalan turun. Ini pertama kalinya aku melihat Loby gedung
apartemen ini. Lobby nya bercorak, ber marmer hitam ,dan berseni
modern dan dan seorang resepsionis paruh baya berdiri di belakang
counter gloss berwarna putih. Dia memiringkan kepalanya ke arah
Romero sebelum matanya melotot ke arahku dengan rasa ingin tau yang
jelas. “Selamat siang, Nyonya Vittielo,” katanya dengan suara
yang terlalu sopan. Aku hampir tersandung karena dia memanggilku
seperti itu. Mudah untuk melupakan bahwa aku bukanlah Scudery lagi.
Namun bagaimanapun suamiku tak pernah terlihat.
Aku mengangguk sebagai pengakuan, lalu dengan cepat bergegas keluar.
Hawa panas menerpa tubuhku saat aku meninggalkan gedung ber-AC.
Musim panas di kota, tak ada yang bisa diharapkan. Aroma knalpot dan
sampah seakan melintas dijalanan seperti kabut. Romero selangkah
dibelakangku dan aku bertanya-tanya bagaimana dia bisa menahan panas
dengan pakaiannya.
“kurasa kita perlu naik taksi”, kataku saat aku melangkah ke tepi
jalan. Romero menggelengkan kepalanya tapi aku sudah mengangkat
tanganku dan sebuah taksi membelok ke samping dan berhenti di
sampingku.
**
Romero berada beberapa langkah di belakangku, tatapan waspada di
punggungku. Itu membuatku gila. Orang-orang menganggap kami aneh.
“Bisakah kau berjalan di sampingku?” tanyaku saat kami menyusuri
Greenwich Street tempat restoran itu berada. “Aku tak ingin
orang-orang itu berpikir kau sedang menjaga ku”. Mungkin dia masih
kesal karena aku menyuruhnya naik taksi, bukan BMW hitam yang
menjeritkan kesan mafia dari kejauhan.
“Aku sedang menjagamu”.
Aku berhenti hingga dia melangkah disampingku. Bagian luar restoran
dikelilingi bunga liar yang tumbuh di pot terakota dan bagian
dalamnya mengingatkanku pada pub inggris yang pernah aku baca.
Sepertinya setiap pelayan di tato, dan meja-meja saling berdekatan
sehingga kau bisa makan dari piring orang disebelahmu. Aku bisa
melihat kenapa Gianna menyukainya.
Bibir Remero berjengit tanda ketidaksetujuan yang jelas. Ini mungkin
adalah mimpi buruk seorang pengawal. “apakah kau sudah
mereservasi?” seorang wanita tinggi dengan tindikan di bawah bibir
bertanya.
“Belum”. Romero menyipitkan matanya seolah tak percaya
seseorang benar-benar menanyakan hal seperti itu. Aku menyukainya,
disinilah aku bukan Aria, istri Luca Vittielo. “Kami hanya berdua
saja. Dan tidak butuh waktu lama”, kataku sopan.
Wanita itu melihat ke arah Romero dan aku lalu tersenyum. “Kalian
punya waktu satu jam. Kalian adalah pasangan yang imut”.
Dia berbalik untuk membawa kami kemeja kami , karena itulah dia tidak
melihat ekspresi Romero. “Kenapa kau tidak mengoreksinya?”
tanya nya pelan.
“Kenapa harus?”.
“Karena kita bukan pasangan, kau adalah milik Luca?”.
“Benar. Dan juga Bukan”.
Romero tidak mendebat lagi, tapi aku tau itu membuatnya tidak nyaman
untuk bertingkah seakan kami bukanlah pengawal dan istri bosnya. Aku
makan salad dengan saus paling lezat dan menikmati menonton
orang-orang disekitar kita, sementara Romero makan burger dan
memantau lingkungan sekitar kita. Aku tak sabar untuk membawa Gianna
kesini. Kesedihan memenuhi pikiranku. Aku tak pernah merasa
kesepian selama hidupku. Hanya dua hari dalam hidup baruku dan aku
benar-benar tak tau bagaimana bertahan hidup ribuan hari yang akan
menyusul. “Jadi nanti Luca akan pulang larut malam ?”.
“Kurasa”, kata Romero mengelak.
Setelah makan, aku memaksa Romero untuk berjalan-jalan dilingkungan
restoran sedikit lebih lama, tapi akhirnya aku merasa frustasi dengan
postur tubuhnya yang kaku dan ketidaknyamanan yang jelas, dan aku
setuju untuk kembali ke apartemen.
**
Ketika taksi berhenti di depan gedung apartemen, Romero membayar
sopir, dan aku keluar dari taksi. Saat aku mendekati pintu depan ,
aku mengenali salah satu sepupu Luca duduk di Lobby. Apa yang sedang
dia lakukan disini? Kami hanya pernah bercakap-cakap beberapa
kalimat di saat pesta pernikahan dan aku tak mendapat kesan bahwa
dia tertarik dengan persahabatan. Bingung, aku melangkah ke lobbi.
Mata Cosima memelototiku dan dia menghampiriku tanpa ragu dan
memelukku sampai aku terkejut, lalu dia menekankan sesuatu ke
tanganku. “Ini, jangan biarkan Romero atau orang lain melihatnya.
Sekarang tersenyumlah”.
Aku melakukannya, tertegun. Aku bisa merasakan selembar kertas yang
terlipat dan terasa ada sebuah kunci di telapak tanganku. Dengan
cepat aku menyimpannya di dompetku saat Romero muncul disampingku.
“apa yang kau lakukan disini, Cosima?” ada sedikit kecurigaan
dalam suaranya.
Dia tersenyum menunjukan gigi pada Romero. “aku hanya ingin
mengetahui kabar Aria, dan mengajaknya untuk janji makan siang
segera. Tapi sekarang aku harus pergi. Aku memiliki janji dengan
penata rambut”. Dia memberiku peringatan, lalu dia berjalan
keluar, sepatu hak tingginya bergeletuk di lantai marmer.
Romero mengawasiku. “Apa yang dia katakan?”.
“seperti yang dia katakan padamu”. Kataku, sambil mengangkat
dagu. “aku ingin naik sekarang”. Dia ingin aku bertindak
seperti atasannya, jadi dia tidak bisa mengharapkan aku bisa membuka
diri padanya. Dia mengangguk dan menuntunku ke lift dengan anggukan
singkat kearah dua resepsionis.
Saat kami memasuki Penthouse, aku mohon diri dan memasuki kamar mandi
tamu. Aku mengeluarkan apa yang Cosima berikan padaku dan membuka
selembar kertas itu.
Aria.
Ini adalah kunci ke salah satu apartemen Vittielo. Datanglah kesana
jam 10 malam ini untuk melihat apa yang suami mu lakukan ketika kau
menghangatkan tempat tidurnya. Ahti-hati dan diam, dan jangan
beritahu siapapun. Romero akan berusaha mennghentikanmu. Singkirkan
dia.
Alamatnya ada di bagian bawah kertas. Catatan itu tidak di tanda
tangani dan di ketik dengan komputer. Apakah dari Cosima? Ini tak
masuk akal. Aku membacanya lagi dan lagi. Ini bisa saja tipuan ,
atau , lebih buruk: jebakan, tapi rasa penasaran membakar tubuhku.
Luca sebenarnya bukan satu-satunya suami yang tak pernah terlihat.
Masalah satu-satunya bagaimana caranya ke apartemen itu dan
bagaimana menyingkirkan Romero. Dia tak pernah meninggalkan sisiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar