Ketika
aku bangun keesokan pagi, aku sendirian di tempat tidur. Aku bangun,
kecewa karena Luca tidak membangunkanku. Aku turun dari tempat
tidur ketika dia masuk ke kamar dari arah lorong, sudah berpakaian
serba hitam , dengan sarung senjata di dadanya berisi dua buah pisau
dan dua pistol, dan entah ada berapa lagi sarung senjata di tubuhnya
dengan lebih banyak senjata. “apa kau sudah akan pergi?”.
Dia
meringis. “The Bravta menangkap satu dari kami. Mereka
meninggalkanya dalam potongan kecil-kecil di sekitar salah satu klub
kami”.
“seseorang
yang ku kenal?” aku bertanya dengan merinding. Luca
menggelengkan kepalanya. “apakah polisi akan turut campur?”.
“tidak,
jika aku bisa mencegahnya”. Luca menangkup wajahku. “aku akan
berusaha pulang lebih awal, okay?”.
Aku
mengangguk. Dia menundukkan kepalanya, menatapku sepanjang waktu
untuk melihat apakah aku akan menarik diri. Bibirnya menyentuh
bibirku. Aku membuka mulut untuknya dan tenggelam dalam ciuman itu,
tapi terlalu cepat. Aku melihat punggungnya saat dia pergi. Lalu
aku mengangkat gagang telepon dan menelpon Gianna.
“kupikir
kau tak akan pernah menelpon,” adalah hal pertama yang keluar dari
mulutnya.
Aku
tersenyum. “aku bahkan belum mandi, dan baru pukul delapan di
Chicago. Kau tak mungkin terjaga begitu lama”.
“kau
tidak menelpon kemarin. Aku hampir mati karena khawatir. Aku tak
bisa tidur karena dirimu. Aku
benci karena kita terpisah begitu jauh dan aku tidak bisa memastikan
dengan diriku sendiri bahwa kau baik-baik saja. Apa kau baik-baik
saja?”.
“ya, aku baik-baik saja”. Aku menceritakan padanya tentang
percakapanku dengan Luca dan bagaimana kami menghabiskan waktu
kemarin.
“Betapa mulianya dia mau berjanji untuk tidak menyelingkuhimu lagi
dan bahkan mencoba untuk membuat pernikahan kalian berhasil. Berikan
bunga untuk pria itu”.
“dia bukanlah pria baik, Gianna. Tak ada pria baik di dunia kita.
Tapi kurasa dia benar-benar ingin mencoba. Dan aku menginginkan itu
juga”.
“Kenapa tidak kau tanyakan padanya, bisakah aku mengunjungimu
untuk beberapa hari? Aku libur sekolah selama dua minggu dan aku
sangat kebosanan tanpa dirimu. Kita bisa menghabiskan beberapa hari
di pantai di Hamptons dan berbelanja di Manhattan”.
“bagaimana dengan Ayah? Sudahkah kau meminta izin padanya?”.
“Dia megatakan padaku untuk bertamya padamu dan Luca”.
“aku akan bertanya padanya. Kurasa dia tak akan keberatan.
Beberapa waktu ini dia jarang di rumah. Sepanjang hari aku sendirian
hanya dengan Romero saja”.
“Mengapa
kau tidak bertanya pada Luca , bolehkah kau berkuliah? Kau memiliki
nilai yang sempurna. Kau tidak akan menemui masalah hanya untuk
masuk ke Columbia”.
“Untuk apa? Toh aku tidak akan pernah di ijinkan berkerja.
Terlalu berbahaya”.
“kau bisa bantu-bantu Luca di Clubnya. Kau bisa jadi
sekertarisnya atau apapun. Kau akan gila jika kau terus-terusan di
Penthouse sepanjang waktu”.
“tak masalah. Aku akan baik-baik saja”, kataku walaupun aku
bahkan tak yakin. Gianna benar. “aku akan memebicarakan dengan
Luca perkara kunjunganmu. Sekarang aku sungguh butuh mandi dan
mencari sesuatu untuk di makan”.
“telpon aku sesegera mungkin. Aku harus membooking penerbangan”.
Aku tersenyum. “baiklah. Jangan bikin masalah”.
“kamu juga”.
Aku menutup telepon. Kemudian aku bersiap-siap dan mengenakan gaun
musim panas yang semilir. Diluar sangat cerah dan aku ingin
berjalan-jalan ke Central Park. Ketika aku melangkah ke ruang tamu,
Romero sudah duduk di kursi di meja makan dengan secangkir kopi di
depannya.
“apakah Luca sangat marah padamu?” aku bertanya saat aku
berjalan melewati dia menuju dapur terbuka yang sangat besar. Cake
wortel buatan rumahan terhidang di counter dan aku bisa mendengar
Marriana bersenandung di suatu tempat. Dia mungkin sedang
bersih-bersih. Romero berdiri, mengambil cangkirnya dan bersandar di
kitchen island. “Dia tidak senang. Kau bisa saja terbunuh. Aku
seharusnya melindungimu”.
“apa yang dilakukan Luca hari ini?”.
Romero menggelengkan kepalanya.
“apa yang sedang dia lakukan? Aku ingin tau detailnya. Kenapa dia
membawa banyak sekali senjata bersamanya?”.
“Dia, Matteo, dan beberapa yang lain akan mencari pria yang telah
membunuh anggota kami dan mereka akan membalas dendam”.
“terdengar berbahaya”. Secercah kekhawatiran memenuhiku.
Balas dendam tak pernah menjadi akhir segalanya. The bravta akan
membalas dendam karena balas dendam Luca. Itu tak akan pernah
menjadi akhir cerita.
“Luca dan Matteo sudang sering melakukan ini sejak lama, mereka
yang terbaik, dan begitu pula orang-orang yang bersama mereka”.
“dan bukannya ikut bersenang-senang, kau malah harus mengasuhku”.
Romero mengedikkan bahu, kemudian dia tersenyum. “ini adalah
suatu kehormatan”.
Aku memutar mataku. “aku ingin Jogging di Central Park”.
“akankah kau akan mencoba kabur lagi?”
“kenapa
aku harus kabur? Tak ada satu pun tempat aku bisa bersembunyi. Dan
aku ragu kau akan membiarkan ku melarikan diri lagi. Kau terlihat
cukup fit”.
Romero menegakkan tubuh. “Oke”. Aku tau dia curiga dengan
motif ku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar