Gelombang mual
membangunkanku dari tidurku. Aku terseok-seok ke kamar mandi dan
muntah lagi, membungkuk di lantai keramik yang dingin, terlalu
lelah untuk bangun. Aku bergidik. Luca mengulurkan tangan dan
memflush toilet sebelum menyingkirkan rambut yang ada di dahiku,
“Tidak terlihat hot lagi, bukan?” Aku tertawa serak.
“Itu seharusnya
tidak terjadi. Aku seharusnya menjagamu agar tetap aman”.
“Kau menjagaku”.
Aku mencengkram toilet dan terhuyung- huyung berdiri. Tangan Luca
menggenggam pinggangku.
“Mungkin mandi
akan membantu”.
“kurasa aku akan
tenggelam jika berbaring di Bath up sekarang”.
Luca menyalakan air
di bak mandi sambil tetap memelukku dengan satu tangan. Langit
berubah menjadi abu-abu di New York. “Kita bisa mandi bersama”.
Aku mencoba
tersenyum menggoda. “Kau hanya ingin mengambil kesempatan”.
“Aku tak akan me
nyentuhmu saat kau dalam pengaruh bius”.
“Seorang Capo
dengan moral”.
Wajah Luca sangat
serius. “aku belum menjadi Capo. Dan aku memiliki moral. Tidak
banyak tapi beberapa”.
“Aku cuma
bercanda” aku berbisik sambil menyandarkan keningku di dada
telanjangnya. Dia mengelus punggungku dan gerakannya mengirimkan
gelitik nikmat ke intiku. Aku menarik diri dan dengan berhati-hati
berjalan ke arah wastafel untuk menggosok gigiku dan membasuh
wajahku.
Luca mematikan keran
saat bak mandi sudah hampir penuh. Lalu dia membantuku melepaskan
celana dalamku dan dia melepaskan celana boxer nya sebelum dia
mengangkatku ke bak mandi. Aku mencelupkan wajahku ke bak mandi
sebentar , berharap itu akan menghapus kabut yang menyelimuti
kepalaku. Ereksi Luca menekan pahaku. Aku berbalik hingga menghadap
ke Luca dan penisnya menyelip diantra kakiku dan menggesek jalan
masukku. Aku gemetar. Luca hanya butuh mendorong maju untuk
pinggulnya untuk bisa memasukiku. Dia mengerang, mengemertakan
giginya, dan dia menghapus jarak diantara kami dan menggeser
ereksinya ke nbawah pahaku dan membaringkaku diatas perutnya.
“Beberapa pria
akan mengambil keuntungan dari situasi ini”, aku bergumam.
Rahang Luca
menegang. “aku jenis pria seperti itu, Aria. Jangan membohongi
dirimu dengan mempercayai bahwa aku adalah pria yang baik. Aku
bukanlah pria terhormat ataupun Gentleman. Aku adalah seorang
bajingan kejam”.
“Tapi tidak dengan
ku” aku menekan hidungku ke celah lehernya, menghirup aroma nya
yang familier, aroma musk.
Luca mencium puncak
kepalaku. “akan lebih baik jika kau membenciku. Maka akan lebih
sedikit kesempatan untukmu terluka”.
Apa yang telah aku
katakan padanya ketika aku tidak sadar? Apakah aku sudah mengatakan
padanya bahwa aku jatuh cinta padanya? Aku tak bisa mengingatnya.
“Tapi aku tak membencimu”.
Luca mencium
kepalaku lagi. Aku berharap dia mengatakan sesuatu. Aku berharap
dia mengatakan bahwa dia.......
“Kau menyebutkan
tentang sesuatu yang Grace katakan padamu”. Suaranya tampak
biasa-biasa saja tapi ketegangan seakan mencengkram tubuhnya.
“Sesuatu tentang menyetubuhi hingga berdarah-darah”.
“Oh, yeah. Dia
berkata kau akan melukaiku, menyetubuhiku seperti binatang,
menyetubuhiku hingga berdarah-darah dia mengatakan padaku sebelum
pesta pernikahan. Dan membuatku takut setengah mati”. Kemudian
aku cemberut. “Kurasa pria semalam mengatakan hal yang hampir
sama”.
“Sebelum aku
membunuhnya dia mengatakan salah satu wanita yang membeli narkoba
darinya memberitahunya bahwa kau adalah jalang yang perlu diberi
pelajaran. Wanita itu membayar dia Cash”.
Aku mengangkat
kepalaku. “apa kau pikir itu Grace?”.
Mata Luca seperti
langit badai. “aku yakin itu dia. Deskripsinya cocok dan siapa
lagi yang berminat untuk menyerangmu selain dia”.
“Apa yang akan kau
lakukan?”.
“Aku tak bisa
membunuhnya, walaupun aku sangat ingin menyembelih tenggorokan
sialannya., tapi itu akan menyebabkan terlalu banyak masalah dengan
ayah dan kakak laki-lakinya. Aku harus berbicara dengan mereka, ku
rasa. Memberitahu mereka bahwa mereka harus menyingkirkan Grace
sialan itu atau tak akan ada lagi uang untuk mereka dari kami”.
“Bagaimana jika
mereka menolak?”
“Tidak akan.
Grace sudah mengacaukan banyak hal selama ini. Mereka kemungkinan
mengirimnya ke eropa atau asia untuk melakukan rehabilitasi “.
aku mencium dia ,
tapi ketegangan di Tubuh Luca tidak berkurang. “Aku tak bisa
membayangkan bagaimana jika Romero dan Cesare tidak ada disana. Jika
bajingan sialan itu mendapatkanmu di club. Memikirkan tangannya yang
kotor itu membuatku ingin membunuhnya lagi. Memikirkan bahwa dia
mungkin akan....” dia menggelengkan kepalanya.
Aku tau bahwa ini
bukan karena Luca memiliki perasaan untukku. Dia itu posesif. Dia
tidak bisa tahan memikirkan seseorang mungkin akan menyentuhkan
tangannya padaku, bahwa seseorang kemungkinan akan mengambil sesuatu
yang seharusnya miliknya. Kesadaran memenuhi diriku. “ketika
Gianna pulang nanti. Kau bisa memilikiku”, aku berbisik diatas
tenggprokannya. Tangan Luca masih tetap di punggungku. Dia tidak
bertanya apakah aku yakin. Dan aku juga tidak mengharapkan dia akan
menanyakan itu. Dia sudah mengatakan sendiri; dia bukanlah pria yang
baik.
**
Gianna dan aku
menghabiskan beberapa hari terakhir dengan mencoba beberapa kafe dan
restoran yang berbeda-beda, mengobrol, tertawa dan berbelanja, dan
hari ini Gianna harus kembali ke Chicago. Lenganku yang memeluknya
sangat erat saat kami berdiri di pintu keberangkatan di depan JFK.
Gianna harus melewati petugas pemeriksaan segera tapi aku tak ingin
membiarkan dia pergi. Bukan hanya karena aku akan merindukannya
setengah mati tapi karena aku juga sedikit resah karena janjiku pada
Luca.
Aku melepaskan diri
dan mengambil langkah mundur dari Gianna. “Berkunjunglah lagi,
secepatnya, Okay?”.
Dia mengangguk,
bibirnya terkatup. “kau akan menelponku tiap hari, Jangan sampai
lupa”.
“Tak akan”, aku
berjanji. Dia menjauh dengan perlahan, kemudian berbalik, dan menuju
ke barisan pemeriksaan keamanan. Aku menunggunya hingga dia
melewati pemeriksaan dan menghilang dari pandangan.
Luca berdiri
beberapa langkah di belakangku. Aku bergegas menghampiri dia dan
menekan wajahku di tubuhnya. Dia mengelus-elus bahuku. “kurasa
kita bisa menikmati makan malam dan menikmati malam yang santai”,
dia terdengar lapar dan bersemangat, tapi bukan tentang makanan.
“Terdengar bagus”.
Aku berkata dengan senyum kecil. Sesuatu berubah dari wajah Luca
kemudian menghilang.
**
Aku tidak makan
banyak. Perutku sudah keram, dan aku tak mau mengambil resiko. Luca
berpura-pura tidak menyadari. Dia memakan apa yang tidak aku makan.
Ketika kami melangkah masuk ke penthouse kami. Aku berjalan ke arah
rak minuman keras, mencari-cari beberapa minuman, tapi Luca
menggenggam lenganku dan menarikku ke arahnya. “Jangan”.
Dia mengangkatku ke
legannya dan membawaku naik ke lantai atas ke kamar tidur kami.
Ketika dia menurunkanku di ujung ranjang, mataku menemukan
tonjolannya. Dia sudah mengeras. Rasa gugup melilit bagian dalamku.
Dia menginginkanku. Aku tak meragukannya, tidak malam ini.
Luca menaiki ranjang
dan aku berbaring. Telapak tanganku terkulai di atas selimut.
Bibirnya menemukan bibirku, lidahnya meringsek masuk, dan aku
bersantai di bawah mulutnya yang ahli. Ini terasa baik, familiar dan
menenangkan. Otot kakiku melemas. Luca melepaskan mulutnya dariku
dan menghisap putingku ke mulutnya dari kain gaunku. Aku menangkup
kepalanya, membiarkan keahliannya membuang jauh ketakutanku. Tak ada
ketergesaan dalam ciuman dan sentuhanya yang belum pernah aku rasakan
sebelumnya.
Dia menarik gaunku
dan melepasakannya dari tubuhku, dan meninggalkanku hanya dengan
celana dalam. Dia mengambil waktu sesaat untuk mengagumi tubuhku
sebelum dia bergerak ke bawah dan mengubur wajahnya diantara kakiku,
lidahnya menyelip diantara lipatanku diatas celana dalamku. Dengan
menggeram, Luca merobek celana dalamku, dan melemparkannya. Mulutnya
panas dan menuntut, tapi dengan terlalu cepat dia berhenti dan
memasukan jarinya padaku. Keudian dia berdiri dengan gagahnya dan
melepaskan kemejanya sebelum dia melepaskan kantung senjatanya dan
celananya. Tubuhmya di liputi ketegangan dan ereksi lebih keras dari
yang pernah aku lihat. Rasa lapar yang liar di wajahnya menimbulkan
ketakutan pada diriku. “kau milikku”.
Dan kemudian Luca
menjulang di atasku. Lututnya memisahkan kedua kakiku, dan ujung
penisnya ada di pintu masukku. Otot-ototku serasa di robek dan aku
menancapkan kukuku di bahunya dan memejamkan mataku. Ini terlalu
cepat. Dia nyaris terlihat tidak terkendali. Aku menekan wajahku di
lekuk lehernya, mencoba membiarkan aroma tubuhnya menenangkanku.
Luca tidak bergerak,
ereksi masih tetap diam dan hanya menyentuh pintu masukku.
“Aria”, dia
berkata dengan suara rendah. “Tatap aku”, aku melakukannya.
Tatapan matanya perpaduan antara lapar dan sesuatu yang lebih lembut.
Aku mencoba terfokus pada sesuatu yang lebut. Untuk sesaat yang
lama kami saling berpandangan. Dia memejamkan mata dan menurunkan
tubuhnya sehingga tubuhnya menempel di tubuhku. “Aku seorang
bajingan”, serunya, dia mencium pipi dan pelipisku.
Rasa bingung
memenuhi diriku. “Kenapa?” Tuhan, apakah suara pelan itu
milikku? Luca adalah suamiku dan aku terdengar seakan aku sangat
ketakutan.
Aku ketakutan, tapi
seharusnya aku bisa menyembunyikannya dengan lebih baik.
“Kau ketakutan dan
aku kehilangan kendali seperti itu. Harusnya aku lebih tau. Aku
seharusnya membuatmu siap dengan lebih baik dan bukanya hampir
meneroboskan batangku memasukimu”.
Aku tak tau aku
harus berkata apa. Aku bergeser dan ereksi Luca menggesek pintu
masukku, membuatku terkesiap. Luca menghembuskan napas dengan keras,
memejamkan erat matanya. Saat dia membukanya lagi, matanya
mengandung rasa lapar. Dia meluncur turun sampai kepalanya ada di
atas payudaraku dan perutnya menempel di lipatanku. Aku
menghembuskan napas karena gesekan itu dan otot Luca meregang. Aku
tau dia masih gelisah.
“Kau adalah
istriku” katanya dengan keras seakan megingatkan dirinya sendiri.
Lalu jarinya menjepit putingku dan menariknya ke arahku. Aku
mengerang, melengkungkan panggulku , dan membuat tubuhku menggosok
perut Luca.
“Berhenti
menggeliat” perintah Luca, hampir memohon. Dia mnarik lagi, aku
memaksa diriku untuk tetap diam tapi erangan lolos dari bibirku.
Ekspresi Luca berkonsentrasi dan menahan saat dia menarik dan memutar
, memutar-mutar dan menggosoknya. Aku melengkungkan punggungku,
mendorong dadaku ke wajahnya, dan dengan senang hati mengangkatku ke
atas karena undanganku dan menghisap putingku ke mulutnya. Aku
memejamkan mataku saat dia menghisap satu payudaraku ketika jari-
jarinya mencubit puting payudaraku yang satunya. Dia memindahkan dan
menjalarkan jarinya di tulang rusuk dan pinggangku, bagian sampingku
sebelum jari-jarinya mengikuti jejak yang sama. Dia menggigit kulit
diatas tulang pinggulku, lalu menenangkan titik itu dengan lidahnya.
Seluruh tubuhku terasa membara, sangat ingin mendapatkan pelepasan.
Jari-jarinya mulai
memijat pahaku, membuka ku lebih jauh saat dia bergerak lebih ke
bawah. Dia mencium gundukanku, lalu menggigit dengan lembut paha
bagian dalamku. Aku tersentak dan mengayunkan pinggulku. Dia
menyelipkan tangannya di bawah pantatku dan mengangkatku beberapa
inci, lalu dia mencium lipatanku, lalu dia mundur. Mataku perlahan
terbuka. Dia mengamatiku, kemudian mencium pintu masukku dan aku
bisa merasakan kelembapan mengumpul disana. Ibu jari Luca melebarkan
bibir vaginaku untuknya dan dia menjilat di kelebapanku.
Aku bergidik dan
merasakan tetesan lain. Luca dengan lembut menyentuhku, sesekali
menyentuh klitorisku. Dia menghisap lipatanku, kemudian menjilatnya,
dan memutar-mutar lidahnya di pintu masukku tapi tidak menyentuhku
ketika aku butuh di sentuh.
“Luca, Please”.
Aku mengangkat pinggulku lagi.
Luca menyenggol
klitorisku dengan lidahnya dan aku berteriak. “Kamu mau ini?”
“Iya”.
“Segera”, dia
mengerang dan memasukan jari kedalam diriku, menyetubuhiku dengan
perlahan saat lidahnya menyelinap dantara jalan masukku,
membungkusku dengan ludahnya. Lidahnya bergerak ke atas, dan
akhirnya memutari klitorisku. Aku bersantai dengan mengerang. Luca
memasukan klitorisku dengan mulutnya dan menghisapnya, membawaku
semakin dekat, dan mendekat ke tepian.
“Beritahu aku
ketika kau sampai”, kata Luca diatas dagingku yang basah.
Dia menggerakan
jarinya lebih cepat dan menekan lidahnya di atas klitorisku.
“Aku sam--”.
Luca menarik jarinya
keluar. Dan memasuki ku lagi dua jarinya. Aku terengah karena rasa
tidak nyaman akan tetapu orgasme ku memporak – porandakan tubuhku,
rasa sakit bercamput dengan kenikmatan saat tubuhku mencoba untuk
memperoleh keselurannya. Luca mencium paha bagian dalamku, kemudian
mengerang. “Kau sangat ketat, Aria. Otot-otot mu meremas setengah
mati jari-jariku”.
Detak jantungku
melambat dan aku melirik ke arah Luca. Dia sedang mrngatamtiku,dua
jarinya terkubur dalam diriku. Dia menarik keluar beberapa inchi dan
aku meringis tapi dia dengan perlahan menemukan irama saat dia keluar
masuk.
“Relax” Luca
berbisik, dan aku mencoba. “aku butuh untuk memlebarkanmu, Tuan
Putri” Luca menjalarkan lidahnya ke lipatan dan klitorisku lagi.
Aku bergumam dalam kenikmatan. Rasa tidak nyaman di intiku
menghilang dengan setiap hujaman dari lidah Luca dan aku bisa
merasakan diriku mendekati pelepasan lagi. Luca tampaknya merasakan
itu juga. Dia menarik jarinya keluar dan bergerak ke atas sampai dia
membungkuk di atasku. Dia meluruskan dirinya dan menggerakan kaki
dan pinggulku sampai dia menemukan sudut yang dia inginkan. Lalu
ujung penisnya menggesek pintu masukku. Dan seketika aku membeku
lagi. Aku ingin menangis frustasi. Kenapa tubuhku tidak bisa
berkerjasama denganku?
Luca mencium
keningku, kemudian bibirku. “Aria?” mataku akhirnya bertemu
dengan matanya. Ekspresi nya menampakkan semacam pertahanan dari
dalam. Aku mengalungkan lenganku di tubuhnya, telapak tanganku
menempel di punggungnya yang melengkung. Meredakan ekspresi
kepemilikannya.
Dia menggerakan
pinggulnya dan tekanannya meningkat. Aku menjadi sangat tegang dan
Luca menghembuskan napas kasar. “Relax” dia berkata sambil
menangkup pipiku dan mencium bibirku. “Aku bahkan belum masuk”.
Tangannya mengusap sisi tubuhku sampai ke pahaku. Dia menangkupnya
dan membukanya sedikit lebih lebar. Lalu dia mendorong perlahan,
aku mengencangkan peganganku padanya, menekan bibirku erat-erat.
Ini sakit. Tuhan, rasanya sakit sekali. Dia tidak akan pernah muat.
Aku merintih ketika sensasi merobek terlalu sakit dan jauh lebih
tegang. Luca menghentikan gerakannya, rahangnya terkatup rapat. Dia
mengangkat salah satu tangannya dan menangkup dadaku, menggosok dan
memutar putingnya.
“Kau sangat
cantik” gumamnya di telingaku. “Begitu sempurna, Tuan Putri”
kata- katanya dan godaannya di payudaraku membuatku sedikit relax
dan dia mendorong sedikit lebih jauh. Aku menegang lagi. Luca
mencium mulutku . “Hampir sampai” dia menyelipkan tangannya di
bawah tubuhku, jati- jari menjalar diatas perutku sampai dia
menggosok lipatanku. Dia mengusap klitorisku pelan dan aku
menghembuskan napas. Melalui rasa sakit dan ketidaknyamanan itu, aku
bisa merasakan kenikmatan kecil. Luca meluangkan waktu menggoda
klitorisku dan menciumku. Bibirnya panas dan lembut, dan
jari-jarimya mengirimkan sensasi kesemutan dalam tubuhku. Perlahan,
ototku mengendur di sekitar kemaluannya.
Sambil mengayunkan
pinggulnya ke depan, dia mendorong semuanya ke jalan masukku dan aku
tersentak, punggungku melengkung dari tempat tidur. Aku memejamkan
mata, menarik napas dari hidung untuk meredakan rasa sakit. Aku
merasa terlalu penuh seakan aku akan robek. Aku membenamkan wajahku
di tenggorokan Luca, dan mulai menghitung, mencoba mengalihkan
perhatianku. “Ini akan membaik”, begitulah kata-kata para wanita
di bridal shower, tapi kapan?
Luca bergerak
perlahan, hanya satu inchi, tapi sakitnya tidak tertahan. “Please,
jangan bergerak”, aku tersentak, lalu aku menahan bibirku karena
malu.. wanita lain telah melalui ini dan mereka telah bertahan dan
menderita melalui hal ini. Kenapa aku tidak bisa? Tubuh Luca menjadi
sangat tegang seperti tali busur. Dia menyentuh pipiku saat dia
mundur, memaksaku untuk menatapnya.
“Apakah ini sangat
menyakitkan?” suaranya tenang, matanya gelap karena emosi yang
tidak bisa aku mengerti.
Bertahanlah, Aria.
“Tidak, tidak terlalu”. Suaraku tersedak di kata-kata terakhir,
karena Luca berkedut. “Tak apa-apa Luca. Bergeraklah. Aku tidak
akan marah padamu, kau tak perlu menahan diri untukku. Selesaikan
segera”.
“Apakah kau pikir
aku akan menggunakanmu seperti itu? Aku bisa melihat bagaimana ini
begitu menyakitkan. Aku telah melakukan berbagai hal mengerikan
dalam hidupku tapi aku tak ingin menambahkan dirimu dalam daftarku”.
“Mengapa? Kau
selalu menyakiti orang. Dan hanya karena kita menikah. Kau tidak
perlu berpura-pura memperhatikan perasaanku”.
Matanya berkilat.
“Apa yang membuatmu berpikir aku berpura-pura?”
bibirku terbuka.
Aku tak berani berharap, tidak berani membaca terlalu dalam ke dalam
kata-katanya, tapi Tuhan, aku menginginkan itu.
“Katakan apa yang
harus ku lakukan?” katanya dengan kasar.
“Bisakah kau
memelukku sebentar? Tapi jangan bergerak”.
“Baiklah”,janjinya,
lalu mencium bibirku. Dia menggertakan gigi saat dia benar-benar
menunduk. Kami sangat dekat, bahkan selembar kertaspun tak akan muat
diantara kami. Luca merapatkan satu lengan dibawah bahuku, dan
menekanku ke dadanya, lalu kami berciuman, bibir kami saling
meluncur, lidah kami saling membelit, lembut dan menggoda. Luca
membelai sisi tubuhku, dan tulang rusukku, sebelum tangannya
menyelinap diantara kami, menggambar lingkaran kecil di putingku.
Perlahan tubuhku menjadi kendur di bawah belaian lembutnya dan rasa
mulutnya di mulutku. Rasa sakit diantara kaki ku terasa memudar dan
inti tubuhku mengendur disekitar Luca, tubuhku semakin terbiasa
dengan ukuran tubuhnya. Luca sepertinya tidak memperhatikan atau
sengaja mengabaikannya, malah terus menciumku. Kuku jarinya
menggores puting susuku dan secercah kenikmatan menusuk diantara
kedua kakiku. Aku mundur, bibirku terasa panad dan panas dari ciuman
kami. Mata Luca berkabut.
“Bisakah kamu
tetap....?”
dia bergeser da aku
bisa merasaka betapa kerasnya dia. Dia sama sekali tidak melunak.
Mataku terbelalak karena terkejut.
“Aku telah
memberitahumu bahwa aku buka nlah pria yang baik. Walaupun aku tau
kau kesakitan. Aku tetap mengeras karena aku berada dalam dirimu”.
“Karena kau
menginginkanku”.
“Aku tak pernah
menginginkan sesuatu melebihi ini sepanjang hidupku”. Luca
mengakui.
“Bisakah kita
bergerak perlahan?”.
“Tentu saja, Tuan
Putri” masih memegangiku erat, dia masuk beberapa inci lebih dalam
sambil mengamati wajahku. Tatapan perhatian di wajahnya mengendurkan
ikatan di dadaku.
Aku menghembuskan
napas. Aku masih kesakitan tapi tidak sesakit yang tadi dan dibalik
rasa sakit tersembunyi sesuatu yang lebih baik. Luca kembali
memasuki ku dan menemukan irama yang pelan dan lembut. Aku tenggelam
dalam tubuh Luca yang kuat, menempel ditubuhku, garis-garis tajam
wajahnya. Matanya tak pernah meninggalkan wajahku. Sepertinya dia
tidak keberatan dengan kecepatan yang lambat. Ketegangan di bahu dan
lehernya hanyalah satu-satunya yang menunjukan betapa sulitnya ini
untuknya. Dia mengubah sudaut dan percikan kenikmatan melintasiku.
Aku tersentak. Luca berhenti. “Apakah itu menyakitkan?”.
“Tidak,rasanya
nikmat”. Kataku dengan senyum gemetar. Luca tersenyum dan
mengulangi gerakan itu, mengirimkan kenikmatan lain padaku. Dia
merendahkan bibirnya ke bibirku. Aku tak yakin sampai berapa lama
dia akan tetap pada irama yang lambat ini,tapi aku mulai pegal, dan
aku tau aku tidak akan sampai. Aku bahkan sama sekali tidak merasa
mendekati,meski sesekali kenikmatan tercipta. Rasa sakit yang samar
masih terlalu menutupi itu semua. Aku tak tau cara mengatakan yang
butuh aku katakan. Dia pasti melihat sesuatu di wajahku karena dia
berkata. “Apakah kau baik-baik saja?”
aku menggigit
bibirku. “Berapa lama lagi sampai kamu...?”
“Tidak lama lagi,
kalau aku bergerak sedikit lebih cepat”. Dia mengamatiku dan aku
mengangguk. Dia menyadarkan tubuhnya di sikunya, dan mendorongnya
lebih cepat dan sedikit lebih keras,dan aku menempelkan bibirku dan
mengubur wajahku di bahunya, mencengkram punggungnya. Rasa sakuitnya
kembali, tapi aku ingin Luca sampai. “Aria?” Kata Luca dengan
serak.
“Teruskan, Please.
Aku ingin kamu datang”.
Dia menggeram dan
tetap menyodok. Engahanannya semakin cepat. Dia mendorong lebih
dalam dari sebelumnya dan aku menggigit bahunya agar tidak merintih
kesakitan. Luca menegang karena erangan, lalu bergidik, dan aku bisa
merasakannya melebar lebih jauh lagi dalam diriku, mengisi tubuhku
sampai aku yakin aku akan terlepas. Dia berhenti bergerak, bibirnya
menempel di tenggorokanku. Aku bisa merasakan dia melunak dalam
diriku dan aku hampir menarik napas lega. Aku memegang Luca,
menikmati detak jantungnya yang cepat dan suara napasnya yang keras.
Luca keluar dan
berbaring di sampingku, menarikku ke pelukannya. Dia menyisir
rambutku dari wajahku yang berkeringat. Aku merasakan sesuatu
menetes dariku dan bergeser dengan tidak nyaman.
“Aku akan
mengambil Lap Kain” Luca turun dari tempat tidur dan menuju kamar
mandi. Aku merasa kedinginan tanpa dia. Aku meluruskan kakiku tapi
nyeri. Aku bangkit duduk dan mataku melebar. Ada bekas darah yang
tercoreng di paha dan tempat tidurku, bercampur dengan air mani
Luca. Luca berlutut disampingku. Dia pasti sudah membersihkan
dirinya sendiri karena tidak ada darah di pahanya. “Ada lebih
banyak darah dibandingan adegan palsu yang kita mainkan pada malam
pernikahan kita”, Suaraku gemetar.
Luca menyenggol
kedua kakiku dan menempelkan handuk basah hangat itu ke tubuhku. Aku
menarik napas. Luca mencium lututku. “Kau jauh lebih ketat dari
yang aku duga”, katanya pelan. Dia menarik kain lap itu, dan aku
memerah, tapi dia membuangnya ke lantai tanpa melirik lagi sebelum
dia menekan tangannya di perutku. “Seberapa buruk?”
Kutaruh kepalaku di
atas bantal. “Tidak begitu buruk. Bagaimana bisa aku mengeluh
sementara kau terkena luka pisau dan peluru?”.
“Kita tidak sedang
membicarakan diriku. Aku ingin tau bagaimana perasaanmu , Aria.
Pada skala satu sampai sepeuluh, ada di skala berapa rasa sakitnya?”
“Sekarang? Lima?”
Luca tegang. Dia
merebahkan dirinya di sampingku, mengalungkan lengannya di tubuhku,
dan mengamati wajahku. “Dan sebelumnya?”.
Aku menghindari
matanya. “Jika sepuluh adalah rasa sakit yang paling buruk, maka
delapan”.
“Yang sebenarnya”.
“Sepuluh”.
Luca mengepalkan
rahangnya. “Lain kali akan lebih baik”.
“Kurasa aku tidak
bisa lagi begitu cepat”.
“Aku tidak
bermaksud sekarang”, katanya tegas, mencium pelipisku. “Kau akan
ngilu untuk sementara waktu”.
“Dari skala satu
sampai sepuluh, seberapa cepat dan keras dirimu bergerak? Yang
sebenarnya”, aku menirukkan kata-katanya.
“Dua”.
“Dua?” aku
pasti terlihat sangat ketakutan karena Luca mengusap ringan perutku.
“Kita punya banyak waktu. Aku akan melakukan selembut yang kau
inginkan”.
“Aku tak percaya
Luca- The Vice- Vittielo mengatakan' lembut'”, kataku menggoda
untuk menghidupkan suasana hati.
Luca menyeringai.
Dia menangkup wajahku dan mendekat. “Itu akan jadi rahasia kita”.
Perasaan campur aduk
di dadaku. “Terima kasih karena sudah bersikap lembut. Aku tak
pernah menyangka kau akan melakukannya”.
Luca tertawa,
terdengar serak. “Percayalah tak ada yang lebih terkejut melebihi
diriku sendiri”.
Aku berguling ke
sisi tubuhku, mengernyit, dan meringkuk di bahu Luca. “Kau tak
pernah bersikap lembut pada seseorang?”.
“Tidak”, katanya
dengan getir. “ayah kami mengajarkan aku dan Matteo bahwa
kelembutan dalam jenis apapun adalah kelemahan. Dan tak ada ruang
dalam hidupku untuk itu”.
Bahkan jika
kata-kata itu ingin tersangkut di tenggorokanku, aku tetap bertanya,
“Bagaimana dengan gadis-gadis yang telah bersamamu?”.
“mereka semua
berarti sebuah akhir. Aku ingin bersegama, jadi aku mencari gadis
dan aku menyetubuhinya. Dan itu cepat serta keras, dan sama sekali
tidak lembut. Kebanyakan aku menyetubuhi mereka dari belakang
sehingga aku tak perlu menatap mata mereka dan berpura- pura peduli
pada mereka”.
Kedengarannya dingin
dan kejam.
Aku mencium tatonya,
ingin membuang bagian getir dari diri Luca lagi. Lengannya di
tubuhku mengencang. “satu-satunya orang yang bisa mengajarkan ku
cara menjadi lembut hanyalah ibuku”, aku menahan napas. Apakah dia
akan bercerita tentang ibunya sekarang? “Tapi dia bunuh diri saat
aku berumur sembilan tahun”.
“Maafkan aku”aku
ingin bertanya tentang apa yang terjadi tapi aku tak mau mendorongnya
dan membuatnya kembali bersembunyi di topeng nya yang dingin.
Sebagai gantinya aku menangkup pipinya. Dia tampak terkejut dengan
isyarat itu tapi tidak menarik diri. Aku menjilat bibirku, mencoba
menekan keingintahuanku.
“Apakah masih
sakit?” tanya tiba-tiba. Untuk beberapa saat , aku tidak tau apa
yang dia bicarakan. Dia mengusap tangan ke perutku. “Yeah, tapi
berbicara membantu”.
“Bagaimana itu
bisa membantu?”.
“berbicara
mengalihkan pikiranku”. Aku mengumpulkan keberanianku. “Bisakah
kau ceritakan lebih banyak tentang ibumu?”.
“Ayahku
memukulnya. Dia memperkosanya. Aku masih muda tapi aku mengerti apa
yang sedang terjadi. Dia sudah tidak tahan dengan ayahku lagi. Jadi
dia mengiris pergelangan tangannya dan overdosis pada obat bius”.
“Seharusnya dia
tidak membiarkanmu dan Matteo sendirian”.
“Aku
menemukannya”.
“Itu sebenarnya
mayat pertama yang aku lihat. Tentu saja itu bukan yang terakhir”.
Dia mengangkat bahu seolah tidak masalah. “Lantai di banjiri
darah dan aku tergelincir diatasnya dan terjatuh. Bajuku kuyup
dengan darahnya”. Suaranya tenang, tanpa beban. “Aku lari
keluar dari kamar mandi sambil menjerit dan menangis. Ayahku
menemukanku dan menamparku. Mengatakan padaku untuk menjadi seorang
pria dan membersihkan diri. Aku melakukannya. Adan aku tak pernah
menangis lagi”.
“Itu mengerikan.
Kau pasti ketakutan. Kau hanyalah seorang bocah laki-laki”.
Dia diam saja. “Itu
membuatku tangguh. Pada satu titik seorang anak laki-laki harus
kehilangan kepolosannya. Mafia bukan tempat untuk orang lemah”.
Aku tahu itu. Aku
telah melihat bagaimana ayahku membentuk Fabiano dalam beberapa tahun
terakhir dan sangat menghancurkan hatiku ketika harus melihat adikku
harus bertindak seperti pria dan bukan anak remaja. “Emosi
bukanlah kelemahan”.
“Ya, emosi adalah
kelemahan. Musuh selalu mencari dimana mereka bisa sangat
menyakitimu”.
“Dan kemana tujuan
The Bravta jika mereka ingin menyakitimu?”.
Luca memadamkan
lampu. “Mereka tidak akan pernah tau”.
Itu bukanlah jawaban
yang aku harapkan tapi aku terlalu lelah untuk merenungkannya.
Sebagai gantinya aku memejamkan mata dan membiarkan rasa kantuk
menguasaiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar