Rabu, 14 Februari 2018

Chapter 13 Bound by Honour

Gelombang mual membangunkanku dari tidurku. Aku terseok-seok ke kamar mandi dan muntah lagi, membungkuk di lantai keramik yang dingin, terlalu lelah untuk bangun. Aku bergidik. Luca mengulurkan tangan dan memflush toilet sebelum menyingkirkan rambut yang ada di dahiku, “Tidak terlihat hot lagi, bukan?” Aku tertawa serak.
“Itu seharusnya tidak terjadi. Aku seharusnya menjagamu agar tetap aman”.
“Kau menjagaku”. Aku mencengkram toilet dan terhuyung- huyung berdiri. Tangan Luca menggenggam pinggangku.
“Mungkin mandi akan membantu”.
“kurasa aku akan tenggelam jika berbaring di Bath up sekarang”.
Luca menyalakan air di bak mandi sambil tetap memelukku dengan satu tangan. Langit berubah menjadi abu-abu di New York. “Kita bisa mandi bersama”.
Aku mencoba tersenyum menggoda. “Kau hanya ingin mengambil kesempatan”.
“Aku tak akan me nyentuhmu saat kau dalam pengaruh bius”.
“Seorang Capo dengan moral”.
Wajah Luca sangat serius. “aku belum menjadi Capo. Dan aku memiliki moral. Tidak banyak tapi beberapa”.
“Aku cuma bercanda” aku berbisik sambil menyandarkan keningku di dada telanjangnya. Dia mengelus punggungku dan gerakannya mengirimkan gelitik nikmat ke intiku. Aku menarik diri dan dengan berhati-hati berjalan ke arah wastafel untuk menggosok gigiku dan membasuh wajahku.
Luca mematikan keran saat bak mandi sudah hampir penuh. Lalu dia membantuku melepaskan celana dalamku dan dia melepaskan celana boxer nya sebelum dia mengangkatku ke bak mandi. Aku mencelupkan wajahku ke bak mandi sebentar , berharap itu akan menghapus kabut yang menyelimuti kepalaku. Ereksi Luca menekan pahaku. Aku berbalik hingga menghadap ke Luca dan penisnya menyelip diantra kakiku dan menggesek jalan masukku. Aku gemetar. Luca hanya butuh mendorong maju untuk pinggulnya untuk bisa memasukiku. Dia mengerang, mengemertakan giginya, dan dia menghapus jarak diantara kami dan menggeser ereksinya ke nbawah pahaku dan membaringkaku diatas perutnya.
“Beberapa pria akan mengambil keuntungan dari situasi ini”, aku bergumam.
Rahang Luca menegang. “aku jenis pria seperti itu, Aria. Jangan membohongi dirimu dengan mempercayai bahwa aku adalah pria yang baik. Aku bukanlah pria terhormat ataupun Gentleman. Aku adalah seorang bajingan kejam”.
“Tapi tidak dengan ku” aku menekan hidungku ke celah lehernya, menghirup aroma nya yang familier, aroma musk.
Luca mencium puncak kepalaku. “akan lebih baik jika kau membenciku. Maka akan lebih sedikit kesempatan untukmu terluka”.
Apa yang telah aku katakan padanya ketika aku tidak sadar? Apakah aku sudah mengatakan padanya bahwa aku jatuh cinta padanya? Aku tak bisa mengingatnya. “Tapi aku tak membencimu”.
Luca mencium kepalaku lagi. Aku berharap dia mengatakan sesuatu. Aku berharap dia mengatakan bahwa dia.......
“Kau menyebutkan tentang sesuatu yang Grace katakan padamu”. Suaranya tampak biasa-biasa saja tapi ketegangan seakan mencengkram tubuhnya. “Sesuatu tentang menyetubuhi hingga berdarah-darah”.
“Oh, yeah. Dia berkata kau akan melukaiku, menyetubuhiku seperti binatang, menyetubuhiku hingga berdarah-darah dia mengatakan padaku sebelum pesta pernikahan. Dan membuatku takut setengah mati”. Kemudian aku cemberut. “Kurasa pria semalam mengatakan hal yang hampir sama”.
“Sebelum aku membunuhnya dia mengatakan salah satu wanita yang membeli narkoba darinya memberitahunya bahwa kau adalah jalang yang perlu diberi pelajaran. Wanita itu membayar dia Cash”.
Aku mengangkat kepalaku. “apa kau pikir itu Grace?”.
Mata Luca seperti langit badai. “aku yakin itu dia. Deskripsinya cocok dan siapa lagi yang berminat untuk menyerangmu selain dia”.
“Apa yang akan kau lakukan?”.
“Aku tak bisa membunuhnya, walaupun aku sangat ingin menyembelih tenggorokan sialannya., tapi itu akan menyebabkan terlalu banyak masalah dengan ayah dan kakak laki-lakinya. Aku harus berbicara dengan mereka, ku rasa. Memberitahu mereka bahwa mereka harus menyingkirkan Grace sialan itu atau tak akan ada lagi uang untuk mereka dari kami”.
“Bagaimana jika mereka menolak?”
“Tidak akan. Grace sudah mengacaukan banyak hal selama ini. Mereka kemungkinan mengirimnya ke eropa atau asia untuk melakukan rehabilitasi “.
aku mencium dia , tapi ketegangan di Tubuh Luca tidak berkurang. “Aku tak bisa membayangkan bagaimana jika Romero dan Cesare tidak ada disana. Jika bajingan sialan itu mendapatkanmu di club. Memikirkan tangannya yang kotor itu membuatku ingin membunuhnya lagi. Memikirkan bahwa dia mungkin akan....” dia menggelengkan kepalanya.
Aku tau bahwa ini bukan karena Luca memiliki perasaan untukku. Dia itu posesif. Dia tidak bisa tahan memikirkan seseorang mungkin akan menyentuhkan tangannya padaku, bahwa seseorang kemungkinan akan mengambil sesuatu yang seharusnya miliknya. Kesadaran memenuhi diriku. “ketika Gianna pulang nanti. Kau bisa memilikiku”, aku berbisik diatas tenggprokannya. Tangan Luca masih tetap di punggungku. Dia tidak bertanya apakah aku yakin. Dan aku juga tidak mengharapkan dia akan menanyakan itu. Dia sudah mengatakan sendiri; dia bukanlah pria yang baik.
**
Gianna dan aku menghabiskan beberapa hari terakhir dengan mencoba beberapa kafe dan restoran yang berbeda-beda, mengobrol, tertawa dan berbelanja, dan hari ini Gianna harus kembali ke Chicago. Lenganku yang memeluknya sangat erat saat kami berdiri di pintu keberangkatan di depan JFK. Gianna harus melewati petugas pemeriksaan segera tapi aku tak ingin membiarkan dia pergi. Bukan hanya karena aku akan merindukannya setengah mati tapi karena aku juga sedikit resah karena janjiku pada Luca.
Aku melepaskan diri dan mengambil langkah mundur dari Gianna. “Berkunjunglah lagi, secepatnya, Okay?”.
Dia mengangguk, bibirnya terkatup. “kau akan menelponku tiap hari, Jangan sampai lupa”.
“Tak akan”, aku berjanji. Dia menjauh dengan perlahan, kemudian berbalik, dan menuju ke barisan pemeriksaan keamanan. Aku menunggunya hingga dia melewati pemeriksaan dan menghilang dari pandangan.
Luca berdiri beberapa langkah di belakangku. Aku bergegas menghampiri dia dan menekan wajahku di tubuhnya. Dia mengelus-elus bahuku. “kurasa kita bisa menikmati makan malam dan menikmati malam yang santai”, dia terdengar lapar dan bersemangat, tapi bukan tentang makanan.
“Terdengar bagus”. Aku berkata dengan senyum kecil. Sesuatu berubah dari wajah Luca kemudian menghilang.
**
Aku tidak makan banyak. Perutku sudah keram, dan aku tak mau mengambil resiko. Luca berpura-pura tidak menyadari. Dia memakan apa yang tidak aku makan. Ketika kami melangkah masuk ke penthouse kami. Aku berjalan ke arah rak minuman keras, mencari-cari beberapa minuman, tapi Luca menggenggam lenganku dan menarikku ke arahnya. “Jangan”.
Dia mengangkatku ke legannya dan membawaku naik ke lantai atas ke kamar tidur kami. Ketika dia menurunkanku di ujung ranjang, mataku menemukan tonjolannya. Dia sudah mengeras. Rasa gugup melilit bagian dalamku. Dia menginginkanku. Aku tak meragukannya, tidak malam ini.
Luca menaiki ranjang dan aku berbaring. Telapak tanganku terkulai di atas selimut. Bibirnya menemukan bibirku, lidahnya meringsek masuk, dan aku bersantai di bawah mulutnya yang ahli. Ini terasa baik, familiar dan menenangkan. Otot kakiku melemas. Luca melepaskan mulutnya dariku dan menghisap putingku ke mulutnya dari kain gaunku. Aku menangkup kepalanya, membiarkan keahliannya membuang jauh ketakutanku. Tak ada ketergesaan dalam ciuman dan sentuhanya yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.
Dia menarik gaunku dan melepasakannya dari tubuhku, dan meninggalkanku hanya dengan celana dalam. Dia mengambil waktu sesaat untuk mengagumi tubuhku sebelum dia bergerak ke bawah dan mengubur wajahnya diantara kakiku, lidahnya menyelip diantara lipatanku diatas celana dalamku. Dengan menggeram, Luca merobek celana dalamku, dan melemparkannya. Mulutnya panas dan menuntut, tapi dengan terlalu cepat dia berhenti dan memasukan jarinya padaku. Keudian dia berdiri dengan gagahnya dan melepaskan kemejanya sebelum dia melepaskan kantung senjatanya dan celananya. Tubuhmya di liputi ketegangan dan ereksi lebih keras dari yang pernah aku lihat. Rasa lapar yang liar di wajahnya menimbulkan ketakutan pada diriku. “kau milikku”.
Dan kemudian Luca menjulang di atasku. Lututnya memisahkan kedua kakiku, dan ujung penisnya ada di pintu masukku. Otot-ototku serasa di robek dan aku menancapkan kukuku di bahunya dan memejamkan mataku. Ini terlalu cepat. Dia nyaris terlihat tidak terkendali. Aku menekan wajahku di lekuk lehernya, mencoba membiarkan aroma tubuhnya menenangkanku.
Luca tidak bergerak, ereksi masih tetap diam dan hanya menyentuh pintu masukku.
“Aria”, dia berkata dengan suara rendah. “Tatap aku”, aku melakukannya. Tatapan matanya perpaduan antara lapar dan sesuatu yang lebih lembut. Aku mencoba terfokus pada sesuatu yang lebut. Untuk sesaat yang lama kami saling berpandangan. Dia memejamkan mata dan menurunkan tubuhnya sehingga tubuhnya menempel di tubuhku. “Aku seorang bajingan”, serunya, dia mencium pipi dan pelipisku.
Rasa bingung memenuhi diriku. “Kenapa?” Tuhan, apakah suara pelan itu milikku? Luca adalah suamiku dan aku terdengar seakan aku sangat ketakutan.
Aku ketakutan, tapi seharusnya aku bisa menyembunyikannya dengan lebih baik.
“Kau ketakutan dan aku kehilangan kendali seperti itu. Harusnya aku lebih tau. Aku seharusnya membuatmu siap dengan lebih baik dan bukanya hampir meneroboskan batangku memasukimu”.
Aku tak tau aku harus berkata apa. Aku bergeser dan ereksi Luca menggesek pintu masukku, membuatku terkesiap. Luca menghembuskan napas dengan keras, memejamkan erat matanya. Saat dia membukanya lagi, matanya mengandung rasa lapar. Dia meluncur turun sampai kepalanya ada di atas payudaraku dan perutnya menempel di lipatanku. Aku menghembuskan napas karena gesekan itu dan otot Luca meregang. Aku tau dia masih gelisah.
“Kau adalah istriku” katanya dengan keras seakan megingatkan dirinya sendiri. Lalu jarinya menjepit putingku dan menariknya ke arahku. Aku mengerang, melengkungkan panggulku , dan membuat tubuhku menggosok perut Luca.
“Berhenti menggeliat” perintah Luca, hampir memohon. Dia mnarik lagi, aku memaksa diriku untuk tetap diam tapi erangan lolos dari bibirku. Ekspresi Luca berkonsentrasi dan menahan saat dia menarik dan memutar , memutar-mutar dan menggosoknya. Aku melengkungkan punggungku, mendorong dadaku ke wajahnya, dan dengan senang hati mengangkatku ke atas karena undanganku dan menghisap putingku ke mulutnya. Aku memejamkan mataku saat dia menghisap satu payudaraku ketika jari- jarinya mencubit puting payudaraku yang satunya. Dia memindahkan dan menjalarkan jarinya di tulang rusuk dan pinggangku, bagian sampingku sebelum jari-jarinya mengikuti jejak yang sama. Dia menggigit kulit diatas tulang pinggulku, lalu menenangkan titik itu dengan lidahnya. Seluruh tubuhku terasa membara, sangat ingin mendapatkan pelepasan.
Jari-jarinya mulai memijat pahaku, membuka ku lebih jauh saat dia bergerak lebih ke bawah. Dia mencium gundukanku, lalu menggigit dengan lembut paha bagian dalamku. Aku tersentak dan mengayunkan pinggulku. Dia menyelipkan tangannya di bawah pantatku dan mengangkatku beberapa inci, lalu dia mencium lipatanku, lalu dia mundur. Mataku perlahan terbuka. Dia mengamatiku, kemudian mencium pintu masukku dan aku bisa merasakan kelembapan mengumpul disana. Ibu jari Luca melebarkan bibir vaginaku untuknya dan dia menjilat di kelebapanku.
Aku bergidik dan merasakan tetesan lain. Luca dengan lembut menyentuhku, sesekali menyentuh klitorisku. Dia menghisap lipatanku, kemudian menjilatnya, dan memutar-mutar lidahnya di pintu masukku tapi tidak menyentuhku ketika aku butuh di sentuh.
“Luca, Please”. Aku mengangkat pinggulku lagi.
Luca menyenggol klitorisku dengan lidahnya dan aku berteriak. “Kamu mau ini?”
“Iya”.
“Segera”, dia mengerang dan memasukan jari kedalam diriku, menyetubuhiku dengan perlahan saat lidahnya menyelinap dantara jalan masukku, membungkusku dengan ludahnya. Lidahnya bergerak ke atas, dan akhirnya memutari klitorisku. Aku bersantai dengan mengerang. Luca memasukan klitorisku dengan mulutnya dan menghisapnya, membawaku semakin dekat, dan mendekat ke tepian.
“Beritahu aku ketika kau sampai”, kata Luca diatas dagingku yang basah.
Dia menggerakan jarinya lebih cepat dan menekan lidahnya di atas klitorisku.
“Aku sam--”.
Luca menarik jarinya keluar. Dan memasuki ku lagi dua jarinya. Aku terengah karena rasa tidak nyaman akan tetapu orgasme ku memporak – porandakan tubuhku, rasa sakit bercamput dengan kenikmatan saat tubuhku mencoba untuk memperoleh keselurannya. Luca mencium paha bagian dalamku, kemudian mengerang. “Kau sangat ketat, Aria. Otot-otot mu meremas setengah mati jari-jariku”.
Detak jantungku melambat dan aku melirik ke arah Luca. Dia sedang mrngatamtiku,dua jarinya terkubur dalam diriku. Dia menarik keluar beberapa inchi dan aku meringis tapi dia dengan perlahan menemukan irama saat dia keluar masuk.
“Relax” Luca berbisik, dan aku mencoba. “aku butuh untuk memlebarkanmu, Tuan Putri” Luca menjalarkan lidahnya ke lipatan dan klitorisku lagi. Aku bergumam dalam kenikmatan. Rasa tidak nyaman di intiku menghilang dengan setiap hujaman dari lidah Luca dan aku bisa merasakan diriku mendekati pelepasan lagi. Luca tampaknya merasakan itu juga. Dia menarik jarinya keluar dan bergerak ke atas sampai dia membungkuk di atasku. Dia meluruskan dirinya dan menggerakan kaki dan pinggulku sampai dia menemukan sudut yang dia inginkan. Lalu ujung penisnya menggesek pintu masukku. Dan seketika aku membeku lagi. Aku ingin menangis frustasi. Kenapa tubuhku tidak bisa berkerjasama denganku?
Luca mencium keningku, kemudian bibirku. “Aria?” mataku akhirnya bertemu dengan matanya. Ekspresi nya menampakkan semacam pertahanan dari dalam. Aku mengalungkan lenganku di tubuhnya, telapak tanganku menempel di punggungnya yang melengkung. Meredakan ekspresi kepemilikannya.
Dia menggerakan pinggulnya dan tekanannya meningkat. Aku menjadi sangat tegang dan Luca menghembuskan napas kasar. “Relax” dia berkata sambil menangkup pipiku dan mencium bibirku. “Aku bahkan belum masuk”. Tangannya mengusap sisi tubuhku sampai ke pahaku. Dia menangkupnya dan membukanya sedikit lebih lebar. Lalu dia mendorong perlahan, aku mengencangkan peganganku padanya, menekan bibirku erat-erat. Ini sakit. Tuhan, rasanya sakit sekali. Dia tidak akan pernah muat. Aku merintih ketika sensasi merobek terlalu sakit dan jauh lebih tegang. Luca menghentikan gerakannya, rahangnya terkatup rapat. Dia mengangkat salah satu tangannya dan menangkup dadaku, menggosok dan memutar putingnya.
“Kau sangat cantik” gumamnya di telingaku. “Begitu sempurna, Tuan Putri” kata- katanya dan godaannya di payudaraku membuatku sedikit relax dan dia mendorong sedikit lebih jauh. Aku menegang lagi. Luca mencium mulutku . “Hampir sampai” dia menyelipkan tangannya di bawah tubuhku, jati- jari menjalar diatas perutku sampai dia menggosok lipatanku. Dia mengusap klitorisku pelan dan aku menghembuskan napas. Melalui rasa sakit dan ketidaknyamanan itu, aku bisa merasakan kenikmatan kecil. Luca meluangkan waktu menggoda klitorisku dan menciumku. Bibirnya panas dan lembut, dan jari-jarimya mengirimkan sensasi kesemutan dalam tubuhku. Perlahan, ototku mengendur di sekitar kemaluannya.
Sambil mengayunkan pinggulnya ke depan, dia mendorong semuanya ke jalan masukku dan aku tersentak, punggungku melengkung dari tempat tidur. Aku memejamkan mata, menarik napas dari hidung untuk meredakan rasa sakit. Aku merasa terlalu penuh seakan aku akan robek. Aku membenamkan wajahku di tenggorokan Luca, dan mulai menghitung, mencoba mengalihkan perhatianku. “Ini akan membaik”, begitulah kata-kata para wanita di bridal shower, tapi kapan?
Luca bergerak perlahan, hanya satu inchi, tapi sakitnya tidak tertahan. “Please, jangan bergerak”, aku tersentak, lalu aku menahan bibirku karena malu.. wanita lain telah melalui ini dan mereka telah bertahan dan menderita melalui hal ini. Kenapa aku tidak bisa? Tubuh Luca menjadi sangat tegang seperti tali busur. Dia menyentuh pipiku saat dia mundur, memaksaku untuk menatapnya.
“Apakah ini sangat menyakitkan?” suaranya tenang, matanya gelap karena emosi yang tidak bisa aku mengerti.
Bertahanlah, Aria. “Tidak, tidak terlalu”. Suaraku tersedak di kata-kata terakhir, karena Luca berkedut. “Tak apa-apa Luca. Bergeraklah. Aku tidak akan marah padamu, kau tak perlu menahan diri untukku. Selesaikan segera”.
“Apakah kau pikir aku akan menggunakanmu seperti itu? Aku bisa melihat bagaimana ini begitu menyakitkan. Aku telah melakukan berbagai hal mengerikan dalam hidupku tapi aku tak ingin menambahkan dirimu dalam daftarku”.
“Mengapa? Kau selalu menyakiti orang. Dan hanya karena kita menikah. Kau tidak perlu berpura-pura memperhatikan perasaanku”.
Matanya berkilat. “Apa yang membuatmu berpikir aku berpura-pura?”
bibirku terbuka. Aku tak berani berharap, tidak berani membaca terlalu dalam ke dalam kata-katanya, tapi Tuhan, aku menginginkan itu.
“Katakan apa yang harus ku lakukan?” katanya dengan kasar.
“Bisakah kau memelukku sebentar? Tapi jangan bergerak”.
“Baiklah”,janjinya, lalu mencium bibirku. Dia menggertakan gigi saat dia benar-benar menunduk. Kami sangat dekat, bahkan selembar kertaspun tak akan muat diantara kami. Luca merapatkan satu lengan dibawah bahuku, dan menekanku ke dadanya, lalu kami berciuman, bibir kami saling meluncur, lidah kami saling membelit, lembut dan menggoda. Luca membelai sisi tubuhku, dan tulang rusukku, sebelum tangannya menyelinap diantara kami, menggambar lingkaran kecil di putingku. Perlahan tubuhku menjadi kendur di bawah belaian lembutnya dan rasa mulutnya di mulutku. Rasa sakit diantara kaki ku terasa memudar dan inti tubuhku mengendur disekitar Luca, tubuhku semakin terbiasa dengan ukuran tubuhnya. Luca sepertinya tidak memperhatikan atau sengaja mengabaikannya, malah terus menciumku. Kuku jarinya menggores puting susuku dan secercah kenikmatan menusuk diantara kedua kakiku. Aku mundur, bibirku terasa panad dan panas dari ciuman kami. Mata Luca berkabut.
“Bisakah kamu tetap....?”
dia bergeser da aku bisa merasaka betapa kerasnya dia. Dia sama sekali tidak melunak. Mataku terbelalak karena terkejut.
“Aku telah memberitahumu bahwa aku buka nlah pria yang baik. Walaupun aku tau kau kesakitan. Aku tetap mengeras karena aku berada dalam dirimu”.
“Karena kau menginginkanku”.
“Aku tak pernah menginginkan sesuatu melebihi ini sepanjang hidupku”. Luca mengakui.
“Bisakah kita bergerak perlahan?”.
“Tentu saja, Tuan Putri” masih memegangiku erat, dia masuk beberapa inci lebih dalam sambil mengamati wajahku. Tatapan perhatian di wajahnya mengendurkan ikatan di dadaku.
Aku menghembuskan napas. Aku masih kesakitan tapi tidak sesakit yang tadi dan dibalik rasa sakit tersembunyi sesuatu yang lebih baik. Luca kembali memasuki ku dan menemukan irama yang pelan dan lembut. Aku tenggelam dalam tubuh Luca yang kuat, menempel ditubuhku, garis-garis tajam wajahnya. Matanya tak pernah meninggalkan wajahku. Sepertinya dia tidak keberatan dengan kecepatan yang lambat. Ketegangan di bahu dan lehernya hanyalah satu-satunya yang menunjukan betapa sulitnya ini untuknya. Dia mengubah sudaut dan percikan kenikmatan melintasiku. Aku tersentak. Luca berhenti. “Apakah itu menyakitkan?”.
“Tidak,rasanya nikmat”. Kataku dengan senyum gemetar. Luca tersenyum dan mengulangi gerakan itu, mengirimkan kenikmatan lain padaku. Dia merendahkan bibirnya ke bibirku. Aku tak yakin sampai berapa lama dia akan tetap pada irama yang lambat ini,tapi aku mulai pegal, dan aku tau aku tidak akan sampai. Aku bahkan sama sekali tidak merasa mendekati,meski sesekali kenikmatan tercipta. Rasa sakit yang samar masih terlalu menutupi itu semua. Aku tak tau cara mengatakan yang butuh aku katakan. Dia pasti melihat sesuatu di wajahku karena dia berkata. “Apakah kau baik-baik saja?”
aku menggigit bibirku. “Berapa lama lagi sampai kamu...?”
“Tidak lama lagi, kalau aku bergerak sedikit lebih cepat”. Dia mengamatiku dan aku mengangguk. Dia menyadarkan tubuhnya di sikunya, dan mendorongnya lebih cepat dan sedikit lebih keras,dan aku menempelkan bibirku dan mengubur wajahku di bahunya, mencengkram punggungnya. Rasa sakuitnya kembali, tapi aku ingin Luca sampai. “Aria?” Kata Luca dengan serak.
“Teruskan, Please. Aku ingin kamu datang”.
Dia menggeram dan tetap menyodok. Engahanannya semakin cepat. Dia mendorong lebih dalam dari sebelumnya dan aku menggigit bahunya agar tidak merintih kesakitan. Luca menegang karena erangan, lalu bergidik, dan aku bisa merasakannya melebar lebih jauh lagi dalam diriku, mengisi tubuhku sampai aku yakin aku akan terlepas. Dia berhenti bergerak, bibirnya menempel di tenggorokanku. Aku bisa merasakan dia melunak dalam diriku dan aku hampir menarik napas lega. Aku memegang Luca, menikmati detak jantungnya yang cepat dan suara napasnya yang keras.
Luca keluar dan berbaring di sampingku, menarikku ke pelukannya. Dia menyisir rambutku dari wajahku yang berkeringat. Aku merasakan sesuatu menetes dariku dan bergeser dengan tidak nyaman.
“Aku akan mengambil Lap Kain” Luca turun dari tempat tidur dan menuju kamar mandi. Aku merasa kedinginan tanpa dia. Aku meluruskan kakiku tapi nyeri. Aku bangkit duduk dan mataku melebar. Ada bekas darah yang tercoreng di paha dan tempat tidurku, bercampur dengan air mani Luca. Luca berlutut disampingku. Dia pasti sudah membersihkan dirinya sendiri karena tidak ada darah di pahanya. “Ada lebih banyak darah dibandingan adegan palsu yang kita mainkan pada malam pernikahan kita”, Suaraku gemetar.
Luca menyenggol kedua kakiku dan menempelkan handuk basah hangat itu ke tubuhku. Aku menarik napas. Luca mencium lututku. “Kau jauh lebih ketat dari yang aku duga”, katanya pelan. Dia menarik kain lap itu, dan aku memerah, tapi dia membuangnya ke lantai tanpa melirik lagi sebelum dia menekan tangannya di perutku. “Seberapa buruk?”
Kutaruh kepalaku di atas bantal. “Tidak begitu buruk. Bagaimana bisa aku mengeluh sementara kau terkena luka pisau dan peluru?”.
“Kita tidak sedang membicarakan diriku. Aku ingin tau bagaimana perasaanmu , Aria. Pada skala satu sampai sepeuluh, ada di skala berapa rasa sakitnya?”
“Sekarang? Lima?”
Luca tegang. Dia merebahkan dirinya di sampingku, mengalungkan lengannya di tubuhku, dan mengamati wajahku. “Dan sebelumnya?”.
Aku menghindari matanya. “Jika sepuluh adalah rasa sakit yang paling buruk, maka delapan”.
“Yang sebenarnya”.
“Sepuluh”.
Luca mengepalkan rahangnya. “Lain kali akan lebih baik”.
“Kurasa aku tidak bisa lagi begitu cepat”.
“Aku tidak bermaksud sekarang”, katanya tegas, mencium pelipisku. “Kau akan ngilu untuk sementara waktu”.
“Dari skala satu sampai sepuluh, seberapa cepat dan keras dirimu bergerak? Yang sebenarnya”, aku menirukkan kata-katanya.
“Dua”.
“Dua?” aku pasti terlihat sangat ketakutan karena Luca mengusap ringan perutku. “Kita punya banyak waktu. Aku akan melakukan selembut yang kau inginkan”.
“Aku tak percaya Luca- The Vice- Vittielo mengatakan' lembut'”, kataku menggoda untuk menghidupkan suasana hati.
Luca menyeringai. Dia menangkup wajahku dan mendekat. “Itu akan jadi rahasia kita”.
Perasaan campur aduk di dadaku. “Terima kasih karena sudah bersikap lembut. Aku tak pernah menyangka kau akan melakukannya”.
Luca tertawa, terdengar serak. “Percayalah tak ada yang lebih terkejut melebihi diriku sendiri”.
Aku berguling ke sisi tubuhku, mengernyit, dan meringkuk di bahu Luca. “Kau tak pernah bersikap lembut pada seseorang?”.
“Tidak”, katanya dengan getir. “ayah kami mengajarkan aku dan Matteo bahwa kelembutan dalam jenis apapun adalah kelemahan. Dan tak ada ruang dalam hidupku untuk itu”.
Bahkan jika kata-kata itu ingin tersangkut di tenggorokanku, aku tetap bertanya, “Bagaimana dengan gadis-gadis yang telah bersamamu?”.
“mereka semua berarti sebuah akhir. Aku ingin bersegama, jadi aku mencari gadis dan aku menyetubuhinya. Dan itu cepat serta keras, dan sama sekali tidak lembut. Kebanyakan aku menyetubuhi mereka dari belakang sehingga aku tak perlu menatap mata mereka dan berpura- pura peduli pada mereka”.
Kedengarannya dingin dan kejam.
Aku mencium tatonya, ingin membuang bagian getir dari diri Luca lagi. Lengannya di tubuhku mengencang. “satu-satunya orang yang bisa mengajarkan ku cara menjadi lembut hanyalah ibuku”, aku menahan napas. Apakah dia akan bercerita tentang ibunya sekarang? “Tapi dia bunuh diri saat aku berumur sembilan tahun”.
“Maafkan aku”aku ingin bertanya tentang apa yang terjadi tapi aku tak mau mendorongnya dan membuatnya kembali bersembunyi di topeng nya yang dingin. Sebagai gantinya aku menangkup pipinya. Dia tampak terkejut dengan isyarat itu tapi tidak menarik diri. Aku menjilat bibirku, mencoba menekan keingintahuanku.
“Apakah masih sakit?” tanya tiba-tiba. Untuk beberapa saat , aku tidak tau apa yang dia bicarakan. Dia mengusap tangan ke perutku. “Yeah, tapi berbicara membantu”.
“Bagaimana itu bisa membantu?”.
“berbicara mengalihkan pikiranku”. Aku mengumpulkan keberanianku. “Bisakah kau ceritakan lebih banyak tentang ibumu?”.
“Ayahku memukulnya. Dia memperkosanya. Aku masih muda tapi aku mengerti apa yang sedang terjadi. Dia sudah tidak tahan dengan ayahku lagi. Jadi dia mengiris pergelangan tangannya dan overdosis pada obat bius”.
“Seharusnya dia tidak membiarkanmu dan Matteo sendirian”.
“Aku menemukannya”.
“Itu sebenarnya mayat pertama yang aku lihat. Tentu saja itu bukan yang terakhir”. Dia mengangkat bahu seolah tidak masalah. “Lantai di banjiri darah dan aku tergelincir diatasnya dan terjatuh. Bajuku kuyup dengan darahnya”. Suaranya tenang, tanpa beban. “Aku lari keluar dari kamar mandi sambil menjerit dan menangis. Ayahku menemukanku dan menamparku. Mengatakan padaku untuk menjadi seorang pria dan membersihkan diri. Aku melakukannya. Adan aku tak pernah menangis lagi”.
“Itu mengerikan. Kau pasti ketakutan. Kau hanyalah seorang bocah laki-laki”.
Dia diam saja. “Itu membuatku tangguh. Pada satu titik seorang anak laki-laki harus kehilangan kepolosannya. Mafia bukan tempat untuk orang lemah”.
Aku tahu itu. Aku telah melihat bagaimana ayahku membentuk Fabiano dalam beberapa tahun terakhir dan sangat menghancurkan hatiku ketika harus melihat adikku harus bertindak seperti pria dan bukan anak remaja. “Emosi bukanlah kelemahan”.
“Ya, emosi adalah kelemahan. Musuh selalu mencari dimana mereka bisa sangat menyakitimu”.
“Dan kemana tujuan The Bravta jika mereka ingin menyakitimu?”.
Luca memadamkan lampu. “Mereka tidak akan pernah tau”.
Itu bukanlah jawaban yang aku harapkan tapi aku terlalu lelah untuk merenungkannya. Sebagai gantinya aku memejamkan mata dan membiarkan rasa kantuk menguasaiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

STUCK UP SUIT Chapter 8

GRAHAM AKU TIDAK MENDENGAR KABAR NYA SEPANJANG HARI di hari sabtu, dan tidak seperti yang aku harapkan juga. Soraya Venedetta san...