Senin, 29 Januari 2018

Chapter Dua Belas Part A

Gianna berhasil mendapatkan tiket pesawat dua hari kemudian. Aku amat dipenuhi kegembiraan hari itu. Belum lama aku tak melihatnya, tapi rasanya seperti sudah selamanya. Saat itu di luar sudah gelap saat Luca dan aku berhenti di JFK. Kuharap Gianna bisa mendapatkan penerbangan pagi atau siang.
Karena komentarku tentang Luca yang akan membunuhku demi Familia, dia telah menarik diri secara emosional, walaupun sebelumnya dia juga bukan sebuah buku yang terbuka. Satu-satunya cara kami berinteraksi adalah pada malam hari ketika Luca dan aku saling menyenangkan dengan mulut dan tangan kami. Mungkin tanpa Gianna yang akan berkunjung, aku pasti sudah berusaha berbicara padanya atau mungkin membujuknya untuk menunjukan tempat kerjanya, alih-alih memberi ruang yang sangat dia inginkan. Luca memarkir mobil dan kami keluar. Dia tidak mencoba meraih tanganku. Dan kurasa dia bukan tipe pria yang menggandeng tangan, tapi dia menyentuh bagian bawah punggungku saat kami memasuki area kedatangan di bandara.
“kau yakin kau akan baik-baik saja dengan Gianna yang tinggal bersama kita selama beberapa hari ke depan?”
“Ya. Dan aku sudah berjanji pada ayahmu untuk melindungi dia. Dan akan lebih mudah bagiku jika dia tinggal bersama kita di apartemen”.
“Dia akan memprovokasi mu?” kataku.
“aku bisa menangani gadis cilik”.
“Luca”, kataku dengan tegas. “Gianna tau caranya menekan tombol kesabaran seseorang. Jika kau tidak benar-benar yakin kau bisa mengendalikan dirimu, aku tak akan membiarkan dia dekat dengan mu”.

Mata Luca membara. Dia tampaknya sudah hilang kesabaran sepanjang hari ini. “Jangan khawatir. Aku tak akan membunuhnya atau kamu dalam beberapa hari kedepan”.
Aku melangkah mundur. Dari mana datangnya itu semua? Apakah dia marah karena apa yang pernah aku katakan? Itu adalah fakta : kami berdua tau itu.
“Aria!”.
Aku berputar. Giana berlari-lari ke arahku dan meninggalkan trolley nya di jalan. Kami bertabrakan hingga hampir menyakitkan. Tapi aku menariknya erat dalam pelukanku. “aku sangat senang kau ada disini,” aku berbisik.
Dia mengangguk, kemudian dia menarik diri, mencari-cari di wajahku. “tak ada bekas luka yang terlihat”, dia berkata dengan keras , pandangannya mengarah ke belakangku ke arah Luca. “kau cuma memukul tempat yang di tutupi pakaian?”.
Aku mencengkram tangannya dan memberinya tatapan peringatan.
“ambil barang-barangmu,” perintah Luca. “aku tak ingin berdiri disini sepanjang malam”.
Gianna melotot ke Luca tetapi mengambil troley nya lalu kembali ke arah kami. “seorang Gentlement akan membawakan ini untuk ku”.
“Seorang Gentleman, Ya,”. Luca berkata dengan senyum kecut.
Kami berjalan kembali ke mobil kami, lenganku mengait di lengan Gianna. Luca berjalan beberapa langkah di depan dan berada di belakang kemudi tanpa kata.
“apa yang terjadi dengan dia? Dia bahkan lebih bajingan dari yang aku ingat?”.
“Kurasa pihak Rusia memberinya banyak masalah”.
“Bukannya memang selalu?” Gianna meletakkan barang-barangnya di bagasi mobil sebelum kami duduk di kursi belakang.
Luca mengangkat alisnya padaku. “aku bukan supirmu. Duduk di depan bersamaku”.
Aku tersentak karena kekasarannya tapi aku tetap menurutinya dan duduk tegak. Wajah Gianna dipenuhi kemarahan. “Kau tidak seharusnya berkata dengan cara seperti itu dengannya”.
“Dia istriku. Dan aku bisa melakukan atau mengatakan apapun yang aku inginkan”.
Aku cemberut. Luca berbalik ke arahku, bertemu dengan tatapanku. Aku tak bisa menatap matanya. Dia kembali mengarah ke jalanan.
“bagaimana kabar Lily dan Fabi?”
“amat sangat menyebalkan. Khususnya Lily. Dia tak berhenti membicarakan Romero. Dia jatuh cinta pada Romero”.
Aku tertawa, dab bahkan bibir Luca sedikit terangkat. Aku tak mengerti kenapa tapi mengulurkan tangan dan meletakknya di paha Luca. Matanya terlontar padaku dengan kaget, kemudian dia membungkus tanganku dengan tangannya hingga dia perlu untuk mengganti gigi lagi. Mata Gianna tampak penasaran ketika melihatnya. Dia pasti akan menghujaniku dengan pertanyaan pada saat kami sendirian, tak di ragukan lagi.

##

ketika kami melangkah masuk ke dalam apartemen. Aroma daging domba yang di panggang dengan rosemary tercium oleh kami.
“aku memberitahu Marrianna untuk menyiapakan makan malam yang nikmat ,” kata Luca. Alis kemerahan Gianna terangkat karena terkejut.
“Terima kasih”. Kataku.
Luca mengangguk. “ Tunjukan kamar adikmu kemudian kita bisa makan”. Dia masih kaku dan tegang. Aku melihat dia menuju pojokan dekat area dapur.
Aku menunjukan Gianna kamarnya, tapi dia dengan cepat menarikku masuk dan menutup pintu. “apa kau baik-baik saja”.
“Ya, aku sudah memberitahu di telepon. Aku baik-baik saja”.
“aku lebih suka mendengarmu mengatakan itu ketika aku bisa melihat wajahmu”.
“Aku tidak berbohong padamu, Gianna”.
Dia menggenggam tanganku. “apakah dia memaksamu untuk tidur dengan dia?”.
“Tidak, dia tidak memaksaku. Dan kami belum tidur bersama”.
Mata Gianna melebar. “Tapi sesuatu terjadi antara kalian berdua. Aku menginginkan detil”.
Aku menari diri. “kita harus makan malam sekarang. Marianna akan marah jika kita membiarkan makanan menjadi dingin. Kita bisa mengobrol besok ketika Luca sibuk dengan bisnis”.
“Besok”. Gianna berkata dengan tegas.
Aku membuka pintu dan membibingnya ke arah Ruang makan. Matanya mengamati semuanya, dan kemudian menjadi marah ketika dia melihat orang lain yang akan makan malam bersama kami : Matteo. Dia dan Luca berdiri di samping meja, mendiskusikan sesuatu, kemudian berpisah saat mereka menyadari kehadiran kami.
“apa yang sedang dia lakukan disini?” Giana berkata, hidungnya mengerut.
Menampilkan senyum Hiu nya, Matteo berjalan ke arah Gianna dan menggenggam tangan Gianna untuk menciumnya. “ Senang bertemu denganmu lagi, Gianna”.
Gianna menarik tangannya menjauh. “Jangan sentuh aku”.
Dia harus berhenti memprovokasi Matteo; Matteo amat sangat menyukai itu semua. Luca dan aku duduk berdekatan satu sama lain, dan Matteo duduk di samping Gianna. Aku tak yakin bahwa itu adalah keputusan yang baik. Aku melirik ke arah Luca, tapi Tatapan yang hati-hati tertumpu pada adikku dan adiknya.
Marriana sibuk, menyiapkan daging domba panggang,kentang Rosmary dan kacang hijau. Kami makan dalam keheningan selama beberapa saat sampai Gianna tak bisa menahan lidahnya lagi. “Mengapa kau menghancurkan tenggorokan orang itu?”.
Aku meletakkan garpuku, mengira Luca akan meledak,tapi dia hanya bersandar pada kursinya dan menyilangkan lengannya di dada.
Giana mendengus. “Ayolah. Lagian ini bukan rahasia besar. Kau mendapat julukan karena hal itu”.
Matteo menyeringai. “The Vice adalah nama yang bagus”.
Luca menggelengkan kepalanya. “Aku membencinya”.
“Kau berhak mendapatkannya”, Kata Matteo. “Sekarang ceritakanlah pada mereka atau aku yang akan menceritakannya”.
Aku sudah lama ingin tau tentang itu. Tak satupun dari orang-orang di Chicago yang mau menceritakan itu padaku dan aku belum berani bertanya pada Romero.
“Saat itu aku baru berusia tujuh belas tahun”,Luca Memulai. “Ayah kami memiliki banyak saudara laki-laki dan perempuan, dan salah satu sepupu ku naik pangkat bersaaman dengan ku, dia beberapa tahun lebih tua dariku dan ingin menjadi Capo. Dia tau ayahku akan memilihku, jadi dia mengundangku ke rumahnya dan mencoba menikamku dari belakang. Pisau itu hanya menggores lenganku dan saat aku mendapat kesempatan, aku merangkum tanganku di lehernya dan mencekiknya”.
“Kenapa kamu tidak menembaknya?” Tanya Gianna.
“Dia adalah keluarga dan sudah tradisi bahwa kita harus meninggalkan senjata ketika kita memasuki rumah anggota keluarga”, Luca berkata dengan dingin. “Tidak lagi, tentu saja”.
“Penghianatan membuat Luca sangat marah, dia benar-benar menghancurkan tenggorokan sepupu kami. Dia sampai tersedak darah karena tulang lehernya memotong nadinya. Itu benar-benar kacau. Aku tak pernah melihat sesuatu seperti itu”, Matteo terlihat seperti anak-anak di natal pagi. Dan itu lebih dari sekedar mengganggu.
Luca melirik ke bawah ke piringnya, tangannya bertaut di pahanya. Tidak heran dia tidak suka untuk mempercayai orang lain. Dikhianati oleh keluarga pastinya amat sangat mengerikan.
“itulah kenapa Luca tidur dengan mata terbuka. Dia tak pernah tidur dengan perempuan tanpa senjata dibawah bantalnya atau di suatu tempat di tubuhnya.
Luca melemparkan pelototan ke arah adiknya.
Matteo mengangkat tangannya. “seolah-olah Aria tidak tau saja kau bermain-main dengan wanita lain”.
Aku rasa itu bukanlah alasan dari reaksi Luca.
“Jadi, apakah kau menyimpan senjata sekarang?” Gianna bertanya. “Bukankah kita keluarga”.
“Luca selalu menyimpan senjata”, Matteo mencondongkan tubuh ke arah Gianna, “Jangan menganggapinya secara personal. Aku bahkan tak pernah melihatnya tanpa senjata sejak hari itu. Itu adalah Denyutan Luca”.
Luca tidak pernah mengenakan senjata ketika kami sendirian. Dia mengenakan satu saat dia bersama Romero atau Marianna ada disana, bahkan saat Matteo ada disana, tapi saat Luca dan aku berbagi tempat tidur, tak pernah ada senjata di bawah bantalnya atau di tempat lain. Itu mungkin karena dia bisa dengan mudah mengalahkanmu dengan tangan terikat di belakang punggungnya. Itu masih tampak seperti resiko yang tak diperlukan.
Luca menghabiskan sisa makan malamnya, tegang dan diam, tapi saling adu argumen antara Matteo dan Gianna mengisi keheningan. Aku tak yakin siapa yang paling mendominasi dalam pertengkaran.
Ketika kami selesai makan, aku bangun dan membersihkan meja. Marriana sudah pulang dan aku tak ingin cucian piring kotor harus menunggu dia ketika dia kembali besok. Luca mengejutkanku saat dia bangkit juga dan membawa piring saji dan piring-piringnya ke mesin cuci piring. Aku menguap , kelelahan.
“Ayo tidur”. Kata Luca pelan.
Aku melirik Gianna. Ada banyak hal yang ingin aku bicarakan dengannya, tapi sudah terlalu larut dan besok adalah hari yang lain. “tidak sebelum Matteo pergi. Aku tak ingin meninggalkan dia dengan adikku berduan”.
Luca mengangguk dengan Muram. “Kau benar. Dia tak seharusnya berduan dengan Matteo”. Dia menghampiri Matteo dan meletak tangannya di bahu Matteo dan mengatakan sesuatu di telinga Matteo. Wajah Matteo menggelap karena kemarahan tapi dia bangkit dengan mulus, memberikan Gianna seringai hiu nya dan keluar dari apartemen tanpa sepatah kata pun.
Gianna menghampiriku. “Dia terobsesi denganku”.
Kekhawatiran mencakar bagian dalam ku. “Kalau begitu berhentilah menggodanya. Dia menyukai itu”.
“Aku tak peduli dengan yang dia suka”.
Luca bersandar di counter di sampingku, lengannya menyelip di pinggangku dan Gianna tampak sangat tidak senang. “Matteo itu pemburu. Dia senang mengejar. Dan kau lebih baik tidak membuat dia mengejarmu”.
Aku khawatir mungkin itu adalah peringatan yang terlalu terlambat. Gianna memutar matanya. “dia bisa memburuku semau dia. Dia tak akan mendapatkanku”. Dia memandangku. “Kau tidak akan tidur sekarang, bukan?”.
“Aku benar-benar lelah” kataku dengan rasa bersalah.
Bahu Gianna merosot. “Ya, aku juga. Tapi besok aku ingin dirimu hanya untukku”. Dia memberi Luca tatapan tajam sebelum menuju ke kamarnya. Dia berhenti di ambang pintu kamarnya. “Jika aku mendengar jeritan, tak ada pistol dibawah bantal yang akan menyelamatkanmu, Luca”. Dengan itu dia menutup pintu.
Luca mengusap telingaku dengan bibirnya. “akankah kau menjerit untukku malam ini?” dia menjilat kulitku dan aku menggigil.
“Tidak, dengan adik ku yang berada dibawah atap yang sama dengan kita”,kataku, meski rasa kesemutan diantara kakiku menghianatiku.
“Kita lihat saja nanti”, Geram Luca, kemudian dengan lembut menggigit tenggorokanku. Aku mengerang, tapi dengan cepat menggigit bibirku menahan suaraku. Luca meraih tanganku dan menarikku ke lantai atas. Dengan setiap langkah yang semakin dekat dengan kamar tidur, tekanan diantara kedua kaki ku semakin meningkat. Aku tak bisa percaya betapa semangatnya tubuhku akan sentuhannya, untuk pelepasan yang akan dia berikan untukku. Itu adalah satu-satunya waktu aku bisa melupakan segalanya tentang hidupku, satu-satunya waktu aku bisa terbebas dari dunia kita.
Luca membanting pintu dibelakang kami dan aku harap itu tidak menimbulkan perhatian Gianna. Tapi aku tak punya banyak waktu untuk khawatir karena Luca telah menangggalkan dress ku, kemudian dia mengangkatku ke lengannya, hanya membaringkanku di tengah-tengah tempat tidur. Luca mendaratkan ciuman di celana dalam berenda ku , menghirupnya, sebelum dia mencium perutku dan rusukku, kemudian payudaraku melalui bra berendaku.
“Milikku”, dia menggeram diatas kulitku, membuatku merinding karena kebutuhan. Dia mennyelipkan tangannya di bawah punggungku dan melepaskan bra ku dan dengan perlahan menariknya lepas. Puting ku sudah mengeras. “Aku sunguh menyukai putingmu. Mereka berwarna pink dan kecil dan sempurna”.
Aku mengtupkan kakiku, tapi Luca meraih celana dalamku dan menurunkannya. Dia menelusurkan jemarinya di sepanjang lipatanku, menyeringai. Tatapan laparnya kembali mengarah ke payudaraku dan dia menundukan kepalanya dan menelusurkan lidahnya dari satu puting ke puting yang lain. Aku mengerang dengan lembut. Dia menghabiskan waktu dengan payudaraku ketika dia perlahan bergerak lebih kebawah aku sudah terengah -engah. Bibirnya mencapai lipatanku, menggoda dan lembut, kemudian tiba-tiba lidahnya menyelip dengan keras dan cepat, dan aku menutup mulutku dengan telapak tanganku, terengah- engah dan berteriak.
“Lepaskan”,Luca menggeram. Dia menarik kedua pergelangan tanganku dan menekannya di perutku, memerangkapnya disana.
Mataku melebar. “Gianna akan mendengarnya”.
Dia menyeringai dan menghisap klitorisku cepat, kemudian perlahan dan lembut. Aku merintih dan mengerang, tubuhku gemetar karena usahaku untuk diam. “Oh Tuhan”. Aku tersentak ketika Luca memasukan jarinya dengan tajam ke dalam tubuhku, kemudian menggerakannya keluar masuk dengan irama yang seirama dengan hisapannya di klitorisku. Aku mengubur wajahku di bantal. Genggaman Luca di pergelangan tanganku mengencang dan kenikmatan merobekku. Aku berteriak di bantal, punggungku melengkung dan kaki bergetar.
Luca bergerak ke atas tubuhku hingga dia membungkuk di atas tubuhku , lutut diantara dua kakiku yang terpentang. “Kapan kau mengijinkanku memilikkimu?” dia berbisik dengan serak diatas tenggorokanku.
Aku membatu. Luca mengangkat kepalanya, matanya bertemu dengan mataku. “Sialan. Kenapa kau terlihat begitu ketakutan ketika aku menanyakan pertanyaan itu?”.
“Maafkan aku” aku berkata dengan pelan. “aku cuma butuh lebih banyak waktu”.
Luca mengangguk, tapi ada kebutuhan besar di matanya yang tampaknya tumbuh tiap harinya.
Aku menjalarkan tanganku ke dadnya, merasakan sarung senjata di bawah kemejanya. Dia duduk, dan aku membungkuk mendekat, melepaskan kancing kemejanya, menampakkan otot perutnya yang mengagumkan dan sarung senjatanya yang berwarna hitam berisi pisau dan pistol. Luca melepaskan kemejanya dan aku membuka sarung senjatanya, membantunya melepaskannya. Dia melemparkan itu ke lantai. Kata-kata Matteo teringat olehku dan aku menjalarkan tanganku ke dada Luca yang telanjang.
Aku menekankan ciuman di tato Luca, kemudian ke bekas luka yang mulai sembuh di bawah rusuknya. Aku menggosok putingnya dengan ujung jariku dan dia menggeram sebagai respon. Dia dengan cepat melepaskan celananya. Aku menurunkan bibirku ke arah ereksinya tapi berhenti seinci dari ujungnya. “Jika kau tidak diam, aku akan berhenti”.
Mata luca berkilat. Dia meletakkan tangan diatas kepalaku. “ mungkin aku tak akan mengijinkanmu untuk berhenti”.
“Mungkin aku akan menggigit”.
Luca tergelak. “silahkan lakukan yang kau mau denganku, aku tak akan bersuara. Tak ingin menyinggung telinga perawan adikmu”.
“Bagaimana dengan telinga perawanku?” aku mencium ujungnya.
“Kau seharusnya sudah tidak perawan”, kata Luca dengan suara rendah. Aku mengambil ereksinya kedalam mulutku untuk mengalihkan perhatiannya. Dia membuat suara jauh di tenggorokannnya, lalu diam saat aku merawatnya.
Aku menarik diri sebelum dia menyembur.
Setelah dia membersihakan dirinya, Luca merengkuhku.
“Aku turut menyesal atas apa yang sepupumu lakukan”, aku berkata dalam kegelapan.
“aku seharusnya tau lebih baik untuk tidak mempercayai siapapun. Kepercayaan adalah sesuatu yang mewah yang orang-orang seperti ku tak dapat milikki”.
Kau bisa mempercayaiku, aku ingin mengatakan nya karena aku tau dia bisa. Tak peduli sebrapa kuat aku mencoba melawannya, aku telah jatuh cinta padanya. “hidup tanpa mempercayai itu sepi”.
“Ya, benar”. Dia mencium belakang telingaku, kemudian kami terjatuh dalam keheningan.


Luca masih tertidur ketika aku bangun, tubuhnya merapat di tubuhku, batangnya yang mengeras menekan bagian bawah punggungku. Aku melepaskan diri dan menyelinap menuju kamar mandi. Sekarang belum terlalu terlambat, tapi Gianna adalah tipe yang bangun pagi buta dan aku tak sabar untuk menghabiskan waktu dengannya. Aku mandi lama dan membungkus tubuhku dengan handuk, sudah merasa lebih segar, kemudian kembali ke kamar. Luca duduk di ujung tempat tidur ketika aku masuk. Ereksinya mencuat. Aku memberinya senyum menggoda saat dia melingkarkan jarinya di tulang pinggulku. “Mengeras lagi?”.
Dia menggeram. “aku selalu mengeras untukmu. Dan suatu saat bolaku akan meledak”.
Aku bisa mendengar gerakan di suatu tempat di apartemen, kemudian sebuah umpatan. Gianna sudah bangun. “Aku harus menemuinya”?
“Oh tidak, belum boleh” Luca berkata dengan serak. Dia menciumku dengan posesif dan aku berdiri dengan berjinjit untuk membuatnya lebih mudah. Satu ciuman tak akan sulit, tapi cara Luca menggesekan dirinya ke diriku aku tau dia menginginkan lebih dari sekedar ciuman. Dia membaliikku dan menarikku menempel ke dadanya sehingga ereksinya menekan punggungku.
Aku terkesiap. Kami menghadap ke kaca lantai yang panjang di seberang tempat tidur. Luca mencengkram handuk dan menariknya lepas, meninggalkanku telanjang. Dia mencium tenggorokanku, matanya menatapku dari kaca. Tangannya yang kekar berkeliaran di sisi tubuhku dan menangkup payudaraku. Dia menjepit putingku diantara jari telunjuk dan ibu jarinya, dan memelintirnya. Bibirku membuka dan desahan lembut terlepas.
Aku bisa mendengar Gianna menaiki tangga ke lantai kami. Oh Tuhan.
Luca mencubit putingku, kemudian menariknya. Aku memejamkan mata menikmati sensasi nikmat yang menjalar ke tubuhku. Dia menghujani tenggorokan dan tulang selangka ku dengan ciuman ketika tangannya menyelinap turun di celah antara payudaraku, menuju ke perutku, dan diantara pahaku. Gianna berhenti di luar kamar kami. Luca menjentikkanibu jarinya ke klitorisku dan aku menggigit bibir bawahku untuk menhentikan erangan.
“Aria? Apakah kau sudah bangun?”.
“adikmu benar-benar pengganggu” Luca bergumam di telingaku,kemudian menjilat kulit di bawah telinagku sebelum dia menghisapnya. Jari tengahnya menyelip diantara lipatanku, kemudian memasukiku. Aku menghembuskan napas. “Tapi kau sudah sangat basah, tuan putri”. Gelombang kelembapan baru berkumpul diantara kakiku. “Yes”, Luca menggeram ditelingaku. Matanya terpaku ke mataku di kaca dan aku tak bisa mengalihkan tatapanku. Jarinya keluar masuk dalam diriku, menyebarkan kelembapanku ke seluruh lipatanku.
Aku tak bisa mempercayai dia membuatku menonton dia yang menyetubuhiku dengan jarinya. Aku tak menyangka itu sungguh membuatku terangsang. Jarinya menjepit putingku lagi, kali ini lebih keras dan aku bisa merasakan hingga ke klitorisku. Aku merancau.
“Aria?” Gianna menggedor-gedor pintu. Oh tuhan, dia tidak mau berhenti. Aku mencoba untuk menarik diri. Ini salah. Aku tak bisa melakukan ini de ngan adikku berada di luar pintu. Luca menyeringai, pegangannya padaku mengencang. Tangan satunya bergerak turun ke bawah dan menggosok klitorisku selama jari tangan satunya menyelinap keluar masuk dalam diriku. Aku meliuk-liuk tak terkendali. Bibirnya meringsek ke bibirku, menelan eranganku saat kenikmatan menerjangku. Kakiku mengejang dan aku menggoyangkan diriku ke tangan Luca saat aku datang dengan keras. Luca tak berhenti menggerakan tangannya, walaupun aku mencoba untuk melangkah pergi. Alih-alih dia mendorong bahuku hingga aku membungkuk ke depan , tanganku terjulur untuk menyanggaku di kaca. Mataku semakin melebar ketika dia berlutut dibelakang ku, telapak tangannya di pantatku dan melebarkan kakiku. Dan kemudian lidahnya sudah ada disana, menyelinap di lipatanku. Dia menjilat sepanjang vaginaku. Aku menegang ketika ujung lidahnya menyelinap di bagian belakang pintu masukku dan dia dengan cepat mengembalikan mulutnya ke klitorisku. Aku mati rasa, bahkan ketika aku mendengar Gianna yang terus menerus mengetuk dan memanggil-manggil. Semua yang penting hanyalah lidah Luca yang membuatku semakin tinggi dan lebih tinggi. Ini seharusnya salah, tapi ini terasa sangat nikmat. Aku menggigit bagian dalam pipiku dan saat perih dan kenikmatan menyatu kedalam orgasme kedua yang menghancurkanku. Kakiku menyerah dan aku jatuh berlutut disamping Luca, terengah-engah dan tercekat dan berharap Gianna tak mendengarnya.
Aku melotot ke Luca, dan dia menyeringai, rasa lapa menghiasi wajahnya. Dia berhenti dan ereksi nya mencuat. Aku menonton nya ketika dia mulai mengocok dirinya semdiri di depan wajahku. Aku tau apa yang dia inginkan. Aku membuka bibirku dan dia menyelipkan ujungnya masuk. Rasa asin dari pre-cum nya menyebar di lidahku. Aku tak percaya aku mengulum Luca dengan Gianna yang berada di luar, tapi rasa khawatir membuatku lebih bergairah. Apa yang salah denganku? Luca mengelus pipiku dan tangan satunya menangkup bagian belakang kepalaku. Matanya tak pernah meninggalkanku saat dia dengan perlahan menyelip keluar dan masuk di mulutku. Aku tak yakin kenapa aku menyukainya, tapi aku memang suka.
“Kau begitu cantik, Aria”, dia bergumam, menekan sedikit lebih dalam ke mulutku. Aku memutar lidahku di sepanjang ujungnya dan dia menghembuskan napas dengan tajam, jadi aku melakukannya lagi.
langkah Gianna menyusut menuruni tangga tapi aku tetap menghisap Luca, pelan dan dengan sensual. Tangan Luca membimbingku, ada tekanan ringan di kepalaku. Aku menghisap lebih cepat, meningkatkan tekanan bibirku. “Genggam bola ku”.
Aku melakukannya. Aku suka betapa lembut rasanya di telapak tanganku. Luca menggoyangkan pinggulnya lebih cepat. “Aku ingin keluar di mulutmu, Tuan Putri”, katanya dengan suara kasar. Aku tak yakin apakah itu adalah sesuatu yang aku inginkan, tapi Luca tak keberatan mencicipiku disana, jadi setidaknya aku harus mencobanya. Aku mengangguk dan menghisapnya lebih dalam ke dalam mulutku. Luca menggeram, pinggulnya bergetar lebih cepat, setalh beberapa kali dorongan , dia menyembur di dalam mulutku. Aku menelan ludah. Rasanya aneh dan lebih dari yang aku kira tapi tidak terlalu buruk.
Luca masih membelai pipiku saat ia melunak di mulutku. Dia menarik diri, penisnya meluncur keluar dari bibirku. Aku menelan lagi. Luca meraih lenganku, dan menarikku berdiri, mulutnya jatuh ke mulutku dengan ciuman ganas. Dia tidak keberatan mencicipi dirinya sendiri. “Ku harap kau mengingat ini sepanjang hari”.

##

Luca pergi tidak lama setelah sarapan dan Gianna dengan terburu-buru menarikku ke teras atap , menjauh dari telinga Romero yang ingin tau.
“Apa yang sedang terjadi? Kau bertingkah sangat aneh sepannjang pagi. Kenapa kau tidak menjawab saat aku memanggilmu tadi pagi?”.
Aku membuang muka, rona merah muda menyebar di pipiku. Mata Gianna terbelalak. “Apa yang dia lakukan?”.
“Dia berada di bawahku?”
“Kau membiarkan dia”.
Aku tertawa. “Ya”, warna merah yang lebih kuat menyebar di pipiku karena suara bersemangat dalam suaraku.
Gianna membungkuk kedepan. “Kau menyukainya?”.
“Sangat”. Gianna menggigit bibirnya. “aku benci memikirkanmu bersama dia, tapi kelihatannya kau sangat menikmatinya. Jadi kurasa ada untungnya Luca menyetubuhi banyak perempuan di New York”.
Aku tak ingin memikirkan tentang itu.
“Jadi bagaimana rasanya?”.
“Seakan akan aku hancur. Ini luar biasa dan menakjubkan, dan aku tak tau bagaimana menggambarkannya”.
“Tapi kau belum tidur dengannya?”.
Aku menggelengkan kepala. “Belum. Tapi kurasa Luca tak mau menunggu lebih lama lagi”.
“Persetan dengan dia. Dia bisa menidurinya dirinya sendiri”, Gianna menyipitkan matanya. “Apakah dia memaksamu untuk menghisapnya”.
“Dia tidak memaksaku. Aku yang ingin melakukannya”.
Gianna tampak ragu. “Dan? Ceritakan lebih banyak. Kau tau aku harus mengetahui kehidupan melalui dirimu. Aku sangat bosan berada dalam pengawasan sepanjang hari. Aku ingin memiliki pacar, aku ingin berhubungan sex, dan mengalami orgasme”.
Aku mendengus. “aku ragu ayah akan mengijinkannya”.
“aku tidak berniat untuk meminta ijinnya”,Gianna berkata dengan mengangkat bahu. “Aku disini sekarang. Tak akan ada seorang pun yang akan menghalangiku untuk bersenang-senang, bukan?”.
Mataku melebar. “Ayah akan membunuhku jika dia tau aku membiarkanmu berhubungan dengan para pria ketika kau ada disini”.
“Dia tak harus tau, bukan begitu?” dia mengangkat bahu lagi. “dan juga aku tak mungkin memberitahunya”.
Aku ternganga, lalu tertawa. “baiklah, kecuali jika kau ingin merayu Romero atau Matteo, pilihanmu terbatas”.
“Ugh, tidak. Aku tak menginginkan salah satu dari mereka. Aku ingin cowok normal. Seorang pria yang tak tau siapa aku”.
“Yah, aku tak tau bagaimana aku bisa menemukan pria seperti itu untuk mu”.
Gianna menyeringai. “Bagaimana kalau kita pergi ke Klub?”.
“Romero tak akan membiarkanku menghilang dari pengawasannya setelah aku melarikan diri darinya sekali. Tak mungkin kita bisa melarikan diri darinya dan pergi ke klub”
Gianna merenungkan itu. Aku khawatir akan rencana gilanya. Tapi aku benar-benar menyukai gagasan pergi keluar malam untuk menari di lantai dansa dan melepaskan semuanya.
“Romero bisa ikut dengan kita. Dia menjagamu bukan aku. Mungkin aku bisa lolos”.
“Lalu apa? Sex kilat di bilik toilet? Apakah kau sungguh ingin mengalami kali pertama mu dengan cara seperti itu?”.
Gianna melotot. “Setidaknya, aku akan mengalaminya dengan kemauanku sendiri. Itu akan menjadi pilihanku. Kau sama sekali tidak punya pilihan. Luca dan ayah mengambil semua pilihanmu pergi. Aku tak mengerti mengapa kau bisa sangat tenang akan hal itu. Bagaimana kau tidak membenci Luca?”.
Terkadang aku bertanya-tanya sendiri. “aku seharusnya membencinya”.
Wajah Gianna menjadi tak karuan. “Tapi kau tidak membencinya. Persetan, Aria, apakah kau sungguh peduli pada dia? Mencintai dia?”.
“apakah kau sungguh lebih suka aku membenci dia dan menjadi menderita?”.
“Dia memperlakukanmu seperti seorang tahanan. Kau tidak sungguh-sungguh percaya bahwa Romero hanya untuk pelindungmu, bukan? Dia terus mengawasimu, sehingga tak ada seorangpun yang bisa mendekatimu sedikitpun”.
Aku tau itu. “Ayo belanja”.
“yang benar saja? Kau itu cuma istri pajangan”.
“Diam”, kataku dengan bercanda, ingin menghidupkan suasana hatinya. “ayo kita membeli pakaian yang hot untuk malam ini. Kita bisa pergi ke salah satu klub Luca”.
Gianna menyeringai. “aku ingin memekai sesuatu yang membuat pria mengeras ketika melihatku”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

STUCK UP SUIT Chapter 8

GRAHAM AKU TIDAK MENDENGAR KABAR NYA SEPANJANG HARI di hari sabtu, dan tidak seperti yang aku harapkan juga. Soraya Venedetta san...