Gianna berhasil
mendapatkan tiket pesawat dua hari kemudian. Aku amat dipenuhi
kegembiraan hari itu. Belum lama aku tak melihatnya, tapi rasanya
seperti sudah selamanya. Saat itu di luar sudah gelap saat Luca dan
aku berhenti di JFK. Kuharap Gianna bisa mendapatkan penerbangan
pagi atau siang.
Karena komentarku
tentang Luca yang akan membunuhku demi Familia, dia telah menarik
diri secara emosional, walaupun sebelumnya dia juga bukan sebuah buku
yang terbuka. Satu-satunya cara kami berinteraksi adalah pada malam
hari ketika Luca dan aku saling menyenangkan dengan mulut dan tangan
kami. Mungkin tanpa Gianna yang akan berkunjung, aku pasti sudah
berusaha berbicara padanya atau mungkin membujuknya untuk menunjukan
tempat kerjanya, alih-alih memberi ruang yang sangat dia inginkan.
Luca memarkir mobil dan kami keluar. Dia tidak mencoba meraih
tanganku. Dan kurasa dia bukan tipe pria yang menggandeng tangan,
tapi dia menyentuh bagian bawah punggungku saat kami memasuki area
kedatangan di bandara.
“kau yakin kau
akan baik-baik saja dengan Gianna yang tinggal bersama kita selama
beberapa hari ke depan?”
“Ya. Dan aku
sudah berjanji pada ayahmu untuk melindungi dia. Dan akan lebih
mudah bagiku jika dia tinggal bersama kita di apartemen”.
“Dia akan
memprovokasi mu?” kataku.
“aku bisa
menangani gadis cilik”.
“Luca”, kataku
dengan tegas. “Gianna tau caranya menekan tombol kesabaran
seseorang. Jika kau tidak benar-benar yakin kau bisa mengendalikan
dirimu, aku tak akan membiarkan dia dekat dengan mu”.
Mata Luca membara.
Dia tampaknya sudah hilang kesabaran sepanjang hari ini. “Jangan
khawatir. Aku tak akan membunuhnya atau kamu dalam
beberapa hari kedepan”.
Aku
melangkah mundur. Dari mana datangnya itu semua? Apakah dia marah
karena apa yang pernah aku katakan? Itu adalah fakta : kami berdua
tau itu.
“Aria!”.
Aku
berputar. Giana berlari-lari ke arahku dan meninggalkan trolley nya
di jalan. Kami bertabrakan hingga hampir menyakitkan. Tapi aku
menariknya erat dalam pelukanku. “aku sangat senang kau ada
disini,” aku berbisik.
Dia
mengangguk, kemudian dia menarik diri, mencari-cari di wajahku. “tak
ada bekas luka yang terlihat”, dia berkata dengan keras ,
pandangannya mengarah ke belakangku ke arah Luca. “kau cuma
memukul tempat yang di tutupi pakaian?”.
Aku
mencengkram tangannya dan memberinya tatapan peringatan.
“ambil
barang-barangmu,” perintah Luca. “aku tak ingin berdiri disini
sepanjang malam”.
Gianna
melotot ke Luca tetapi mengambil troley nya lalu kembali ke arah
kami. “seorang Gentlement akan membawakan ini untuk ku”.
“Seorang
Gentleman, Ya,”. Luca berkata dengan senyum kecut.
Kami
berjalan kembali ke mobil kami, lenganku mengait di lengan Gianna.
Luca berjalan beberapa langkah di depan dan berada di belakang
kemudi tanpa kata.
“apa
yang terjadi dengan dia? Dia bahkan lebih bajingan dari yang aku
ingat?”.
“Kurasa
pihak Rusia memberinya banyak masalah”.
“Bukannya
memang selalu?” Gianna meletakkan barang-barangnya di bagasi mobil
sebelum kami duduk di kursi belakang.
Luca
mengangkat alisnya padaku. “aku bukan supirmu. Duduk di depan
bersamaku”.
Aku
tersentak karena kekasarannya tapi aku tetap menurutinya dan duduk
tegak. Wajah Gianna dipenuhi kemarahan. “Kau tidak seharusnya
berkata dengan cara seperti itu dengannya”.
“Dia
istriku. Dan aku bisa melakukan atau mengatakan apapun yang aku
inginkan”.
Aku
cemberut. Luca berbalik ke arahku, bertemu dengan tatapanku. Aku
tak bisa menatap matanya. Dia kembali mengarah ke jalanan.
“bagaimana
kabar Lily dan Fabi?”
“amat
sangat menyebalkan. Khususnya Lily. Dia tak berhenti membicarakan
Romero. Dia jatuh cinta pada Romero”.
Aku
tertawa, dab bahkan bibir Luca sedikit terangkat. Aku tak mengerti
kenapa tapi mengulurkan tangan dan meletakknya di paha Luca. Matanya
terlontar padaku dengan kaget, kemudian dia membungkus tanganku
dengan tangannya hingga dia perlu untuk mengganti gigi lagi. Mata
Gianna tampak penasaran ketika melihatnya. Dia pasti akan
menghujaniku dengan pertanyaan pada saat kami sendirian, tak di
ragukan lagi.
##
ketika
kami melangkah masuk ke dalam apartemen. Aroma daging domba yang di
panggang dengan rosemary tercium oleh kami.
“aku
memberitahu Marrianna untuk menyiapakan makan malam yang nikmat ,”
kata Luca. Alis kemerahan Gianna terangkat karena terkejut.
“Terima
kasih”. Kataku.
Luca
mengangguk. “ Tunjukan kamar adikmu kemudian kita bisa makan”.
Dia masih kaku dan tegang. Aku melihat dia menuju pojokan dekat area
dapur.
Aku
menunjukan Gianna kamarnya, tapi dia dengan cepat menarikku masuk dan
menutup pintu. “apa kau baik-baik saja”.
“Ya,
aku sudah memberitahu di telepon. Aku baik-baik saja”.
“aku
lebih suka mendengarmu mengatakan itu ketika aku bisa melihat
wajahmu”.
“Aku
tidak berbohong padamu, Gianna”.
Dia
menggenggam tanganku. “apakah dia memaksamu untuk tidur dengan
dia?”.
“Tidak,
dia tidak memaksaku. Dan kami belum tidur bersama”.
Mata
Gianna melebar. “Tapi sesuatu terjadi antara kalian berdua. Aku
menginginkan detil”.
Aku
menari diri. “kita harus makan malam sekarang. Marianna akan
marah jika kita membiarkan makanan menjadi dingin. Kita bisa
mengobrol besok ketika Luca sibuk dengan bisnis”.
“Besok”.
Gianna berkata dengan tegas.
Aku
membuka pintu dan membibingnya ke arah Ruang makan. Matanya
mengamati semuanya, dan kemudian menjadi marah ketika dia melihat
orang lain yang akan makan malam bersama kami : Matteo. Dia dan
Luca berdiri di samping meja, mendiskusikan sesuatu, kemudian
berpisah saat mereka menyadari kehadiran kami.
“apa
yang sedang dia lakukan disini?” Giana berkata, hidungnya mengerut.
Menampilkan
senyum Hiu nya, Matteo berjalan ke arah Gianna dan menggenggam tangan
Gianna untuk menciumnya. “ Senang bertemu denganmu lagi, Gianna”.
Gianna
menarik tangannya menjauh. “Jangan sentuh aku”.
Dia
harus berhenti memprovokasi Matteo; Matteo amat sangat menyukai itu
semua. Luca dan aku duduk berdekatan satu sama lain, dan Matteo
duduk di samping Gianna. Aku tak yakin bahwa itu adalah keputusan
yang baik. Aku melirik ke arah Luca, tapi Tatapan yang hati-hati
tertumpu pada adikku dan adiknya.
Marriana
sibuk, menyiapkan daging domba panggang,kentang Rosmary dan kacang
hijau. Kami makan dalam keheningan selama beberapa saat sampai
Gianna tak bisa menahan lidahnya lagi. “Mengapa kau menghancurkan
tenggorokan orang itu?”.
Aku
meletakkan garpuku, mengira Luca akan meledak,tapi dia hanya
bersandar pada kursinya dan menyilangkan lengannya di dada.
Giana
mendengus. “Ayolah. Lagian ini bukan rahasia besar. Kau mendapat
julukan karena hal itu”.
Matteo
menyeringai. “The Vice adalah nama yang bagus”.
Luca
menggelengkan kepalanya. “Aku membencinya”.
“Kau
berhak mendapatkannya”, Kata Matteo. “Sekarang ceritakanlah pada
mereka atau aku yang akan menceritakannya”.
Aku
sudah lama ingin tau tentang itu. Tak satupun dari orang-orang di
Chicago yang mau menceritakan itu padaku dan aku belum berani
bertanya pada Romero.
“Saat
itu aku baru berusia tujuh belas tahun”,Luca Memulai. “Ayah kami
memiliki banyak saudara laki-laki dan perempuan, dan salah satu
sepupu ku naik pangkat bersaaman dengan ku, dia beberapa tahun lebih
tua dariku dan ingin menjadi Capo. Dia tau ayahku akan memilihku,
jadi dia mengundangku ke rumahnya dan mencoba menikamku dari
belakang. Pisau itu hanya menggores lenganku dan saat aku mendapat
kesempatan, aku merangkum tanganku di lehernya dan mencekiknya”.
“Kenapa
kamu tidak menembaknya?” Tanya Gianna.
“Dia
adalah keluarga dan sudah tradisi bahwa kita harus meninggalkan
senjata ketika kita memasuki rumah anggota keluarga”, Luca berkata
dengan dingin. “Tidak lagi, tentu saja”.
“Penghianatan
membuat Luca sangat marah, dia benar-benar menghancurkan tenggorokan
sepupu kami. Dia sampai tersedak darah karena tulang lehernya
memotong nadinya. Itu benar-benar kacau. Aku tak pernah melihat
sesuatu seperti itu”, Matteo terlihat seperti anak-anak di natal
pagi. Dan itu lebih dari sekedar mengganggu.
Luca
melirik ke bawah ke piringnya, tangannya bertaut di pahanya. Tidak
heran dia tidak suka untuk mempercayai orang lain. Dikhianati oleh
keluarga pastinya amat sangat mengerikan.
“itulah
kenapa Luca tidur dengan mata terbuka. Dia tak pernah tidur dengan
perempuan tanpa senjata dibawah bantalnya atau di suatu tempat di
tubuhnya.
Luca
melemparkan pelototan ke arah adiknya.
Matteo
mengangkat tangannya. “seolah-olah Aria tidak tau saja kau
bermain-main dengan wanita lain”.
Aku
rasa itu bukanlah alasan dari reaksi Luca.
“Jadi,
apakah kau menyimpan senjata sekarang?” Gianna bertanya. “Bukankah
kita keluarga”.
“Luca
selalu menyimpan senjata”, Matteo mencondongkan tubuh ke arah
Gianna, “Jangan menganggapinya secara personal. Aku bahkan tak
pernah melihatnya tanpa senjata sejak hari itu. Itu adalah Denyutan
Luca”.
Luca
tidak pernah mengenakan senjata ketika kami sendirian. Dia
mengenakan satu saat dia bersama Romero atau Marianna ada disana,
bahkan saat Matteo ada disana, tapi saat Luca dan aku berbagi tempat
tidur, tak pernah ada senjata di bawah bantalnya atau di tempat lain.
Itu mungkin karena dia bisa dengan mudah mengalahkanmu dengan tangan
terikat di belakang punggungnya. Itu masih tampak seperti resiko
yang tak diperlukan.
Luca
menghabiskan sisa makan malamnya, tegang dan diam, tapi saling adu
argumen antara Matteo dan Gianna mengisi keheningan. Aku tak yakin
siapa yang paling mendominasi dalam pertengkaran.
Ketika
kami selesai makan, aku bangun dan membersihkan meja. Marriana sudah
pulang dan aku tak ingin cucian piring kotor harus menunggu dia
ketika dia kembali besok. Luca mengejutkanku saat dia bangkit juga
dan membawa piring saji dan piring-piringnya ke mesin cuci piring.
Aku menguap , kelelahan.
“Ayo
tidur”. Kata Luca pelan.
Aku
melirik Gianna. Ada banyak hal yang ingin aku bicarakan dengannya,
tapi sudah terlalu larut dan besok adalah hari yang lain. “tidak
sebelum Matteo pergi. Aku tak ingin meninggalkan dia dengan adikku
berduan”.
Luca
mengangguk dengan Muram. “Kau benar. Dia tak seharusnya berduan
dengan Matteo”. Dia menghampiri Matteo dan meletak tangannya di
bahu Matteo dan mengatakan sesuatu di telinga Matteo. Wajah Matteo
menggelap karena kemarahan tapi dia bangkit dengan mulus, memberikan
Gianna seringai hiu nya dan keluar dari apartemen tanpa sepatah kata
pun.
Gianna
menghampiriku. “Dia terobsesi denganku”.
Kekhawatiran
mencakar bagian dalam ku. “Kalau begitu berhentilah menggodanya.
Dia menyukai itu”.
“Aku
tak peduli dengan yang dia suka”.
Luca
bersandar di counter di sampingku, lengannya menyelip di pinggangku
dan Gianna tampak sangat tidak senang. “Matteo itu pemburu. Dia
senang mengejar. Dan kau lebih baik tidak membuat dia mengejarmu”.
Aku
khawatir mungkin itu adalah peringatan yang terlalu terlambat.
Gianna memutar matanya. “dia bisa memburuku semau dia. Dia tak
akan mendapatkanku”. Dia memandangku. “Kau tidak akan tidur
sekarang, bukan?”.
“Aku
benar-benar lelah” kataku dengan rasa bersalah.
Bahu
Gianna merosot. “Ya, aku juga. Tapi besok aku ingin dirimu hanya
untukku”. Dia memberi Luca tatapan tajam sebelum menuju ke
kamarnya. Dia berhenti di ambang pintu kamarnya. “Jika aku
mendengar jeritan, tak ada pistol dibawah bantal yang akan
menyelamatkanmu, Luca”. Dengan itu dia menutup pintu.
Luca
mengusap telingaku dengan bibirnya. “akankah kau menjerit untukku
malam ini?” dia menjilat kulitku dan aku menggigil.
“Tidak,
dengan adik ku yang berada dibawah atap yang sama dengan
kita”,kataku, meski rasa kesemutan diantara kakiku menghianatiku.
“Kita
lihat saja nanti”, Geram Luca, kemudian dengan lembut menggigit
tenggorokanku. Aku mengerang, tapi dengan cepat menggigit bibirku
menahan suaraku. Luca meraih tanganku dan menarikku ke lantai atas.
Dengan setiap langkah yang semakin dekat dengan kamar tidur, tekanan
diantara kedua kaki ku semakin meningkat. Aku tak bisa percaya
betapa semangatnya tubuhku akan sentuhannya, untuk pelepasan yang
akan dia berikan untukku. Itu adalah satu-satunya waktu aku bisa
melupakan segalanya tentang hidupku, satu-satunya waktu aku bisa
terbebas dari dunia kita.
Luca
membanting pintu dibelakang kami dan aku harap itu tidak menimbulkan
perhatian Gianna. Tapi aku tak punya banyak waktu untuk khawatir
karena Luca telah menangggalkan dress ku, kemudian dia mengangkatku
ke lengannya, hanya membaringkanku di tengah-tengah tempat tidur.
Luca mendaratkan ciuman di celana dalam berenda ku , menghirupnya,
sebelum dia mencium perutku dan rusukku, kemudian payudaraku melalui
bra berendaku.
“Milikku”,
dia menggeram diatas kulitku, membuatku merinding karena kebutuhan.
Dia mennyelipkan tangannya di bawah punggungku dan melepaskan bra
ku dan dengan perlahan menariknya lepas. Puting ku sudah mengeras.
“Aku sunguh menyukai putingmu. Mereka berwarna pink dan kecil dan
sempurna”.
Aku
mengtupkan kakiku, tapi Luca meraih celana dalamku dan menurunkannya.
Dia menelusurkan jemarinya di sepanjang lipatanku, menyeringai.
Tatapan laparnya kembali mengarah ke payudaraku dan dia menundukan
kepalanya dan menelusurkan lidahnya dari satu puting ke puting yang
lain. Aku mengerang dengan lembut. Dia menghabiskan waktu dengan
payudaraku ketika dia perlahan bergerak lebih kebawah aku sudah
terengah -engah. Bibirnya mencapai lipatanku, menggoda dan lembut,
kemudian tiba-tiba lidahnya menyelip dengan keras dan cepat, dan aku
menutup mulutku dengan telapak tanganku, terengah- engah dan
berteriak.
“Lepaskan”,Luca
menggeram. Dia menarik kedua pergelangan tanganku dan menekannya
di perutku, memerangkapnya disana.
Mataku
melebar. “Gianna akan mendengarnya”.
Dia
menyeringai dan menghisap klitorisku cepat, kemudian perlahan dan
lembut. Aku merintih dan mengerang, tubuhku gemetar karena usahaku
untuk diam. “Oh Tuhan”. Aku tersentak ketika Luca memasukan
jarinya dengan tajam ke dalam tubuhku, kemudian menggerakannya
keluar masuk dengan irama yang seirama dengan hisapannya di
klitorisku. Aku mengubur wajahku di bantal. Genggaman Luca di
pergelangan tanganku mengencang dan kenikmatan merobekku. Aku
berteriak di bantal, punggungku melengkung dan kaki bergetar.
Luca
bergerak ke atas tubuhku hingga dia membungkuk di atas tubuhku ,
lutut diantara dua kakiku yang terpentang. “Kapan kau
mengijinkanku memilikkimu?” dia berbisik dengan serak diatas
tenggorokanku.
Aku
membatu. Luca mengangkat kepalanya, matanya bertemu dengan mataku.
“Sialan. Kenapa kau terlihat begitu ketakutan ketika aku
menanyakan pertanyaan itu?”.
“Maafkan
aku” aku berkata dengan pelan. “aku cuma butuh lebih banyak
waktu”.
Luca
mengangguk, tapi ada kebutuhan besar di matanya yang tampaknya tumbuh
tiap harinya.
Aku
menjalarkan tanganku ke dadnya, merasakan sarung senjata di bawah
kemejanya. Dia duduk, dan aku membungkuk mendekat, melepaskan
kancing kemejanya, menampakkan otot perutnya yang mengagumkan dan
sarung senjatanya yang berwarna hitam berisi pisau dan pistol. Luca
melepaskan kemejanya dan aku membuka sarung senjatanya, membantunya
melepaskannya. Dia melemparkan itu ke lantai. Kata-kata Matteo
teringat olehku dan aku menjalarkan tanganku ke dada Luca yang
telanjang.
Aku
menekankan ciuman di tato Luca, kemudian ke bekas luka yang mulai
sembuh di bawah rusuknya. Aku menggosok putingnya dengan ujung
jariku dan dia menggeram sebagai respon. Dia dengan cepat
melepaskan celananya. Aku menurunkan bibirku ke arah ereksinya tapi
berhenti seinci dari ujungnya. “Jika kau tidak diam, aku akan
berhenti”.
Mata
luca berkilat. Dia meletakkan tangan diatas kepalaku. “ mungkin
aku tak akan mengijinkanmu untuk berhenti”.
“Mungkin
aku akan menggigit”.
Luca
tergelak. “silahkan lakukan yang kau mau denganku, aku tak akan
bersuara. Tak ingin menyinggung telinga perawan adikmu”.
“Bagaimana
dengan telinga perawanku?” aku mencium ujungnya.
“Kau
seharusnya sudah tidak perawan”, kata Luca dengan suara rendah.
Aku mengambil ereksinya kedalam mulutku untuk mengalihkan
perhatiannya. Dia membuat suara jauh di tenggorokannnya, lalu diam
saat aku merawatnya.
Aku
menarik diri sebelum dia menyembur.
Setelah
dia membersihakan dirinya, Luca merengkuhku.
“Aku
turut menyesal atas apa yang sepupumu lakukan”, aku berkata dalam
kegelapan.
“aku
seharusnya tau lebih baik untuk tidak mempercayai siapapun.
Kepercayaan adalah sesuatu yang mewah yang orang-orang seperti ku tak
dapat milikki”.
Kau
bisa mempercayaiku, aku ingin mengatakan nya karena aku tau dia bisa.
Tak peduli sebrapa kuat aku mencoba melawannya, aku telah jatuh
cinta padanya. “hidup tanpa mempercayai itu sepi”.
“Ya,
benar”. Dia mencium belakang telingaku, kemudian kami terjatuh
dalam keheningan.
Luca
masih tertidur ketika aku bangun, tubuhnya merapat di tubuhku,
batangnya yang mengeras menekan bagian bawah punggungku. Aku
melepaskan diri dan menyelinap menuju kamar mandi. Sekarang belum
terlalu terlambat, tapi Gianna adalah tipe yang bangun pagi buta dan
aku tak sabar untuk menghabiskan waktu dengannya. Aku mandi lama dan
membungkus tubuhku dengan handuk, sudah merasa lebih segar, kemudian
kembali ke kamar. Luca duduk di ujung tempat tidur ketika aku masuk.
Ereksinya mencuat. Aku memberinya senyum menggoda saat dia
melingkarkan jarinya di tulang pinggulku. “Mengeras lagi?”.
Dia
menggeram. “aku selalu mengeras untukmu. Dan suatu saat bolaku
akan meledak”.
Aku
bisa mendengar gerakan di suatu tempat di apartemen, kemudian sebuah
umpatan. Gianna sudah bangun. “Aku harus menemuinya”?
“Oh
tidak, belum boleh” Luca berkata dengan serak. Dia menciumku
dengan posesif dan aku berdiri dengan berjinjit untuk membuatnya
lebih mudah. Satu ciuman tak akan sulit, tapi cara Luca menggesekan
dirinya ke diriku aku tau dia menginginkan lebih dari sekedar ciuman.
Dia membaliikku dan menarikku menempel ke dadanya sehingga ereksinya
menekan punggungku.
Aku
terkesiap. Kami menghadap ke kaca lantai yang panjang di seberang
tempat tidur. Luca mencengkram handuk dan menariknya lepas,
meninggalkanku telanjang. Dia mencium tenggorokanku, matanya
menatapku dari kaca. Tangannya yang kekar berkeliaran di sisi
tubuhku dan menangkup payudaraku. Dia menjepit putingku diantara
jari telunjuk dan ibu jarinya, dan memelintirnya. Bibirku membuka
dan desahan lembut terlepas.
Aku
bisa mendengar Gianna menaiki tangga ke lantai kami. Oh Tuhan.
Luca
mencubit putingku, kemudian menariknya. Aku memejamkan mata
menikmati sensasi nikmat yang menjalar ke tubuhku. Dia menghujani
tenggorokan dan tulang selangka ku dengan ciuman ketika tangannya
menyelinap turun di celah antara payudaraku, menuju ke perutku, dan
diantara pahaku. Gianna berhenti di luar kamar kami. Luca
menjentikkanibu jarinya ke klitorisku dan aku menggigit bibir bawahku
untuk menhentikan erangan.
“Aria?
Apakah kau sudah bangun?”.
“adikmu
benar-benar pengganggu” Luca bergumam di telingaku,kemudian
menjilat kulit di bawah telinagku sebelum dia menghisapnya. Jari
tengahnya menyelip diantara lipatanku, kemudian memasukiku. Aku
menghembuskan napas. “Tapi kau sudah sangat basah, tuan putri”.
Gelombang kelembapan baru berkumpul diantara kakiku. “Yes”,
Luca menggeram ditelingaku. Matanya terpaku ke mataku di kaca dan
aku tak bisa mengalihkan tatapanku. Jarinya keluar masuk dalam
diriku, menyebarkan kelembapanku ke seluruh lipatanku.
Aku
tak bisa mempercayai dia membuatku menonton dia yang menyetubuhiku
dengan jarinya. Aku tak menyangka itu sungguh membuatku terangsang.
Jarinya menjepit putingku lagi, kali ini lebih keras dan aku bisa
merasakan hingga ke klitorisku. Aku merancau.
“Aria?”
Gianna menggedor-gedor pintu. Oh tuhan, dia tidak mau berhenti.
Aku mencoba untuk menarik diri. Ini salah. Aku tak bisa melakukan
ini de ngan adikku berada di luar pintu. Luca menyeringai,
pegangannya padaku mengencang. Tangan satunya bergerak turun ke
bawah dan menggosok klitorisku selama jari tangan satunya menyelinap
keluar masuk dalam diriku. Aku meliuk-liuk tak terkendali. Bibirnya
meringsek ke bibirku, menelan eranganku saat kenikmatan menerjangku.
Kakiku mengejang dan aku menggoyangkan diriku ke tangan Luca saat
aku datang dengan keras. Luca tak berhenti menggerakan tangannya,
walaupun aku mencoba untuk melangkah pergi. Alih-alih dia mendorong
bahuku hingga aku membungkuk ke depan , tanganku terjulur untuk
menyanggaku di kaca. Mataku semakin melebar ketika dia berlutut
dibelakang ku, telapak tangannya di pantatku dan melebarkan kakiku.
Dan kemudian lidahnya sudah ada disana, menyelinap di lipatanku. Dia
menjilat sepanjang vaginaku. Aku menegang ketika ujung lidahnya
menyelinap di bagian belakang pintu masukku dan dia dengan cepat
mengembalikan mulutnya ke klitorisku. Aku mati rasa, bahkan ketika
aku mendengar Gianna yang terus menerus mengetuk dan
memanggil-manggil. Semua yang penting hanyalah lidah Luca yang
membuatku semakin tinggi dan lebih tinggi. Ini seharusnya salah,
tapi ini terasa sangat nikmat. Aku menggigit bagian dalam pipiku
dan saat perih dan kenikmatan menyatu kedalam orgasme kedua yang
menghancurkanku. Kakiku menyerah dan aku jatuh berlutut disamping
Luca, terengah-engah dan tercekat dan berharap Gianna tak
mendengarnya.
Aku
melotot ke Luca, dan dia menyeringai, rasa lapa menghiasi wajahnya.
Dia berhenti dan ereksi nya mencuat. Aku menonton nya ketika dia
mulai mengocok dirinya semdiri di depan wajahku. Aku tau apa yang
dia inginkan. Aku membuka bibirku dan dia menyelipkan ujungnya
masuk. Rasa asin dari pre-cum nya menyebar di lidahku. Aku tak
percaya aku mengulum Luca dengan Gianna yang berada di luar, tapi
rasa khawatir membuatku lebih bergairah. Apa yang salah denganku?
Luca mengelus pipiku dan tangan satunya menangkup bagian belakang
kepalaku. Matanya tak pernah meninggalkanku saat dia dengan perlahan
menyelip keluar dan masuk di mulutku. Aku tak yakin kenapa aku
menyukainya, tapi aku memang suka.
“Kau
begitu cantik, Aria”, dia bergumam, menekan sedikit lebih dalam ke
mulutku. Aku memutar lidahku di sepanjang ujungnya dan dia
menghembuskan napas dengan tajam, jadi aku melakukannya lagi.
langkah Gianna menyusut menuruni tangga tapi aku tetap menghisap
Luca, pelan dan dengan sensual. Tangan Luca membimbingku, ada
tekanan ringan di kepalaku. Aku menghisap lebih cepat, meningkatkan
tekanan bibirku. “Genggam bola ku”.
Aku
melakukannya. Aku suka betapa lembut rasanya di telapak tanganku.
Luca menggoyangkan pinggulnya lebih cepat. “Aku ingin keluar di
mulutmu, Tuan Putri”, katanya dengan suara kasar. Aku tak yakin
apakah itu adalah sesuatu yang aku inginkan, tapi Luca tak
keberatan mencicipiku disana, jadi setidaknya aku harus mencobanya.
Aku mengangguk dan menghisapnya lebih dalam ke dalam mulutku. Luca
menggeram, pinggulnya bergetar lebih cepat, setalh beberapa kali
dorongan , dia menyembur di dalam mulutku. Aku menelan ludah.
Rasanya aneh dan lebih dari yang aku kira tapi tidak terlalu buruk.
Luca
masih membelai pipiku saat ia melunak di mulutku. Dia menarik diri,
penisnya meluncur keluar dari bibirku. Aku menelan lagi. Luca
meraih lenganku, dan menarikku berdiri, mulutnya jatuh ke mulutku
dengan ciuman ganas. Dia tidak keberatan mencicipi dirinya sendiri.
“Ku harap kau mengingat ini sepanjang hari”.
##
Luca
pergi tidak lama setelah sarapan dan Gianna dengan terburu-buru
menarikku ke teras atap , menjauh dari telinga Romero yang ingin tau.
“Apa
yang sedang terjadi? Kau bertingkah sangat aneh sepannjang pagi.
Kenapa kau tidak menjawab saat aku memanggilmu tadi pagi?”.
Aku
membuang muka, rona merah muda menyebar di pipiku. Mata Gianna
terbelalak. “Apa yang dia lakukan?”.
“Dia
berada di bawahku?”
“Kau
membiarkan dia”.
Aku
tertawa. “Ya”, warna merah yang lebih kuat menyebar di pipiku
karena suara bersemangat dalam suaraku.
Gianna
membungkuk kedepan. “Kau menyukainya?”.
“Sangat”. Gianna
menggigit bibirnya. “aku benci memikirkanmu bersama dia, tapi
kelihatannya kau sangat menikmatinya. Jadi kurasa ada untungnya Luca
menyetubuhi banyak perempuan di New York”.
Aku
tak ingin memikirkan tentang itu.
“Jadi
bagaimana rasanya?”.
“Seakan
akan aku hancur. Ini luar biasa dan menakjubkan, dan aku tak tau
bagaimana menggambarkannya”.
“Tapi
kau belum tidur dengannya?”.
Aku
menggelengkan kepala. “Belum. Tapi kurasa Luca tak mau menunggu
lebih lama lagi”.
“Persetan
dengan dia. Dia bisa menidurinya dirinya sendiri”, Gianna
menyipitkan matanya. “Apakah dia memaksamu untuk menghisapnya”.
“Dia
tidak memaksaku. Aku yang ingin melakukannya”.
Gianna
tampak ragu. “Dan? Ceritakan lebih banyak. Kau tau aku harus
mengetahui kehidupan melalui dirimu. Aku sangat bosan berada dalam
pengawasan sepanjang hari. Aku ingin memiliki pacar, aku ingin
berhubungan sex, dan mengalami orgasme”.
Aku
mendengus. “aku ragu ayah akan mengijinkannya”.
“aku
tidak berniat untuk meminta ijinnya”,Gianna berkata dengan
mengangkat bahu. “Aku disini sekarang. Tak akan ada seorang pun
yang akan menghalangiku untuk bersenang-senang, bukan?”.
Mataku
melebar. “Ayah akan membunuhku jika dia tau aku membiarkanmu
berhubungan dengan para pria ketika kau ada disini”.
“Dia
tak harus tau, bukan begitu?” dia mengangkat bahu lagi. “dan
juga aku tak mungkin memberitahunya”.
Aku
ternganga, lalu tertawa. “baiklah, kecuali jika kau ingin merayu
Romero atau Matteo, pilihanmu terbatas”.
“Ugh,
tidak. Aku tak menginginkan salah satu dari mereka. Aku ingin cowok
normal. Seorang pria yang tak tau siapa aku”.
“Yah,
aku tak tau bagaimana aku bisa menemukan pria seperti itu untuk mu”.
Gianna
menyeringai. “Bagaimana kalau kita pergi ke Klub?”.
“Romero
tak akan membiarkanku menghilang dari pengawasannya setelah aku
melarikan diri darinya sekali. Tak mungkin kita bisa melarikan diri
darinya dan pergi ke klub”
Gianna
merenungkan itu. Aku khawatir akan rencana gilanya. Tapi aku
benar-benar menyukai gagasan pergi keluar malam untuk menari di
lantai dansa dan melepaskan semuanya.
“Romero
bisa ikut dengan kita. Dia menjagamu bukan aku. Mungkin aku bisa
lolos”.
“Lalu
apa? Sex kilat di bilik toilet? Apakah kau sungguh ingin mengalami
kali pertama mu dengan cara seperti itu?”.
Gianna
melotot. “Setidaknya, aku akan mengalaminya dengan kemauanku
sendiri. Itu akan menjadi pilihanku. Kau sama sekali tidak punya
pilihan. Luca dan ayah mengambil semua pilihanmu pergi. Aku tak
mengerti mengapa kau bisa sangat tenang akan hal itu. Bagaimana kau
tidak membenci Luca?”.
Terkadang
aku bertanya-tanya sendiri. “aku seharusnya membencinya”.
Wajah
Gianna menjadi tak karuan. “Tapi kau tidak membencinya. Persetan,
Aria, apakah kau sungguh peduli pada dia? Mencintai dia?”.
“apakah
kau sungguh lebih suka aku membenci dia dan menjadi menderita?”.
“Dia
memperlakukanmu seperti seorang tahanan. Kau tidak sungguh-sungguh
percaya bahwa Romero hanya untuk pelindungmu, bukan? Dia terus
mengawasimu, sehingga tak ada seorangpun yang bisa mendekatimu
sedikitpun”.
Aku
tau itu. “Ayo belanja”.
“yang
benar saja? Kau itu cuma istri pajangan”.
“Diam”,
kataku dengan bercanda, ingin menghidupkan suasana hatinya. “ayo
kita membeli pakaian yang hot untuk malam ini. Kita bisa pergi ke
salah satu klub Luca”.
Gianna
menyeringai. “aku ingin memekai sesuatu yang membuat pria mengeras
ketika melihatku”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar