Senin, 29 Januari 2018

Bound by Honor Chapter 11 Part B

Seperti yang telah dijanjikan, Luca pulang lebih awal. Aku amat sangat gugup. Aku memilih mengenakan gaun kuning cantik dan mengatur meja di teras atap. Keterkejutan melintas di wajah luca saat dia melihatku di luar.
“Kupikir kita bisa makan disini?”.
Dia melingkarkan tangannya di tubuhku dan menarikku lalu memberikan kecupan yang lama. Kupu-kupu berterbangan di perutku. “aku memesan makanan india”.
“aku hanya lapar untuk satu hal”.
Aku menggigil. “Mari makan”. Apa yang akan dilakukan oleh Luca jika aku mengatakan padanya bahwa kesepakatan itu dibatalkan? Aku duduk. Luca menatapku dengan penuh semangat. Akhirnya dia duduk di kursi di seberangku. Ada angin sepoi-sepoi yang membelai kulitku dan menarik rambutku.
“Kau terlihat sangat seksi”.
Aku mulai makan. “Romero membawaku ke Metropolitan hari ini. Disana luar biasa”.
“bagus”. Kata Luca dengan sedikit geli. Bisakah dia melihat betapa gugupnya aku?
“Bagaimana dengan pemilik restoran? Apakah kau meyakinkan mereka Familia akan melindungi mereka dari orang-orang Rusia?”.
“tentu saja”. Dia sudah dibawah perlindungan Familia selama lebih dari satu dekade. Tak ada alasan untuk mengubahnya sekarang”.
“Tentu”, kataku dengan bingung, dan meneguk anggur putih itu.
Luca meletakkan garpunya. “Aria?”.
“Hmm?” aku menyenggol sepotong brokoli di piringku, tanpa menatap Luca.
“Aria”, suaranya mengirimkan gelanyar di punggungku dan aku meliriknya. Dia bersandar di kursinya, lengannya disilangkan di depan dadanya yang kekar. “kau ketakutan”.
“Tidak”, dia memicingkan matanya. “mungkin sedikit, tapi selebihnya aku gugup”.
Dia bangun dari kursi dan memutari meja. “kemarilah” dia mengulurkan tangannya. Setelah beberapa momen keraguan, aku meraih tangannya dan membiarkannya menarikku berdiri. “ayo kita ke Jacuzzi, oke? Itu akan membuatmu santai”.
Aku ragu berada di bak air panas dengan dia ha nya dengan pakaian renang akan membuat kegugupanku berkurang. Aku tak tau apa yang di harapkan dan itu membuatku takut.
“kenapa kau tidak mengambil bikini mu dan aku akan menyiapkan Jacuzzi?”.
Aku mengangguk dan kembali ke dalam. Aku mengambil bikini favoritku yang berwarna putih dengan titik -titik berwarna pink. Aku mengikat rambutku menjadi kuncit kuda, lalu mengamati diriku di kaca kamar mandi. Aku tak mengerti kenapa i ni membuatku gugup. Pagi tadi Luca menyentuhku hingga membuat kulitku membara. Dia telah berjanji untuk tidak melakukan apapun yang tak aku inginkan.
Aku menarik napas dalam-dalam dan berjalan ke kamar tidur. Luca sudah menungguku dengan mengenakan celana pendek hitam ; celananya tak menyembunyikan apapun dari tubuh kekarnya. Matanya melayang ke tubuhku, lalu dia menyelipkan tangan ke pinggulku. “kau sempurna”, katanya dengan suara pelan. Dengan dorongan lembut, dia menuntunku keluar dari kamar tidur, menuruni tangga, dan menuju teras atap. Aku menggigil dalam bikini. Angin musim sepoi-sepoi telah berhembus dan tentunya terlalu dingin untuk berdiri diluar hanya dengan bikini. Luca mengangkatku ke pelukannya. Aku tersentak kaget, tanganku menempel di tato yang ada di jantungnya. Jantungku sendiri berdetak kencang di dadaku. Aku membenamkan wajahku di lekuk leher Luca, mencoba untuk rileks. Pelukan Luca pada diriku mengencang saat dia melangkah ke Jacuzzi dan perlahan menurunkan ke air panas yang berbusa. Aku duduk di pangkuannya, wajahku masih tersembunyi di kulitnya. Luca menggosok-gosokan tangannya ke atas ke bawah tulang belakangku. “Tak ada alasan bagumu untuk takut”.
“kata-kata seorang pria yang meremukan tenggorokan dengan tangan kosong”, niatku mengatakan itu hanya untuk bermain-main tapi kata-kata yang keluar dariku terdengar bergetar.
“itu tak ada hubungannya dengan kita, Aria. Itu adalah bisnis”.
“aku tau. Tak seharusnya aku mengemukakannya”.
“apa sebenarnya masalahnya?”.
“aku gugup karena aku merasa rentan , rasanya seperti aku berada dalam belas kasihanmu karena kesepakatan itu”.
“Aria , lupakan masalah kesepakatan itu. Kenapa kau tidak mencoba rileks dan menikmati ini?” dia mengangkat daguku hingga bibir kami hampir bersentuhan dan mata kami saling mengunci.
“Berjanjilah kau tak akan memaksaku melakukan sesuatu yang tak ingin aku lakukan”. Aku merendahkan pandanganku ke arah dadanya. “berjanjilah padaku kau tak akan melukaiku”.
“Kenapa aku mesti melukaimu?” Luca bertanya. “Aku sudah berkata padamu bahwa aku tak akan tidur dengan mu kecuali kau menginginkanku juga”.
“jadi kau tak akan menyakitiku ketika kita tidur bersama?”.
Bibir Luca terangkat dengan senyum lemah. “ Tidak, tidak dengan sengaja, tapi kurasa tak ada jalan lain”. Dia memcium titik dibawah telingaku. “tapi malam ini aku akan membuatmu menggeliat dengan senang hati. Percayalah padaku”.
Aku ingin, tapi kepercayaan adalah hal yang berbahaya di dunia kami. Sebagian dari diriku ingin bertahan dengan kebencian padanya seperti saat aku memergoki dia dengan Grace. Tapi bagian lain dari diriku yang lebih besar ingin berpura-pura kami tidak terpaksa bersatu dalam ikatan ini, ingin berpura-pura bahwa kami saling mencintai.
Lidah Luca menjelajah di tenggorokanku. Dia berhenti di denyut nadiku dan menghisap kulitku ke mulutnya. Aku merinding karena sensasi ini. Tubuhnya panas dan keras dibawahku dan aku suka duduk di atas pangkuannya; kurasa itu amat sangat nyaman. Tak ada banyak kelembutan di tubuh Luca, hanya otot yang kuat. Dia bergeser, menekan ereksinya ke pantatku saat bibirnya menyentuh bibirku. Ciuman itu mengirimkan kilat kecil dalam tubuhku tapi aku membutuhkan ini lebih dari sekedar fisik. Aku ingin tau lebih banyak tentang pria dimana aku menghabiskan seumur hidup dengannya.
Aku meanrik diri, dan Luca menggeram sebagai balasan. Jari- jarinya di pinggangku mengencang, mata abu-abunya penuh pertanyaan saat dia menatap wajahku. Aku mengecup pipinya dan mengalungkan lenganku ke lehernya. “Bisakah kita mengobrol sebentar?”.
Jelas dari ekspresi Luca bahwa berbicara adalah hal terakhir yang ada di pikirannya, tapi dia bersandar di dinding Jacuzzi. “apa yang ingin kau bicarakan?”.
Salah satu tangannya meluncur kebawah dan mulai membelai pantatku. Aku tak bisa membiarkan itu mengalihkanku dari tujuan utamaku, bahkan jika hal itu sangat mengganggu. Tatapan lapar di mata Luca pun sama sekali tak membantu.
“Apa yang telah terjadi dengan ibumu?” aku tau ibunya meninggal saat Luca masih anak-anak tapi Umberto tak mengatakan banyak, entah dia tidak tau atau karena dia pikir sebaiknya aku tidak tau.
Tubuh Luca berubah kaku, matanya tajam. “Dia meninggal”. Dia memalingkan wajahnya, rahangnya meregang. “itu adalah hal yang tak ingin aku bicarakan malam ini”.
Kemarahannya mencuat. Aku ingin mendekatinya, ingin mengenal sisi dirinya, tapi jelas dia tidak mengizinkanku. Aku mengangguk.
Luca melepaskan tangannya dari pantatku dan perlahan naik ke pinggangku, lalu turun hingga tangannya mencapai paha bagian dalamku. Dia menyelipkan tangannya ke bagian bawah bikiniku, jemarinya mengelus bibir vaginaku. Aku seharusnya mendorongnya, tapi aku malahan membuka kakiku sedikit lebih lebar. Luca mengusap leherku, lalu mundur. Dia mengaitkan jemari tangan satunya ke bawah atasan bikiniku dan menariknya ke bawah. Payudaraku terpampang bebas, bulu romaku berdiri menutupi kulitku dan puting tegak karena bersentuhan dengan angin sepoi-sepoi.
Luca mengeluarkan suara rendah di tenggorokannya saat dia menatap dadaku. Lalu dia membungkuk rendah dan menghisap putingku ke dalam mulutnya dan pada saat yang sama ibu jarinya mengusap klitorisku. Aku menjerit karena sensasinya. Dia menggeram diatas kulitku dan dia melepaskan putingku dengan suara pop yang keras. Tatapannya tersentak ke arahku saat lidahnya menjilati payudaraku. Aku mencoba berpaling, tapi dia menggeram. “Jangan. Lihat aku”.
Dan aku melakukannya. Aku melihat putingku menghilang ke dalam mulutnya sekali lagi,melihatnya saat dia menggoda nya dengan lidahnya., dan mata abu-abunya yang lapar menatapku. Dia sedikit menggigit dengan lembut dan pinggulku terangkat ke arah tangannya yang masih menggoda bibir vaginaku. Pelepasan menggetarkan tubuhku. Luca menarik mundur secepat kilat, mencengkram pinggulku dan mengangkatku ke ujung jacuzzi.
“Luca, apa--” Luca merobek celana bikini ku, merobek dengan cukup lebar hingga setengahnya. Aku tersentak dan berusaha menutup kakiku, tapi Luca memosisikan diri diantara kedua kakiku, mendorong kakiku sejauh mungkin dan menurunkan kepalanya.
Aku tersentak lagi, ngeri dan tertegun dan......oh Tuhan. Luca menjulurkan lidahnya ke bukaanku dan ke klitorisku.
“Fuck, yes”, dia menggeram.
Mataku membeliak. Bagaimana jika ada orang yang melihat? Hanya bagian Jacuzzi yang di tutupi oleh penutup, tapi Luca menghisap bibir bagian luarku kedalam mulutnya dan aku tak peduli lagi.
“Lihat aku”.perintahnya dari lipatan vaginaku, merasakan napasnya di dagingku yang panas membuatku bergidik. Aku mengintip ke bawah, kulitku memerah karena malu dan geli saat melihat tatapannya. Matanya terkunci di mataku, dia dengan perlahan menyelipkan lidahnya diantara bibir vaginaku. Aku mengerang.
“kau adalah milikku”, dia berkata dengan serak. Dia menjilatku lagi dengan lebih kuat tapi sedikit melambat. “katakan”.
“aku milikmu”, aku berkata dengan napas tersengal. Ibu jarinya memisahkan ku lebih jauh, menampakan bagian intiku yang kecil dan berwarna pink. Dia menghembuskan napas rendah, seringai melengkungkan bibirnya. Aku ingin dia menyentuhku disana, tak menginginkan apa-apa lagi. Dia mencondongkan tubuh kedepan,menatap ke arahku, dan membuat jilatan melingkar di sekitar perutku. Aku merintih, tanganku menjulur kedepan dan menjambaki rambut Luca. Aku datang dengan keras, gemetar, menangis dan menggeliat di bibir Luca.
Dia tidak berhenti. Dia tanpa henti. Aku melemparkan kepalaku di belakang, menatap langit malam. Luca tak menyuruhku menatapnya kali ini. Tapi aku bisa mendengar suara atas apa yang dia lakukan. Bagaimana dia menghisap dan menjilat, bagaimana dia bersenandung dengan penerimaan, bagaimana dia meniup dagingku yang memanas, lalu menjilatnya lagi. Seluruh tubuhku terbakar, gemetar. Aku tak tahan lagi, tapi Luca mendorong lidahnya ke arahku dan aku klimaks, ototku mengepul disekitar lidahnya. Aku memejamkan rapat-rapat mataku, punggungku melengkung dari marmer yang dingin. Aku sangat basah. Bagaimana bisa seseorang bisa sebasah ini? Suara Luca yang menjilatiku tampak salah tapi membangkitkanku tak seperti yang pernah aku rasakan.
Luca menarik lidahnya dan semburan orgasme terakhirku merobekku. Sebelum aku tau apa yang telah terjadi, aku merasakan jarinya di jalan masukku dan dia memasukann hampir seluruhnya masuk. Gangguan itu asing dan tak terduga. Aku tersentak dan tersentak dari rasa sakit. Tubuhku menjadi kaku saat aku mencoba menarik napas. Aku bahkan tak pernah menggunakan tampan karena mereka terlalu tidak nyaman dan karena ibuku khwatir itu akan merusak selaput daraku secara tidak sengaja.
“Fuck, kau sangat ketat , Aria”.
Aku meratakan telapak tanganku di bibir jacuzzi, mencoba untuk rileks. Air beriak ketika saat Luca keluar dari air untuk bersandar di atasku, jarinya masih di dalam diriku. Aku menggigit bibirku tapi tidak menatapnya.
“Hei,” katanya dengan suara kasar. Aku bertemu dengan tatapannya. “seharusnya aku masuk dengan lebih lambat, tapi kau sangat basah”.
Aku mengangguk tapi tidak mengatakan apapun. Aku tidak bisa menghindar dari rasa jarinya yang ada dalam diriku. Jarinya tidak bergerak, tapi jarinya ada di dalam sana, memenuhiku. Luca mencium bibirku. Matanya lebih gelap daripada yang pernah aku lihat dan dipenuhi dengan begitu banyak keinginan dan kelaparan dan itu membuatku takut dan juga bergairah dalam waktu yang sama.
“apakah masih sakit?” berkata dengan suara serak.
Aku menggeser pinggulku sedikit, mencoba menemukan kata-kata untuk sensasi ini. “Tidak nyaman dan sedikit menyengat”, aku memerah.
Luca menjilat bibirku, lalu menghisap bibir bawahku ke mulutnya. “aku tau aku bajingan karena mengatakan ini, tapi pikiran akan burungku di dalam vagina ketatmu membuat ku mengeras”.
Mataku melebar tapi dia menggelengkan kepalanya. “jangan terlihat begitu ketakutan. Aku telah berkata padamu bahwa aku tak akan mencobanya malam ini”.
“kau juga mengatakan bahwa kau tak akan menyakitiku”. Itu lebih untuk memancingnya bukan karena aku benar-benar marah. Aku perlahan-lahan terbiasa dengan jarinya yang berada di dalam diriku, dan apa yang telah dilakukan sebelumnya adalah surga. Aku ingin lidah dan bibirnya kembali ke tubuhku.
Sesuatu dalam ekspresi Luca bergeser, tapi aku tidak bisa membaca ekspresinya. “Kurasa tidak, Aria”, katanya lembut. “Kau sangat basah dan pasrah. Kupikir jariku bisa masuk tanpa hambatan. Aku ingin menggunakan jariku untuk orgasme keempatmu”.
Aku merinding dan lecutan kecil kenikmatan terbangun di pusatku lagi. Aku hampir ingin Luca menggerakan jarinya sekatrang. “apakah ini sakit karena kau mengambil milikku kau tau...” rasa panas menjalar ke pipiku dan sesuatu melintas di mata Luca. “Keperawananmu? Tidak, Tuan Putri. Aku masuk tidak terlalu dalam dan aku ingin mengklaim milikmu dengan penisku, bukan dengan jariku”.
Tuan putri? Kehangatan menetap didadaku. Perlahan dia menarik jarinya keluar, otot-ototku mengepul di sekelilingnya dan mengirimkan tusukan aneh ke intiku. Dia menelusurkan jari yang sama ke bibirku dan memasukannya ke dalam mulutku. Aku mengitarinya dengan lidahku tanpa ku tau kenapa.
Luca menggeram. Dia menarik lepas tangannya dan memasukan lidahnya diantara bibirku. Aku menekan tubuhku ke dada Luca, lidahku bertarung dengan lidahnya. “ayo kedalam. Aku ingin menjilatmu lagi”.
Aku menghembuskan napas.
“akankah kau mengijinkanku memasukan jariku padamu lagi? Kali ini aku akan pelan-pelan”.
“Ya”, kataku. Dia bangun dari Jacuzzi dan menarikku berdiri. Kemudian dia mengangkatku ke dalam pelukannya, kakiku mengait ke pinggangnya saat dia membawaku masuk ke dalam.
Dia menurunkanku di depan ranjang kami dan menghilang ke kamar mandi dan kembali dengan membawa handuk. Dia membantuku melepaskan atasan bikiniku, melingkarkan handuk ke tubuhku, dan mulai mengeringkanku dengan lembut. Aku memejamkan mataku, menikmati rasa itu semua. Aku tak percaya aku membiarkan Luca melakukan apa yang telah dia lakukan. Aku tak bisa percaya bahwa aku menginginkan dia melakakukan itu lagi. Segalanya sangat memabukkan. Aku tau ini terlalu cepat, tapi seperti yang Luca bilang apa yang harus di tunggu? Dia adalah suamiku.
“Apa kau kedinginan?”.
Mataku perlahan membuka. Luca menjatuhkan handuk, meninggalkanku telanjang. Tangannya menyelip ke bawah lenganku. Seluruh tubuhku merinding. “sedikit”.
Luca membuatku berbaring di tempat tidur sebelum dia berdiri dan melepas celana pendeknya. Ereksi terbebas, keras dan panjang , dan tiba-tiba rasa penasaran mencengkramku. Dia memasukan jarinya , mungkin kali ini dia akan melakukan langkah selanjutnya. Untuk sesaat aku ragu akan beberapa hal, tapi aku tau satu hal : aku belum siap untuk itu semua.
Aku baru kenal dengan pria di depanku, tidur dengannya, dan membiarkan dia melakukan itu terasa terlalu banyak, terlalu intim. Mungkin malam ini dia sedang memanipulasiku. Tak ada seorang pun di mafia bisa sampai sejauh ini tanpa menjadi master manipulasi. Aku merapatkan kakiku dan tergesa-gesa menarik diri. Luca berhenti, satu lututnya sudah ada di ranjang.
“Aria?” jari-jarinya meringkuk di atas betisku dan aku tersentak mundur dan menarik kakiku ke dadaku. “kenapa lagi sekarang?”
dia duduk di sampingku, penisnya hampir menyisir kakiku. “katakan sesuatu”.
“ini terlalu cepat,” kataku pelan.
“karena aku telanjang? Kamu pernah melihat penisku sebelumnya bahkan pernah mengocokku”.
Wajahku memanas. “kurasa kau mencoba memanipulasiku. Jika aku memberimu kesempatan, kau akan bertindak lebih jauh hari ini”.
“kau bertaruh aku akan melakukannya, tapi aku tak dapat melihat dimana bentuk manipulasinya”, katanya dengan nada marah dalam suaranya. “aku menginginkanmu. Aku tak pernah berbohong kepadamu tentang itu. Aku akan mengambil apapun yang kau berikan, dan saat di Jacuzzi kau bersedia”.
“Tidak tentang jari”. Bentakku, tiba-tiba juga marah. “mungkin kau juga akan mencoba hal yang sama dengan seks”. Aku tau aku terdengar menggelikan.
Luca sebenarnya tertawa. Dia membungkuk sangat dekat. “itu tak akan berhasil. Penisku tak akan masuk dengan mudah, percayalah, dan itu akan lebih menyakitkan”.
Aku tersentak, mengingat apa yang Grace katakan pada pernikahan kami. Dia akan menyetubuhimu hingga berdarah-darah. Luca menghembuskan napas dengan keras. “seharusnya aku tak mengatakan itu. Aku tak bermaksud membuatmu takut”.
Aku mengawasinya dari atas kakiku. Dia mengusapkan buku-buku jarinya di sisi tubuhku dengan ringan. Bibirnya yang keras mengendur. “katakan padaku bahwa kau menikmati apa yang aku lakukan pada mu di atap,” gumam Luca, ada sedikit kebutuhan dalam suaranya, bahkan mungkin kerentanan.
“Ya”, kataku terengah-engah. Dia membungkuk mendekat, bibirnya di telingaku. “apa yang paling kau nikmati? Lidahku yang menyetubuhimu atau ketika lidahku menjilati sepanjang vaginamu? Atau saat aku menghisap klitorismu?”.
Ya tuhan aku mulai basah lagi. Suara Luca yang dalam bergetar menembus tubuhku. “aku tak tau”.
“Mungkin aku perlu menunjukannya lagi?” Luca mendorong pergelangan kakiku, yang menempel di tubuhku sampai ada cukup ruang agar tangannya bisa masuk di anatar kakiku dan paha atas ku. Dia menangkup vaginaku dengan telapak tangannya. Aku ingin berbaring untuk membuat dia lebih mudah, tapi dia meggelengkan kepalanya. “Jangan”, katanya dengan suara serak. Jarinya mulai bergerak di lipatanku, empat jarinya yang lain menggoda, memutar-mutar, dan menggosok.
Aku meletakan daguku di lututku, bernapas dengan berat. Luca mencium telingaku dan mengalungkan lengannya di bahuku, menarikku ke sisinya. Ini terasa asing, duduk dengan kaki menempel didadaku saat dia menyentuhku, tapi rasanya sangat luar biasa. Ereksi Luca digosok-gosokkan di paha bagian luarku, napasnya terengah -engah di telingaku.
“Tenang,” katanya dengan suara rendah. Ada tekanan pelan di lobangku. Aku mengintip dari antara kakiku. Luca menggodaku dengan jarinya yang kecil. Dia mencelupkan ujungnya, lalu memutar di lubangku lagi sebelum masuk lagi, meluncur sedikit lebih dalam setiap kali dia melakukannya.
“Tatap aku”.
Aku melakukannya, terperangkap dalam intensitas mata kelabunya. “kau sangat basah, lembut, dan kencang. Kau tak bisa membayangkan betapa nikmatnya ini”, penisnya meluncur di sepanjang paha luarku lagi. Bibirnya menempel di bibirku, lidahnya menuntut masuk. Jarinya meluncur masuk, kali ini seluruh jarinya. Itu cuma jari kelingkingnya tapi aku sangat nikmat. Dia mulai menggerakan di dalam tubuhku dan aku tersentak ke mulutnya, menyentakkan pinggulku, membutuhkan lebih banyak. Dia memompa keluar masuk secara perlahan, ibu jarinya mengusap klitorisku. Aku bisa merasakan kenikmatan terbangun lagi dan aku menggerakkan pinggulku selaras dengan jarinya. Dia menarik tangannya, menimbulkan suara protes dariku.
Luca tertawa, suara terbahak di dadanya. Dia berlutut di depanku dan membuka kakiku, lalu menatapku. Dia menelusurkan jari telinjuknya di lipatanku, lalu mengusap bukaanku dengan jari telunjuknya. Tak pernah berpaling dari wajahku, dia mendorong bagian ujung telunjuknya masuk, ototku mengencang, dan aku menghembuskan napas rendah. Ini tidak terasa sakit dan aku merasa rilex. Perlahan dia mulai bergerak keluar masuk, bergerak lebih dalam setiap kali seperti yang dia lakukan dengan jari kelingkingnya tadi. Mulutnya menghisap klitorisku.
Aku merintih, kaki membuka lebih lebar. Kenikmatanku semakin cepat meluncur saat Luca merangsangku dengan bibir dan jarinya. Dengan teriakan, aku terjatuh, kaki ku gemetar , pinggul bergoyang. Jariku mencengkram selimut saat aku hancur berkeping-keping. Luca melepaskan jarinya, mencium pusarku, lalu berbaring disampingku, ereksinya merah dan berkilau. Aku mengulurkan tangan, mengoleskan tetesan cairan yang menetes dari ujung penisnya.
Luca menggeram, perutnya melengkung. “aku ingin mulutmu di penisku,” katanya dengan suara pelan. Aku membeku, tanganku tertahan. Rasanya adil setelah apa yang telah apa yang barusaja dia lakukan, tapi aku benar-benar tak tau bagaimana caranya mengulumnya. Blowjob adalah nama yang cukup membingungkan, karena aku tau tak seharusnya meniup ereksinya, tapi sayangnya aku tidak tau akan apa yang harus dilakukan secara rinci. Dan bagaimana kalau aku tidak menyukainya?
Aku mengingat kata-katanya tentang Grace, bahwa Grace tau bagaimana caranya mengulum penis. Bukan berarti aku ingin seperti Grace. Aku tak ada minat menjadi pelacur luca, tapi aku juga tidak mau benar- benar gagal. Aku terlalu berpikir berlebihan untuk ini.
“ini karena kau tidak mau, atau karena kau tidak tau caranya?” Luca bertanya dengan lembut, tapi aku tau dia sedikit kesulitan membuat suaranya terdengar seperti itu. Dia memberiku beberapa oragsme. Dia mungkin saja meledak. “kau bisa mengocokku seperti terakhir kali”, katanya saat aku diam. Tangannya menyisir rambut pirang di wajahku, mata kelabunya bertanya.
“Tidak, maksudku, kurasa aku ingin melakukannya?”
“Kau rasa?” suara kesenangan menghiasi suara Luca. “Tapi?”.
“Bagaimana kalau aku tidak menyukainya?”
Luca mengaangkat bahu tapi jelas dari ekspresinya bahwa dia tidak menyukai gagasan itu. “kalau begitu jangan. Aku tak akan memaksamu”.
Aku mengangguk dan mendekatkan wajah ke ereksinya, yang sama sekali tidak melunak saat percakapan kami berlangsung. Luca menegang dalam antisipasi, ujung jarinya menempel di kulit kepalaku ya ng berkedut. Malu, aku mengakui. “Aku tak tau harus berbuat apa”.
Ereksi nya mencuat sebagai respons. Aku tidak tahan untuk tidak tertawa, dan Luca menyeringai dengan seringai predatornya. “Kau suka menguji kesabaranku dengan keluguanmu , bukan?”
aku meniup ujung penisnya, membuat dia menggeram. “ kurasa ini bukan caranya kenapa ini disebut Blowjob, bukan?”.
Dia tertawa denga tawa yang benar-benar tawa, dan suaranya membuat perutku serasa di penuhi kupu-kupu. “kau bisa menjadi kematianku, tuan putri”.
“Jangan ketawa,” aku berkata dengan senyuman. “aku tak ingin melakukan sesuatu yang salah”.
“apa kau ingin agar aku memberitahumu apa yang harus kau lakukan?” rasa senang melintas di matanya.
Aku mengangguk.
“Okay”. Dia berkata dengan serak. Katupkan bibirmu di seputar ujungnya dan berhati-hatilah dengan gigimu. Aku tak masalah sedikit kasar, tapi jangan mengunnyahnya”.
Aku mendengus, lalu rasa gugup membuatku terdiam. Jari-jari Luca menyelinap di rambutku sampai mereka berhenti di belakang kepalaku. Dia tidak mendorongku, tapi dari cara jari-jarinya menegang, aku bisa mengatakan bahwa dia menginginkan itu. Aku meraih bagian ujungnya ke dalam mulutku. Dia tebal dan aku harus berhati-hati untuk tidak menggoresnya dengan gigiku. Ujungnya sedikit terasa asin, tapi bukan dengan cara yang buruk.
“Sekarang gerakan lidahmu disekitarnya. Ya , begitu”, dia menatapku, rahanya mengepal. “ambil sedikit lebih banyak, dan masukan kemulutmu, gerakkan kepalamu ke atas dan ke bawah. Sekarang sedot ketika kau bergerak. Yes, Fuck”. Pinggulnya melawan gerakanku ketika aku masih bisa meraihnya, menggerakan ereksinya lebih dalam . Aku tersedak dan mundur, terbatuk.
Dia membelai rambutku. “Sialan, Maaf”. Dia mengusap ibu jarinya di bibirku. “aku akan mencoba tetap diam”.
Alaih-alih membawanya kembali ke dalam mulutku, aku menjilatnya , dari pangkal ke ujungnya. Dia mengerang. “apakah tak apa?” aku berbisik sebelum melakukan itu lagi.
“Fuck, Yes”.
Aku menghabiskan waktuku menjilati tiap inci darinya , terutama bagian ujungnya. Aku suka rasanya di lidahku.
“ini terasa amat sangat nikmat, tapi aku amat sangat ingin datang”. Aku mendongak , tak yakin. Aku bisa orgasme saat dia membelai dan menjilatku dengan lembut. Apakah dia membutuhkan yang lebih kasar? Apakah dia membutuhkan lebih kasar juga saat berhubungan seks? Kata-kata Grace berlompatan di kepalaku lagi, tapi aku menyingkirkannya. Aku tak ingin pelacur itu menghancurkan ini untukku. “apa yang kau butuh untuk aku lakukan?” bisikku.
“Kulum aku dengan lebih keras lagi dan terus manatapku dengan mata indahmu”.
Aku menatap lurus ke arahnya dan aku memasukakanya ke mulutku hingga dia menyentuh bagian belakang tenggorokanku, kemudian menggerakan kepalaku ke atas ke bawah dengan cepat dan keras, bibirku berkerut di sekelilingnya. Luca mengerang, pinggulnya bergoyang ringan. Matanya membara menatapku, giginya ternganga. “jika kau tak ingin menelan, kau harus menyingkir...”.
Aku menarik diri, melepaskan dia dengan suara pop dan sesaat kemudian dia menyemburkan benihnya di perut dan kakinya. Luca memejamkan matanya saat ereksinya berkedut. Tangannya masih di rambutku, dengan lembut meremas leher dan kulit kepalaku. Perlahan dia melemas, tapi aku menggenggap tangannya dan menempelkan pipiku disana, membutuhkan kedekatannya setelah apa yag kami lakukan. Matanya mulai terbuka dengan tatapan yang tak bisa di baca. Ibu jarinya mengelus tulang pipiku dengan lembut. Kami tetap seperti itu untuk beberapakali detak jantung, kemudian Luca duduk, membersihkan kekacauan yang ada di paha atasnya dan di perutnya. “aku sungguh butuh mandi”, Luca meraih tisu dan membersihkan spermanya sebelum mengayunkan kakinya turun dan berdiri.
Aku mengangguk dan anaehnya kecewa karena dia turun dari tempat tidur dengan begitu cepat. Tiba-tiba aku merasa tidak sadar akan apa yang telah aku lakukan.
Luca mengulurkan tangannya. “Ayolah. Aku tidak mau mandi sendiri”.
Aku bergegas turun dari tempat tidur, meletakkan tanganku di tangannya dan mengikutinya ke kamar mandi.
Saat air panas menetes, Luca mulai mengolesi tubuhku dengan sabun dan aku memejamkan mata, menikmati nuansa tangannya di tubuhku. Dia menekan punggungku, satu lengan melingkar di perutku. “jadi tak apa-apa untukmu?” tanyanya pelan.
Dia mungkin khawatir aku tak mau mengulumnya lagi. “Yeah”.
Dia mencium tenggorokanku. Dia melakukannya berulang kali. Itu terasa lembut , penuh kasih sayang dan intim, tapi aku tau itu tidak dimaksudkan seperti itu. “aku senang karena aku sungguh sangat menikmari berada dalam mulutmu”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

STUCK UP SUIT Chapter 8

GRAHAM AKU TIDAK MENDENGAR KABAR NYA SEPANJANG HARI di hari sabtu, dan tidak seperti yang aku harapkan juga. Soraya Venedetta san...