Seperti yang telah
dijanjikan, Luca pulang lebih awal. Aku amat sangat gugup. Aku
memilih mengenakan gaun kuning cantik dan mengatur meja di teras
atap. Keterkejutan melintas di wajah luca saat dia melihatku di
luar.
“Kupikir kita
bisa makan disini?”.
Dia melingkarkan
tangannya di tubuhku dan menarikku lalu memberikan kecupan yang lama.
Kupu-kupu berterbangan di perutku. “aku memesan makanan india”.
“aku hanya lapar
untuk satu hal”.
Aku menggigil.
“Mari makan”. Apa yang akan dilakukan oleh Luca jika aku
mengatakan padanya bahwa kesepakatan itu dibatalkan? Aku duduk.
Luca menatapku dengan penuh semangat. Akhirnya dia duduk di kursi di
seberangku. Ada angin sepoi-sepoi yang membelai kulitku dan menarik
rambutku.
“Kau terlihat
sangat seksi”.
Aku mulai makan.
“Romero membawaku ke Metropolitan hari ini. Disana luar biasa”.
“bagus”. Kata
Luca dengan sedikit geli. Bisakah dia melihat betapa gugupnya aku?
“Bagaimana dengan
pemilik restoran? Apakah kau meyakinkan mereka Familia akan
melindungi mereka dari orang-orang Rusia?”.
“tentu saja”.
Dia sudah dibawah perlindungan Familia selama lebih dari satu dekade.
Tak ada alasan untuk mengubahnya sekarang”.
“Tentu”, kataku
dengan bingung, dan meneguk anggur putih itu.
Luca meletakkan
garpunya. “Aria?”.
“Hmm?” aku
menyenggol sepotong brokoli di piringku, tanpa menatap Luca.
“Aria”,
suaranya mengirimkan gelanyar di punggungku dan aku meliriknya. Dia
bersandar di kursinya, lengannya disilangkan di depan dadanya yang
kekar. “kau ketakutan”.
“Tidak”, dia
memicingkan matanya. “mungkin sedikit, tapi selebihnya aku gugup”.
Dia bangun dari
kursi dan memutari meja. “kemarilah” dia mengulurkan tangannya.
Setelah beberapa momen keraguan, aku meraih tangannya dan
membiarkannya menarikku berdiri. “ayo kita ke Jacuzzi, oke? Itu
akan membuatmu santai”.
Aku ragu berada di
bak air panas dengan dia ha nya dengan pakaian renang akan membuat
kegugupanku berkurang. Aku tak tau apa yang di harapkan dan itu
membuatku takut.
“kenapa kau tidak
mengambil bikini mu dan aku akan menyiapkan Jacuzzi?”.
Aku mengangguk dan
kembali ke dalam. Aku mengambil bikini favoritku yang berwarna
putih dengan titik -titik berwarna pink. Aku mengikat rambutku
menjadi kuncit kuda, lalu mengamati diriku di kaca kamar mandi. Aku
tak mengerti kenapa i ni membuatku gugup. Pagi tadi Luca menyentuhku
hingga membuat kulitku membara. Dia telah berjanji untuk tidak
melakukan apapun yang tak aku inginkan.
Aku menarik napas
dalam-dalam dan berjalan ke kamar tidur. Luca sudah menungguku
dengan mengenakan celana pendek hitam ; celananya tak menyembunyikan
apapun dari tubuh kekarnya. Matanya melayang ke tubuhku, lalu dia
menyelipkan tangan ke pinggulku. “kau sempurna”, katanya dengan
suara pelan. Dengan dorongan lembut, dia menuntunku keluar dari
kamar tidur, menuruni tangga, dan menuju teras atap. Aku menggigil
dalam bikini. Angin musim sepoi-sepoi telah berhembus dan tentunya
terlalu dingin untuk berdiri diluar hanya dengan bikini. Luca
mengangkatku ke pelukannya. Aku tersentak kaget, tanganku menempel
di tato yang ada di jantungnya. Jantungku sendiri berdetak kencang
di dadaku. Aku membenamkan wajahku di lekuk leher Luca, mencoba
untuk rileks. Pelukan Luca pada diriku mengencang saat dia melangkah
ke Jacuzzi dan perlahan menurunkan ke air panas yang berbusa. Aku
duduk di pangkuannya, wajahku masih tersembunyi di kulitnya. Luca
menggosok-gosokan tangannya ke atas ke bawah tulang belakangku. “Tak
ada alasan bagumu untuk takut”.
“kata-kata
seorang pria yang meremukan tenggorokan dengan tangan kosong”,
niatku mengatakan itu hanya untuk bermain-main tapi kata-kata yang
keluar dariku terdengar bergetar.
“itu tak ada
hubungannya dengan kita, Aria. Itu adalah bisnis”.
“aku tau. Tak
seharusnya aku mengemukakannya”.
“apa sebenarnya
masalahnya?”.
“aku gugup karena
aku merasa rentan , rasanya seperti aku berada dalam belas
kasihanmu karena kesepakatan itu”.
“Aria , lupakan
masalah kesepakatan itu. Kenapa kau tidak mencoba rileks dan
menikmati ini?” dia mengangkat daguku hingga bibir kami hampir
bersentuhan dan mata kami saling mengunci.
“Berjanjilah kau
tak akan memaksaku melakukan sesuatu yang tak ingin aku lakukan”.
Aku merendahkan pandanganku ke arah dadanya. “berjanjilah padaku
kau tak akan melukaiku”.
“Kenapa aku mesti
melukaimu?” Luca bertanya. “Aku sudah berkata padamu bahwa aku
tak akan tidur dengan mu kecuali kau menginginkanku juga”.
“jadi kau tak
akan menyakitiku ketika kita tidur bersama?”.
Bibir Luca
terangkat dengan senyum lemah. “ Tidak, tidak dengan sengaja,
tapi kurasa tak ada jalan lain”. Dia memcium titik dibawah
telingaku. “tapi malam ini aku akan membuatmu menggeliat dengan
senang hati. Percayalah padaku”.
Aku ingin, tapi
kepercayaan adalah hal yang berbahaya di dunia kami. Sebagian dari
diriku ingin bertahan dengan kebencian padanya seperti saat aku
memergoki dia dengan Grace. Tapi bagian lain dari diriku yang lebih
besar ingin berpura-pura kami tidak terpaksa bersatu dalam ikatan
ini, ingin berpura-pura bahwa kami saling mencintai.
Lidah Luca
menjelajah di tenggorokanku. Dia berhenti di denyut nadiku dan
menghisap kulitku ke mulutnya. Aku merinding karena sensasi ini.
Tubuhnya panas dan keras dibawahku dan aku suka duduk di atas
pangkuannya; kurasa itu amat sangat nyaman. Tak ada banyak
kelembutan di tubuh Luca, hanya otot yang kuat. Dia bergeser,
menekan ereksinya ke pantatku saat bibirnya menyentuh bibirku.
Ciuman itu mengirimkan kilat kecil dalam tubuhku tapi aku membutuhkan
ini lebih dari sekedar fisik. Aku ingin tau lebih banyak tentang
pria dimana aku menghabiskan seumur hidup dengannya.
Aku meanrik diri,
dan Luca menggeram sebagai balasan. Jari- jarinya di pinggangku
mengencang, mata abu-abunya penuh pertanyaan saat dia menatap
wajahku. Aku mengecup pipinya dan mengalungkan lenganku ke lehernya.
“Bisakah kita mengobrol sebentar?”.
Jelas dari ekspresi
Luca bahwa berbicara adalah hal terakhir yang ada di pikirannya, tapi
dia bersandar di dinding Jacuzzi. “apa yang ingin kau bicarakan?”.
Salah satu
tangannya meluncur kebawah dan mulai membelai pantatku. Aku tak bisa
membiarkan itu mengalihkanku dari tujuan utamaku, bahkan jika hal itu
sangat mengganggu. Tatapan lapar di mata Luca pun sama sekali tak
membantu.
“Apa yang telah
terjadi dengan ibumu?” aku tau ibunya meninggal saat Luca masih
anak-anak tapi Umberto tak mengatakan banyak, entah dia tidak tau
atau karena dia pikir sebaiknya aku tidak tau.
Tubuh Luca berubah
kaku, matanya tajam. “Dia meninggal”. Dia memalingkan wajahnya,
rahangnya meregang. “itu adalah hal yang tak ingin aku bicarakan
malam ini”.
Kemarahannya
mencuat. Aku ingin mendekatinya, ingin mengenal sisi dirinya, tapi
jelas dia tidak mengizinkanku. Aku mengangguk.
Luca melepaskan
tangannya dari pantatku dan perlahan naik ke pinggangku, lalu turun
hingga tangannya mencapai paha bagian dalamku. Dia menyelipkan
tangannya ke bagian bawah bikiniku, jemarinya mengelus bibir
vaginaku. Aku seharusnya mendorongnya, tapi aku malahan membuka
kakiku sedikit lebih lebar. Luca mengusap leherku, lalu mundur. Dia
mengaitkan jemari tangan satunya ke bawah atasan bikiniku dan
menariknya ke bawah. Payudaraku terpampang bebas, bulu romaku
berdiri menutupi kulitku dan puting tegak karena bersentuhan dengan
angin sepoi-sepoi.
Luca mengeluarkan
suara rendah di tenggorokannya saat dia menatap dadaku. Lalu dia
membungkuk rendah dan menghisap putingku ke dalam mulutnya dan pada
saat yang sama ibu jarinya mengusap klitorisku. Aku menjerit karena
sensasinya. Dia menggeram diatas kulitku dan dia melepaskan putingku
dengan suara pop yang keras. Tatapannya tersentak ke arahku saat
lidahnya menjilati payudaraku. Aku mencoba berpaling, tapi dia
menggeram. “Jangan. Lihat aku”.
Dan aku
melakukannya. Aku melihat putingku menghilang ke dalam mulutnya
sekali lagi,melihatnya saat dia menggoda nya dengan lidahnya., dan
mata abu-abunya yang lapar menatapku. Dia sedikit menggigit dengan
lembut dan pinggulku terangkat ke arah tangannya yang masih menggoda
bibir vaginaku. Pelepasan menggetarkan tubuhku. Luca menarik mundur
secepat kilat, mencengkram pinggulku dan mengangkatku ke ujung
jacuzzi.
“Luca, apa--”
Luca merobek celana bikini ku, merobek dengan cukup lebar hingga
setengahnya. Aku tersentak dan berusaha menutup kakiku, tapi Luca
memosisikan diri diantara kedua kakiku, mendorong kakiku sejauh
mungkin dan menurunkan kepalanya.
Aku tersentak lagi,
ngeri dan tertegun dan......oh Tuhan. Luca menjulurkan lidahnya ke
bukaanku dan ke klitorisku.
“Fuck, yes”,
dia menggeram.
Mataku membeliak.
Bagaimana jika ada orang yang melihat? Hanya bagian Jacuzzi yang di
tutupi oleh penutup, tapi Luca menghisap bibir bagian luarku kedalam
mulutnya dan aku tak peduli lagi.
“Lihat
aku”.perintahnya dari lipatan vaginaku, merasakan napasnya di
dagingku yang panas membuatku bergidik. Aku mengintip ke bawah,
kulitku memerah karena malu dan geli saat melihat tatapannya.
Matanya terkunci di mataku, dia dengan perlahan menyelipkan lidahnya
diantara bibir vaginaku. Aku mengerang.
“kau adalah
milikku”, dia berkata dengan serak. Dia menjilatku lagi dengan
lebih kuat tapi sedikit melambat. “katakan”.
“aku milikmu”,
aku berkata dengan napas tersengal. Ibu jarinya memisahkan ku lebih
jauh, menampakan bagian intiku yang kecil dan berwarna pink. Dia
menghembuskan napas rendah, seringai melengkungkan bibirnya. Aku
ingin dia menyentuhku disana, tak menginginkan apa-apa lagi. Dia
mencondongkan tubuh kedepan,menatap ke arahku, dan membuat jilatan
melingkar di sekitar perutku. Aku merintih, tanganku menjulur
kedepan dan menjambaki rambut Luca. Aku datang dengan keras,
gemetar, menangis dan menggeliat di bibir Luca.
Dia tidak berhenti.
Dia tanpa henti. Aku melemparkan kepalaku di belakang, menatap
langit malam. Luca tak menyuruhku menatapnya kali ini. Tapi aku
bisa mendengar suara atas apa yang dia lakukan. Bagaimana dia
menghisap dan menjilat, bagaimana dia bersenandung dengan penerimaan,
bagaimana dia meniup dagingku yang memanas, lalu menjilatnya lagi.
Seluruh tubuhku terbakar, gemetar. Aku tak tahan lagi, tapi Luca
mendorong lidahnya ke arahku dan aku klimaks, ototku mengepul
disekitar lidahnya. Aku memejamkan rapat-rapat mataku, punggungku
melengkung dari marmer yang dingin. Aku sangat basah. Bagaimana
bisa seseorang bisa sebasah ini? Suara Luca yang menjilatiku tampak
salah tapi membangkitkanku tak seperti yang pernah aku rasakan.
Luca menarik
lidahnya dan semburan orgasme terakhirku merobekku. Sebelum aku tau
apa yang telah terjadi, aku merasakan jarinya di jalan masukku dan
dia memasukann hampir seluruhnya masuk. Gangguan itu asing dan tak
terduga. Aku tersentak dan tersentak dari rasa sakit. Tubuhku
menjadi kaku saat aku mencoba menarik napas. Aku bahkan tak pernah
menggunakan tampan karena mereka terlalu tidak nyaman dan karena
ibuku khwatir itu akan merusak selaput daraku secara tidak sengaja.
“Fuck, kau sangat
ketat , Aria”.
Aku meratakan
telapak tanganku di bibir jacuzzi, mencoba untuk rileks. Air beriak
ketika saat Luca keluar dari air untuk bersandar di atasku, jarinya
masih di dalam diriku. Aku menggigit bibirku tapi tidak menatapnya.
“Hei,” katanya
dengan suara kasar. Aku bertemu dengan tatapannya. “seharusnya
aku masuk dengan lebih lambat, tapi kau sangat basah”.
Aku mengangguk tapi
tidak mengatakan apapun. Aku tidak bisa menghindar dari rasa jarinya
yang ada dalam diriku. Jarinya tidak bergerak, tapi jarinya ada di
dalam sana, memenuhiku. Luca mencium bibirku. Matanya lebih gelap
daripada yang pernah aku lihat dan dipenuhi dengan begitu banyak
keinginan dan kelaparan dan itu membuatku takut dan juga bergairah
dalam waktu yang sama.
“apakah masih
sakit?” berkata dengan suara serak.
Aku menggeser
pinggulku sedikit, mencoba menemukan kata-kata untuk sensasi ini.
“Tidak nyaman dan sedikit menyengat”, aku memerah.
Luca menjilat
bibirku, lalu menghisap bibir bawahku ke mulutnya. “aku tau aku
bajingan karena mengatakan ini, tapi pikiran akan burungku di dalam
vagina ketatmu membuat ku mengeras”.
Mataku melebar tapi
dia menggelengkan kepalanya. “jangan terlihat begitu ketakutan.
Aku telah berkata padamu bahwa aku tak akan mencobanya malam ini”.
“kau juga
mengatakan bahwa kau tak akan menyakitiku”. Itu lebih untuk
memancingnya bukan karena aku benar-benar marah. Aku perlahan-lahan
terbiasa dengan jarinya yang berada di dalam diriku, dan apa yang
telah dilakukan sebelumnya adalah surga. Aku ingin lidah dan
bibirnya kembali ke tubuhku.
Sesuatu dalam
ekspresi Luca bergeser, tapi aku tidak bisa membaca ekspresinya.
“Kurasa tidak, Aria”, katanya lembut. “Kau sangat basah dan
pasrah. Kupikir jariku bisa masuk tanpa hambatan. Aku ingin
menggunakan jariku untuk orgasme keempatmu”.
Aku merinding dan
lecutan kecil kenikmatan terbangun di pusatku lagi. Aku hampir ingin
Luca menggerakan jarinya sekatrang. “apakah ini sakit karena kau
mengambil milikku kau tau...” rasa panas menjalar ke pipiku dan
sesuatu melintas di mata Luca. “Keperawananmu? Tidak, Tuan Putri.
Aku masuk tidak terlalu dalam dan aku ingin mengklaim milikmu dengan
penisku, bukan dengan jariku”.
Tuan putri?
Kehangatan menetap didadaku. Perlahan dia menarik jarinya keluar,
otot-ototku mengepul di sekelilingnya dan mengirimkan tusukan aneh ke
intiku. Dia menelusurkan jari yang sama ke bibirku dan memasukannya
ke dalam mulutku. Aku mengitarinya dengan lidahku tanpa ku tau
kenapa.
Luca menggeram.
Dia menarik lepas tangannya dan memasukan lidahnya diantara bibirku.
Aku menekan tubuhku ke dada Luca, lidahku bertarung dengan lidahnya.
“ayo kedalam. Aku ingin menjilatmu lagi”.
Aku menghembuskan
napas.
“akankah kau
mengijinkanku memasukan jariku padamu lagi? Kali ini aku akan
pelan-pelan”.
“Ya”, kataku.
Dia bangun dari Jacuzzi dan menarikku berdiri. Kemudian dia
mengangkatku ke dalam pelukannya, kakiku mengait ke pinggangnya saat
dia membawaku masuk ke dalam.
Dia menurunkanku di
depan ranjang kami dan menghilang ke kamar mandi dan kembali dengan
membawa handuk. Dia membantuku melepaskan atasan bikiniku,
melingkarkan handuk ke tubuhku, dan mulai mengeringkanku dengan
lembut. Aku memejamkan mataku, menikmati rasa itu semua. Aku tak
percaya aku membiarkan Luca melakukan apa yang telah dia lakukan.
Aku tak bisa percaya bahwa aku menginginkan dia melakakukan itu lagi.
Segalanya sangat memabukkan. Aku tau ini terlalu cepat, tapi
seperti yang Luca bilang apa yang harus di tunggu? Dia adalah
suamiku.
“Apa kau
kedinginan?”.
Mataku perlahan
membuka. Luca menjatuhkan handuk, meninggalkanku telanjang.
Tangannya menyelip ke bawah lenganku. Seluruh tubuhku merinding.
“sedikit”.
Luca membuatku
berbaring di tempat tidur sebelum dia berdiri dan melepas celana
pendeknya. Ereksi terbebas, keras dan panjang , dan tiba-tiba rasa
penasaran mencengkramku. Dia memasukan jarinya , mungkin kali ini
dia akan melakukan langkah selanjutnya. Untuk sesaat aku ragu akan
beberapa hal, tapi aku tau satu hal : aku belum siap untuk itu semua.
Aku baru kenal
dengan pria di depanku, tidur dengannya, dan membiarkan dia melakukan
itu terasa terlalu banyak, terlalu intim. Mungkin malam ini dia
sedang memanipulasiku. Tak ada seorang pun di mafia bisa sampai
sejauh ini tanpa menjadi master manipulasi. Aku merapatkan kakiku
dan tergesa-gesa menarik diri. Luca berhenti, satu lututnya sudah
ada di ranjang.
“Aria?”
jari-jarinya meringkuk di atas betisku dan aku tersentak mundur dan
menarik kakiku ke dadaku. “kenapa lagi sekarang?”
dia duduk di
sampingku, penisnya hampir menyisir kakiku. “katakan sesuatu”.
“ini terlalu
cepat,” kataku pelan.
“karena aku
telanjang? Kamu pernah melihat penisku sebelumnya bahkan pernah
mengocokku”.
Wajahku memanas.
“kurasa kau mencoba memanipulasiku. Jika aku memberimu kesempatan,
kau akan bertindak lebih jauh hari ini”.
“kau bertaruh aku
akan melakukannya, tapi aku tak dapat melihat dimana bentuk
manipulasinya”, katanya dengan nada marah dalam suaranya. “aku
menginginkanmu. Aku tak pernah berbohong kepadamu tentang itu. Aku
akan mengambil apapun yang kau berikan, dan saat di Jacuzzi kau
bersedia”.
“Tidak tentang
jari”. Bentakku, tiba-tiba juga marah. “mungkin kau juga akan
mencoba hal yang sama dengan seks”. Aku tau aku terdengar
menggelikan.
Luca sebenarnya
tertawa. Dia membungkuk sangat dekat. “itu tak akan berhasil.
Penisku tak akan masuk dengan mudah, percayalah, dan itu akan lebih
menyakitkan”.
Aku tersentak,
mengingat apa yang Grace katakan pada pernikahan kami. Dia akan
menyetubuhimu hingga berdarah-darah. Luca
menghembuskan napas dengan keras. “seharusnya aku tak mengatakan
itu. Aku tak bermaksud membuatmu takut”.
Aku
mengawasinya dari atas kakiku. Dia mengusapkan buku-buku jarinya di
sisi tubuhku dengan ringan. Bibirnya yang keras mengendur. “katakan
padaku bahwa kau menikmati apa yang aku lakukan pada mu di atap,”
gumam Luca, ada sedikit kebutuhan dalam suaranya, bahkan mungkin
kerentanan.
“Ya”,
kataku terengah-engah. Dia membungkuk mendekat, bibirnya di
telingaku. “apa yang paling kau nikmati? Lidahku yang
menyetubuhimu atau ketika lidahku menjilati sepanjang vaginamu? Atau
saat aku menghisap klitorismu?”.
Ya
tuhan aku mulai basah lagi. Suara Luca yang dalam bergetar menembus
tubuhku. “aku tak tau”.
“Mungkin
aku perlu menunjukannya lagi?” Luca mendorong pergelangan kakiku,
yang menempel di tubuhku sampai ada cukup ruang agar tangannya bisa
masuk di anatar kakiku dan paha atas ku. Dia menangkup vaginaku
dengan telapak tangannya. Aku ingin berbaring untuk membuat dia
lebih mudah, tapi dia meggelengkan kepalanya. “Jangan”, katanya
dengan suara serak. Jarinya mulai bergerak di lipatanku, empat
jarinya yang lain menggoda, memutar-mutar, dan menggosok.
Aku
meletakan daguku di lututku, bernapas dengan berat. Luca mencium
telingaku dan mengalungkan lengannya di bahuku, menarikku ke sisinya.
Ini terasa asing, duduk dengan kaki menempel didadaku saat dia
menyentuhku, tapi rasanya sangat luar biasa. Ereksi Luca
digosok-gosokkan di paha bagian luarku, napasnya terengah -engah di
telingaku.
“Tenang,”
katanya dengan suara rendah. Ada tekanan pelan di lobangku. Aku
mengintip dari antara kakiku. Luca menggodaku dengan jarinya yang
kecil. Dia mencelupkan ujungnya, lalu memutar di lubangku lagi
sebelum masuk lagi, meluncur sedikit lebih dalam setiap kali dia
melakukannya.
“Tatap
aku”.
Aku
melakukannya, terperangkap dalam intensitas mata kelabunya. “kau
sangat basah, lembut, dan kencang. Kau tak bisa membayangkan betapa
nikmatnya ini”, penisnya meluncur di sepanjang paha luarku lagi.
Bibirnya menempel di bibirku, lidahnya menuntut masuk. Jarinya
meluncur masuk, kali ini seluruh jarinya. Itu cuma jari
kelingkingnya tapi aku sangat nikmat. Dia mulai menggerakan di dalam
tubuhku dan aku tersentak ke mulutnya, menyentakkan pinggulku,
membutuhkan lebih banyak. Dia memompa keluar masuk secara perlahan,
ibu jarinya mengusap klitorisku. Aku bisa merasakan kenikmatan
terbangun lagi dan aku menggerakkan pinggulku selaras dengan jarinya.
Dia menarik tangannya, menimbulkan suara protes dariku.
Luca
tertawa, suara terbahak di dadanya. Dia berlutut di depanku dan
membuka kakiku, lalu menatapku. Dia menelusurkan jari telinjuknya di
lipatanku, lalu mengusap bukaanku dengan jari telunjuknya. Tak
pernah berpaling dari wajahku, dia mendorong bagian ujung
telunjuknya masuk, ototku mengencang, dan aku menghembuskan napas
rendah. Ini tidak terasa sakit dan aku merasa rilex. Perlahan dia
mulai bergerak keluar masuk, bergerak lebih dalam setiap kali
seperti yang dia lakukan dengan jari kelingkingnya tadi. Mulutnya
menghisap klitorisku.
Aku
merintih, kaki membuka lebih lebar. Kenikmatanku semakin cepat
meluncur saat Luca merangsangku dengan bibir dan jarinya. Dengan
teriakan, aku terjatuh, kaki ku gemetar , pinggul bergoyang. Jariku
mencengkram selimut saat aku hancur berkeping-keping. Luca
melepaskan jarinya, mencium pusarku, lalu berbaring disampingku,
ereksinya merah dan berkilau. Aku mengulurkan tangan, mengoleskan
tetesan cairan yang menetes dari ujung penisnya.
Luca
menggeram, perutnya melengkung. “aku ingin mulutmu di penisku,”
katanya dengan suara pelan. Aku membeku, tanganku tertahan. Rasanya
adil setelah apa yang telah apa yang barusaja dia lakukan, tapi aku
benar-benar tak tau bagaimana caranya mengulumnya. Blowjob adalah
nama yang cukup membingungkan, karena aku tau tak seharusnya meniup
ereksinya, tapi sayangnya aku tidak tau akan apa yang harus dilakukan
secara rinci. Dan bagaimana kalau aku tidak menyukainya?
Aku
mengingat kata-katanya tentang Grace, bahwa Grace tau bagaimana
caranya mengulum penis. Bukan berarti aku ingin seperti Grace. Aku
tak ada minat menjadi pelacur luca, tapi aku juga tidak mau benar-
benar gagal. Aku terlalu berpikir berlebihan untuk ini.
“ini
karena kau tidak mau, atau karena kau tidak tau caranya?” Luca
bertanya dengan lembut, tapi aku tau dia sedikit kesulitan membuat
suaranya terdengar seperti itu. Dia memberiku beberapa oragsme. Dia
mungkin saja meledak. “kau bisa mengocokku seperti terakhir kali”,
katanya saat aku diam. Tangannya menyisir rambut pirang di wajahku,
mata kelabunya bertanya.
“Tidak,
maksudku, kurasa aku ingin melakukannya?”
“Kau
rasa?” suara kesenangan menghiasi suara Luca. “Tapi?”.
“Bagaimana
kalau aku tidak menyukainya?”
Luca
mengaangkat bahu tapi jelas dari ekspresinya bahwa dia tidak
menyukai gagasan itu. “kalau begitu jangan. Aku tak akan
memaksamu”.
Aku
mengangguk dan mendekatkan wajah ke ereksinya, yang sama sekali tidak
melunak saat percakapan kami berlangsung. Luca menegang dalam
antisipasi, ujung jarinya menempel di kulit kepalaku ya ng berkedut.
Malu, aku mengakui. “Aku tak tau harus berbuat apa”.
Ereksi
nya mencuat sebagai respons. Aku tidak tahan untuk tidak tertawa,
dan Luca menyeringai dengan seringai predatornya. “Kau suka
menguji kesabaranku dengan keluguanmu , bukan?”
aku
meniup ujung penisnya, membuat dia menggeram. “ kurasa ini bukan
caranya kenapa ini disebut Blowjob, bukan?”.
Dia
tertawa denga tawa yang benar-benar tawa, dan suaranya membuat
perutku serasa di penuhi kupu-kupu. “kau bisa menjadi kematianku,
tuan putri”.
“Jangan
ketawa,” aku berkata dengan senyuman. “aku tak ingin melakukan
sesuatu yang salah”.
“apa
kau ingin agar aku memberitahumu apa yang harus kau lakukan?”
rasa senang melintas di matanya.
Aku
mengangguk.
“Okay”.
Dia berkata dengan serak. Katupkan bibirmu di seputar ujungnya dan
berhati-hatilah dengan gigimu. Aku tak masalah sedikit kasar, tapi
jangan mengunnyahnya”.
Aku
mendengus, lalu rasa gugup membuatku terdiam. Jari-jari Luca
menyelinap di rambutku sampai mereka berhenti di belakang kepalaku.
Dia tidak mendorongku, tapi dari cara jari-jarinya menegang, aku bisa
mengatakan bahwa dia menginginkan itu. Aku meraih bagian ujungnya ke
dalam mulutku. Dia tebal dan aku harus berhati-hati untuk tidak
menggoresnya dengan gigiku. Ujungnya sedikit terasa asin, tapi bukan
dengan cara yang buruk.
“Sekarang
gerakan lidahmu disekitarnya. Ya , begitu”, dia menatapku, rahanya
mengepal. “ambil sedikit lebih banyak, dan masukan kemulutmu,
gerakkan kepalamu ke atas dan ke bawah. Sekarang sedot ketika kau
bergerak. Yes, Fuck”. Pinggulnya melawan gerakanku ketika aku
masih bisa meraihnya, menggerakan ereksinya lebih dalam . Aku
tersedak dan mundur, terbatuk.
Dia
membelai rambutku. “Sialan, Maaf”. Dia mengusap ibu jarinya di
bibirku. “aku akan mencoba tetap diam”.
Alaih-alih
membawanya kembali ke dalam mulutku, aku menjilatnya , dari pangkal
ke ujungnya. Dia mengerang. “apakah tak apa?” aku berbisik
sebelum melakukan itu lagi.
“Fuck,
Yes”.
Aku
menghabiskan waktuku menjilati tiap inci darinya , terutama bagian
ujungnya. Aku suka rasanya di lidahku.
“ini
terasa amat sangat nikmat, tapi aku amat sangat ingin datang”.
Aku mendongak , tak yakin. Aku bisa orgasme saat dia membelai dan
menjilatku dengan lembut. Apakah dia membutuhkan yang lebih kasar?
Apakah dia membutuhkan lebih kasar juga saat berhubungan seks?
Kata-kata Grace berlompatan di kepalaku lagi, tapi aku
menyingkirkannya. Aku tak ingin pelacur itu menghancurkan ini
untukku. “apa yang kau butuh untuk aku lakukan?” bisikku.
“Kulum
aku dengan lebih keras lagi dan terus manatapku dengan mata indahmu”.
Aku
menatap lurus ke arahnya dan aku memasukakanya ke mulutku hingga dia
menyentuh bagian belakang tenggorokanku, kemudian menggerakan
kepalaku ke atas ke bawah dengan cepat dan keras, bibirku berkerut di
sekelilingnya. Luca mengerang, pinggulnya bergoyang ringan. Matanya
membara menatapku, giginya ternganga. “jika kau tak ingin
menelan, kau harus menyingkir...”.
Aku
menarik diri, melepaskan dia dengan suara pop dan sesaat kemudian dia
menyemburkan benihnya di perut dan kakinya. Luca memejamkan
matanya saat ereksinya berkedut. Tangannya masih di rambutku, dengan
lembut meremas leher dan kulit kepalaku. Perlahan dia melemas, tapi
aku menggenggap tangannya dan menempelkan pipiku disana, membutuhkan
kedekatannya setelah apa yag kami lakukan. Matanya mulai terbuka
dengan tatapan yang tak bisa di baca. Ibu jarinya mengelus tulang
pipiku dengan lembut. Kami tetap seperti itu untuk beberapakali
detak jantung, kemudian Luca duduk, membersihkan kekacauan yang ada
di paha atasnya dan di perutnya. “aku sungguh butuh mandi”,
Luca meraih tisu dan membersihkan spermanya sebelum mengayunkan
kakinya turun dan berdiri.
Aku
mengangguk dan anaehnya kecewa karena dia turun dari tempat tidur
dengan begitu cepat. Tiba-tiba aku merasa tidak sadar akan apa yang
telah aku lakukan.
Luca
mengulurkan tangannya. “Ayolah. Aku tidak mau mandi sendiri”.
Aku
bergegas turun dari tempat tidur, meletakkan tanganku di tangannya
dan mengikutinya ke kamar mandi.
Saat
air panas menetes, Luca mulai mengolesi tubuhku dengan sabun dan aku
memejamkan mata, menikmati nuansa tangannya di tubuhku. Dia menekan
punggungku, satu lengan melingkar di perutku. “jadi tak apa-apa
untukmu?” tanyanya pelan.
Dia
mungkin khawatir aku tak mau mengulumnya lagi. “Yeah”.
Dia
mencium tenggorokanku. Dia melakukannya berulang kali. Itu terasa
lembut , penuh kasih sayang dan intim, tapi aku tau itu tidak
dimaksudkan seperti itu. “aku senang karena aku sungguh sangat
menikmari berada dalam mulutmu”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar