Rabu, 10 Januari 2018

Bound by Honor Chapter 10

Luca membatalkan semua rencananya keesokan harinya dan mengirim Matteo keluar untuk menyelesaikan segala sesuatu yang harus diselesaikan. Sebagai wanita di dunia kami, kau akan dengan cepat belajar untuk tidak menanyakan banyak pertanyaan karena biasanya jawabannya jarang yang bagus.
Luca telah selesai berpakaian terlebih dahulu ketika aku masuk ke dapur setelah berpakaian dan mandi, dia sedang memandangi kulkas dengan ekpresi cemberut di wajahnya. “apa kau bisa memasak?”.
Aku mendengus. “Jangan bilang kau tak pernah membuat sarapan untuk dirimu sendiri?”.
“aku biasanya membeli sesuatu di perjalanan, terkecuali di hari Marriana disini dan menyiapkan sesuatu untukku”. Matanya mengamati tubuhku. Aku memilih mengenakan celana pendek, tanktop, dan sendal karena tampaknya hari sangat panas hari ini. “aku suka kakimu”.
Aku mengangkat kepalaku, kemudian aku melangkah ke arahnya dan mengintip ke arah kulkas. Dia tidak menyingkir dan lengan kami bergesekan. Kali ini aku mencoba untuk tidak ketakutan. Sentuhannya bukannya tidak nyaman dan ketika dia tidak menakutiku, sebenarnya aku bisa menikmatinya. Kulkas terisi lengkap. Masalahnya aku juga tak pernah memasak, tapi aku tak akan mengakuinya pada Luca. Aku mengambil sekarton telur dan paprika merah, dan mengaturnya di meja dapur. Membuat omelet tidak mungkin sesusah itu. Aku telah menonton Our cook beberapa kali dulu.
Luca bersender di kitchen island dan menyilangkan lengannya saat aku meraih wajan dari lemari dan menghidupkan kompor. Aku melirik dari bahuku ke dia. “tidakkah kau mau membantuku? Kau bisa mengiris paprika. Kau tau caranya menggunakan pisau, setauku”.
Hal itu membuat ujung bibirnya terangkat dan dia menarik pisau dari knives block dan melangkah ke sampingku. Ujung kepalaku hanya sampai di bagian atas dadanya saat aku hanya mengenakan sandal. Aku harus mengakui aku sedikit menyukainya. Aku menyerahkan paprika padanya dan menunjuk ke arah tatakan pemotong yang terbuat dari kayu karena aku merasa Luca akan langsung mencincangnya diatas meja granit mahal ini. Kami berkerja dalam keheningan tapi Luca tetap mencuri-curi pandang ke arahku. Aku meletakkan sedikit Butter di wajan, dan membumbui telur yang telah dipecahkan. Aku tak yakin harus menuangkan krim atau susu, jadi aku memutuskan tidak menggunakan itu. Aku menuangkan telur ke wajan yang mendesis.
Luca mengacungkan pisaunya ke arah paprika yang telah diiris. “apa yang terjadi dengan ini?”.
“sialan,” aku berbisik. Seharusnya paprika duluan yang dimasukkan.
“pernahkah kau memasak?”.
Aku mengabaikan dia dan meraup paprika lalu memasukanya ke wajan bersamaan dengan telur. Aku menyalakan kompor hinga ke panas maximum dan segera tercium aroma gosong sampi ke hidungku. Aku dengan cepat mengambil spatula dan mencoba untuk membalik omelet, tapi omeletnya menempel di wajan. Luca menarapku dengan menyeringai.
“kenapa kau tidak membuatkan kopi untuk kita?” aku membentak saat aku mengospk-gposok sebagian telur yang gosong dari dasar wajan.
Ketika aku berpikir bahwa telur ini aman untuk dimakan , aku menyendoknya ke dalam dua piring. Mereka benar-benar tidak terliht lezat. Alis Luca terangkat ketika aku meletakkan piring dihadapannya. Dia duduk di kursi bar dan aku melompat ke kursi di sampingnya. Aku mengawasinya saat dia mengambil garpu dan mencolek selembar telur, lalu membawanya ke bibirnya. Dia menelan ludah , tapi jelas tidak terkesan. Aku menggigit juga dan hampir meludahkan kembali. Telurnya terlalu kering dan terlalu asin. Aku menjatuhkan garpu dan menelan separuh kopiku, bahkan tak menganggapnya panas dan hitam. “Ya tuhan, ini menjijikan”.
Ada sedikit kejenakaan di wajah Luca. Ekspresi yang lebih santai yang membuat dia lebih mudah didekati. “mungkin kita harus keluar untuk sarapan”.
Aku melotot ke kopiku. “bagaimana susahnya sich bikin omelet?”.
Luca melepaskan sesuatu yang bisa disebut sebagai tawa. Kemudian matanya melayang ke bawah ke arah kaki telanjangku, yang hampir menyentuh kakinya. Dia meletakkan tangan di lututku dan aku membeku dengan cangkir menempel di bibirku. Dia tidak melakukan apapun, hanya menelusurkan ibu jarinya di kulitku. “apa yang akan kamu lakukan hari ini?”.
Aku merenungkan itu, bahkan saat tangannya terasa sangat mengganggu. Aku bingung antara ingin menyingkirkannya dari lututku atau memintanya terus membelaiku. “pagi hari setalah malam pernikahan kita, kau bertanya apakah aku tau caranya bertarung, jadi mungkin kau bisa mengajariku cara menggunakan pisau atau pistol, dan mungin beberapa cara membela diri”.
Rasa terkejut melintas di wajahnya. “berpikir untuk menggunakannya untuk melawanku?”.
Aku terengah-engah. “seakan aku bisa mengalahkanmu dalam pertarungan yang adil saja”,
“aku tidak bertarung dengan adil”.
Tentu saja tidak. “jadi maukah kau mengajariku?”.
“aku ingin mengajarimu banyak hal”. Jari-jarinya mengencang di lututku.
“Luca,” kataku pelan. “Aku serius. Aku tau aku memiliki Romero dan dirimu tapi aku ingin bisa membela diri jika terjadi sesuatu. Kau mengatakan sendiri, si Bravta tak akan peduli bahwa aku wanita”.
Itu membuatnya sadar. Dia mengangguk. “okay, kami memiliki Gym dimana kami berlatih dan berlatih untuk bertarung. Kita bisa pergi kesana”.
Aku tersenyum,sangat senang karena akan keluar dari penthouse dan melakukan sesuatu yang berguna. “aku akan mengambil pakaian olahragaku”. Aku melompat turun dan berlari ke lantai atas.
**
tiga puluh menit kemudia kami parkirkir disebuah bangunan lusuh. Aku dipenuhi dengan kegembiraan, dan aku senang memiliki sesuatu yang bisa mengalihkanku dari apa yang terjadi kemarin. Luca dan aku keluar dari mobil dan dia membawa tas kami saat kami melewati pintu baja berkarat. Kamera keamanan ada dimana-mana dan seorang pria setengah baya duduk di sebuah sudut yang menampung meja dan kursi serta sebuah tv. Dua senjata ada disarungnya. Dia berdiri saat melihat Luca, lalu dia melihatku dan matanya terbelalak.
“istriku”. Kata Luca dengan sedikit peringatan dan tatapan pria itu tersentak menjauh dariku. Luca meletakkkan tangannya di punggungku yang kecil dan membimbingku melewati pintu lain yang menuju aula besar. Ada ring tinju, semua jenis mesin latiham, boneka untuk latihan pertarungan dan pisau, dan sudut dengan matras dimana beberapa pria sedang berlatih tanding. Aku wanita satu-satunya.
Luca meringis. “kamar ganti kami hanya untuk laki-laki. Kami biasanya tidak memiliki pengunjung wanita”.
“Aku tau kau aka memastikan tak ada seorang pun yang akan melihatku telanjang”.
“pasti”.
Aku tertawa, dan beberapa wajah menoleh ke arah kami, kemudia setiap orang memandangi kami. Mereka kembali melakukan apa yang mereka kerjakan tadi ketika Luca membimbingku ke arah sebuah pintu di samping. Tapi mereka tetap memberika tatapan tersamar yang buruk ke arahku. Beberapa pria yang lebih tua memberi salam pada Luca. Dia membuka pintu, lalu berhenti. “biarkan aku memeriksa terlebih dahulu apakah ada seseorang disana”. Aku mengangguk lalu bersandar di dinding, saat Luca menghilang ke kamar ganti. Pada saat dia telah pergi, aku bisa merasakan tatapan penuh kekuatan dari para pria terarah padaku. Aku mencoba untuk tidak membiarkan mereka melihat betapa gugupnya aku karena tatapan mereka dan hampir menari napas lega saat Luca kembali, diikuti oleh beberapa pria yang ber[ura-pura tidak memperhatikanku. Aku bertanya-tanya apa yang telah Luca katakan pada mereka.
“Ayoo”. Dia membuka pintu untukku dan kami masuk ke sebuah ruangan dengan lamgit-langit rendah yang dipenuhi kelembapan dan bau tubuh laki-laki yang berkerja keras. Aku merapatkan hidungku. Luca tertawa. “Kami tidak melayani hidung wanita yang sensitif”.
Aku mengambil tas ku dari dia dan berjalam menuju ke loker. Luca mengikuti dan meletakkan tas nya di bangku kayu panjang.
“Tidakkah kau akan memberiku privasi?” aku bertanya, tangan di ujung bajuku.
Luca mengangkat satu alis ke arahku sebelum melepaskan sarung senjatanya dan menarik baju nya sendiri dari atas kepalanya, menampilkan tubuhnya berotot. Dia menjatuhkan bajunya di bangku , lalu meraih sabuknya, masih dengan tatapan menantang di matanya.
Dengan menggertakkan gigiku, aku memunggunginya dan memasukan tanktop ke atas kepalaku. Aku meraih bagian belakangku untuk membuka kaitan bra-ku, tapi tangan Luca ada disana dan melakukannya untukku dengan ahli. Bastard. Tentu saja, dia bisa membuka bra hanya dengan satu jari. Aku meraih bra jogging-ku dan mengenakannya, mencoba untuk tidak mempedulikan Luca yang tak diragukan lagi sedang mengawasi setiap gerakanku. Aku menanggalkan celana pendekku dan rasanya ingin menendang diriku sendiri kenapa pagi ini aku memilih mengenakan Thong. Aku menariknya ke bawah dan mendengar Luca menarik napas saat aku membungkuk sedikit kedepan. Pipiku memereah, me nyadari pemandangan seperti apa yang aku berikan padanya . Aku menyambar salah satu celana dalam hitam polos yang selalu kupakai saat aku berlari di treadmill, lalu aku memakai celana joggingku dan berbalik ke arah Luca. Dia mengenakan celana olahraga hitam dan kaos puth ketat yang menunjukan tubuhnya yang spektakuler. Ada tonjolan di celananya. Semua karena pantatku?
“itukah yang akan kau pakai untuk latihan bela diri?”.
Aku menunduk menatap diriku sendiri. “aku tak punya yang lain. Inilah yang kukenakan saat jogging”. Celana pendek ketat dan berakhir diatas pahaku, tapi aku tak suka ada terlalu banyak kain saat berlari.
“kau sadar bukan, aku harus menendang bokong setiap pria yang memandangimu dengan cara yang salah? Dan melihat dari ini semua tampaknya para anak buahku akan sedikit kesulitan untuk tidak memandangmu dengan cara yang salah”.
Aku mengangkat bahu. “bukan tugas ku untuk membuat mereka bisa mengendalikan diri. Hanya karena aku memakai pakaian yang mengundang bukan berarti aku mengundang mereka untuk melihat. Jika mereka tidak bisa menjaga kelakuan mereka, itu masalah mereka”.
Luca menuntunku keluar dari kamar ganti dan menuju ke matras tempat latih tanding. Orang-orang disana bergegas pergi dan mereka sama sekali tidak menatapku. Aku mengikuti Luca ke arah rak-rak pisau. Matanya memilah-milah pisau, kemudian dia memilih satu, dia memilih pisau dengan pegangan panjang yang halus, lalu menyerahkan padaku. Dia tidak mengambil pisau untuk dirinya sendiri.
Dia menempatkan dirinya di seberanngku, terlihat sangat santai. Dia pasti tau semua orang memperhatikan kami, tapi dia bersikap seolah tak peduli. Ini bukan pertunjukan pribadi. Dia harus menunjukan ke seluruh anak buahnya. “serang aku, tapi usahakan jangan sampai melukai dirimu sendiri”.
“apa kau juga tidak akan menggunakan pisau?”.
“Luca menggelengkan kepalanya. “aku tak membutuhkannya. Aku akan memilikinya sebentar lagi”.
Aku menyipitkan mata karena nada terlalu percaya diri-nya. Dia mungkin benar, tapi aku tidak suka dia mengatakannya. “Tunjukan apa yang harus aku lakukan?”.
“cobalah untuk mendaratkan pukulan. Jika kau bisa melukaiku , kau menang. Aku ingin melihat caramu bergerak”.
Aku mengambil napas dan mencoba untuk melupakan orang-orang yang menontonku. Aku mengencangkan genggamanku di pisau kemudian menyerbu kedepan. Luca bergerak cepat. Dia menangkap tinjuku, meraih pergelangan tanganku, lalu memutarku hingga punggungku menempel di dadanya.
“Kau belum mendapatkan pisauku,” aku tersentak. Jari-jarinya di pergelangan tanganku mengencang sedikit, tidak nyaman tapi tidak juga menyakitkan. Bibirnya menyentuh telingaku. “aku harus menyakitimu untuk mendapatkannya. Aku bisa saja mematahkan tanganmu misalnya, atau membuat memar”. Dia melepaskanku dan aku terjerembab ke depan.
“Sekali lagi”, kata Luca. Aku mencoba beberapa kali, tapi bahkan tidak sampai mendekati dia. Untuk usaha selanjutnya, aku memutuskan untuk berhenti bermain adil. Aku maju ke arahnya, lalu saat dia menarikku, aku melakukan tendangan di antara kedua kakinya. Orang-orang bersorak, tapi tangan Luca menangkap kakiku sebelum kaki ku membuat dampak dan sebelum aku tau apa yang terjadi , aku mendarat dipunggungku dengan suara gedebuk yang berat. Napasku keluar dari tubuhku dan pisau itu terlepas dari tanganku. Luca menyentuh perutku dan otot-ototku menyempit dibawah telapak tangannya yang hangat. “apa kau baik-baik saja?” tanya nya pelan.
Aku membuka mataku, “aku hanya mencoba meraih napasku”, lalu aku memindai kerumunan. “tidakkah kau memiliki prajurit yang hanya setinggi lima kaki dan takut akan bayangannya sendiri yang bersedia bertarung denganku?”.
“anak buahku tidak takut pada apapun”. Luca berkata dengan lantang. Dia mengulurkan tangannya dan menarikku berdiri. Dia mengalamatkan ke prajuritnya. “adakah yang bersedia melawan istriku?”.
Tentu saja tak ada seorangpun yang maju kedepan. Mereka mungkin takut Luca akan menguliti mereka hidup-hidup. Sebagian dari mereka menggeleng, tergelak.
Bayangan cengiran Luca melintas di wajah Luca. “kau harus melawanku”.
Beberapa usaha serangan lagi, aku kehabisan nafas dan terganggu oleh ketidakmampuanku untuk melukai Luca bahkan yang paling kecil pun kemudian kesempatan datang dengan sendirinya. Dia menahan tubuhku dan lengan atasnya berada di dekat wajahku, jadi aku berbalik dan menggigitnya. Dia sangat terkejut sehingga dia benar-benar membebaskanku dan aku mencoba menusuknya dengan pisau itu, tapi dia mencengkram pergelangan tanganku. “Apakah kau menggigitku?” tanyanya sambil menatap bekas gigiku di bisepnya.
“tidak terlalu keras. Bahkan tidak ada darah”. Kataku
bahu luca berkedut sekali, sekali lagi. Dia menahan tawa. Bukanlah efek yang aku inginkan saat menggigitnya tapi aku harus mengakui aku menyukai suara tawanya yang dalam. “kurasa kau sudah cukup melakukan cukup banyak kerusakan dalam satu haru”. Katanya.
**
kami membeli sesuatu untuk dimakan saat perjalanan pulang ke rumah, kemudian duduk di sofa rotan yang ada di teras atap dengan segelas wine.
“aku terkejut”. Kataku akhirnya. Luca dan aku duduk berdekatan, hampir bersentuhan dan lengannya diletakkan ke sandaran di belakangku tapi sejauh ini dia menahan diri. “aku tak berpikir kau benar-benar akan mencobanya”.
“sudah kubilang aku akan melakukannya. Aku menepati janjiku”.
“aku yakin ini sulit untukmu”, aku mengisyaratkan di jarak antara kami.
“tak bisa kau bayangkan. Aku sangat amat ingin menciummu”.
Aku ragu-ragu. Menciumnya terasa nikmat. Luca meletakkan gelasnya, lalu dia bergerak sedikit lebih dekat dan menyentuh pinggangku. “Katakan padaku kau tak ingin aku menciummu”.
Aku membuka bibirku tapi tak sepatah katapun terucap. Mata Luca menggelap dan dia menunduk ke arahku, merangkum mulutku dalam sebuah ciuman dan aku kehilangan diriku dalam sensasi lidah dan bibirnya. Luca tidak memaksa, tak pernah memindahkan tangannya dari pinggangku tapi dia mulai mengelus kulit ku disana perlahan dan tangannya yang lain memijat telapak tanganku. Bagaimana bisa aku merasakan semuanya diantara kedua kakiku?
Akhirnya aku berbaring di sofa, Luca bersandar diatasku. Aku bisa merasakan aku mulai basah kuyup tapi aku tak punya waktu atau perhatian untuk merasa malu. Ciuman Luca membuatku tetap sibuk. Rasa gelitik di pusat tubuhku menjadi sulit untuk diabaikan dan aku mencoba meredakan ketegangan dengan menekan kakiku merapat.
Luca menarik diri dengan ekspresi mengerti. Rasa panas merambat ke pipiku.
“aku bisa membuatmu merasa nikmat Aria”, dia berbisik, tangannya di pinggangku mengencang. “kau ingin klimaks , bukan?”.
Oh Tuhan, Ya. Tubuhku menjeritkan itu. “aku baik-baik saja. Terima kasih”.
Luca tertawa terbahak-bahak. “kau sangat keras kepala”. Dia tidak mengatakannya dengan cara yang kejam. Bibirnya menekan bibirku lagi dan aku tau dia telah mengerahkan semuanya, berniat untuk mematahkan tekadku dan beberapa kali aku semakin dekat. Aku merasa berdenyut-denyut diantara kakiku tapi aku tidak menyerah, tidak secepat itu. Aku memiliki kontrol lebih dari itu.
Malam ini aku tidur dengan lengan Luca di sekelilingku dan ereksi-nya menekan paha bagian atasku. Mungkin kami benar-benar bisa membuat pernikahan ini berhasil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

STUCK UP SUIT Chapter 8

GRAHAM AKU TIDAK MENDENGAR KABAR NYA SEPANJANG HARI di hari sabtu, dan tidak seperti yang aku harapkan juga. Soraya Venedetta san...