Luca
membatalkan semua rencananya keesokan harinya dan mengirim Matteo
keluar untuk menyelesaikan segala sesuatu yang harus diselesaikan.
Sebagai wanita di dunia kami, kau akan dengan cepat belajar untuk
tidak menanyakan banyak pertanyaan karena biasanya jawabannya jarang
yang bagus.
Luca
telah selesai berpakaian terlebih dahulu ketika aku masuk ke dapur
setelah berpakaian dan mandi, dia sedang memandangi kulkas dengan
ekpresi cemberut di wajahnya. “apa kau bisa memasak?”.
Aku
mendengus. “Jangan bilang kau tak pernah membuat sarapan untuk
dirimu sendiri?”.
“aku
biasanya membeli sesuatu di perjalanan, terkecuali di hari Marriana
disini dan menyiapkan sesuatu untukku”. Matanya mengamati tubuhku.
Aku memilih mengenakan celana pendek, tanktop, dan sendal karena
tampaknya hari sangat panas hari ini. “aku suka kakimu”.
Aku
mengangkat kepalaku, kemudian aku melangkah ke arahnya dan mengintip
ke arah kulkas. Dia tidak menyingkir dan lengan kami bergesekan.
Kali ini aku mencoba untuk tidak ketakutan. Sentuhannya bukannya
tidak nyaman dan ketika dia tidak menakutiku, sebenarnya aku bisa
menikmatinya. Kulkas terisi lengkap. Masalahnya aku juga tak
pernah memasak, tapi aku tak akan mengakuinya pada Luca. Aku
mengambil sekarton telur dan paprika merah, dan mengaturnya di meja
dapur. Membuat omelet tidak mungkin sesusah itu. Aku telah
menonton Our cook beberapa
kali dulu.
Luca bersender di kitchen island dan menyilangkan lengannya saat
aku meraih wajan dari lemari dan menghidupkan kompor. Aku melirik
dari bahuku ke dia. “tidakkah kau mau membantuku? Kau bisa
mengiris paprika. Kau tau caranya menggunakan pisau, setauku”.
Hal itu membuat ujung bibirnya terangkat dan dia menarik pisau dari
knives block dan melangkah ke sampingku. Ujung kepalaku
hanya sampai di bagian atas dadanya saat aku hanya mengenakan
sandal. Aku harus mengakui aku sedikit menyukainya. Aku menyerahkan
paprika padanya dan menunjuk ke arah tatakan pemotong yang terbuat
dari kayu karena aku merasa Luca akan langsung mencincangnya diatas
meja granit mahal ini. Kami berkerja dalam keheningan tapi Luca
tetap mencuri-curi pandang ke arahku. Aku meletakkan sedikit Butter
di wajan, dan membumbui telur yang telah dipecahkan. Aku tak yakin
harus menuangkan krim atau susu, jadi aku memutuskan tidak
menggunakan itu. Aku menuangkan telur ke wajan yang mendesis.
Luca mengacungkan pisaunya ke arah paprika yang telah diiris. “apa
yang terjadi dengan ini?”.
“sialan,” aku berbisik. Seharusnya paprika duluan yang
dimasukkan.
“pernahkah kau memasak?”.
Aku
mengabaikan dia dan meraup paprika lalu memasukanya ke wajan
bersamaan dengan telur. Aku menyalakan kompor hinga ke panas maximum
dan segera tercium aroma gosong sampi ke hidungku. Aku dengan cepat
mengambil spatula dan mencoba untuk membalik omelet, tapi omeletnya
menempel di wajan. Luca menarapku dengan menyeringai.
“kenapa kau tidak membuatkan kopi untuk kita?” aku membentak
saat aku mengospk-gposok sebagian telur yang gosong dari dasar
wajan.
Ketika aku berpikir bahwa telur ini aman untuk dimakan , aku
menyendoknya ke dalam dua piring. Mereka benar-benar tidak terliht
lezat. Alis Luca terangkat ketika aku meletakkan piring
dihadapannya. Dia duduk di kursi bar dan aku melompat ke kursi di
sampingnya. Aku mengawasinya saat dia mengambil garpu dan mencolek
selembar telur, lalu membawanya ke bibirnya. Dia menelan ludah ,
tapi jelas tidak terkesan. Aku menggigit juga dan hampir meludahkan
kembali. Telurnya terlalu kering dan terlalu asin. Aku menjatuhkan
garpu dan menelan separuh kopiku, bahkan tak menganggapnya panas dan
hitam. “Ya tuhan, ini menjijikan”.
Ada sedikit kejenakaan di wajah Luca. Ekspresi yang lebih santai
yang membuat dia lebih mudah didekati. “mungkin kita harus keluar
untuk sarapan”.
Aku melotot ke kopiku. “bagaimana susahnya sich bikin omelet?”.
Luca melepaskan sesuatu yang bisa disebut sebagai tawa. Kemudian
matanya melayang ke bawah ke arah kaki telanjangku, yang hampir
menyentuh kakinya. Dia meletakkan tangan di lututku dan aku membeku
dengan cangkir menempel di bibirku. Dia tidak melakukan apapun,
hanya menelusurkan ibu jarinya di kulitku. “apa yang akan kamu
lakukan hari ini?”.
Aku merenungkan itu, bahkan saat tangannya terasa sangat mengganggu.
Aku bingung antara ingin menyingkirkannya dari lututku atau
memintanya terus membelaiku. “pagi hari setalah malam pernikahan
kita, kau bertanya apakah aku tau caranya bertarung, jadi mungkin kau
bisa mengajariku cara menggunakan pisau atau pistol, dan mungin
beberapa cara membela diri”.
Rasa terkejut melintas di wajahnya. “berpikir untuk
menggunakannya untuk melawanku?”.
Aku terengah-engah. “seakan aku bisa mengalahkanmu dalam
pertarungan yang adil saja”,
“aku tidak bertarung dengan adil”.
Tentu saja tidak. “jadi maukah kau mengajariku?”.
“aku ingin mengajarimu banyak hal”. Jari-jarinya mengencang di
lututku.
“Luca,” kataku pelan. “Aku serius. Aku tau aku memiliki
Romero dan dirimu tapi aku ingin bisa membela diri jika terjadi
sesuatu. Kau mengatakan sendiri, si Bravta tak akan peduli bahwa aku
wanita”.
Itu membuatnya sadar. Dia mengangguk. “okay, kami memiliki Gym
dimana kami berlatih dan berlatih untuk bertarung. Kita bisa pergi
kesana”.
Aku tersenyum,sangat senang karena akan keluar dari penthouse dan
melakukan sesuatu yang berguna. “aku akan mengambil pakaian
olahragaku”. Aku melompat turun dan berlari ke lantai atas.
**
tiga puluh menit kemudia kami parkirkir disebuah bangunan lusuh.
Aku dipenuhi dengan kegembiraan, dan aku senang memiliki sesuatu yang
bisa mengalihkanku dari apa yang terjadi kemarin. Luca dan aku
keluar dari mobil dan dia membawa tas kami saat kami melewati pintu
baja berkarat. Kamera keamanan ada dimana-mana dan seorang pria
setengah baya duduk di sebuah sudut yang menampung meja dan kursi
serta sebuah tv. Dua senjata ada disarungnya. Dia berdiri saat
melihat Luca, lalu dia melihatku dan matanya terbelalak.
“istriku”. Kata Luca dengan sedikit peringatan dan tatapan pria
itu tersentak menjauh dariku. Luca meletakkkan tangannya di
punggungku yang kecil dan membimbingku melewati pintu lain yang
menuju aula besar. Ada ring tinju, semua jenis mesin latiham, boneka
untuk latihan pertarungan dan pisau, dan sudut dengan matras dimana
beberapa pria sedang berlatih tanding. Aku wanita satu-satunya.
Luca meringis. “kamar ganti kami hanya untuk laki-laki. Kami
biasanya tidak memiliki pengunjung wanita”.
“Aku tau kau aka memastikan tak ada seorang pun yang akan
melihatku telanjang”.
“pasti”.
Aku tertawa, dan beberapa wajah menoleh ke arah kami, kemudia
setiap orang memandangi kami. Mereka kembali melakukan apa yang
mereka kerjakan tadi ketika Luca membimbingku ke arah sebuah pintu
di samping. Tapi mereka tetap memberika tatapan tersamar yang buruk
ke arahku. Beberapa pria yang lebih tua memberi salam pada Luca.
Dia membuka pintu, lalu berhenti. “biarkan aku memeriksa terlebih
dahulu apakah ada seseorang disana”. Aku mengangguk lalu bersandar
di dinding, saat Luca menghilang ke kamar ganti. Pada saat dia
telah pergi, aku bisa merasakan tatapan penuh kekuatan dari para
pria terarah padaku. Aku mencoba untuk tidak membiarkan mereka
melihat betapa gugupnya aku karena tatapan mereka dan hampir menari
napas lega saat Luca kembali, diikuti oleh beberapa pria yang
ber[ura-pura tidak memperhatikanku. Aku bertanya-tanya apa yang
telah Luca katakan pada mereka.
“Ayoo”. Dia membuka pintu untukku dan kami masuk ke sebuah
ruangan dengan lamgit-langit rendah yang dipenuhi kelembapan dan bau
tubuh laki-laki yang berkerja keras. Aku merapatkan hidungku. Luca
tertawa. “Kami tidak melayani hidung wanita yang sensitif”.
Aku mengambil tas ku dari dia dan berjalam menuju ke loker. Luca
mengikuti dan meletakkan tas nya di bangku kayu panjang.
“Tidakkah kau akan memberiku privasi?” aku bertanya, tangan di
ujung bajuku.
Luca mengangkat satu alis ke arahku sebelum melepaskan sarung
senjatanya dan menarik baju nya sendiri dari atas kepalanya,
menampilkan tubuhnya berotot. Dia menjatuhkan bajunya di bangku ,
lalu meraih sabuknya, masih dengan tatapan menantang di matanya.
Dengan menggertakkan gigiku, aku memunggunginya dan memasukan
tanktop ke atas kepalaku. Aku meraih bagian belakangku untuk membuka
kaitan bra-ku, tapi tangan Luca ada disana dan melakukannya untukku
dengan ahli. Bastard. Tentu saja, dia bisa membuka bra hanya dengan
satu jari. Aku meraih bra jogging-ku dan mengenakannya, mencoba
untuk tidak mempedulikan Luca yang tak diragukan lagi sedang
mengawasi setiap gerakanku. Aku menanggalkan celana pendekku dan
rasanya ingin menendang diriku sendiri kenapa pagi ini aku memilih
mengenakan Thong. Aku menariknya ke bawah dan mendengar Luca
menarik napas saat aku membungkuk sedikit kedepan. Pipiku memereah,
me nyadari pemandangan seperti apa yang aku berikan padanya . Aku
menyambar salah satu celana dalam hitam polos yang selalu kupakai
saat aku berlari di treadmill, lalu aku memakai celana joggingku dan
berbalik ke arah Luca. Dia mengenakan celana olahraga hitam dan kaos
puth ketat yang menunjukan tubuhnya yang spektakuler. Ada tonjolan
di celananya. Semua karena pantatku?
“itukah yang akan kau pakai untuk latihan bela diri?”.
Aku menunduk menatap diriku sendiri. “aku tak punya yang lain.
Inilah yang kukenakan saat jogging”. Celana pendek ketat dan
berakhir diatas pahaku, tapi aku tak suka ada terlalu banyak kain
saat berlari.
“kau sadar bukan, aku harus menendang bokong setiap pria yang
memandangimu dengan cara yang salah? Dan melihat dari ini semua
tampaknya para anak buahku akan sedikit kesulitan untuk tidak
memandangmu dengan cara yang salah”.
Aku mengangkat bahu. “bukan tugas ku untuk membuat mereka bisa
mengendalikan diri. Hanya karena aku memakai pakaian yang
mengundang bukan berarti aku mengundang mereka untuk melihat. Jika
mereka tidak bisa menjaga kelakuan mereka, itu masalah mereka”.
Luca menuntunku keluar dari kamar ganti dan menuju ke matras
tempat latih tanding. Orang-orang disana bergegas pergi dan mereka
sama sekali tidak menatapku. Aku mengikuti Luca ke arah rak-rak
pisau. Matanya memilah-milah pisau, kemudian dia memilih satu, dia
memilih pisau dengan pegangan panjang yang halus, lalu menyerahkan
padaku. Dia tidak mengambil pisau untuk dirinya sendiri.
Dia menempatkan dirinya di seberanngku, terlihat sangat santai. Dia
pasti tau semua orang memperhatikan kami, tapi dia bersikap seolah
tak peduli. Ini bukan pertunjukan pribadi. Dia harus menunjukan ke
seluruh anak buahnya. “serang aku, tapi usahakan jangan sampai
melukai dirimu sendiri”.
“apa kau juga tidak akan menggunakan pisau?”.
“Luca menggelengkan kepalanya. “aku tak membutuhkannya. Aku
akan memilikinya sebentar lagi”.
Aku menyipitkan mata karena nada terlalu percaya diri-nya. Dia
mungkin benar, tapi aku tidak suka dia mengatakannya. “Tunjukan
apa yang harus aku lakukan?”.
“cobalah untuk mendaratkan pukulan. Jika kau bisa melukaiku , kau
menang. Aku ingin melihat caramu bergerak”.
Aku mengambil napas dan mencoba untuk melupakan orang-orang yang
menontonku. Aku mengencangkan genggamanku di pisau kemudian menyerbu
kedepan. Luca bergerak cepat. Dia menangkap tinjuku, meraih
pergelangan tanganku, lalu memutarku hingga punggungku menempel di
dadanya.
“Kau belum mendapatkan pisauku,” aku tersentak. Jari-jarinya
di pergelangan tanganku mengencang sedikit, tidak nyaman tapi tidak
juga menyakitkan. Bibirnya menyentuh telingaku. “aku harus
menyakitimu untuk mendapatkannya. Aku bisa saja mematahkan tanganmu
misalnya, atau membuat memar”. Dia melepaskanku dan aku
terjerembab ke depan.
“Sekali lagi”, kata Luca. Aku mencoba beberapa kali, tapi
bahkan tidak sampai mendekati dia. Untuk usaha selanjutnya, aku
memutuskan untuk berhenti bermain adil. Aku maju ke arahnya, lalu
saat dia menarikku, aku melakukan tendangan di antara kedua kakinya.
Orang-orang bersorak, tapi tangan Luca menangkap kakiku sebelum kaki
ku membuat dampak dan sebelum aku tau apa yang terjadi , aku
mendarat dipunggungku dengan suara gedebuk yang berat. Napasku
keluar dari tubuhku dan pisau itu terlepas dari tanganku. Luca
menyentuh perutku dan otot-ototku menyempit dibawah telapak
tangannya yang hangat. “apa kau baik-baik saja?” tanya nya
pelan.
Aku membuka mataku, “aku hanya mencoba meraih napasku”, lalu
aku memindai kerumunan. “tidakkah kau memiliki prajurit yang hanya
setinggi lima kaki dan takut akan bayangannya sendiri yang bersedia
bertarung denganku?”.
“anak buahku tidak takut pada apapun”. Luca berkata dengan
lantang. Dia mengulurkan tangannya dan menarikku berdiri. Dia
mengalamatkan ke prajuritnya. “adakah yang bersedia melawan
istriku?”.
Tentu saja tak ada seorangpun yang maju kedepan. Mereka mungkin
takut Luca akan menguliti mereka hidup-hidup. Sebagian dari mereka
menggeleng, tergelak.
Bayangan cengiran Luca melintas di wajah Luca. “kau harus
melawanku”.
Beberapa usaha serangan lagi, aku kehabisan nafas dan terganggu oleh
ketidakmampuanku untuk melukai Luca bahkan yang paling kecil pun
kemudian kesempatan datang dengan sendirinya. Dia menahan tubuhku
dan lengan atasnya berada di dekat wajahku, jadi aku berbalik dan
menggigitnya. Dia sangat terkejut sehingga dia benar-benar
membebaskanku dan aku mencoba menusuknya dengan pisau itu, tapi dia
mencengkram pergelangan tanganku. “Apakah kau menggigitku?”
tanyanya sambil menatap bekas gigiku di bisepnya.
“tidak terlalu keras. Bahkan tidak ada darah”. Kataku
bahu luca berkedut sekali, sekali lagi. Dia menahan tawa. Bukanlah
efek yang aku inginkan saat menggigitnya tapi aku harus mengakui aku
menyukai suara tawanya yang dalam. “kurasa kau sudah cukup
melakukan cukup banyak kerusakan dalam satu haru”. Katanya.
**
kami membeli sesuatu untuk dimakan saat perjalanan pulang ke rumah,
kemudian duduk di sofa rotan yang ada di teras atap dengan segelas
wine.
“aku terkejut”. Kataku akhirnya. Luca dan aku duduk
berdekatan, hampir bersentuhan dan lengannya diletakkan ke sandaran
di belakangku tapi sejauh ini dia menahan diri. “aku tak berpikir
kau benar-benar akan mencobanya”.
“sudah kubilang aku akan melakukannya. Aku menepati janjiku”.
“aku yakin ini sulit untukmu”, aku mengisyaratkan di jarak
antara kami.
“tak bisa kau bayangkan. Aku sangat amat ingin menciummu”.
Aku ragu-ragu. Menciumnya terasa nikmat. Luca meletakkan gelasnya,
lalu dia bergerak sedikit lebih dekat dan menyentuh pinggangku.
“Katakan padaku kau tak ingin aku menciummu”.
Aku membuka bibirku tapi tak sepatah katapun terucap. Mata Luca
menggelap dan dia menunduk ke arahku, merangkum mulutku dalam sebuah
ciuman dan aku kehilangan diriku dalam sensasi lidah dan bibirnya.
Luca tidak memaksa, tak pernah memindahkan tangannya dari pinggangku
tapi dia mulai mengelus kulit ku disana perlahan dan tangannya yang
lain memijat telapak tanganku. Bagaimana bisa aku merasakan semuanya
diantara kedua kakiku?
Akhirnya aku berbaring di sofa, Luca bersandar diatasku. Aku bisa
merasakan aku mulai basah kuyup tapi aku tak punya waktu atau
perhatian untuk merasa malu. Ciuman Luca membuatku tetap sibuk. Rasa
gelitik di pusat tubuhku menjadi sulit untuk diabaikan dan aku
mencoba meredakan ketegangan dengan menekan kakiku merapat.
Luca menarik diri dengan ekspresi mengerti. Rasa panas merambat ke
pipiku.
“aku bisa membuatmu merasa nikmat Aria”, dia berbisik, tangannya
di pinggangku mengencang. “kau ingin klimaks , bukan?”.
Oh Tuhan, Ya. Tubuhku menjeritkan itu. “aku baik-baik saja.
Terima kasih”.
Luca tertawa terbahak-bahak. “kau sangat keras kepala”. Dia
tidak mengatakannya dengan cara yang kejam. Bibirnya menekan
bibirku lagi dan aku tau dia telah mengerahkan semuanya, berniat
untuk mematahkan tekadku dan beberapa kali aku semakin dekat. Aku
merasa berdenyut-denyut diantara kakiku tapi aku tidak menyerah,
tidak secepat itu. Aku memiliki kontrol lebih dari itu.
Malam ini aku tidur dengan lengan Luca di sekelilingku dan
ereksi-nya menekan paha bagian atasku. Mungkin kami benar-benar
bisa membuat pernikahan ini berhasil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar