Aku sudah selesai mengenakan Maxi dress
musim panas berwarna Orange dengan sabuk berwarna emas sebagai aksen
di pinggangku ketika Luca melangkah keluar dari kamar mandi tanpa
apapun kecuali handuk. Aku duduk i kursi di depan meja riasku ,
memakai make up , tapi membeku saat sikat maskara tinggal satu inchi
lagi dari mataku ketika aku melihat Luca . Dia berjalan ke lemari
pakaian dan mengambil celana hitam serta kemeja putih lalu dia
menjatuhkan handuknya tanpa rasa malu . Aku tidak cukup cepat
mengalihkan pandanganku dan aku dihadiahi pemandangan bagian
belakang tubuhnya yang kokoh. Aku menundukan pandanganku dan
menyibukkan diri memeriksa kuku-kuku ku sampai aku berani untuk
menghadap ke kaca lagi dan mengenakan maskara.
Luca mengancingkan kemejanya, dan
membiarkan dua kancing bagian atas tetap terbuka. Dia mengikatkan
pisau di lengan bagian bawahnya lalu menggulung lengan kemeja nya
hingga menutupi pisau, lalu melekatkan sarung pistol melingkar di
betisnya. Aku berbalik “ apakah kau pernah berpergian tanpa
membawa senjata?” tak ada sarung pistol di dadanya kali ini karena
senjata- senjata itu tak bisa disembunyikan dengan baik hanya dengan
kemeja putih.
“tidak jika aku bisa menghindari
itu”. Dia menganggap ku. “apakah kau tau cara menembak atau
menggunakan pisau?”
“Tidak. Ayahku berpikir bahwa wanita
tak seharusnya diikutkan dalam pertarungan”.
“Terkadang pertarunganlah yang
mendatangimu. The Bravta dan The Triad tidak membedakan antara
wanita dan pria”.
“Jadi kau tak pernah membunuh
wanita?”
Ekspresinya mengeras. “aku tak
mengatakan itu”. Aku menunggu dia untuk menjelaskan tapi dia tak
melakukannya. Mungkin itu adalah yang terbaik.
Aku berdiri, merapihkan gaunku , merasa
gugup karena akan menemui ayahku dan Salvatore Vitiello setelah malam
pernikahan. “Pilihan yang bagus”. Kata Luca. “Gaun itu
menutupi kaki mu”.
“Seseorang bisa saja mengangkat rokku
dan memeriksa pahaku”.
Aku tidak memaksudkannya sebagai
candaan tapi bibir Luca tertarik menggeram. “Seseorang mencoba
menyentuhmu, maka mereka akan kehilangan tangan mereka”.
Aku tak mengatakan apapun. Rasa
proktektif nya membuatku merinding dan juga takut secara bersamaan.
Dia menungguku di pintu dan aku mendekatinya dengan ragu-ragu.
Kata-katanya di kamar mandi masih berdengung di telingaku.
Menggeliat dalam kenikmatan.
Aku bahkan tak yakin aku akan merasa cukup santai didekatnya untuk
bisa mendapati kenikmatan. Gianna benar. Aku tak bisa
mempercayainya dengan mudah. Dia bisa saja memanipulasiku.
Dia meletakkan
tangannya di punggung bagian bawahku saat kami berjalan keluar. Saat
kami berada di anak tangga paling atas, aku hampir bisa mendengar
semua percakapan dan beberapa tamu tersebar berbincang-bincang dalam
grup-grup kecil di hall pintu masuk yang besar.
Aku membeku.
“apakah mereka masih saja melihat seprei berdarah itu?” aku
berbisik, terkejut.
Luca
menyipit ke arahku, menyeringai. “kebanyakan dari mereka, terutama
wanita. Para pria mengharapkan rincian-rincian kotor , yang lainnya
berharap untuk membicarakan bisnis, meminta bantuan, meraih sisi
dermawanku”. Dia dengan lembut mendorongku kedepan dan kami
berjalan menuruni tangga.
Romero menunggu di
kaki tangga , rambut coklat nya berantakan. Dia menganggukan
kepalanya kepada Luca, dan memberiku senyum menawan. “Apa
kabarmu?” dia bertanya padaku, meringis, dan ujung telinganya
memerah.
Luca terkekeh. Aku
tak mengenal pria lain di hall ini, tapi semuanya memberikan Luca
kedipan dan seringai lebar. Rasa malu menyergap leherku. Aku tau
apa yang mereka semua pikirkan , dan aku seperti bisa merasakan
mereka sedang menelanjangiku dengan mata mereka. Aku bergeser
mendekat ke Luca dan dia mengaitkan jemarinya di pinggangku.
“Matteo dan
seluruh keluargamu berada di ruang makan”.
“Menyelidiki
sprei?”
“seakan mereka
bisa membanca nya seperti daun teh”. Romero membenarkan,kemudian
memberiku tatapan penyesalan. Dia tampaknya tak memcurigai apapun.
“Kemarilah”,
ujar Luca, mengiringku ke arah pintu ganda. Pada momen kami melangkah
masuk ke ruang makan, setiap pasang mata mengarah padaku. Para
perempuan dari keluarga berkumpul di satu sisi ruangan, dipisahkan
dalam kelompok-kelompok kecil, sementara para pria duduk di seputar
meja makan panjang , yang mana di penuhi dengan Ciabatta,
buah anggur,ham, mortadella,keju,
piring-piring buah dan biscoti. Aku
menyadari aku sedikit lapar . Waktu sudah menunjukan mendekati jam
makan siang, Matteo menyelinap di samping Luca dan aku , dengan
secangkir ekspreso ditangannya.
“Kau terlihat
berantakan”. Ujar Luca.
Matteo mengangguk.
“ekspero ke sepuluhkun dan aku masih tetap belum bangun. Minum
terlalu banyak semalam”.
“Kau
keterlaluan”, Ujar Luca. “jika kau bukan adikku aku pasti sudah
memotong lidahmu untuk tiap kata-kata yang kau lemparkan ke Aria”.
Matteo menyeringai
ke arahku. “kuharap Luca tidak melakukan setengah dari apa yang
telah aku sarankan”.
Aku tak yakin akan
apa yang harus ku katakan pada Matteo. Matteo masih membuatku gugup.
Dia bertukar tatapan dengan Luca, yang menggerakan jempolnya disisi
tubuhku, dan membuatku melompat”.
“cukup mendekati
karya seni atas apa yang kalian pertunjukan pada kami”, Matteo
berkata dengan menoleh ke bagian belakang ruangan dimana sprei
digantungkan diatas rak jaket untuk pameran yang lebih baik.
Aku menegang. Apa
maksud Matteo?
Tapi
Luca tidak terlihat khawatir, malahan dia menelengkan kepalanya.
Salvatore Vittielo dan ayahku melambaikan tangan mereka untuk meminta
kami bergabung bersama mereka dan akan jadi tidak sopan jika kami
membiarkan mereka menunggu lebih lama lagi. Ayah berdiri ketika
kami sampai di meja mereka dan menarikku kepelukannya. Aku terkejut
dengan pertunjukan kasih sayang yang terbuka ini. Dia menyentuh
bagian belakang kepalaku dan berbisik “aku bangga padamu”.
Aku memberinya
senyum terpaksa ketika kami memisahkan diri. Bangga akan apa?
Karena kehilangan keperawanan ku? Karena melebarkan kakiku?
Salvatore
meletakkan tangannya di bahuku dan Luca, dan memberi kami senyuman.
“ aku berharap kita dapat mengharapkan Vittielo kecil segera”.
Aku berusaha untuk
tidak menunjukan rasa terkejutku. Tidakkah Luca menyebutkan bahwa
aku menggunakan pencegah kehamilan?.
Aku ingin menikmati
kebersamaan dengan Aria sedikit lebih lama. Dan dengan The Bravta
yang semakin dekat , aku tak ingin memiliki anak yang perlu aku
khawatirkan”. Luca berkata dengan lugas. Tak ada kata yang bisa
menggambarkan betapa leganya aku karena kata-kata Luca. Aku sungguh
belum siap untuk mempunyai anak. Terlalu banyak perubahan yang
dilemparkan dalam hidupku tanpa harus dengan tambahan seorang bayi.
Ayahnya mengangguk.
“ya, ya, tentu saja bisa dimaklumi”.
Setelah percakapan
tentang The bravta dilontarkan aku langsung dilupakan. Aku keluar
dari rangkulan Luca dan berjalan ke arah para wanita. Gianna
menemuiku di tengah jalan. “Menjijikan”. Dia begumam dengan
sebal ke arah sprei.
“Aku tau”.
aku melihat-lihat
ke sekeliling dan aku tak bisa menemukan Fabiano dan juga Lily.
“Dimana---?”
“Di lantai atas
bersama Umberto. Ibu tak mau mereka disana ketika sprei
diselidiki”. Dia bersandar secara konspiratif. “aku sangat
senang akhirnya kau disini. Para wanita itu sedang berbagi cerita
tentang sprei berdarah mereka selama berjam-jam. Apa coba yang yang
salah denngan New York Familia ini? Jika aku mendengar sepatah kata
saja tentang itu, aku benar-benar akan memberi mereka mandi darah
yang sesungguhnya”.
“sekarang karena
aku sudah disini, aku ragu mereka akan membicarakan tentang apapun
selain sprei berdarah disana” aku bergumam. Dan aku benar.
Hampir tiap wanita merasa perlu memelukku dan menawarkan ku kata-kata
nasihat yang justru membuatku gugup. Semua akan jadi lebih baik.
Terkadang itu sedikit tidak nyaman untuk wanita. Dan
yang terbaik : percaya
padaku butuh waktu satu tahun untuk kau menikmatinya.
Ibu tetap menjaga jarak. Aku tak yakin mengapa. Valentina tidak
mengatakan apapun saat dia merangkulkan lengannya di tubuhku, hanya
menyentukan telapak tangannya ke pipiku dan tersenyum, sebelum
melangkah mundur memberi jalan untuk wanita lainnya. Ibu berdiri
dengan tangan yang bertaut didepan tubuhnya, rasa tak terima
terpampang di wajahnya. Aku bersyukur dia tidak menceritakan malam
pernikahan nya dengan ayah. Aku melangkah ke hadapannya dan
merangkulnya dalam pelukan erat. Seperti ayahku dia bukan tipe orang
yang menujukan kasih sayang tapi aku senang dengan kedekatanya. “aku
berharap aku bisa melindungimu dari semua ini”. Dia berbisik
sebelum dia menarik diri . Ada kilasan rasa bersalah diwajahnya.
Apa yang telah dia lakukan? Ayah tak akan membiarkan dia
membicarakan tentang kesepakatan ini.
“Luca tak bisa berhenti memandangimu. Kau pastinya meninggalkan
sedikit kesan padanya”. Ujar Ibu tiri Luca dengan menggoda.
Aku berbalik menghadap ibu tiri Luca dan tersenyum sopan. Luca
kemungkinan hanya ingin memastikan aku tidak keceplosan mengatakan
rahasia kami. Dari ujung mataku , aku melihat pintu belakang terbuka
dan Lily menyelinap masuk, diikuti Fabiano. Mereka tampaknya
memanfaatkan kesempatan saat Umberto izin ke Toilet untuk kabur.
Gianna terkejut saat Adik laki-laki kami berhenti di depan sprei.
Aku mohon diri dan berjalan mendekati mereka bersama Gianna dengan
berjinjit. Ibuku terjebak dalam percakapan yang terlalu sopan dengan
ibu Luca.
“Apa yang sedang kau lakukan disini, Monster kecil?” Gianna
bertanya, memegang bahu Fabiano.
“Kenapa ada darah di sprei?” dia setengah berteriak. “apakah
ada seseorang yang terbunuh?”.
Gianna meledak dalam tawa saat Lily terlihat sangat terpukul dengan
pemandangan sprei itu. Aku rasa itu sudah memecahkan gelembung
angan-angannya tentang pangeran dalam dongeng serta bercinta
dibawah bintang-bintang. Para pria yang berada di meja di belakang
kami juga mulai ikut tertawa, dan Wajah Fabiano dipenuhi amarah.
Walaupun dia baru berumur 8 tahun, dia sudah memiliki tepramen. Aku
berharap dia segera tenang, atau dia akan mengalami masalah saat dia
sudah diinisiasi. Gianna mengacak Rambut Fabiano.
“apakah kau akan pergi ke New York dengan Luca?” Fabiano
bertanya dengan tiba- tiba.
Aku menggigit bibirku. “Yeah”.
“Tapi aku ingin kau pulang ke rumah bersama kami”.
Aku berkedip, mencoba menyembunyikan kesedihanku mendengar dia
mengatakan itu. “aku tau”.
Lily mengalihkan pandangannya dari sprei itu untuk sesaat. “akankah
kau pergi berbulan madu?”
“Tidak sekarang. The Russian dan The Taiwanese sedang memberi Luca
banyak masalah”.
Fabiano mengangguk seakan dia mengerti., dan mungkin memang iya. Di
setiap tahun hidupnya dia belajar lebih banyak akan dunia gelap yang
kami tinggali.
“Berhenti memandangi sprei itu”. Gianna berkata dalam suara
pelan, tapi tampaknya lily terlaluterbawa kedalam pemandangan itu.
Wajahnya memucat. “kurasa aku akan muntah”. Aku aku
mengalungkan tangannku di bahunya dan membimbingnya keluar. Dia
gemetar didalam peganganku.
“Tahan,” perintahku saat kami sudah setengah jalan keluar
ruangan, mata setiap orang mengikuti kami. Kami terseok-seok di
Hall. “Dimana kamar mandi?” Mansion ini memiliki terlalu banyak
ruangan.
Romero mengantarkan kami ke ruangan di ujung hall dan membuka pintu,
dan menutupnya ketika kami sudah di dalam. Aku memegangi rambut lily
saat dia muntah di toilet, dan membantunya duduik di lantai. Aku
mengelap wajahnya dengan handuk panas dan sedikit sabun.
“Letakkan kepalamu diantara lututmu”. Aku berjongkok di
depannya. “apa yang terjadi?”.
Dia sedikit mengangkat bahu.
“aku akan membawakan teh untukmu”. Aku menegakkan tubuh.
“Jangan biarkan Romero melihatku seperti ini”.
“Romero tidak akan.....”aku terdiam. Lily jelas naksir Romero.
Itu sia-sia, tapi setidaknya aku bisa membiarkan fantasi kecilnya
itu, saat gambaran akan sprei itu sudah membuatnya terpukul. “aku
akan membuatnya menjaga jarak”. Aku berjanji dan keluar dari
ruangan.
Romero dan Luca berdiri di depan ruangan.
“apakah adikmu baik-baik saja?” Luca bertanya. Apakah dia
benar-benar peduli atau dia hanya basa basi.
“Seprei itu membuatnya mual”.
Ekspresi Romero menggelap . Mereka harusnya tidak mengijinkan gadis
muda menyaksikan sesuatu seperti itu. Itu hanya membuat mereka
takut”. Dia melirik ke arah Luca seolah sudah menangkap dirinya
sendiri. Tapi Luca melambaikan tangan tanpa ekspresi. “Kau
benar”.
“Lily butuh teh”.
“aku bisa mengambilkan untuknya dan menemaninya sehingga kalian
bisa kembali pada tamu-tamu” saran Romero.
Aku tersenyum. “kau baik sekali, tapi Lily tak ingin kau melihat
dia”.
Romero cemberut. “apakah dia takut padaku?”
“kau terdengar seakan hal itu tidak mungkin” aku berkata dengan
tawa. “kau adalah prajurit mafia. Jadi bagaimana tidak ditakuti?”
aku memutuskan untuk tidak bermain-main dengan dia lagi dan
memelankan suaraku. “tapi bukan karena itu. Lily amat sangat
naksir padamu dan dia aak ingin kau melihatnya dalam keadaan seperti
ini”. Begitulah, dan aku juga tak ingin satupun prajurit Luca
dekat dengan Lily sebelum aku mengenal mereka lebih baik.
Luca menyeringai. “Romero, pesonamu masih ampuh. Menaklukan hati
gadis berumur empat belas tahun”. Kemudian dia mengalihkan
perhatiannya padaku. “tapi kita harus kembali. Para wanita akan
merasa tersinggung jika kau tidak memberi perhatian pada mereka”.
“aku akan megurus Lily” kata Gianna, muncul dari arah Hall
bersama Fabiano.
Aku tersenyum. “Thanks”. Kataku dan mengelus tangannya saat kami
berpapasan. Pada saat kami kembali ke ruang makan , para wanita
berkerumun disekitarku lagi, mencoba mencari tau beberapa detail
dariku. Aku berpura -pura malu membicarakan tentang hal itu- dan
yang memag sedang kualami- dan hanya memberi mereke jawaban ambigu.
Para tamu mulai pergi, dan aku tau sebentar lagi adalah waktu untuk
berpisah dengan keluargaku dan pergi menuju kehidupan baruku.
Fabiano menekan wajahnya di rusukku hingga hampir terasa sakit dan
aku menjambak rambutnya, merasakan dia gemetar. Ayah mengamati
dengan cemberut tanda tak terima. Dia mengajarkan kepada Fabiano
bahwa dia sudah terlalu tua untuk menampakkan emosi seperti itu,
seakan bocah laki-laki itu tidak boleh sedih. Mereka harus segera
pergi ke bandara. Ayah harus kembali ke Chicago untuk menjalankan
bisnis seperti biasa. Aku berharap mereka bisa tinggal lebih lama
lagi, tapi aku dan Luca pun harus pergi ke New York hari ini.
Fabiano mendengus, kemudia menari diri dan mendongak ke atas
memandangku. Air mata menekan mataku tapi aku menahannya. Jika aku
mulai menangis sekarang maka akan tersasa lebih sulit untuk semua
orang, khususnya Gianna dan Lily. Mereka berdua menunggu beberapa
langkah di belakang fabiano, menanti giliran mereka untuk berpamitan.
Ayah sudah berdiri di samping mobil Mercedes sewaan, dan tidak sabar
untuk pergi.
“aku akan mengunjungimu segera”. Aku berjanji dan tak yakin
kapan itu akan dipenuhi. Natal ? Masih empat bulan lagi. Pikiran
itu menetap seperti batu yang berat di perutku.
“kapan?”Fabiano mencebikkan bibir bawahnya.
“Segera”
“kita tak bisa berlama-lama. Pesawat akan pergi meninggalkan
kita”. Ayah berkata dengan tajam “ kemari. Fabiano”.
Dengan tatapan kerinduan terakhir
padaku, Fabiano menghampiri ayah yang langsung memarahinya. Jantungku
terasa sangat berat, aku tidak yakin bagaimana jantungku bisa tetap
tinggal di dadaku tanpa menhancurkan tukang rusukku. Luca berhenti
dibelakang Mercedes dengan Aston Martin Vanquish berwarna abu-abu
metalik lalu keluar, tapi perhatianku beralih ke Lily yang
melemparkan lengannya melingkari tubuhku , dan sesaat kemuadian
Gianna bergabung dalam pelukan ini. Saudara perempuanku, sahabat
terbaikku, orang kepercayaanku, dan duniaku.
Aku tak bisa menahan airmataku lagi.
Aku tak pernah ingin membiarkan mereka pergi. Aku ingin membawa
mereka ke New York. Mereka bisa tinggal di Apartemen kami atau
bahkan bisa memiliki apartemen mereka sendiri. Setidaknya aku akan
memiliki orang yang aku cintai dan mencintaiku balik.
“Aku akan sangat merindukanmu”.
Lily berbisik diantara isak tangisnya. Gianna tidak mengatakan
apapun. Dia hanya menempelkan wajahnya di lekuk leherku dan
menangis. Gianna ku yang kuat dan impulsif. Aku tak yakin berapa
lama kami berpelukan, dan aku tak peduli berapa banyak yang melihat
pertunjukan kelemahan ini. Biarkan mereka melihat arti dari cinta
sejati. Kebanyakan dari mereka tidak pernah merasakannya.
“Kita harus pergi”, panggil ayahku.
Kerikil berderak.
Aku mengangkat wajahku. Ibu
menghampiri kami, menyentuh pipiku sejenak, lalu meraih lengan Lily
dan membawanya menjauh dariku. Bagian lain dari diriku hilang,
gianna tidak melonggarkan pegangan sekuat besinya padaku.
“Gianna!” suara ayah terdengar
seperti cambuk.
Dia mengangkat kepalanya, matanya
memerah, bintik-bintik wajahnya semakin terlihat. Kami saling
mengunci pandangan dan untuk sesaat tak ada satupun dari kami yang
berbicara. “telpon aku setiap hari. Setiap harii”.
“aku bersumpah”. Aku terisak.
“Gianna, Demi tuhan! Apa aku harus
menyeretmu”.
Dia berjalan mundur perlahan , kemudian
dia berputar dan praktis lari masuk ke dalam mobil. Aku berjalan
beberapa langkah kedepan saat mobil mereka melaju menyusuri jalanan
yang panjang. Tak satupun dari saudara perempuanku berbalik. Aku
lega ketika akhirnya mereka berbelok di tikungan dan menghilang. Aku
menangis untuk diriku sendiri selama beberapa saat dan tak ada yang
menyelaku. Aku tau aku tidak sendiri. Paling tidak, dalam artian
fisik.
Ketika akhirnya aku berbalik. Luca dan
Matteo berdiri beberapa langkah dibelakangku. Luca menatapku dengan
pandangan yang aku tak punya energi untuk membacanya. Dia mungkin
menganggapku menyedihkan dan lemah. Ini adalah kali keduaaku
menangis di depan dia. Tapi hari ini adalah yang paling menyaitkan.
Dia mendekat beberapa langkah di saat Matteo tetap berdiri
dibelakang.
“Chicago bukanlah akhir dunia”.
Luca berkata dengan lembut.
Dia tak bisa mengerti. “itu bisa
jadi akhir dunia. Aku tak pernah dipisahkan dari saudara-saudaraku.
Mereka adalah seluruh duniaku “.
Luca tidak berkata apapun. Dia membuat
gestur ke arah mobil. “Kita harus berangkat. Aku ada meeting
malam ini”.
Aku mengangguk. Tak ada yang menahanku
disini. Semua yang aku pedulikan sudah pergi.
“aku akan dibelakngmu”, ujar
Matteo, kemudian berjalan ke arah motor nya.
Aku tenggelam di kursi kulit Aston
Martin berwarna taupe. Luca menutup pintu, berjalan memutari mobil
dan duduk dibelakang kemudi.
“Tak ada Bodyguard?” aku bertanya
dengan datar.
“aku tidak butuh Bodyguard. Romero
untukmu. Dan mobil ini tak ada ruang untuk tambahan penumpang”.
Dia menghidupkan mesin , dan suara deruman memenuhi bagian dalam.
Aku menghadap ke jendela saat kami melaju meninggalkan mansion
Vittielo. Ini terasa tidak nyata bahwa hidupku bisa berubah dengan
begitu drastis hanya karena sebuah pernikahan. Dan memang begitulah,
dan akan berubah lebih jauh lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar