Rabu, 27 Desember 2017

Bound by Honnor BY Corra reyli Chapter 8

Aku sudah selesai mengenakan Maxi dress musim panas berwarna Orange dengan sabuk berwarna emas sebagai aksen di pinggangku ketika Luca melangkah keluar dari kamar mandi tanpa apapun kecuali handuk. Aku duduk i kursi di depan meja riasku , memakai make up , tapi membeku saat sikat maskara tinggal satu inchi lagi dari mataku ketika aku melihat Luca . Dia berjalan ke lemari pakaian dan mengambil celana hitam serta kemeja putih lalu dia menjatuhkan handuknya tanpa rasa malu . Aku tidak cukup cepat mengalihkan pandanganku dan aku dihadiahi pemandangan bagian belakang tubuhnya yang kokoh. Aku menundukan pandanganku dan menyibukkan diri memeriksa kuku-kuku ku sampai aku berani untuk menghadap ke kaca lagi dan mengenakan maskara.

Luca mengancingkan kemejanya, dan membiarkan dua kancing bagian atas tetap terbuka. Dia mengikatkan pisau di lengan bagian bawahnya lalu menggulung lengan kemeja nya hingga menutupi pisau, lalu melekatkan sarung pistol melingkar di betisnya. Aku berbalik “ apakah kau pernah berpergian tanpa membawa senjata?” tak ada sarung pistol di dadanya kali ini karena senjata- senjata itu tak bisa disembunyikan dengan baik hanya dengan kemeja putih.

“tidak jika aku bisa menghindari itu”. Dia menganggap ku. “apakah kau tau cara menembak atau menggunakan pisau?”

“Tidak. Ayahku berpikir bahwa wanita tak seharusnya diikutkan dalam pertarungan”.

“Terkadang pertarunganlah yang mendatangimu. The Bravta dan The Triad tidak membedakan antara wanita dan pria”.

“Jadi kau tak pernah membunuh wanita?”

Ekspresinya mengeras. “aku tak mengatakan itu”. Aku menunggu dia untuk menjelaskan tapi dia tak melakukannya. Mungkin itu adalah yang terbaik.

Aku berdiri, merapihkan gaunku , merasa gugup karena akan menemui ayahku dan Salvatore Vitiello setelah malam pernikahan. “Pilihan yang bagus”. Kata Luca. “Gaun itu menutupi kaki mu”.
“Seseorang bisa saja mengangkat rokku dan memeriksa pahaku”.

Aku tidak memaksudkannya sebagai candaan tapi bibir Luca tertarik menggeram. “Seseorang mencoba menyentuhmu, maka mereka akan kehilangan tangan mereka”.

Aku tak mengatakan apapun. Rasa proktektif nya membuatku merinding dan juga takut secara bersamaan. Dia menungguku di pintu dan aku mendekatinya dengan ragu-ragu. Kata-katanya di kamar mandi masih berdengung di telingaku. Menggeliat dalam kenikmatan. Aku bahkan tak yakin aku akan merasa cukup santai didekatnya untuk bisa mendapati kenikmatan. Gianna benar. Aku tak bisa mempercayainya dengan mudah. Dia bisa saja memanipulasiku.

Dia meletakkan tangannya di punggung bagian bawahku saat kami berjalan keluar. Saat kami berada di anak tangga paling atas, aku hampir bisa mendengar semua percakapan dan beberapa tamu tersebar berbincang-bincang dalam grup-grup kecil di hall pintu masuk yang besar.

Aku membeku. “apakah mereka masih saja melihat seprei berdarah itu?” aku berbisik, terkejut.

Luca menyipit ke arahku, menyeringai. “kebanyakan dari mereka, terutama wanita. Para pria mengharapkan rincian-rincian kotor , yang lainnya berharap untuk membicarakan bisnis, meminta bantuan, meraih sisi dermawanku”. Dia dengan lembut mendorongku kedepan dan kami berjalan menuruni tangga.

Romero menunggu di kaki tangga , rambut coklat nya berantakan. Dia menganggukan kepalanya kepada Luca, dan memberiku senyum menawan. “Apa kabarmu?” dia bertanya padaku, meringis, dan ujung telinganya memerah.

Luca terkekeh. Aku tak mengenal pria lain di hall ini, tapi semuanya memberikan Luca kedipan dan seringai lebar. Rasa malu menyergap leherku. Aku tau apa yang mereka semua pikirkan , dan aku seperti bisa merasakan mereka sedang menelanjangiku dengan mata mereka. Aku bergeser mendekat ke Luca dan dia mengaitkan jemarinya di pinggangku.

“Matteo dan seluruh keluargamu berada di ruang makan”.

“Menyelidiki sprei?”

“seakan mereka bisa membanca nya seperti daun teh”. Romero membenarkan,kemudian memberiku tatapan penyesalan. Dia tampaknya tak memcurigai apapun.

Kemarilah”, ujar Luca, mengiringku ke arah pintu ganda. Pada momen kami melangkah masuk ke ruang makan, setiap pasang mata mengarah padaku. Para perempuan dari keluarga berkumpul di satu sisi ruangan, dipisahkan dalam kelompok-kelompok kecil, sementara para pria duduk di seputar meja makan panjang , yang mana di penuhi dengan Ciabatta, buah anggur,ham, mortadella,keju, piring-piring buah dan biscoti. Aku menyadari aku sedikit lapar . Waktu sudah menunjukan mendekati jam makan siang, Matteo menyelinap di samping Luca dan aku , dengan secangkir ekspreso ditangannya.

“Kau terlihat berantakan”. Ujar Luca.

Matteo mengangguk. “ekspero ke sepuluhkun dan aku masih tetap belum bangun. Minum terlalu banyak semalam”.

“Kau keterlaluan”, Ujar Luca. “jika kau bukan adikku aku pasti sudah memotong lidahmu untuk tiap kata-kata yang kau lemparkan ke Aria”.

Matteo menyeringai ke arahku. “kuharap Luca tidak melakukan setengah dari apa yang telah aku sarankan”.

Aku tak yakin akan apa yang harus ku katakan pada Matteo. Matteo masih membuatku gugup. Dia bertukar tatapan dengan Luca, yang menggerakan jempolnya disisi tubuhku, dan membuatku melompat”.

“cukup mendekati karya seni atas apa yang kalian pertunjukan pada kami”, Matteo berkata dengan menoleh ke bagian belakang ruangan dimana sprei digantungkan diatas rak jaket untuk pameran yang lebih baik.

Aku menegang. Apa maksud Matteo?

Tapi Luca tidak terlihat khawatir, malahan dia menelengkan kepalanya. Salvatore Vittielo dan ayahku melambaikan tangan mereka untuk meminta kami bergabung bersama mereka dan akan jadi tidak sopan jika kami membiarkan mereka menunggu lebih lama lagi. Ayah berdiri ketika kami sampai di meja mereka dan menarikku kepelukannya. Aku terkejut dengan pertunjukan kasih sayang yang terbuka ini. Dia menyentuh bagian belakang kepalaku dan berbisik “aku bangga padamu”.

Aku memberinya senyum terpaksa ketika kami memisahkan diri. Bangga akan apa? Karena kehilangan keperawanan ku? Karena melebarkan kakiku?

Salvatore meletakkan tangannya di bahuku dan Luca, dan memberi kami senyuman. “ aku berharap kita dapat mengharapkan Vittielo kecil segera”.

Aku berusaha untuk tidak menunjukan rasa terkejutku. Tidakkah Luca menyebutkan bahwa aku menggunakan pencegah kehamilan?.

Aku ingin menikmati kebersamaan dengan Aria sedikit lebih lama. Dan dengan The Bravta yang semakin dekat , aku tak ingin memiliki anak yang perlu aku khawatirkan”. Luca berkata dengan lugas. Tak ada kata yang bisa menggambarkan betapa leganya aku karena kata-kata Luca. Aku sungguh belum siap untuk mempunyai anak. Terlalu banyak perubahan yang dilemparkan dalam hidupku tanpa harus dengan tambahan seorang bayi.

Ayahnya mengangguk. “ya, ya, tentu saja bisa dimaklumi”.

Setelah percakapan tentang The bravta dilontarkan aku langsung dilupakan. Aku keluar dari rangkulan Luca dan berjalan ke arah para wanita. Gianna menemuiku di tengah jalan. “Menjijikan”. Dia begumam dengan sebal ke arah sprei.

“Aku tau”.

aku melihat-lihat ke sekeliling dan aku tak bisa menemukan Fabiano dan juga Lily. “Dimana---?”

“Di lantai atas bersama Umberto. Ibu tak mau mereka disana ketika sprei diselidiki”. Dia bersandar secara konspiratif. “aku sangat senang akhirnya kau disini. Para wanita itu sedang berbagi cerita tentang sprei berdarah mereka selama berjam-jam. Apa coba yang yang salah denngan New York Familia ini? Jika aku mendengar sepatah kata saja tentang itu, aku benar-benar akan memberi mereka mandi darah yang sesungguhnya”.

“sekarang karena aku sudah disini, aku ragu mereka akan membicarakan tentang apapun selain sprei berdarah disana” aku bergumam. Dan aku benar. Hampir tiap wanita merasa perlu memelukku dan menawarkan ku kata-kata nasihat yang justru membuatku gugup. Semua akan jadi lebih baik. Terkadang itu sedikit tidak nyaman untuk wanita. Dan yang terbaik : percaya padaku butuh waktu satu tahun untuk kau menikmatinya.

Ibu tetap menjaga jarak. Aku tak yakin mengapa. Valentina tidak mengatakan apapun saat dia merangkulkan lengannya di tubuhku, hanya menyentukan telapak tangannya ke pipiku dan tersenyum, sebelum melangkah mundur memberi jalan untuk wanita lainnya. Ibu berdiri dengan tangan yang bertaut didepan tubuhnya, rasa tak terima terpampang di wajahnya. Aku bersyukur dia tidak menceritakan malam pernikahan nya dengan ayah. Aku melangkah ke hadapannya dan merangkulnya dalam pelukan erat. Seperti ayahku dia bukan tipe orang yang menujukan kasih sayang tapi aku senang dengan kedekatanya. “aku berharap aku bisa melindungimu dari semua ini”. Dia berbisik sebelum dia menarik diri . Ada kilasan rasa bersalah diwajahnya. Apa yang telah dia lakukan? Ayah tak akan membiarkan dia membicarakan tentang kesepakatan ini.

“Luca tak bisa berhenti memandangimu. Kau pastinya meninggalkan sedikit kesan padanya”. Ujar Ibu tiri Luca dengan menggoda.

Aku berbalik menghadap ibu tiri Luca dan tersenyum sopan. Luca kemungkinan hanya ingin memastikan aku tidak keceplosan mengatakan rahasia kami. Dari ujung mataku , aku melihat pintu belakang terbuka dan Lily menyelinap masuk, diikuti Fabiano. Mereka tampaknya memanfaatkan kesempatan saat Umberto izin ke Toilet untuk kabur. Gianna terkejut saat Adik laki-laki kami berhenti di depan sprei.

Aku mohon diri dan berjalan mendekati mereka bersama Gianna dengan berjinjit. Ibuku terjebak dalam percakapan yang terlalu sopan dengan ibu Luca.

“Apa yang sedang kau lakukan disini, Monster kecil?” Gianna bertanya, memegang bahu Fabiano.

“Kenapa ada darah di sprei?” dia setengah berteriak. “apakah ada seseorang yang terbunuh?”.

Gianna meledak dalam tawa saat Lily terlihat sangat terpukul dengan pemandangan sprei itu. Aku rasa itu sudah memecahkan gelembung angan-angannya tentang pangeran dalam dongeng serta bercinta dibawah bintang-bintang. Para pria yang berada di meja di belakang kami juga mulai ikut tertawa, dan Wajah Fabiano dipenuhi amarah. Walaupun dia baru berumur 8 tahun, dia sudah memiliki tepramen. Aku berharap dia segera tenang, atau dia akan mengalami masalah saat dia sudah diinisiasi. Gianna mengacak Rambut Fabiano.

“apakah kau akan pergi ke New York dengan Luca?” Fabiano bertanya dengan tiba- tiba.

Aku menggigit bibirku. “Yeah”.

“Tapi aku ingin kau pulang ke rumah bersama kami”.

Aku berkedip, mencoba menyembunyikan kesedihanku mendengar dia mengatakan itu. “aku tau”.

Lily mengalihkan pandangannya dari sprei itu untuk sesaat. “akankah kau pergi berbulan madu?”

“Tidak sekarang. The Russian dan The Taiwanese sedang memberi Luca banyak masalah”.

Fabiano mengangguk seakan dia mengerti., dan mungkin memang iya. Di setiap tahun hidupnya dia belajar lebih banyak akan dunia gelap yang kami tinggali.

“Berhenti memandangi sprei itu”. Gianna berkata dalam suara pelan, tapi tampaknya lily terlaluterbawa kedalam pemandangan itu.

Wajahnya memucat. “kurasa aku akan muntah”. Aku aku mengalungkan tangannku di bahunya dan membimbingnya keluar. Dia gemetar didalam peganganku.

“Tahan,” perintahku saat kami sudah setengah jalan keluar ruangan, mata setiap orang mengikuti kami. Kami terseok-seok di Hall. “Dimana kamar mandi?” Mansion ini memiliki terlalu banyak ruangan.

Romero mengantarkan kami ke ruangan di ujung hall dan membuka pintu, dan menutupnya ketika kami sudah di dalam. Aku memegangi rambut lily saat dia muntah di toilet, dan membantunya duduik di lantai. Aku mengelap wajahnya dengan handuk panas dan sedikit sabun.

“Letakkan kepalamu diantara lututmu”. Aku berjongkok di depannya. “apa yang terjadi?”.

Dia sedikit mengangkat bahu.

“aku akan membawakan teh untukmu”. Aku menegakkan tubuh.

“Jangan biarkan Romero melihatku seperti ini”.
“Romero tidak akan.....”aku terdiam. Lily jelas naksir Romero. Itu sia-sia, tapi setidaknya aku bisa membiarkan fantasi kecilnya itu, saat gambaran akan sprei itu sudah membuatnya terpukul. “aku akan membuatnya menjaga jarak”. Aku berjanji dan keluar dari ruangan.

Romero dan Luca berdiri di depan ruangan.

“apakah adikmu baik-baik saja?” Luca bertanya. Apakah dia benar-benar peduli atau dia hanya basa basi.

“Seprei itu membuatnya mual”.

Ekspresi Romero menggelap . Mereka harusnya tidak mengijinkan gadis muda menyaksikan sesuatu seperti itu. Itu hanya membuat mereka takut”. Dia melirik ke arah Luca seolah sudah menangkap dirinya sendiri. Tapi Luca melambaikan tangan tanpa ekspresi. “Kau benar”.

“Lily butuh teh”.

“aku bisa mengambilkan untuknya dan menemaninya sehingga kalian bisa kembali pada tamu-tamu” saran Romero.

Aku tersenyum. “kau baik sekali, tapi Lily tak ingin kau melihat dia”.

Romero cemberut. “apakah dia takut padaku?”

“kau terdengar seakan hal itu tidak mungkin” aku berkata dengan tawa. “kau adalah prajurit mafia. Jadi bagaimana tidak ditakuti?” aku memutuskan untuk tidak bermain-main dengan dia lagi dan memelankan suaraku. “tapi bukan karena itu. Lily amat sangat naksir padamu dan dia aak ingin kau melihatnya dalam keadaan seperti ini”. Begitulah, dan aku juga tak ingin satupun prajurit Luca dekat dengan Lily sebelum aku mengenal mereka lebih baik.

Luca menyeringai. “Romero, pesonamu masih ampuh. Menaklukan hati gadis berumur empat belas tahun”. Kemudian dia mengalihkan perhatiannya padaku. “tapi kita harus kembali. Para wanita akan merasa tersinggung jika kau tidak memberi perhatian pada mereka”.

“aku akan megurus Lily” kata Gianna, muncul dari arah Hall bersama Fabiano.

Aku tersenyum. “Thanks”. Kataku dan mengelus tangannya saat kami berpapasan. Pada saat kami kembali ke ruang makan , para wanita berkerumun disekitarku lagi, mencoba mencari tau beberapa detail dariku. Aku berpura -pura malu membicarakan tentang hal itu- dan yang memag sedang kualami- dan hanya memberi mereke jawaban ambigu. Para tamu mulai pergi, dan aku tau sebentar lagi adalah waktu untuk berpisah dengan keluargaku dan pergi menuju kehidupan baruku.



Fabiano menekan wajahnya di rusukku hingga hampir terasa sakit dan aku menjambak rambutnya, merasakan dia gemetar. Ayah mengamati dengan cemberut tanda tak terima. Dia mengajarkan kepada Fabiano bahwa dia sudah terlalu tua untuk menampakkan emosi seperti itu, seakan bocah laki-laki itu tidak boleh sedih. Mereka harus segera pergi ke bandara. Ayah harus kembali ke Chicago untuk menjalankan bisnis seperti biasa. Aku berharap mereka bisa tinggal lebih lama lagi, tapi aku dan Luca pun harus pergi ke New York hari ini.

Fabiano mendengus, kemudia menari diri dan mendongak ke atas memandangku. Air mata menekan mataku tapi aku menahannya. Jika aku mulai menangis sekarang maka akan tersasa lebih sulit untuk semua orang, khususnya Gianna dan Lily. Mereka berdua menunggu beberapa langkah di belakang fabiano, menanti giliran mereka untuk berpamitan. Ayah sudah berdiri di samping mobil Mercedes sewaan, dan tidak sabar untuk pergi.

“aku akan mengunjungimu segera”. Aku berjanji dan tak yakin kapan itu akan dipenuhi. Natal ? Masih empat bulan lagi. Pikiran itu menetap seperti batu yang berat di perutku.

“kapan?”Fabiano mencebikkan bibir bawahnya.
“Segera”
“kita tak bisa berlama-lama. Pesawat akan pergi meninggalkan kita”. Ayah berkata dengan tajam “ kemari. Fabiano”.

Dengan tatapan kerinduan terakhir padaku, Fabiano menghampiri ayah yang langsung memarahinya. Jantungku terasa sangat berat, aku tidak yakin bagaimana jantungku bisa tetap tinggal di dadaku tanpa menhancurkan tukang rusukku. Luca berhenti dibelakang Mercedes dengan Aston Martin Vanquish berwarna abu-abu metalik lalu keluar, tapi perhatianku beralih ke Lily yang melemparkan lengannya melingkari tubuhku , dan sesaat kemuadian Gianna bergabung dalam pelukan ini. Saudara perempuanku, sahabat terbaikku, orang kepercayaanku, dan duniaku.

Aku tak bisa menahan airmataku lagi. Aku tak pernah ingin membiarkan mereka pergi. Aku ingin membawa mereka ke New York. Mereka bisa tinggal di Apartemen kami atau bahkan bisa memiliki apartemen mereka sendiri. Setidaknya aku akan memiliki orang yang aku cintai dan mencintaiku balik.

“Aku akan sangat merindukanmu”. Lily berbisik diantara isak tangisnya. Gianna tidak mengatakan apapun. Dia hanya menempelkan wajahnya di lekuk leherku dan menangis. Gianna ku yang kuat dan impulsif. Aku tak yakin berapa lama kami berpelukan, dan aku tak peduli berapa banyak yang melihat pertunjukan kelemahan ini. Biarkan mereka melihat arti dari cinta sejati. Kebanyakan dari mereka tidak pernah merasakannya.

“Kita harus pergi”, panggil ayahku. Kerikil berderak.

Aku mengangkat wajahku. Ibu menghampiri kami, menyentuh pipiku sejenak, lalu meraih lengan Lily dan membawanya menjauh dariku. Bagian lain dari diriku hilang, gianna tidak melonggarkan pegangan sekuat besinya padaku.

“Gianna!” suara ayah terdengar seperti cambuk.

Dia mengangkat kepalanya, matanya memerah, bintik-bintik wajahnya semakin terlihat. Kami saling mengunci pandangan dan untuk sesaat tak ada satupun dari kami yang berbicara. “telpon aku setiap hari. Setiap harii”.

“aku bersumpah”. Aku terisak.

“Gianna, Demi tuhan! Apa aku harus menyeretmu”.

Dia berjalan mundur perlahan , kemudian dia berputar dan praktis lari masuk ke dalam mobil. Aku berjalan beberapa langkah kedepan saat mobil mereka melaju menyusuri jalanan yang panjang. Tak satupun dari saudara perempuanku berbalik. Aku lega ketika akhirnya mereka berbelok di tikungan dan menghilang. Aku menangis untuk diriku sendiri selama beberapa saat dan tak ada yang menyelaku. Aku tau aku tidak sendiri. Paling tidak, dalam artian fisik.

Ketika akhirnya aku berbalik. Luca dan Matteo berdiri beberapa langkah dibelakangku. Luca menatapku dengan pandangan yang aku tak punya energi untuk membacanya. Dia mungkin menganggapku menyedihkan dan lemah. Ini adalah kali keduaaku menangis di depan dia. Tapi hari ini adalah yang paling menyaitkan. Dia mendekat beberapa langkah di saat Matteo tetap berdiri dibelakang.

“Chicago bukanlah akhir dunia”. Luca berkata dengan lembut.

Dia tak bisa mengerti. “itu bisa jadi akhir dunia. Aku tak pernah dipisahkan dari saudara-saudaraku. Mereka adalah seluruh duniaku “.

Luca tidak berkata apapun. Dia membuat gestur ke arah mobil. “Kita harus berangkat. Aku ada meeting malam ini”.

Aku mengangguk. Tak ada yang menahanku disini. Semua yang aku pedulikan sudah pergi.

“aku akan dibelakngmu”, ujar Matteo, kemudian berjalan ke arah motor nya.

Aku tenggelam di kursi kulit Aston Martin berwarna taupe. Luca menutup pintu, berjalan memutari mobil dan duduk dibelakang kemudi.

“Tak ada Bodyguard?” aku bertanya dengan datar.

“aku tidak butuh Bodyguard. Romero untukmu. Dan mobil ini tak ada ruang untuk tambahan penumpang”. Dia menghidupkan mesin , dan suara deruman memenuhi bagian dalam. Aku menghadap ke jendela saat kami melaju meninggalkan mansion Vittielo. Ini terasa tidak nyata bahwa hidupku bisa berubah dengan begitu drastis hanya karena sebuah pernikahan. Dan memang begitulah, dan akan berubah lebih jauh lagi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

STUCK UP SUIT Chapter 8

GRAHAM AKU TIDAK MENDENGAR KABAR NYA SEPANJANG HARI di hari sabtu, dan tidak seperti yang aku harapkan juga. Soraya Venedetta san...