Selasa, 27 Februari 2018

Final Chapter Bound by Honor

Mandi adalah sebuah perjuangan. Aku harus menutupi perbanku dengan pembungkus tahan air, yang merupakan kerumitan utama, tapi rasa air hangat yang membasuh darah dan keringat tidak sia-sia. Gianna, Lily dan Fabi telah pulang kurang dari sejam yang lalu. Ayah memaksa mereka pulang. Bukan berarti mereka jauh lebih aman di Chicago. Bravta juga sudah mendekat ke Outfit. Minimal, aku bisa bersama mereka sedikit lebih lama dari yang direncanakan. Mereka teus-terusan membuatku terhibur saat aku terbaring di tempat tidur dan Luca sedang mengurus segalanya. Sebagai seorang Capo dia tidak bisa membebani anak buahnya. Dia harus menunjukan pada mreka dia memiliki rencana tindakan.
Aku sudah merasa jauh lebih baik. Mungkin itu efek obat penghilang rasa sakit yang aku dapatkan dua jam yang lalu. Aku melangkah keluar dari kamar mandi dan dengan canggung mengenakan celana dalamku. Aku tak bisa menggerakan kedua lenganku, tapi Doc berkata aku harus menggerakan tangan kiriku sesedikit mungkin. Mengenakan baju tidur terbukti lebih sulit. Aku berhasil menyelipkan satu tali pada bahuku yang terluka saat aku melangkah kembali ke kamar tidur dimana aku menemukan Luca sedang duduk diatas tempat tidur. Dia segera bangun.
“Sudah selesai urusannya?”
dia mengangguk. Dia mendekatiku, dan memasangkan tali kedua di tempatnya, lalu dia menuntunku ke tempat tidur, dan menyuruhku duduk. Kami belum sempat berbicara berdua sejak percakapan kami yang pertama dan aku kemudian terlalu lemas karena morfin.
“Aku baik-baik saja” kataku lagi karena dia terlihat butuh untuk mendengar itu. Dia tidak mengatakan apapun dalam waktu yang lama sebelum akhirnya dia berlutut di depanku dan menekan wajahnya di perutku. “Aku bisa saja kehilangan dirimu dua hari yang lalu”.
Aku bergidik. “Tapi nyatanya tidak”.
Dia melirik ke atas. “Kenapa kau melakukan itu? Kenapa kau menghadang peluru untukku?”.
“Apa kau sungguh tidak tau mengapa?” aku berbisik.
Dia menjadi sangat kaku, tapi dia tidak mengatakan apapun.
“Aku mencintaimu, Luca”. Aku tau mengungkapkannya adalah sebuah resiko, tapi aku sudah berpikir bahwa aku akan mati dua hari yang lalu, jadi ini bukanlah apa-apa.
Luca mengangkat wajahnya ke wajahku dan menangkup pipiku. “Kau mencintaiku”. Dia berkata seakan aku telah mengatakan bahwa langit berwarna hijau, atau mengatakan bahwa matahari mengitari bumi atau bahwa api rasanya dingin saat di sentuh. Seakan yang aku katakan tidak masuk akal, seakan aku tidak cocok pada pandangannya akan dunia. “Kau tidak seharusnya mencintaiku, Aria. Aku bukanlah seseorang yang patut untuk dicintai. Orang-orang takut padaku,mereka membenciku, mereka menghormatiku, mereka mengagumiku, tapi mereka tidak mencintaiku. Aku seorang pembunuh. Aku ahli dalam membunuh. Lebih baik dari hal lainnya, dan aku tidak meragukan itu. Sialan, terkadang aku bahkan menikmatinya, inikah pria yang ingin kau cintai?”.
“Ini tidak ada hubungannya dengan keinginan,Luca. Ini tidak seperti aku punya pilihan untuk berhenti mencintaimu”.
Dia mengangguk, seakan telah banyak penjelasan. “Dan kau benci karena kau mencintaiku. Aku ingat kau pernah mengatakan itu sebelumnya”.
“tidak, tidak lagi. Aku tau kau bukan pria yang baik. Aku selalu tau itu, dan aku tak peduli. Aku tau aku seharusnya peduli. Aku tau aku seharusnya terbaring nyalang di malam hari membenci diriku sendiri karena tidak masalah dengan suamiku yang menjadi bos salah satu organisasi kejahatan paling brutal dan mematikan di Amerika. Tapi itu tidak kulakukan. Jadi bagaimana aku menurutmu?” aku berhenti, menatap ke tanganku, tangan yang telah menggenggam senjata dua hari yang lalu, jari yang telah menarik pelatuk tanpa ragu, tanpa berjedut ataupun gemetar. “dan aku telah membunuh seorang pria dan aku tidak menyesal. Tidak sedikitpun. Aku akan melakukan itu lagi”. Aku memandang sekilas ke Luca. “Jadi itu membuatku jadi apa, Luca? Aku pembunuh sepertimu”.
“Kau melakukan apa yang harus kau lakukan. Dia layak mati”.
“Tak ada salah satu diantara kita yang tidak layak mati. Kita mungkin lebih layak mati dibanding orang kebanyakan”.
“Kau orang baik, Aria. Kau tidak bersalah, aku memaksamu melakukan ini”.
“Tidak Luca. Aku terlahir di dunia ini. Dan aku memilih tinggal di dunia ini”. Kata- kata pada pesta pernikahanku muncul dalam benakku. “Terlahir di dunia kita berarti terlahir dengan darah di tanganmu. Dan setiap napas yang kita ambil, dosa terukir lebih dalam ke dalam kulit kita”.
“Kau tidak memiliki pilihan. Tak ada jalan keluar dari dunia kita. Kau bahkan tak memiliki pilihan saat menikahiku. Jika kau membiarkan peluru membunuhku, setidaknya kau akan terbebas dari pernikahan ini”.
“Ada beberapa hal baik dalam dunia kita, Luca, dan jika kau menemukan ,kau berpegang teguh dengan semua kekutanmu. Kau adalah salah satu hal baik dalam kehidupanku”.
“Aku bukan orang baik”, kata Luca hampir putus asa.
“Kau bukan orang yang baik, bukan. Tapi kau baik untukku. Aku merasa aman dalam pelukanmu. Aku tidak tau mengapa, tidak tau mengapa aku mencintaimu, tapi aku tetap mencintaimu, dan itu tak akan berubah”.
Luca memejamkan mata, tampak hampir putus asa. “Cinta adalah resiko di dunia kita, dan Kelamahan yang tak bisa di tanggung seorang Capo”.
“Aku tau”. Kataku bahkan saat tenggorokanku tercekat.
Mata Luca mendadak terbuka, galak, dan berkobar karena emosi. “tapi aku tak peduli karena mencintaimu adalah satu-satunya hal suci dalam hidupku”.
Air mata bersimbah dimataku. “Kau mencintaiku?”.
“Ya, walaupun seharusnya tidak. Jika musuh-musuhku tau betapa berartinya dirimu untukku, mereka akan melakukan apapun untuk menyakitimu, untuk melukaiku melalui dirimu, untuk mengontrolku dengan mengancam dirimu. Bravta akan mencoba lagi, dan yang lainnya juga. Ketika aku menjadi anggota mafia, aku bersumpah untuk mengedepankan Familia, dan aku memperkuat sumpah ku ketika aku menjadi Capo dei Capi meskipun aku tau aku berbohong. Pilihan utamaku seharusnya selalu Familia”.
Aku menahan napas, tak mampu mengucapkans epatah katapun. Tatapan yang dia berikan apdaku hampir membuaku hancur lebur.
“Tapi aku adalah pilihan utamaku, Aria. Aku akan membakar dunia jika perlu. Aku akan membunuh dan melukai, memeras. Aku akan melakukan apapun untukmu. Mungkin cinta adalah sebuah resiko, tapi ini dalah resiko yang sukarela aku ambil seperti yang telah kau katakan, ini bukanlah sebuah pilihan. Aku tak pernah berpikir aku akan begini, tak pernah berpikir aku bisa mencintai seseorang seperti itu tapi aku telah jatuh cinta padamu. Aku melawannya. Dan ini adalah pertarungan pertama yang tak mengapa jika aku kalah”.
Aku memeluknya erat-erat, menangis, lalu merintih karena nyeri di pangkal bahuku. Luca menarik diri. Kau butuh istirahat. Tubuhmu butuh penyembuhan”. Dia menyuruhku berbaring tapi aku memegangi lengannya. “aku tak ingin istirahat. Aku ingin bercinta denganmu”.
Luca tampak sedih. “Aku akan menyakitimu. Jahitannmu bisa robek”.
Aku mengangsurkan tanganku dari dadanya , perutnya yang kencang sapai aku mengelus tonjolan di boxernya. “Dia setuju denganku”.
“Dia selalu setuju, tapi dia bukanlah suara yang masuk akal, percayalah padaku”.
Aku terkikik, lalu mengernyit saat rasa sakit meluncur turun dari lenganku.
“kumohon”, bisikku. “Aku ingin bercinta denganmu. Sudah lama aku menginginkan ini”.
“Aku selalu bercinta denganmu , Aria”.
Aku menelan ludah, dan mulai membelai ereksi Luca melalui kain tipis. Dia tidak menarik diri. “Apa kau tidak menginginkan ini”.
“Tentu saja aku menginginkannya. Kita hampir kehilangan satu sama lain. Tak ada yang kuinginkan selain berada sedekat mungkin denganmu”.
“Bercintalah denganku lambat dan lembut”.
“Lambat dan lembut”. Luca berkata dengan suara pelan dan aku tau aku telah mendapatkan dia. Dia turun ke bawah ke ujung tempat tidur dan mulai memijat kakiku dan betisku. Aku membuka kakiku lebar. Baju tidurku tertarik ke atas, menampakkan celana dalam putihku di hadapan Luca. Matanya menjelajah ke atas dan aku tau dia bisa melihat betapa aku menginginkan dan membutuhkan ini. Luca menggeram di atas tungkaiku, kemudia menjalarkan jarinya naik ke kakiku, hanya mengusap sekilas sampai dia mengusap bagian tengahku dengan ujung jarinya. Celana dalamku menempel di intiku yang licin dan panas. “Kau membuat lambat dan lembut sulit untukku. Jika kau tidak terluka aku akan mengubur diriku di dalam dirimu dan membuatmu menjeritkan namaku”.
“Jika aku tidak terluka, aku ingin kau melakukanya”.
Luca menjentikan lidahnya di pergelangan kakiku, lalu dengan lembut menghisap kulitku ke mulutnya. “Milikku”.
Kemudian dia memenuhi betis dan pahaku dengan kecupan, mengucapkan kata “Milikku” berulang-ulang saat bergerak ke arahku. Dia menurunkan celana dalamku, lalu duduk diantara kakiku dan mencium bibir luar vaginaku. “milikku” dia berbisik di atas daging lembabku. Aku melengkung dan langsung tersentak kesakitan.
“Aku ingin kau rilex sepenuhnya. Tidak menegangkan otot-ototmu, atau bahumu akan sakit”, katanya, bibirnya menggesek ku saat dia berbicara dan membuatu basah karena gairah.
“Aku selalu tegang ketika aku klimaks”. Kataku menggoda. “Dan sungguh aku ingin benar-benar orgasme”.
“Kau akan mendapatkannya, tapi tanpa menegang”.
Aku tidak mengatakan bahwa kurasa itu tidak mungkin. Luca mungkin bisa melihat dari wajahku dan ekspresinya mengatakan bahwa dia menerima tantangan itu.
Seharusnya aku lebih sering menantangnya. Dia mulai menyenangkanku dengansentuhan selembut sutra dan mencium dan menjilat yang membuat telapak kakiku melengkung akan kebutuhan. Otot-ototku mengendur dan pikiranku melayang menjadi kepompong kenikmatan. Lenguhanku yang pelan dan suara mulut Luca di selangkanganku bercampur dengan keheningan ruangan. Sebuah simpul perlahan terbentuk jauh di lubuk hatiku, dan tiap gesekan lidah Luca mengencangkannya dan kemudian dengan kenikmatan perlahan simpulnya terurai dan orgasmeku mengalir seperti madu, dan aku melepaskan napas panjang saat Luca tetap menjaga Orgasme mengalir seakan selamanya dengan sentuhan seringan bulu. Aku melihatanya bangkit melalui kabut yang tak ada hubungannya dengan obat penghilang rasa sakit. Dia melepaskan boxernya saat aku berbaring seperti tumpukan tanpa tulang di tempat tidur. Tubuhku bersenandung seakan-akan setiap sel telah diresapi dengan kenikmatan yang manis. Dia membentang di atasku, ujungnya di pintu masukku. Lalu dia menyelinapa ke dalam diriku dengan sangat pelan, meregangkan tubuhku. Aku menghembuskan napas panjang saat dia benar-benar mengisi tubuhku.
“Milikku”, dia berkata dengan pelan.
Aku menatap matanya saat dia menarik sedikit demi sedikit sampai hanya ujungnya yang ada di dalam diriku sebelum meluncur masuk. “Milikmu”, bisikku.
Jalan yang membentang di depan kami , adalah kegelapan, kehidupan yang penuh darah dan kematian dan mara bahaya,sebuah masa depan yang selalu mengawasi dibelakangku, dengan mengetahui bahwa setiap hari bisa menjadi hari terakhir Luca, ketakutan suatu hari harus melihat Luca mendapatkan tembakan mematikan. Tapi inilah dunia ku dan Luca adalah pria ku, dan aku akan menjalani takdir ini dengan dia hingga akhir yang pahit.
Saat dia bercinta denganku, aku menyentuh tato diatas jantungnya, merasakan jantungnya berdetak dibawah telapak tanganku. Aku tersenyum. “Milikku”.
“Selalu”. Kata Luca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

STUCK UP SUIT Chapter 8

GRAHAM AKU TIDAK MENDENGAR KABAR NYA SEPANJANG HARI di hari sabtu, dan tidak seperti yang aku harapkan juga. Soraya Venedetta san...