Mandi adalah sebuah
perjuangan. Aku harus menutupi perbanku dengan pembungkus tahan air,
yang merupakan kerumitan utama, tapi rasa air hangat yang membasuh
darah dan keringat tidak sia-sia. Gianna, Lily dan Fabi telah pulang
kurang dari sejam yang lalu. Ayah memaksa mereka pulang. Bukan
berarti mereka jauh lebih aman di Chicago. Bravta juga sudah
mendekat ke Outfit. Minimal, aku bisa bersama mereka sedikit lebih
lama dari yang direncanakan. Mereka teus-terusan membuatku terhibur
saat aku terbaring di tempat tidur dan Luca sedang mengurus
segalanya. Sebagai seorang Capo dia tidak bisa membebani anak
buahnya. Dia harus menunjukan pada mreka dia memiliki rencana
tindakan.
Aku sudah merasa
jauh lebih baik. Mungkin itu efek obat penghilang rasa sakit yang
aku dapatkan dua jam yang lalu. Aku melangkah keluar dari kamar
mandi dan dengan canggung mengenakan celana dalamku. Aku tak bisa
menggerakan kedua lenganku, tapi Doc berkata aku harus menggerakan
tangan kiriku sesedikit mungkin. Mengenakan baju tidur terbukti
lebih sulit. Aku berhasil menyelipkan satu tali pada bahuku yang
terluka saat aku melangkah kembali ke kamar tidur dimana aku
menemukan Luca sedang duduk diatas tempat tidur. Dia segera
bangun.
“Sudah selesai
urusannya?”
dia mengangguk. Dia
mendekatiku, dan memasangkan tali kedua di tempatnya, lalu dia
menuntunku ke tempat tidur, dan menyuruhku duduk. Kami belum sempat
berbicara berdua sejak percakapan kami yang pertama dan aku
kemudian terlalu lemas karena morfin.
“Aku baik-baik
saja” kataku lagi karena dia terlihat butuh untuk mendengar itu.
Dia tidak mengatakan apapun dalam waktu yang lama sebelum akhirnya
dia berlutut di depanku dan menekan wajahnya di perutku. “Aku bisa
saja kehilangan dirimu dua hari yang lalu”.
Aku bergidik. “Tapi
nyatanya tidak”.
Dia melirik ke atas.
“Kenapa kau melakukan itu? Kenapa kau menghadang peluru untukku?”.
“Apa kau sungguh
tidak tau mengapa?” aku berbisik.
Dia menjadi sangat
kaku, tapi dia tidak mengatakan apapun.
“Aku mencintaimu,
Luca”. Aku tau mengungkapkannya adalah sebuah resiko, tapi aku
sudah berpikir bahwa aku akan mati dua hari yang lalu, jadi ini
bukanlah apa-apa.
Luca mengangkat
wajahnya ke wajahku dan menangkup pipiku. “Kau mencintaiku”.
Dia berkata seakan aku telah mengatakan bahwa langit berwarna hijau,
atau mengatakan bahwa matahari mengitari bumi atau bahwa api rasanya
dingin saat di sentuh. Seakan yang aku katakan tidak masuk akal,
seakan aku tidak cocok pada pandangannya akan dunia. “Kau tidak
seharusnya mencintaiku, Aria. Aku bukanlah seseorang yang patut
untuk dicintai. Orang-orang takut padaku,mereka membenciku, mereka
menghormatiku, mereka mengagumiku, tapi mereka tidak mencintaiku.
Aku seorang pembunuh. Aku ahli dalam membunuh. Lebih baik dari hal
lainnya, dan aku tidak meragukan itu. Sialan, terkadang aku bahkan
menikmatinya, inikah pria yang ingin kau cintai?”.
“Ini tidak ada
hubungannya dengan keinginan,Luca. Ini tidak seperti aku punya
pilihan untuk berhenti mencintaimu”.
Dia mengangguk,
seakan telah banyak penjelasan. “Dan kau benci karena kau
mencintaiku. Aku ingat kau pernah mengatakan itu sebelumnya”.
“tidak, tidak
lagi. Aku tau kau bukan pria yang baik. Aku selalu tau itu, dan aku
tak peduli. Aku tau aku seharusnya peduli. Aku tau aku seharusnya
terbaring nyalang di malam hari membenci diriku sendiri karena tidak
masalah dengan suamiku yang menjadi bos salah satu organisasi
kejahatan paling brutal dan mematikan di Amerika. Tapi itu tidak
kulakukan. Jadi bagaimana aku menurutmu?” aku berhenti, menatap
ke tanganku, tangan yang telah menggenggam senjata dua hari yang
lalu, jari yang telah menarik pelatuk tanpa ragu, tanpa berjedut
ataupun gemetar. “dan aku telah membunuh seorang pria dan aku
tidak menyesal. Tidak sedikitpun. Aku akan melakukan itu lagi”.
Aku memandang sekilas ke Luca. “Jadi itu membuatku jadi apa, Luca?
Aku pembunuh sepertimu”.
“Kau melakukan apa
yang harus kau lakukan. Dia layak mati”.
“Tak ada salah
satu diantara kita yang tidak layak mati. Kita mungkin lebih layak
mati dibanding orang kebanyakan”.
“Kau orang baik,
Aria. Kau tidak bersalah, aku memaksamu melakukan ini”.
“Tidak Luca. Aku
terlahir di dunia ini. Dan aku memilih tinggal di dunia ini”.
Kata- kata pada pesta pernikahanku muncul dalam benakku. “Terlahir
di dunia kita berarti terlahir dengan darah di tanganmu. Dan setiap
napas yang kita ambil, dosa terukir lebih dalam ke dalam kulit kita”.
“Kau tidak
memiliki pilihan. Tak ada jalan keluar dari dunia kita. Kau bahkan
tak memiliki pilihan saat menikahiku. Jika kau membiarkan peluru
membunuhku, setidaknya kau akan terbebas dari pernikahan ini”.
“Ada beberapa hal
baik dalam dunia kita, Luca, dan jika kau menemukan ,kau berpegang
teguh dengan semua kekutanmu. Kau adalah salah satu hal baik dalam
kehidupanku”.
“Aku bukan orang
baik”, kata Luca hampir putus asa.
“Kau bukan orang
yang baik, bukan. Tapi kau baik untukku. Aku merasa aman dalam
pelukanmu. Aku tidak tau mengapa, tidak tau mengapa aku
mencintaimu, tapi aku tetap mencintaimu, dan itu tak akan berubah”.
Luca memejamkan
mata, tampak hampir putus asa. “Cinta adalah resiko di dunia kita,
dan Kelamahan yang tak bisa di tanggung seorang Capo”.
“Aku tau”.
Kataku bahkan saat tenggorokanku tercekat.
Mata Luca mendadak
terbuka, galak, dan berkobar karena emosi. “tapi aku tak peduli
karena mencintaimu adalah satu-satunya hal suci dalam hidupku”.
Air mata bersimbah
dimataku. “Kau mencintaiku?”.
“Ya, walaupun
seharusnya tidak. Jika musuh-musuhku tau betapa berartinya dirimu
untukku, mereka akan melakukan apapun untuk menyakitimu, untuk
melukaiku melalui dirimu, untuk mengontrolku dengan mengancam dirimu.
Bravta akan mencoba lagi, dan yang lainnya juga. Ketika aku menjadi
anggota mafia, aku bersumpah untuk mengedepankan Familia, dan aku
memperkuat sumpah ku ketika aku menjadi Capo dei Capi meskipun aku
tau aku berbohong. Pilihan utamaku seharusnya selalu Familia”.
Aku menahan napas,
tak mampu mengucapkans epatah katapun. Tatapan yang dia berikan
apdaku hampir membuaku hancur lebur.
“Tapi aku adalah
pilihan utamaku, Aria. Aku akan membakar dunia jika perlu. Aku akan
membunuh dan melukai, memeras. Aku akan melakukan apapun untukmu.
Mungkin cinta adalah sebuah resiko, tapi ini dalah resiko yang
sukarela aku ambil seperti yang telah kau katakan, ini bukanlah
sebuah pilihan. Aku tak pernah berpikir aku akan begini, tak pernah
berpikir aku bisa mencintai seseorang seperti itu tapi aku telah
jatuh cinta padamu. Aku melawannya. Dan ini adalah pertarungan
pertama yang tak mengapa jika aku kalah”.
Aku memeluknya
erat-erat, menangis, lalu merintih karena nyeri di pangkal bahuku.
Luca menarik diri. Kau butuh istirahat. Tubuhmu butuh penyembuhan”.
Dia menyuruhku berbaring tapi aku memegangi lengannya. “aku tak
ingin istirahat. Aku ingin bercinta denganmu”.
Luca tampak sedih.
“Aku akan menyakitimu. Jahitannmu bisa robek”.
Aku mengangsurkan
tanganku dari dadanya , perutnya yang kencang sapai aku mengelus
tonjolan di boxernya. “Dia setuju denganku”.
“Dia selalu
setuju, tapi dia bukanlah suara yang masuk akal, percayalah padaku”.
Aku terkikik, lalu
mengernyit saat rasa sakit meluncur turun dari lenganku.
“kumohon”,
bisikku. “Aku ingin bercinta denganmu. Sudah lama aku
menginginkan ini”.
“Aku selalu
bercinta denganmu , Aria”.
Aku menelan ludah,
dan mulai membelai ereksi Luca melalui kain tipis. Dia tidak menarik
diri. “Apa kau tidak menginginkan ini”.
“Tentu saja aku
menginginkannya. Kita hampir kehilangan satu sama lain. Tak ada
yang kuinginkan selain berada sedekat mungkin denganmu”.
“Bercintalah
denganku lambat dan lembut”.
“Lambat dan
lembut”. Luca berkata dengan suara pelan dan aku tau aku telah
mendapatkan dia. Dia turun ke bawah ke ujung tempat tidur dan
mulai memijat kakiku dan betisku. Aku membuka kakiku lebar. Baju
tidurku tertarik ke atas, menampakkan celana dalam putihku di hadapan
Luca. Matanya menjelajah ke atas dan aku tau dia bisa melihat betapa
aku menginginkan dan membutuhkan ini. Luca menggeram di atas
tungkaiku, kemudia menjalarkan jarinya naik ke kakiku, hanya mengusap
sekilas sampai dia mengusap bagian tengahku dengan ujung jarinya.
Celana dalamku menempel di intiku yang licin dan panas. “Kau
membuat lambat dan lembut sulit untukku. Jika kau tidak terluka aku
akan mengubur diriku di dalam dirimu dan membuatmu menjeritkan
namaku”.
“Jika aku tidak
terluka, aku ingin kau melakukanya”.
Luca menjentikan
lidahnya di pergelangan kakiku, lalu dengan lembut menghisap kulitku
ke mulutnya. “Milikku”.
Kemudian dia
memenuhi betis dan pahaku dengan kecupan, mengucapkan kata “Milikku”
berulang-ulang saat bergerak ke arahku. Dia menurunkan celana
dalamku, lalu duduk diantara kakiku dan mencium bibir luar vaginaku.
“milikku” dia berbisik di atas daging lembabku. Aku melengkung
dan langsung tersentak kesakitan.
“Aku ingin kau
rilex sepenuhnya. Tidak menegangkan otot-ototmu, atau bahumu akan
sakit”, katanya, bibirnya menggesek ku saat dia berbicara dan
membuatu basah karena gairah.
“Aku selalu tegang
ketika aku klimaks”. Kataku menggoda. “Dan sungguh aku ingin
benar-benar orgasme”.
“Kau akan
mendapatkannya, tapi tanpa menegang”.
Aku tidak mengatakan
bahwa kurasa itu tidak mungkin. Luca mungkin bisa melihat dari
wajahku dan ekspresinya mengatakan bahwa dia menerima tantangan itu.
Seharusnya aku lebih
sering menantangnya. Dia mulai menyenangkanku dengansentuhan
selembut sutra dan mencium dan menjilat yang membuat telapak kakiku
melengkung akan kebutuhan. Otot-ototku mengendur dan pikiranku
melayang menjadi kepompong kenikmatan. Lenguhanku yang pelan dan
suara mulut Luca di selangkanganku bercampur dengan keheningan
ruangan. Sebuah simpul perlahan terbentuk jauh di lubuk hatiku, dan
tiap gesekan lidah Luca mengencangkannya dan kemudian dengan
kenikmatan perlahan simpulnya terurai dan orgasmeku mengalir seperti
madu, dan aku melepaskan napas panjang saat Luca tetap menjaga
Orgasme mengalir seakan selamanya dengan sentuhan seringan bulu.
Aku melihatanya bangkit melalui kabut yang tak ada hubungannya
dengan obat penghilang rasa sakit. Dia melepaskan boxernya saat aku
berbaring seperti tumpukan tanpa tulang di tempat tidur. Tubuhku
bersenandung seakan-akan setiap sel telah diresapi dengan kenikmatan
yang manis. Dia membentang di atasku, ujungnya di pintu masukku.
Lalu dia menyelinapa ke dalam diriku dengan sangat pelan, meregangkan
tubuhku. Aku menghembuskan napas panjang saat dia benar-benar
mengisi tubuhku.
“Milikku”, dia
berkata dengan pelan.
Aku menatap matanya
saat dia menarik sedikit demi sedikit sampai hanya ujungnya yang ada
di dalam diriku sebelum meluncur masuk. “Milikmu”, bisikku.
Jalan yang
membentang di depan kami , adalah kegelapan, kehidupan yang penuh
darah dan kematian dan mara bahaya,sebuah masa depan yang selalu
mengawasi dibelakangku, dengan mengetahui bahwa setiap hari bisa
menjadi hari terakhir Luca, ketakutan suatu hari harus melihat Luca
mendapatkan tembakan mematikan. Tapi inilah dunia ku dan Luca adalah
pria ku, dan aku akan menjalani takdir ini dengan dia hingga akhir
yang pahit.
Saat dia bercinta
denganku, aku menyentuh tato diatas jantungnya, merasakan jantungnya
berdetak dibawah telapak tanganku. Aku tersenyum. “Milikku”.
“Selalu”. Kata
Luca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar