Jumat, 02 Maret 2018

LICK STAGE DIV E SERIES INDONESIA TRANSLATION BY KYLIE SCOTT


Chapter Satu



aku terbangun di lantai kamar mandi. Segalanya terasa nyeri. Mulutku terasa seperti sampah ,rasanya bahkan lebih buruk. Sialan sebenernya apa yang telah terjadi semalam? Hal terakhir yang aku ingat adalah aku menghitung mundur menuju tengah malam dan bersaamaan dengan rasa antusias menuju usia dua puluh satu, sah akhirnya. Aku berdansa dengan Laurent dan mengobrol dengan beberapa pria. Dan kemudian BANG!

Tequila

seluruh barisan gelas dengan lemon dan garam.

Segalanya yang kudengar tentang Vegas adalah benar. Hal buruk terjadi disini. Aku hanya ingin bergelung seperti gumpalan bola dan mati. Oh Tuhan yang maha baik, apa yang ada dipikiranku bisa -bisanya aku minum begitu banyak? Aku menggeram bahkan itupun membuat kepalaku seperti dipalu. Rasa nyeri ini tidak masuk dalam rencana.

“Kau baik-baik saja?” sebuah suara pria bertanya , dalam dan merdu. Sangat merdu. Rasa merinding menjalar ketubuhku meskipun nyeri. Tubuhku yang rusak meremang di tempat-tempat yang paling asing.

“apakah kau akan kambuh lagi?” dia bertanya.

Oh, tidak.

Aku membuka mataku dan bangun, menyingkirkan rambut pirang acak-acakan ku. Wajahnya yang buram semakin mendekat. Aku menutup mulutku karena bau napasku yang mengerikan.

“ Hi?” aku bergumam.

Perlahan, wajahnya berubah menjadi lebih fokus. Dia begitu kekar, tampan dan anehnya terasa familiar. Tidak mungkin. Aku tak pernah bertemu seseorang seperti dia.

Dia terlihat seperti berusia dia akhir pertengahan dua puluhan- seorang pria, bukan remaja. Dia memiliki rambut panjang, rambut panjang nya jatuh hingga melewati bahunya dan memiliki cambang. Warna matanya adalah biru yang paling gelap. Mereka tak mungkin nyata. Terus terang, mata itu terlalu berlebihan. Aku sudah terlena walaupun tanpa itu semua. Walaupun dengan setitik warna merah kelelahan matanya tetap menunjukan keindahan. Tatoo nya menutupi keseluruhan salah satu lengannnya dan separuh di dada telanjangnya. Tatoo burung berwarna hitam terpatri di lehernya, dan ujung sayapnya menyentuh bagian belakang telinganya. Aku masih memakai gaun putih kotor yang cantik yang Lauren minta untuk kukenakan. Gaun ini adalah pilihan yang berani untuk ku, karena ini nyaris tak menampung payudaraku. Tetapi pria menawan ini dengan mudahnya memukulku telak dengan penampakan kulit telanjangnya. Dia hanya mengenakan jeans, sepasang sepatu boots, anting perak kecil, dan bandana putih yang melingkar di lengannya.

Jeans itu....dia mengenakan dengan sangat baik. Jeansnya menggantung di bawah pinggulnya dengan amat mengundang dan pas dengan cara yang tepat. Bahkan monster mabukku tak dapat mengalihkanku dari pandangan itu.


“Aspirin?” Dia bertanya.

Dan aku sedang mengamatinya. Pandanganku mengarah ke wajahnya dan dia menghadiahiku senyuman menawan penuh rasa pengertian. Luar biasa. “Ya, Please”.

Dia meraih jaket kulit hitam dari lantai, satu-satunya yang kemungkinan menjadi bantal. Terimakasih Tuhan aku tidak muntah diatasnya. Jelas , pria setengah telanjang yang menawan ini telah melihatku dalam segala kemulianku, mengerjap beberapa kali. Aku bisa tenggelam dalam rasa malu.

Satu demi satu dia mulai mengeluarkan isi saku nya dan menjatuhkannya ke ubin putih yang dingin. Sebuah kartu kredit, pick gitar,sebuah kondom, sederet kondom. Kondom memberiku jeda tapi aku segera teralihkan dengan apa yang muncul selanjutnya. Banyak potongan kertas jatuh ke lantai. Semua memiliki nama dan nomor ponsel. Orang ini adalah si tuan populer. Hey , aku bisa melihat alasannya. Tapi apa yang dia lakukan disini bersamaku?

Akhirnya, dia mendapatkan sebuah botol kecil berisi pereda nyeri. Kelegaan yang manis. Aku mencitainya siapapun dia, dan apapun dia sebelumnya.

“Kau butuh air”. Dia berkata, dan sibuk mengisi gelas dari keran dibelakang nya.

Kamar mandi ini begitu kecil. Kami berdua hampir tidak muat. Salahkan Lauren dan situasi keuanganku. Hotel ini adalah yang terbaik dari yang mampu kami bayar. Lauren begitu kekeh untuk merayakan ulang tahunku dengan bergaya. Tujuanku sudah sedikit berbeda. Diluar dari kehadiran teman baruku yang hot, aku amat sangat yakin aku telah gagal. Bagian yang sesuai dengan anatomi tubuhku tampaknya baik-baik saja. Aku pernah mendengar hal-hal yang menyakitkan tentang pengalaman yang pertama. Tapi tampaknya vaginaku adalah satu-satunya bagian tubuh ku yang tak memberiku kesedihan.

Terdiam, aku mengintip cepat ke bagian depan gaunku. Ujung dari paket foil masih terlihat, terselip disisi bra ku. Karena jika itu sudah tersedia disana, terikat denganku, tak ada alasan aku tertangkap tangan tanpa persiapan. Kondom itu masih terlihat utuh dan tak tersentuh. Betapa mengecewakan. Atau mungkin juga tidak. Dan akhirnya mengumpulkan seluruh keberanian untuk menghadapi situasi ini, untuk berbicara, dan tanpa mengingat apapun pasti amat sangat mengerikan.

Pria itu mengulurkan segelas air minum dan meletakkan dua pill ditanganku. Dia kemudian kembali duduk untuk mengamatiku. Dia memiliki intensitas pandangan dalam dirinya, bahwa aku berada dalam kondisi yang tak mampu untuk menghadapi ini.

“Terimakasih” Kataku, kemudian menelan aspirinku. Suara berisik menjuat dari perutku. Bagus. Tampak anggun sekali.

“apa kau yakin kau baik-baik saja?” tanya nya. Mulutnya yang luar biasa sedikit terangkat membentuk senyum seakan kami sedang berbagi candaaan pribadi antara kami berdua.

Dan bentuk gurauan itu adalah aku.

Semua yang bisa kulakukan hanyalah menatap. Terkait dengan kondisiku sekarang, Dia terlihat berlebihan. Rambutnya , wajahnya, tubuhnya, tatoo nya dan semuanya. Seseorang harus menemukan kata yang dapat menggambarkan tetang dia.

Setelah saat yang cukup lama itu menyadarkan ku bahwa dia mengharapkan jawaban atas pertanyaannya. Aku mengangguk, masih tak rela untuk menghembuskan nafas pagi hari ku, dan memberinya senyum yang mengerikan. Sesuatu yang terbaik yang bisa aku lakukan.

“Okay, baguslah kalau begitu”. Katanya.

Dia sangatlah terbuka. Aku tak tau apa yang sudah aku lakukan sehingga berhak mendapatkan kebaikan seperti ini. Jikalau aku membawa pulang lelaki malang dengan janji akan sex dan berakhir dengan kepalaku di atas toilet. Seharusnya dia tampak mengomel. Mungkin dia berharap aku akan memperbaiki nya pagi ini. Itu cuma satu-satunya kemungkinan yang masuk akal kenapa dia masih berkeliaran.

Dalam kondisi normal, dia jutaan tahun cahaya dari dunia ku dan (untuk harga diriku) sangat jauh sekali dari tipe ku. Aku suka lelaki yang berpotongan rambut rapi. Potongan rambut rapi itu manis. Cowok nakal sungguh diluar jangkauan. Tuhan tau, aku sudah melihat begitu banyak wanita melemparkan diri ke Kakak laki-laki ku selama bertahun-tahun. Dia mengambil apa yang mereka tawarkan, asalkan itu cocok untuknya, dan kemudian beralih. Bad Boy tidak dibuat untuk sebuah hubungan serius. Bukannya aku berburu untuk sesuatu yang bersifat selamanya kemarin malam, aku hanya ingin pengalaman hubungan seksual yang positif. Sesuatu yang tidak melibatkan Tommy Byrness yang marah karena mendapati bercak darah di kursi belakang mobil orang tuanya. Oh Tuhan, sungguh pengalaman yang mengerikan. Dan keesokan harinya bajingan itu mencampakkan ku untuk seorang gadis yang berukuran setengah dari ku. Dia kemudian menambahkan luka dengan menyebarkan rumor tentang ku. Aku dibuatnya getir dan depresi karena peristiwa itu.

Apa yang telah terjadi kemarin malam? Kepalaku terasa ruwet, memunculkan kekacauan, detail-detail yang membingungkan, tak lengkap.

“Kita harus mendapatkan sesuatu untukmu,” katanya. “kau ingin aku memesankan Toast atau yang lainnya?”

“Tidak” memikirkan tentang makanan sunguh tidak menyenangkan. Bahkan kopi yang menggugahpun tidak dan kopi selalu menggugah. Aku setengah tergoda untuk memeriksa diriku, cuma untuk berjaga-jaga. Bukannya melakukan itu, aku justru mendorong tanganku kerambutku yang awut-awutan, dan menyingkirkannya dari mataku. “Tidak, aku......ow!” gulungan rambutku ku menyangkut pada sesuatu, dan terikat erat di telapak tanganku. “Sialan”.

“Sebentar”. Dia meraihnya dan dengan perlahan mengurai kekacauanku dari apapun itu yang menyebabkan masalah. “Ini dia”.

“Thanks”. Sesuatu berkelip dari tangan kiriku, menarik perhatianku. Sebuah cincin , tapi bukan sekedar cincin. Sebuah cincin yang amat sangat luar biasa. Sesuatu yang paling berkilau.

“Sialan”. Aku berbisik.

Ini tak mungkin nyata. Cincin ini begitu besar dan dikelilingi batu-batu berkilau. Batu yang seharga dengan sebuah takdir. Aku memelototi, penasaran, dan menggesernya ke arah cahaya. Lingkaran dibawahnya begitu kuat, solid dan bebatuannya bersinar serta berkilauan layaknya sesuatu yang nyata.

Mungkinkah .

“Ah, yeah. Tentang itu...” Dia berkata, alis gelapny turun kebawah. Dia terlihat malu-malu dengan cicin es di jariku. “jika kau masih ingin menggantinya dengan sesuatu yang lebih kecil, aku tak masalah. Yang ini terlalu besar. Aku sudah mengerti maksudmu”.

Aku tak bisa menghilangkan perasaan bahwa aku mengenal dia di suatu tempat. Suatu masa yang bukan kemarin malam atau pagi ini atau segala sesuatu yang harus dilakukan tentang cincin indah yang menggelikan di jariku ini.

“Kau membelikanku ini?” Tanyaku.

Dia mengangguk. “Semalam di Cartier”.

“Cartier?” suaraku berubah menjadi bisikan. “Hah”

untuk waktu yang lama dia hanya mengamatiku. “Kau tak ingat?”

aku sungguh tak ingin menjawab itu. “berapa ukuran ini? Dua, tiga karat?”

“Lima”.

“Lima? Wow?”

“Apa yang kau ingat?” Dia bertanya, Suara nya sedikit naik.

“Well....ini memusingkan”.

“Tidak”. Muka cemberut nya meningkat hingga terlihat di seluruh wajahnya. “Kau pasti sedang mengerjai ku. Kau sungguh-sungguh tak tau?”

apa yang harus ku katakan? Mulutku terbuka, tak berguna. Ada banyak hal yang tak ku tau. Untuk pengetahuanku, atau apapun itu. Cartier tidak membuat perhiasaan sesuai permintaan. Kepala ku terombang-ambing. Rasa Enek mencuat di perutku dan rasa muntahan kembali ke tenggorokanku. Lebih buruk daripada yang sebelumnya.

Aku tidak mau muntah di depan pria ini.

Tidak lagi.

Dia menarik napas dalam-dalam, lubang hidungnya mengembang. “aku tak menyangka bahwa kau sudah terlalu banyak minum. Maksudku, aku tau kau sedikit mabuk, tapi......sialan. Sungguh? Kau tak ingat kita menaiki gondola di The Venetian?”

“Kita naik gondola?”

“Fuck. Ah, bagaimana tentang kau yang membelikan ku burger? Apa kau ingat itu?”

“Maafkan aku”

“Tunggu sebentar”, Katanya, mengamatiku dengan mata memincing. “Kau cuma sedang bermain-main denganku, bukan?”

“Maafkan aku”

Dia secara fisik menjauh dariku. “Biar aku luruskan, Kau tak ingat apapun?”

“Tidak”. Kataku, sambil menelan dengan susah payah. “Apa yang telah kita lakukan semalam?”

“Kita menikah sialan”. Dia menggerutu.

Dan kali ini aku tidak memuntahkannya di toilet.



Aku memutuskan untuk bercerai saat aku menggosok gigi, memperaktikan apa yang akan ku katakan padanya saat aku keramas. Tapi aku tak bisa terburu-buru untuk hal ini. Tidak seperti semalam ketika aku rupanya tergesa-gesa untuk memasuki suatu pernikahan. Ketergesaan lagi adalah kesalahan, bodoh. Begitu atau diriku sang pengecut yang sedang melakukan mandi terlama di dunia. Dan kesimpulannya ada pada yang terakhir.

Oh Tuhan... sungguh sialan. Aku bahkan tak bisa membuat kepalaku menyatukan semuanya. Menikah. Aku . Paru-paruku sesak. Rasa panik menunggu tepat di tikungan.

Tak mungkin keinginanku untuk keluar dari bencana ini dilihat sebagai kejutan untuknya. Muntah di lantai sudah jadi petunjuk besar. Aku mengerang dan menutupi wajahku dengan tangan karena ingatan itu. Tatapan jijiknya akan menghantui sepanjang hidupku.

Orang tuaku akan membunuhku jika mereka tau. Aku punya rencana, prioritas. Aku belajar menjadi arsitek seperti ayahku. Menikah dengan siapapun pada tahap ini tidak sesuai dengan rencanaku yang manapun. Dalam sepuluh, atau lima belas tahun lagi mungkin. Tapi menikah di usia dua puluh satu tahun? Tidak. Aku bahkan belum mendapatkan kencan kedua di tahun ini dan sekarang aku memiliki cincin di jariku. Tak mungkin itu masuk akal. Lompatan ke dalam pernikahan gila ini bukanlah sesuatu yang bisa aku sembunyikan.

Atau bisakah?

Terkecuali jika orang tuaku tak pernah mengetahuinya. Tak akan pernah. Selama bertahun-tahun aku selalu membuat kebiasaan untuk tidak melibatkan mereka dalam hal-hal yang di anggap tidak masuk akal, tidak perlu, atau hanya hal tolol. Pernikahan ini sangat mungkin jatuh dalam ketiga katagori itu.

Sebenarnya mungkin tidak ada yang perlu tau. Jika akupun tidak tau, bagaimana mereka bisa tau? Mereka tidak akan tau. Jawaban yang sangat menakjubkan datang dari kesederhanaan.

“Yeah!” desisku dan meninju udara, menyenggol kepala shower dengan sebelah tinjuku. Air menyemprot kemana-mana termasuk masuk ke mataku, membutakanku. Tak masalah, aku sudah punya jawabanya.

Penyangkalan. Aku akan membawa rahasia itu hingga ke liang kuburku. Tak akan ada yang tau tentang kebodohanku yang ekstrim.

Aku tersenyum lega, serangan panikku cukup surut sehingga aku bisa bernapas. Oh syukurlah, semuanya akan baik-baik saja. Aku memiliki rencana baru untuk membuatku kembali ke jalur yang sebelumnya. Brilian. Aku memberanikan diri, pergi , dan menghadapi dia, lalu meluruskan semuanya. Berusia dua puluh satu tahun dengan rencana hidup besar tidak menikahi orang asing di Vegas, betapapun tampannya orang asing itu. Tak masalah. Dia akan mengerti. Kemungkinan besar, dia duduk disana sekarang, memikirkan rencana ya ng paling efisian untuk menedang dan membuangku.

Berliannya masih berkilau di tanganku. Aku belum bisa membuat diriku mau untuk melepaskannya. Ini terlihat seperti natal di jariku, begitu besar, bersinar dan berkilau. Meskipun, setelah di refleksikan, suami sementaraku tidak tampak kaya. Jaket dan jeansnya sama-sama tampak lusuh. Pria itu adalah sebuah misteri.

Tunggu. Bagaimana jika dia terlibat dalam sesuatu yang ilegal? Mungkin saja aku menikahi seorang penjahat. Kepanikan bergegas kembali seperti sebuah balas dendam. Perutku melilit dan kepalaku pusing. Aku tak tau apa-apa akan pria yang menungguku di kamar sebelah. Sama sekali tidak tau bahkan untuk hal sekecil apapun. Aku mendoronggnya keluar dari kamar mandi tanpa menanyakan namanya.

Ketukan dipintu membuat bahuku naik hingga ke langit.

“Evelyn?” dia berteriak, membuktikan setidaknya dia tau namaku.

“Sebentar”.

Aku mematikan keran dan melangkah keluar, membelitkan handuk ke tubuhku. Lebarnya hampir tidak cukup untuk menutupi lekuk tubuhku, tapi dress ku sudah ditumpahi muntahanku. Mengenakannya kembali bukanlah sesuatu yang dipertanyakan.

“Hai”.kataku. Membuka pintu kamar mandi selebar tangan. Dia berdiri hampir lebih tinggi setengah kepala dari pada aku dan aku juga tidak lah pendek. Berpakaian hanya dengan handuk, aku melihat dia lebih mengintimidasi. Seberapa banyak pun dia minum kemarin malam dia masih terlihat mengagumkan dibandingkan diriku yang pucat, kuyu dan basah kuyup. Aspirin tidak melakukan bagiannya sebanyak yang seharusnya.

Dan tentu saja , aku telah memuntahkannya.

“Hei”. Dia menatap mataku. “Dengar, aku akan mengurus ini, oke?”.

“Mengurus?”.

“Yeah”, menghindari semua kontak mata. Rupanya karpet hijau motel itu jauh lebih menarik. “Pengacaraku akan menangani semua ini”.

“Kau punya pengacara?” penjahat punya pengacara. Sialan. Aku harus bercerai dengan orang ini sekarang.

“Ya, aku punya pengacara. Kau tak perlu khawatir dengan apapun. Mereka akan mengirimkan dokumen atau apapun. Apapun yang mungkin”.

Dia menatapku dengan kesal, bibirnya mengencang, dan menarik jaket kulitnya ke dadanya yang telanjang. T-shirtnya masih menggantung di tepi bak mandi. Terkadang sepanjang malam, kemungkinan aku muntah di atas itu juga. Betapa mengerikannya. Jika aku adalah dia, aku akan menceraikanku dan tak pernah menoleh kebelakang.

“Ini adalah sebuah kesalahan” katanya sambil menggemakan pikiranku.

“Oh”.

“Apa?” tatapannya melintasi wajahku. “Kau tidak setuju?”.

“Setuju”. Kataku cepat.

“Semalam tak seperti itu. Sialnya semalam semua rasanya masuk akal, yeah?”. Dia menyisirka tangannya ke rambutnya dan menutup pintunya. “Hati-Hati”.

“Tunggu!” cincin tolol dan menakjubkan ini tidak akan terlepas dari jariku. Aku menarik-narik dan membaliknya, mencoba untuk melepaskannya. Akhirnya terlepas, membuatku buku jariku terluka dalam prosesnya. Darah mengalir ke permukaan. Satu lagi noda dalam urusan kotor ini. “Ini”.

“Demi Tuhan”. Dia merenggut batu yang berkilau itu di telapak tanganku seolah itu benar-benar menyinggung perasaaannya. “Simpan saja”.

“Tidak bisa. Ini pasti sangat mahal”.

Dia mengedikkan bahu.

“Please”. Aku menyodorkan, tanganku bergoyang, tak sabar untuk menyingkirkan bukti kebodohanku saat mabuk. “Itu milikmu. Kau harus menerimanya”.

“Tidak. Aku tak mau”.

“Tapi--”

Tanpa sepatah kata[un pria itu keluar, membanting pintu hingga menutup di belakangnya. Dinding tipis bergetar karena bantingannya.

Whoa. Tanganku terjatuh ke sisi tubuhku. Dia pasti marah. Bukannya aku tidak memprovokasinya, tapi tetap saja. Martabatku bukanlah satu-satunya korban, tampaknya. Aku pasti telah menggaruk punggungku dalam tahap tertentu, menabrak beberapa perabot atau tersungkur karena sepatu ber hak ku yang mewah. Si mewah Lauren memaksaku mengenakan gaun, gaun yang sekarang menjadi misteri. Kuharap aku tidak kehilangan nya. Mengingat pernikahan ku baru-baru ini, tak ada yang bisa mengejutkanku lagi.

Aku berjalan kembali ke kamar mandi dengan kenangan samar-samar tentang suara dan tawa yang berdengung di telingaku, dia berbisik padaku. Itu tidak masuk akal.

Aku berbalik dan mengangkat ujung handukku, naik ke atas bibir pantatku untuk memeriksa bokongku di cermin. Tinta hitam dan kulit berwarana pink kemerahan.

Semua udara meninggalkan tubuhku dengan tergesa-gesa.

Ada sepatah kata di bokng kiriku, sebuah nama,

David.

Aku berputar dan mematikan Wastafel









Tidak ada komentar:

Posting Komentar

STUCK UP SUIT Chapter 8

GRAHAM AKU TIDAK MENDENGAR KABAR NYA SEPANJANG HARI di hari sabtu, dan tidak seperti yang aku harapkan juga. Soraya Venedetta san...