Kamis, 22 Februari 2018

Bound by Honor Chapter 16

Aku memutar dan berbalik, tidak bisa tidur. Aku tidak terbiasa tidur sendirian di tempat tidur. Meskipun, aku dan Luca sudah tiga hari tidak saling berbicara sejak pertengkaran terakhir kami dan tidak melakukan sex, kami selalu berakhir dengan saling berpelukan sepanjang malam. Tentu saja, pada saat kami bangun kami saling menjauh. Aku rindu akan kedekatan Luca. Aku rindu mengobrol dengannya, merindukan ciumannya, sentuhannya, lidahnya yang panas di antara kakiku. Aku mendesah saat aku menjadi basah. Aku tidak mau menyerah. Seberapa lama sich Luca bisa bertahan tanpa sex?
Bagaimana jika dia bisa? Bagaimana jika dia meniduri Grace lagi? Grace seharusnya ada di inggris tapi siapa yang tau itu benar atau tidak. Atau mungkin Luca menemukan wanita baru untuk di tiduri. Mataku mengarah ke jam. Ini sudah hampir jam dua pagi. Beban yang berat menimpa dadaku. Apakah Luca menyerah dengan pernikahan kami dengan mudahnya?
Kenapa tidak? Dia telah mendapatkan apa yang dia inginkan. Dia sudah mengklaim tubuhku. Dan aku bukanlah satu-satunya orang yang bisa memberi apa yang dia inginkan.
Suara gedoran terdengar di lantai bawah, diikuti dengan suara yang dalam. Romero salah satunya, dan yang satu lagi adalah Luca. Aku turun dari tempat tidur dan dengan terburu-buru berlari keluar hanya dengan gaun tidurku. Aku membeku di anak tangga. Lampu mati tapi bulan dan gedung pencakar langit di sekitarnya cukup terang bagiku untuk melihat apa yang sedang terjadi. Luca mencekik Romero. Aku mundur selangkah lagi dan mata Luca membidik ke arah ku, marah dan liar. Monster itu kembali. Lengannya tertutup darah. Romero berhenti berjuang saat menyadari Luca terlalu kuat.
“Aku tak akan mengkhianati Familia,” Romero tercekik, kemudian terbatuk-batuk. “Aku loyal. Aku rela mati untukmu. Jika aku seorang pengkhianat, Aria tidak akan ada disini, aman, dan tak tergores. Dia akan ada di tangan Bravta”.
Luca mengendurkan pegangannya dan Romero jatuh berlutut, napasnya terengah-engah. Aku melangkah turun menuruni anak tangga yang tersisa, mengabaikan gelengan Kepala Romero padaku. Apa yang sedang terjadi? Luca tak pernah sekacau ini.
“Keluar sekarang” dia membentak Romero. Ketika Romero tidak bergerak, Luca mencengkram kerah bajunya dan melemparnya ke lift. Sebelum pintu lift menutup, tatapan khawatir Romero terarah padaku. Luca memencet kode pada panel di samping lift untuk menonaktifkan lift dan menghentikan orang untuk masuk ke apartemen kami, kemudian dia berbalik ke arahku. Tidak hanya lengannya tapi juga kemejanya di penuhi dengan darah. Aku tidak melihat satu pun lubang peluru di baju ataupun celananya.
“Apa kau baik-baik saja?” kataku, bahkan bisikanku pun terdengar terlalu keras di keheningan ini.
Aku mendekati Luca dengan perlahan saat matanya mengikuti gerakanku seperti harimau yang mengamati antelope. Kilasan asing kegembiraan memenuhi diriku. Terlepas dari yang aku saksikan, aku tau Luca tidak akan benar-benar menyakitiku. Ketika aku hampir sampai padanya, Luca berjalan menghampiriku dan menjatuhkan bibirnya ke bibirku. Aku tersentak dan dia menusukkan lidahnya ke mulutku. Tangannya merobek baju tidurku, metrobeknya dari tubuhku. Ketika bajuku jatuh ke lantai, dia menarik celana dalam berendaku. Tatapan lapar nya menjelajah ke tubuhku,lalu dia menarikku dengan kasar ke arahnya dan menggigit tenggorokanku, lalu putingku. Aku tersentak kesakitan dan bergairah. Seharusnya aku lari seperti yang Luca katakan padaku sejak lama, tapi sisi dia yang ini membuatku bergairah, dan gairahku lebih lantang daripada ketakutanku, bahkan ketika Luca mendorongku ke sofa dan membungkukkan ku di sandaran belakang. Tangannya memegangi leherku saat tangannya yang lain meluncur di lipatanku. Dia mendorong dua jarinya dalam diriku dan menemukan bahwa aku basah dan nyeri. Aku menghembuskan napas kasar saat dinding vaginaku mengepal erat di jari-jarinya. Dia menarik jarinya keluar. Aku mendengar dia membuka tali pinggangnya dan menurunkan resletingnya , dan aku gemetar karena ketakutan dan kegembiraan. Luca menggigit pantatku , lalu punggung bawah, dan tulang belikatku sebelum dia memasukan seluruh tubuhnya ke dalam diriku tanpa peringatan.
Aku berteriak, tapi Luca tidak bergeming, dia menempelkan dadanya di punggungku, sementara dia memlukku dengan satu tangan di dadaku, lalu mulai menggempurku dengan keras dan cepat. Aku menggigit bibirku. Rasanya sakit dan juga nikmat. Setiap kali dia mendorong masuk, dia menyentuk sebuat titik dalam diriku yang membuat percikan kenikmatan dalam diriku. Luca mengulurkan tangan,napasnya yang panas menempel di leherku, mengusap jemarinya di atas klitorisku. Aku menangis dan tersentak dan merintih. Aku bisa merasakan ketegangan terbangun. Suara celana Luca dan geraman Luca membuatku tambah bergairah. Jari-jarinya memelintir putingku dengan sangat sakit, dan dia menggigit leherku, dan bintang-bintang bertebaran didepan pandanganku saat aku meledak. Aku menjeritkan nama Luca lagi dan lagi saat aku gemetar setelah orgasme tapi dia tidak melambat. Dia menghujamku dengan keras dan cepat, jarinya menempel di klitorisku tanpa henti saat napasnya mulai terasa berat, kemudian aku datang lagi, hancur menjadi beribu potongan kecil kenikmatan. Kaki lemas tapi Luca menempelkanku ke sandaran dengan tubuhnya. Dengan geraman, dia mencengkram pinggulku, dan dan menghujamku dengan lebih keras. Aku akan memar-memar dan ngilu besok. , tapi aku tidak peduli. Saat dia bergidik menghujamku dan menggigit sisi lain tenggorokanku, aku terpaku lemas di sofa. Terlalu puas dan letih untuk melakukan apapun saat dia keluar di dalam diriku.
Kupikir semuannya telah berakhir, tapi Luca mengangkatku dari sandaran dan menurunkanku ke lantai. Dia mendorong kakiku selebar yang bisa dilakukan. Aku terlalu sensitif dan tidak mungkin orgasme lagi, tapi Mata Luca mematriku dengan intensitasnya. Dia menggenggam pergelangan tanganku dan menganggkat lenganku ke atas kepalaku, lalu dia mengusap dua jari di atas lipatanku, maju mundur, sebelum mengitari jalan masukku dan masuk sedikit demi sedikit. Mataku terbelalak ke atas saat dia jarinya menyetubuhiku dengan amat sangat lambat dan aku mendengar suara tak dikenal keluar dari belakang tenggorokanku. Dia tidak menyentuh klitorisku, hanya menghujamku dengan jari-jarinya dengan ekspresi intens di wajahnya.
“Apakah ini sungguh-sungguh kebohongan?” tanyanya kasar, saat dia meringkukkan jarinya dan membuatku terkesiap dalam kenikmatan. “Katakan padaku, Aria. Katakan padaku kau menikmati ini sama seperti ku”””. Keputus asaan dalam suaranya mengejutkanku.
Dia meringkukkan jemarinya lagi, dan aku merengek. “Ya , Luca. Aku menikmatinya”.
Dia menjentikkan klitorisku dengan ibu jarinya , dan aku melengkung dari lantai, tapi dia menarik ibu jarinya meski ada protes dan tetap menyetubuhiku dengan jari-jarinya. “Jadi kau berbohong? Kenapa?”.
Dia membuatku gila karena kebutuhan. Aku ingin dia menyentuh klitorisku, ingin jarinya bergerak lebih cepat, ingin dia meniduriku. “Ya, aku berbohong!” aku meraih Batangnya. Dia sudah mengeras dan aku ingin membujuknya untuk menyudahi penyiksaannya, tapi dia terlalu kuat dan tak bisa dihentikan.
“Kenapa?” dia menggeram. Dia menghentikan jari nya dan aku ingin berteriak frustasi.
“Aku berbohong karena aku benci bahwa aku mencintaimu, aku benci karena kau bisa melukaiku tanpa harus menggerakan jarimu, karena aku membenci diriku sendiri karena mencintaimu walaupun aku tau kau tidak akan membalasny”. Luca membebaskan pergelangan tanganku, matanya menggelap, dan penuh tanya.
Aku tidak ingin berbicara, aku meraih ereksinya dan memberiakn remasan kuat. “now fuck me”.
Dia memegang kakiku, dan menarikku ke arahnya, kakiku menekan bagian atas bahunya dan dia masuk ke dalamku dengan satu diringan dan aku orgasme di sekitar penisnya, ototku men=remas batangnya dengan sangat kencang hingga dia menggeram. Dia menyetubuhiku lebih keras dan aku mencakar jariku di lantai kayu saat mataku memejam dengan sangat kuat. Aku terpecah dari kenikmatan dan emosi. Punggungku menggosok lantai yang keras , aku pegal dan kakiku mati rasa tapi aku mencapai puncak lagi ketika Luca menghantamkan pelepasanya, dan kemudian aku pingsan.
**
seluruh tubuhku sakit. Aku mengerang saat aku bergerak dan aku menyadari bahwa aku terbaring di tempat tidur kami. Luca pasti sudah membawaku ke lantai atas tadi malam. Mataku terbuka dan mendapati Luca menatapku dengan ekspresi aneh di wajahnya.
“Apa yang telah kulakukan?” dia bertanya dengan suara keras.
Aku mengerutkan kening, lalu menunduk menatap diriku sendiri. Selimut ditarik ke bawah, mengungkapkan tubuhku, dan tindakan semalam. Ada luka memar berbentuk jari di pinggulku dan pergelangan tanganku. Tenggorokan dan bahuku terasa sakit di bagian dimana Luca menandaiku dan paha bagian dalamku merah karena gesekan. Aku tampak berantakan. Aku bangun dan meringis dari rasa sakit yang tajam diantara kakiku. Tapi aku tidak menyesali apapun. Aku tidak selalu ingin menukmati yang kasar, tapi sesekali itu adalah perubahan yang bagus.
“Aria, tolong beritahu aku, Apakah aku....?”.
Aku mencari-cari matanya, mencoba mencari tau apa yang sedang di bicarakannya. Kebencian melintas di wajahnya dan kemudian aku menyadari apa yang sedang di bicarakannya. “Kau tidak ingat?”.
“Aku mengingat sekilas-sekilas. Aku mengingat menahanmu”. Suaranya terperangkap. Dia tidak mneyentuhku. Sebenarnya dia duduk di tepi tempat tidur sejauh mungkin dariku. Dia tampak kelelahan dan hancur. “Kau tidak menyakitiku”.
Matanya mengedip ke arah memar-memar. “Jangan berbohong padaku”.
Aku berlutut dan bergerak ke arahnya bahkan saat dia menegang. “Kau agak kasar dibanding biasanya tapi aku menginginkannya. Aku menikmatinya”.
Luca tidak mengatakan apapun, tapi aku tau dia tidak mempercayaiku.
“Tidak, sungguh Luca”, aku mencium pipinya dan merendahkan suaraku. “Aku klimaks setidaknya empat kali. Aku tak ingat sama sekali. Aku pingsan karena sensasi yang terlalu berlebihan”. Kelegaan membersihkan kegelapan dari mata Luca tapi aku terkejut karena dia tidak meledekku karena komentarku.
“Aku tak mengerti apa yang merasukimu. Kau bahkan menyerang Romero”.
“Ayaku meninggal”.
Aku terkejut. “Apa? Bagaimana?”.
“Semalam. Dia sedang makan malam di restoran kecil di Brooklyn ketika sniper menembakkan peluru ke kepalanya”.
“Bagaimana dengan ibu tirimu?”.
“Dia tidak disana. Ayahku sedang dengan gundiknya. Dia tertembak juga, kemungkinan karena The Bravta berpikir dia adalah istrinya. Seseorang pasti telah membocorkan dimana bisa menemukan ayahku. Hanya beberapa orang yang tau dia pergi kesana. Dia sedang dalam penyamaran. Tak ada seorangpun yang bisa mengenali dia. Dan kemungkinan ada pengkhianat diantara kami.

1 komentar:

STUCK UP SUIT Chapter 8

GRAHAM AKU TIDAK MENDENGAR KABAR NYA SEPANJANG HARI di hari sabtu, dan tidak seperti yang aku harapkan juga. Soraya Venedetta san...