Beberapa minggu
telah terlewati. Dan sex menjadi lebih baik tiap kali kami
melakukannya. Aku memiliki firasat Luca masih sedikit menahan diri
tapi aku tak masalah. Terkadang aku berpikir bahwa mungkin dia
membutuhkan cara bercinta yang lembut sebanyak diriku setelah segala
hal stress yang dia alami gara-gara The Bravta.
Bercinta? Tak
peduli seberapa kuat pun aku mengelak dari perasaanku, aku tau aku
mencintai Luca. Mungkin itu sudah alami untuk jatuh cinta kepada
seseorang yang kau nikahi, orang yang dengannya kau berbagi
keintiman. Aku tak yakin bagaimana bisa aku jatuh cinta pada Luca
mengingat tujuan utama ku sebelum pernikahan kami adalah tidak
membiarkan dia masuk ke hatiku, dan yang aku tau aku telah
membiarkannya masuk. Aku tau apa yang pria seperti Luca pikirkan
mengenai cinta. Aku belum memberitahunya tentang perasaanku,
walaupun beberapa kali kata-kata itu sudah ada di ujung lidahku saat
kami saling berbaring di lengan masing-masing, berkeringat dan
terpuaskan karena sex. Aku tau Luca tidak akan membalas kata cinta
itu dan aku tak ingin terlihat rapuh seperti itu.
Aku mengamati
matahari yang mulai tenggelam di New York dari posisiku di kursi
panjang yang ada di teras atap. Romero di dalam, membaca majalah
olahraga di sofa. Beberapa kali aku meminta Luca untuk
menghentikan kehadiran Romero yang konstan. Tak ada yang akan
terjadi padaku di dalam Penthouse kemudian aku mungkin tidak bisa
melewati hari. Aku akan merasa lebih kesepian tanpa kehadiran Romero
di apartemen, walaupun kami tidak banyak mengobrol. Marianna hanya
datang pada sekitar waktu makan siang untuk bersih-bersih dan memasak
makan siang dan makan malam, dan Luca pergi sepanjang hari. Aku
masih belum bertemu dengan para wanita dari Familia untuk minum kopi.
Setelah pengkhianatan Cosima aku sama sekali tidak tertarik untuk
bertemu dengan keluarga Luca.
Ponselku bergetar di
meja kecil. Aku membukanya, dan melihat nama Gianna muncul di layar.
Rasa bahagia meledak di dadaku. Kami baru saja mengobrol pagi tadi,
walaupun sangat tidak biasa adikku menelpon lebih dari sekali dalam
satu hari, aku tak peduli.
Pada saat aku
mendengar suaranya, aku duduk tegak dan jantungku bergemuruh menggila
di dadaku.
“Aria” dia
berbisik, suaranya tebal karena air mata.
“Gianna, apa yang
telah terjadi? Apa yang sedang terjadi? Apa kau terluka?”.
“Ayah memberikanku
ke Matteo”.
Aku tidak mengerti,
tidak bisa. “ apa yang kau maksud dengan Ayah memberikanmu ke
Matteo?” suaraku terperangah dan air mata sudah membakar mataku
saat aku mendengat isakan Gianna.
“Salvatore
Vittielo berbicara pada Ayah dan memberitahunya bahwa Matteo ingin
menikahiku. Dan Ayah setuju!”.
Aku tak bisa
bernapas. Aku khawatir Matteo tidak akan melepaskan Gianna karena
Kekurang ajaran Gianna pada dia. Dia dalah lelaki yang tak bisa di
tolak, tapi bagaimana bisa ayah setuju? “Tidakkah ayah mengatakan
alasannya? Aku tidak mengerti. Aku sudah ada di New York. Dia
tidak perlu menikahkanmu dengan anggota Familia juga”.
Aku berdiri, aku tak
bisa duduk diam lagi. Aku mulai berjalan mondar-mandir di atap,
mencoba menenangkan denyut nadiku dengan bernapas pelan.
“Aku tidak tau
kenapa. Mungkin ayah ingin membunuhku karena mengatakan apa yang aku
pikirkan. Dia tau betapa aku membenci orang-orang kita, dan betapa
aku membenci Matteo. Dia ingin melihatku menderita”.
Aku tidak setuju
tapi aku tidak yakin Gianna salah. Ayah berpendapat bahwa wanita
harus di tempatkan ditempat yang seharusnya, dan cara terbaik untuk
melakukannya adalah dengan mengikatkan Gianna dengan pria seperti
Matteo. Dibalik senyuman Matteo mengintai seseuatu yang gelap dan
amarah, dan kurasa Gianna tidak memikirkan itu ketika memprovokasi
dia hingga dia hilang kendali.
“Oh, Gianna. Aku
sungguh menyesal. Mungkin aku bisa memberitahyu Luca dan bisa
mengubah pikiran Matteo”.
“Aria, Jangan
naif. Luca tau selama ini. Dia adalah Kakak Matteo dan calon Capo
masa depan. Sesuatu seperti ini tidak diputuskan tanpa
keterlibatannya”.
Aku tau dia benar,
tapi aku tak mau menerimanya. Mengapa Luca tidak memberitahuku
tentang ini? “Kapan mereka membuat keputusan?”.
“Beberapa minggu
yang lalu, bahakan sebelum aku datang berkunjung”. Jantungku
mengepal. Luca telah tidur denganku, telah membuatku mempercayainya
dan tidak mau mengatakan bahwa Adikku telah di jual ke adiknya.
“Aku tak bisa
percaya!” bisikku kasar. Romero memperhatikanku dari jendela ,
sudah bangun dari sofa. “Aku akan membunuhnya. Dia tau betapa aku
menyayangimu. Dia tau aku tidak akan mengizinkannya. Aku akan
melakukan apapun untuk menghentikan kesepakatan tersebut”.
Gianna terdiam di
ujung sana. “Jangan sampai terkena masalah karena aku. Lagian ini
sudah terlalu terlambat. New York dan Chicago telah berjabat tangan
untuk ini. Keputusan telah di buat, dan Matteo tak akan
membiarkanku keluar dari cengkramannya”.
“Aku ingin
membantumu tapi aku tidak tau caranya”.
“Aku menyayangimu
, Aria. Satu-satunya hal yang menghentikanku untuk tidak mengiris
pergelangan tanganku adalah kenyataan bahwa pernikahan ku dengan
Matteo berarti aku akan tinggal di New York bersamamu”.
Rasa takut
menghancurkan hatiku. “Gianna kau adalah orang paling kuat yang
pernah aku kenal. Berjanjilah padaku bahwa kau tidak akan melakukan
hal yang bodoh. Jika kau menyakiti dirimu sendiri, aku tak akan bisa
hidup dengan diriku sendiri”.
“Kau jauh lebih
kuat dariku, Aria. Aku memiliki mulut yang lancang dan keberanian
semu, tapi kamu tangguh. Kau menikahi Luca, hidup dengan pria
seperti itu. Kurasa aku tidak bisa melakukannya. Aku merasa aku
tidak sanggup”.
“kita akan
menemukan jalan keluarnya, Gianna”.
Pintu lift terbuka
dan Luca melangkah ke apartemen kami. Matanya melesat dari Romero ke
diriku alisnya menyatu.
“Dia disini, aku
akan menelponmu besok”. Aku menutup telepon saat amarah membakar
diriku. Aku tidak berpikir aku bisa membenci Luca lagi, bahkan untuk
sesaat, tapi detik ini aku ingin menyakitinya. Aku menyerbu masuk,
tanganku mengepalkan tinju saat aku menuju ke Luca. Dia tak
menggerakan ototnya, hanya menatapku dengan tatapan tenang.
Ketenangan itu memicu amarahku lebih dari apapun. Aku tidak yakin
dengan apa yang dia pikir akan aku lakukan, tapi itu bukan sebuah
serangan nampak dari reaksinya. Tinjuku memukul-mukul dadanya
sekeras yang aku bisa. Rasa terkejut melintas di wajah Luca,
tubuhnya meledak dalam ketegangan. Dari sudut mataku, aku melihat
Romero melangkah ke arah kami, jelas tidak yakin akan apakah dia
harus melakukan sesuatu. Dia adalah pengawalku , tapi Luca adalah
bosnya. Tentu saja, Luca tak akan kesulitan menanganiku. Setelah
beberapa saat, Luca mencengkaram kedua pergelangan tanganku dengan
tangannya. Aku benci dia bisa mengalahkanku dengan begitu cepat.
“Aria. Apa-”
Dia tidak
menyelesaikan kata-katanya karena aku mengangkat lututku ke atas dan
hanya karena refleksnya yang cepat yang menghalangiku mencapai
tujuanku. Suara isak tangis Gianna terpatri dalam pikiranku,
membuatku kehilangan akal sehat yang kumiliki.
“Keluar”,
perintah Luca tajam. Romero pergi tanpa protes. Mata Luca yang
membara bertemu dengan mataku tapi aku sudah melewati rasa takut.
Aku rela mati untuk Gianna. Aku mencoba tendangan lain dan mengenai
selangkangan Luca kali ini. Dia menggeram dan mendorongku ke sofa,
kaki ku diapit lututnya dan lengaku terangkat diatas kepalaku. “Demi
Tuhan, Aria. Apa yang merasukimu?”.
Aku melotot. “Aku
tau tentang Gianna dan Matteo”, aku meludah dan kemudian aku
kehilangan semuanya, dan aku mulai menangis, isak tangis yang
terengah-engah menyapu tubuhku. Luca melepaskan tangaku dan duduk ke
belakng supaya aku bisa menggerakan kakiku. Dia menganngapku seakan
aku adalah mahluk yang tidak akan bisa dia mengerti.
“ jadi ini hanya
karena itu?” dia terdengar tidak percaya.
“Tentu saja kau
tidak akan mengerti karena kau tidak pernah mencintai orang lain
selain dirimu sendiri. Kau mungkin tidak bisa mengerti rasanya
merasakan menghancurkan hatimu sendiri karena memikirkan orang yang
kau cintai terluka. Aku akan rela mati untuk orang yang aku cintai”.
Matanya mengeras dan
dingin dan dia berdiri. “Kau benar. Aku tidak mengerti”.
Topeng dinginnya telah kembali. Aku sudah tidak melihatnya di
arahakan padaku selama beberapa minggu.
Aku mengusap mataku
dan berdiri juga. “Mengapa kau tidak memberitahuku? Kau sudah tau
selama berminggu-minggu”.
“Karena aku tau
kau tidak akan menyukainya”.
Aku menggelengkan
kepalaku. “Kau tau aku akan marah padamu dan aku tidak ingin
mengacaukan kesempatan untuk meyetubuhiku”. Aku bahkan tidak
merona, walaupun aku tidak pernah mengucapkan kata-kata itu.
Luca menjadi kaku.
“Tentu saja aku ingin menidurimu. Tapi aku mendapat kesan kau
menikmati sesi sialan kita”.
Aku ingin
menyakitinya. Dia sangat dingin, tentu saja ini semua tentang
mengklaim yang menjadi miliknya, tentang klaimnya atas tubuhku. Dia
tidak peduli padaku atau siapapu. “Dan kau khawatir bahwa aku
bukanlah aktris yang cukup baik untuk membodohi setiap orang setelah
trik kecil yang kita lakukan pada malam pernikahan. Aku bahkan
membodhimu”. Aku membiarkan tawa kejamku terlepas. “Aku
membuatmu percaya bahwa aku menikmatinya”.
Sesuatu berkedip di
mata Luca, sesuatu yang membuat aku ingin mengingat kata-kataku
sesaat, tapi kemudian mulutnya twersenyum tipis. “Jangan berbohong
padaku. Aku sudah menyetubuhi banyak pelacur untuk tau orgasme saat
aku melihatnya”.
Aku tersentak
seolah-olah dia memukulku. Apakah dia membandingkanku dengan
pelacurnya? Kukatakan hal yang paling jelek yang bisa ku pikirkan.
“Beberapa wanita bahkan mengalami orgasme saat diperkosa. Bukan
karena menikmatinya. Tapi cara mereka mengatasinya”.
Untuk waktu yang
lama Luca tidak mengatakan apapun. Lubang hidungnya melebar dan
dadanya terangkat, dan tangannya mengepal. Dia sepertinya ingin
membunuhku ditempat. Lalu hal paling menakutkan terjadi,kemarahan
menghilang dari wajahnya. Wajahnya menjadi tanpa emosi, matanya
mulus , tak tertembus seperti baja. “Adikmu harusnya bahagia
karean Matteo menginginkanya. Hanya sedikit pria yang bisa tahan
dengan segala omong kosongnya”.
“Oh Tuhan itu
alasannya, bukan?” kataku dengan jijik. “itu karena
kata-katanya yang mengatakan bahwa Matteo tak akan mendapatkan
tubuhnya yang hot saat di hotel. Dia tidak bisa tahan bahwa Gianna
imun terhadap pesonanya yang menyeramkan”.
“Seharusnya dia
tidak pernah menantang Matteo. Matteo adalah seoarang pemburu. Dia
mendapatkan apa yang dia inginkan”. Amsih tanpa secercah emosi,
bahkan di dalam suara Luca. Rasanya seperti terbuat dari es.
“Dia mendapatkan
apa yang dia inginkan? Ini bukan perburuan namanya jika dia
memaksanya menikah melalui tangan ayahku. Itu sebuah kepengecutan”.
“Tidak masalah.
Mereka tetep akan menikah”. Dia memunggungiku, seolah-olah dia
menyingkirkanku.
Luca tidak mengerti.
Dia tidak mengenal Gianna sebaik aku. Dia tidak akan masuk dalam
ikatan ini setenang diriku. Aku bergegas menuju lift. “Aria, apa
yang kau lakukan?”.
Aku berada di dalam
lift sebelum Luca bisa mencapainya dan sedang dalam perjalanan ke
lantai bawah. Aku melangkah ke apartemen Matteo. Apartemennya
tampaknya cerminan dari apartemen kami, hanya saja itu bukanlah
duplex. Matteo duduk di kursi berlengan, mendengarkan musik rap
jelek saat melihatku. Dia bangkit, menatapku dengan hati-hati saat
dia mendekatiku. “Apa yang kau lakukan disini?”.
Aku menekan telapak
tangannku di dadanya saat dia mendekatiku. “Tarik kemabil
lamaranmu untuk Gianna. Katakan pada ayahku kau tidak menginginkan
dia”.
Matteo tertawa.
“Kenapa harus? Aku menginginkan dia. Aku selalu mendapatkan apa
yang aku mau. Gianna tidak seharusnya bermain-main dengan pria
dewasa”.
Aku kehabisan
kesabaran dan menampar pipinya. Tempramen italia ku yang bodoh.
Biasanya aku bisa mengendalikannya, setidaknya lebih baik dari
adik-adikku, tapi tidak hari ini. Dia mencengkram lenganku,
mendorongku kebelakang sehingga tulang belakangku bertumbukan dengan
dindin dengan cara yang menyakitkan, dan membuaku terjepit diantara
dinding dan tubuh Matteo. Aku tersentak. “Kau beruntung karena
kau adalah istri kakakku”.
Lift menyala dan
berhenti lalu terbuka. “Lepaskan dia”, geram Luca, melangkah
keluar. Matteo segera mundur dan tersenyum dingin.
Luca menghampiriku,
matanya mengamati tubuhku sebelum menghampiri adiknya. “Kau tidak
akan melakukannya lagi”.
“Kalau begitu
ajarkan sopan santun padanya. Aku tidak akan membiarkan dia
memukulku lagi”. Ajari sopan santun? Pernikahannya dengan Gianna
akan berakhir dengan sebuah malapetaka.
Suara Luca turun
satu oktaf. “Kau tidak akan menyentuh istriku lagi, Matteo. Kau
adalah adikku dan aku akan menghadang peluru untukmu. Tapi jika kau
melakukannya lagi, kau harus mendapat konsekuensi”. Mereka saling
berhadapan dan untuk sesaat aku khawatir mereka akan menarik pisau
dan saling bertarung. Bukan itu yang aku inginkan. Aku tau betapa
Luca sangat peduli pada adikknya, lebih dari dia peduli padaku.
Matteo adalah satu-satunya orang yang dipercaya Luca. Untuk beberapa
saat aku mengira aku adalah orang itu, tapi kalau memang begitu, hari
ini akan berjalan dengan sangat berbeda. Aku tau bahwa dia yang
melindungiku adalah sebuah permainan kekuasaan dan bukan tentang
emosi. Dengan menyentuhku, Matteo menunjukan ketidaksenangan pada
Luca dan tentu saja Luca tidak akan membiarkan hal itu.
“Aku tidak akan
memukulmu lagi, Matteo”. Aku mengulurkan tangan, meski kata-kata
itu terasa busuk di mulutku. “Seharusnya aku tidak melakukannya”.
Kedua pria itu
menatapku kaget. Matteo menenangkan sikapnya. Luca tidak.
“Aku minta maaf
jika aku menyakiti atau membuatmu takut”, kata Matteo. Aku tidak
tau apakah dia sungguh-sungguh atau tidak. Dia memiliki topeng tanpa
emosi seperti kakaknya.
“Tidak apa”.
Luca menyeringai,
lalu dia mendekatiku dan menarikku ke arahnya dengan posesif. Mata
kami bertemu dan seolah-olah dia ingat dengan kata-kata awal kami,
seringainya menghilang dan bibirnya menegang. Dia tidak melepaskanku
tapi rangkulannya di tubuhku melonggar.
Aku berpaling
darinya, tidak tahan untuk berekspresi, dan menghadapi Matteo.
“Jangan nikahi, Gianna”, aku mencoba lagi, dan rangkulan Luca di
pinggangku mengencang, penuh peringatan. Aku mengabaikannya. “Dia
tidak mau menikah denganmu”.
“Kau juga tidak
ingin menikah dengan Luca tapi disinilah dirimu sekarang”. Matteo
berkata dengan seringai hiu nya.
“Gianna tidak
sepertiku, dia tidak akan sukarela mengikuti pernikahan yang
diatur”.
Luca menjatuhkan
lengannya dari pinggangku.
“Dia akan jadi
istriku tepat pada saat dia berumur delapan belas tahun. Tak ada
satupun kekuatan di alam ini yang bisa menghentikanku untuk memiliki
dia”.
“Kau membuatku
jijik. Kalian berdua” kataku. Dengan itu aku melangkah ke lift .
Luca tidak mengikutiku. Dia bahkan tidak mengawasiku apakah aku
kembali ke apartemen atau tidak. Dia tau aku tidak akan pergi
kemanapun. Walaupun aku ingin kabur, aku tetap tidak bisa. Hatiku
hanya untukknya walaunpun dia tidak memiliki hati yang bisa dia
berikan sebagai balasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar