Pergi ke toilet
rasanya seperti terbakar di Neraka dan berjalan bahkan sangat tidak
nyaman. Aku meringis di tiap langkah kembali ke tempat tidur dimana
Luca berbaring dengan kepala di sangga diatas lengannya. Dia
mengamatiku. “Ngilu?”.
Aku mengangguk,
merona. “Yeah. Maaf”.
“Kenapa kau
meminta Maaf?”.
Aku berbaring di
sampingnya. “Kupikir kau mungkin ingin melakukannnya lagi, tapi
Kurasa aku belum bisa”.
Luca menjalarkan
ujung jarinya di rusukku. “Aku tau. Aku tidak mengharapkan kau
akan pulih dengan segera”. Dia membelai perutku, kemudian satu
inci lebih ke bawah. “Aku bisa menjilatimu jika kau mau”.
Inti tubuhku
mengencang dan aku sangat ingin berkata iya. “Kurasa itu bukan ide
yang bagus”.
Luca mengangguk dan
duduk bersandar pada bantal. Selimut menumpuk di atas pinggangnya
menampakkan otot perutnya dan bekas luka yang ada di sana.
Aku bergerak
mendekaat dan menempatkan diriku di atasnya. Aku menelusuri bekas
luka Luca, penasaran akan setiap cerita di balik bekas lukanya. Aku
ingin tau semuanya, ingin menyusun tiap bekas luka satu persatu
seperti puzzle. Darimana dia memperoleh bekas luka memanjang yang
ada di bahunya dan juga bekas peluru di bawah rusuknya? Luca pun
sedang melakukan penjelajahannya sendiri dengan matanya, mengagumi
payudara dan wajahku. “Payudaramu amat sangat sempurna”.
Sentuhannya lebih terkesan posesif dibanding seksual,
tapingomong-ngomong aku bisa merasakan segalanya di antara kakiku.
Berusaha mengalihkan
pikiranku, aku menghentikan ujung jariku di atas bekas luka yang
sudah hampir memudar di abs nya. “dimana kau mendapatkan luka
ini?”.\
“Aku berusia tujuh
tahun”. Mataku melebar. Aku sangat yakin kemana cerita ini akan
berlanjut. “The Familia tidak sebersatu seperti saat ini.
Beberapa orang berpikir mereka bisa mendapatkan kekuasaan dengan
membunuh ayah ku dan anak laki-lakinya. Pada saat itu tengah malam
saat aku mendengar teriakan dan suara tembakan. Sebelum aku bisa
bangun dari tempat tidur, seorang pria melangkah masuk ke kamar dan
mengacungkan pistol ke arahku. Aku tau aku akan mati ketika aku
menatap ke arah laras senjata itu. Aku tidak seketakutan yang aku
pikir. Dia mungkin sudah membunuh ku, jika saja Matteo tidak
melompat ke arah pria itu dari belakang ketika Pria itu menarik
pelatuk. Peluru menghantam sedikit lebih ke bawah di banding
seharusnya, dan mengenai bagian tengah tubuhku. Rasanya sialan Sakit
sekali. Aku menjerit dan kemungkinan akan pingsan jika pria itu
tidak berbalik ke arah Matteo dan berniat membunuhnya. Aku mengambil
pistol yang ada di laci meja kecil samping tempat tidur, mengekangnya
dan menembakkan peluru ke kepala pria itu sebelum dia bisa membunuh
Matteo.
“itu adalah
pembunuhan pertamamu, bukan?” aku berbisik.
Mata Luca yang
tampak menghilang beberapa saat yang lalu, kembali Focus padaku.
“Yeah, yang pertama dari banyak yang lain”.
“Kapan kau
membunuh lagi?”.
“Pada malam yang
sama”. Dia tersenyum tanpa humor. “Setelah pria yang pertama,
aku memberitahu Matteo untuk bersembunyi di Lemari. Dia protes tapi
aku lebih besar dan aku menguncinya disana. Kemudian aku sedikit
kehilangan darah tapi aku memiliki adrenalin yang memuncak dan masih
bisa mendengar suara tembakan di lantai bawah, jadi aku menuju ke
kebisingan itu dan membawa senjataku. Ayahku sedang dalam baku
tembak dengan dua orang penyerang. Aku menuruni tangga dan tak ada
seorangpun yang memberiku perhatian, dan kemudian aku menembak salah
satu dari mereka dari belakang. Dan ayahku melumpuhkan satunya
dengan tembakan di bahu.
“Kenapa dia tidak
membunuhnya?”.
“Dia ingin
mengorek informasi siapa pemberontak dalam Familia”.
“Jadi apa yang dia
lakukan pada pria itu ketika dia membawamu ke Rumah sakit?”.
Luca memberiku
tatapan masam. “Jangan bilang dia tidak membawamu ke rumah
sakit?”.
“Dia menghubung
The Doc of Familia. Dan memberitahuku untuk memberi tekanan pada luka
ku dan mulai menyiksa pria itu untuk mendapatkan informasi”.
Aku tak bisa percaya
seorang ayah tega melihat anaknya kesakitan dan megambil resiko
kehilangan nyawa, hanya agar dia bisa mendapat informasi.
“Kau bisa saja
mati. Sebagian hal butuh di rawat di rumah sakit. Bagaimana bisa
dia melakukan itu?”.
“Familia selalu
menjadi yang utama. Kami tidak pernah membawa kecelakaan apapun ke
rumah sakit. Mereka akan bertanya terlalu banyak pertanyaan dan
melibatkan polisi dan itu sama saja mengakui kelemahan. Dan ayahku
memastikan si penghianat itu berbicara sebelum pria itu bunuh diri”.
“Jadi kau setuju
dengan apa yang dia lakukan? Kau akan rela melihat seseorang yang kau
cintai berdarah-darah hingga mati hanya untuk melindungi Familia dan
kekuasaanmu”.
“Ayahku tidak
mencintaiku. Matteo dan aku adalah garansi untuk kekuasaan dan
sebagai cara untuk tetap mempertahankan nama keluarga. Cinta tak ada
urusannya dengan ini”.
“Aku benci
kehidupan ini. Aku benci Mafia. Terkadang aku berharap ada cara
untuk melarikan diri”.
Wajah Luca menjadi
sangat kaku. “Dariku?”.
“Bukan”.
Kataku, mengejutkan diriku sendiri. “Dari dunia ini. Tak pernah
kah kau ingin memiliki kehidupan normal?”.
“Tidak. Inilah
diriku, untuk inilah aku dilahirkan, Aria. Ini satu-satunya hidup
yang aku tau, satu-satunya kehidupan yang aku inginkan. Untukku
kehidupan normal akan terasa seperti elang yang terpenjara di sangkar
kebun binatang”. Dia terdiam. “Pernikahanmu mengikatmu ke dalam
Mafia. Darah dan Kematian akan jadi kehidupanmu selama kau hidup”.
“Kalau begitu
biarkan. Aku akan pergi kemanapun kau pergi tak peduli segelap
apapun jalannya”.
Untuk beberapa saat,
Luca menarik napas, kemudian dia menggenggam bagian belakang kepalaku
dan mengecupku dengan kuat.
**
kurasa Luca ingin
tidur lagi denganku setelah kali yang pertama, tapi dia tidak
memaksa. Meskipun aku berusaha menyembunyikannya, tapi Luca tau
bahwa aku masih nyeri beberapa hari sesudahnya. Dia terkadang
memberiku kenikmatan dengan lidahnya beberapa kali, bahkan tak pernah
memasukan jarinya ke tubuhku, dan aku membuatnya orgasme dengan
mulutku sebagai gantinya.
Aku tidak yakin
bahwa dia menunggu kata oke dariku tapi ketika dia pulang ke rumah
suatu malam dalam seminggu setelah dia mengambil keperawananku, dia
terlihat lelah, dan marah, aku ingin membuatnya merasa lebih baik.
Setelah dia mandi, dia terhuyung-huyung ke tempat tidur hanya dengan
celana boxernya, matanya di penuhi kegelapan.
“Hari yang buruk?”
bisikku saat dia melemparkan diri ke ranjang di sampingku. Dia
berbaring telentang dan menatap langit-langit dengan pandangan
kosong.
“Luca?”.
“Aku kehilangan
tiga anak buahku hari ini”.
“Apa yang telah
terjadi?”.
“Bravta menyerang
salah satu gudang kami”. Bibirnya menipis, dadanya terengah-engah.
“Kami akan membuat mereka membayar. Pembalasan kami akan membuat
mereka lebih berdarah-darah”.
“Apa yang bisa aku
lakukan?” aku berkata dengan lembut, tanganku mengelus dadanya.
“Aku butuh
dirimu”.
“Okay”. Aku
melepas gaun tidurku dari kepalaku dan melepas celana dalamku. Aku
berlutut disamping Luca. Dia sudah menyingkirkan Boxernya dan ereksi
menjukang bebas, mencengkram pinggulku, dia membuatku menduduki
perutnya. Rasa gugup mengikat perutku. Aku berharap di kali
keduaku, Luca tetap yang berada di atas. Pikiran akan diriku yang
memasukan diriku ke ereksinya setelah rasa sakit yang kurasakan kali
terakhir, itu membuatku ketakutan, tapi jika Luca membutuhkanku,
kurasa aku bisa melakukannya. Aku menjerit karena terkejut ketika
Luca mencengkram bokongku dan menarikku ke atas wajahnya, jadi aku
berada di atas mulutnya. Dia menekanku ke bawah, dan aku berteriak
nikmat, tanganku terjulur kedepan untuk menekan kepala ranjang. Ini
lebih intens dari semua yang pernah Luca lakukan untukku.
Lidahnya menyelinap
masuk dengan lebih dalam dan dia memijat pantatku dengan ujung
jarinya yang kuat. Aku mengintip ke mata Luca saat dia mengatupkan
mulutnya di klitorisku. Aku menggoyangkan pinggulku, menekan diriku
ke mulutnya. Dia menggeram. Getaran itu mengirimkan kenikmatan ke
dalam diriku dan aku mulai memutar-mutar pinggulku dan mengendarai
wajah Luca. Aku memejamkan mata, membiarkan kepalaku jatuh ke
belakang saat Luca menyetubuhiku dengan lidahnya lagi,bersenandung
untuk sesaat. Lalu aku hancur, bergoyang di mulut Luca, dan
menjeritkan namanya. Di suatu tempat jauh di dalam diriku ingin
merasa malu akan tetapi aku telah terlalu terangsang.
Ketika orgasme ku
mereda, aku mencoba menarik diri dari bibir Luca tapi dia memelukku
dengan cepat, matanya membara ke arahku saat dia menjilat ku dengan
gerakan lambat. Ini sudah terlalu banyak, tapi dia tak bisa
dihentikan. Dengan belaian lembut, dan dorongan dari lidahnya, dia
perlahan membangunkan kenikmatanku kembali. Suara terengahku datang
lebih cepat dan aku tak mencoba menyembunyikannya lagi, malahan aku
membiarkan Luca menggerakan pinggulku maju mundur saat dia
menjilatiku. Aku sudah separuh jalan menuju orgasme ku yang kedua.
Tanpa aba-aba dia menarik diri dan dengan satu gerakan dia
membaringkanku di punggungku dan berlutut diantara kedua kakiku,
ereksinya menempel di pintu masukku.
Aku menegang tapi
Luca belum masuk. Dia menundukkan kepala sehingga dia bisa menghisap
putingku ke dalam mulutnya, dan mengusap ujung ereksinya bolak-balik
di atas klitorisku. Aku mengoceh tak berdaya pada sensasi itu. Aku
sudah amat dekat pada pelepasan sebelumnya dan bisa merasakan diriku
sampai disana lagi. Lalu dia mencelupkan dirinya ke lubangku. Aku
tersentak karena rasa sakit tapi dia menarik diri dengan cepat dan
menggesekkan ujungnya ke klitorisku lagi. Dia melakukan itu
berulang-ulang kali sampai aku terengah-engah dan begitu becek hingga
aku bisa mendengar nya, kemudian dia melepaskan putingku dengan suara
pop dan membawa wajahnya ke wajahku. Ujung penisnya masuk ke
pembukaanku tapi kali ini dia tidak mundur.
Perlahan dia
menyelinap masuk seluruhnya, dan tak pernah melepaskan pandangannya
dari mataku. Aku menggigit bibirku untuk menahan suaraku. Tapi ini
tidak semenyakitkan yang terakhir kali tapi ini tetap tidak nyaman.
Aku merasa terlalu meregang, terlalu kencang. Luca menangkup bagian
belakang kepalaku dan mulai bergerak. Napasku tertahan meski lamban
tapi Luca tidak goyah. Dia meluncur keluar dan masuk dengan ritme
yang sangat lambat dan lembut sampai napasku berhenti tertahan di
tenggorokanku. Dia mempercepat tapi aku mencakar lengannya dan dia
melambat lagi. Dia menurunkan mulutnya ke telingaku, suaranya
rendah dan serak saat berbicara. “Aku menyukai rasamu, Tuan Putri.
Aku menyukai bagaimana kau menyetubuhi mulutku. Aku amat menyukai
ketika lidahku di dalam dirimu. Aku suka vagina dan payudaramu, dan
aku suka kenyataan bahwa kau adalah milikku”. Luca tetap bergerak
dengan mantap saat dia berbisik di telingaku. Dan aku lupa akan rasa
sakit yang menyebalkan itu, dan mengerang. Tak ada yang lebih seksi
dari Luca yang berbicara dengan suara baritonnya yang dalam.
Luca terus berbicara
melewati rasa ketidaknyamananku dana ku bisa merasakan orgasme mulai
terbangun. Luca menyelipkan tangannya diantara kami dan menemukan
klitorisku, menggosoknya dengan cepat saat dia menusuk masuk dalam
diriku. Dia sedikit lebih cepat, dan aku gemetar karena rasa sakit
dan kenikmatan. Luca tidak melambat. Dia terengah-engah, kulitnya
licin karena keringat saat dia bertarung untuk sebuah kontrol. Aku
bisa melihat di wajahnya bagaimana pertahanan dirinya mulai memudar
dan tapi dia tidak lepas kendali. Aku mengerang saat dia meluncur
lebih dalam lebih dari sebelumnya ke dalam diriku. Kenikmatan
memancar di tubuhku.
“Datanglah
untukku, Aria”. Sergahnya, meningkatkan tekanan pada klitorisku.
Lompatan kenikmatan lainnya bercampur rasa sakit membanting tubuhku
dan aku terjerumus, terengah-engah, dan merintih saat orgasmeku
mengguncang tubuhku. Luca menggeram dan mendorong lebih keras. Aku
berpegangan padanya, dan jari-jariku mencengkeram bahunya saat dia
mendekati puncaknya sendiri. Dengan erangan yang sangat keras, Luca
menegang di atasku dan aku bisa merasakan pelepasanya di dalam
diriku. Aku mengerang karena betapa meregang dan kencangnya yang aku
rasakan. Luca terus menyodok hingga aku bisa merasakan dirinya
melunak. Dia menarik dirinya keluar tapi tetap di atasku, berat
badannya disangga dengan lengan bawahnya. “Apakah aku terlalu
kasar?” tanyanya dengan suara tebal.
“Tidak, tak
apa-apa”, aku tidak berani bertanya seberapa keras yang bisa dia
lakukan.
Dia mencium ujung
mulutku, kemudian bibir bawahku hingga dia memasukan lidahnya ke
mulutku untu ciuman yang nikmat. Kita berciuman dalam waktu yang
lama, tubuh licin kami saling menekan. Aku tidak yakin sudah berapa
lama kami berbaring seperti itu, berciuman, tapi akhirnya aku bisa
merasakanLuca semakin mengeras lagi.
Mataku terbelalak
karena terkejut. “Secepat itu? Kupikir pria butuh waktu untuk
beristirahat”.
Luca tertawa, suara
seksi yang dalam. “Tidak , dengan tubuh telanjangmu di bawahku”.
Dia meremas pantatku. Masih sakit?”.
Sangat sakit, tapi
caranya menggosok ereksinya dengan ringan di lipatanku, aku tak bisa
mengatakannya. “Tidak terlalu sakit”.
Luca menatapku
dengan jelasd sehingga dia mengenali kebohonganku tapi dia memutar
punggungnya, membawaku bersamanya. Aku mengangkangi perutnya. Dia
pasti telah melihat bagaimana gugupnya aku karena dia membelai sisi
tubuhku dengan lembut. “Manfaatkan waktumu. Kau yang pegang
kendali”.
Dia menggerak
gerakan pinggulnya, menggosokkan ereksinya ke bokongku.
“Aku ingin kau
yang memegang kendali”. Kataku.
Mata Luca menggelap.
“Jangan katakan hal seperti itu pada pria seperti ku”, tapi dia
mencengkram pinggulku dan menempatkanku di atas ereksinya. Dari
sudut pandang ini dia tampak lebih besar. Dia mengusap ujungnya di
lingkaran kecil di atas klitorisku saat tangannya yang lain menyusuri
dadaku dan menangkupnya. Dia mensejajarkan dirinya dengan pintu
masukku sebelum meraih pinggulku dan dengan perlahan membimbingku
turun. Ketika dia setengah masuk, aku berhenti, menarik napasku.
Aku menekankan telapak tanganku di atas dadanya, saat aku mencoba
posisi baru ini. Dia terasa lebih besar, dan ototklu meremas dengan
sangat kencang di sepanjang ereksinya. Luca menggertakan giginya.
Dia mengusap kedua sisi tubuhku dan menangkup payudaraku lagi,
memutar-mutar putingku diantara jari-jarinya. Aku mengerang dan
membuat gerakan bergoyang kecil dengan pinggulku. Luca menekan ibu
jarinya di klitorisku dan menjentikkannya, lalu saat aku mengerang
dia mendorong hingga ke dasar ereksinya.
Aku berteriak lebih
karena terkejut bukan karena rasa sakitnya dan membeku, menghembuskan
napas secara perlahan untuk mengatasi perasaan yang penuh.
“Aria” Luca
berkata dengan suara serak. Aku bertemu dengan tatapannya. Sedikit
ketidak pastian di matanya.
Aku memaksa bibirku
untuk tersenyum. “Beri aku waktu sebentar”.
Dia mengangguk,
tangannya diletakkan di pinggangku saat dia mengamatiku. Aku
menghembuskan napas lagi, kemudian menggerakan pinggulku dengan
coba-coba. Ada rasa nyeri tapi juga ada kenikmatan. “Bantu aku?”
aku berbisik, memandang ke arahnya dari balik bulu mataku.
Dia menggenggam
pinggangku, jarinya menyebar menyebrani bokongku dan membimbingku
dalam ritme gerakan dan putaran yang lambat. Sungguh menyenangkan
untuk bisa merasakan kekuatan tubuhnya di abwah tanganku,merasakan
otot-ototnya melengkung di bawah ujung jariku, tapi yang paling
tatapan matanya yang menatap aku yang ada di atasnya. Rasa lapar dan
kagum bercampur dengan emosi lain yang tak berani aku tebak. Dada
Luca terangkat di bawah telapak tanganku, napasnya semakin kencang
saat dia mulai menyodok ke atas, mendorong tubuhnya lebih keras dan
cepat. Jempolnya maju mundur di atas klitorisku saat dia melaju ke
arahku. Aku berteriak. Luca mencengkram pinggulku dengan cengkraman
yang membuat memar dan mendorongnya lebih cepat. Aku melemparkan
kepalaku ke belakang, mengendarai melalui orgasme ku saat aku
merasaka n Luca menegang di bawahku dan menyemburkan pelepasan dalam
diriku dengan suara erangan yang lembut.
Aku menggigil tak
berdaya di atas tubuhnya saat aku mereda dari rasa ekstasiku. Aku
ambruk di dada Luca dan menempelkan bibirku ke bibirnya. Jantungnya
berdebar kencang di dadaku. Dia memeluk lenganku dan menekanku
erat-erat.
“Aku tidak akan
kehilanganmu”, gerutunya, mengejutkanku.
“Kau tidak akan
pernah kehilanganku”.
“The Bravta sudah
mendekat. Bagaimana caranya aku melindungimu”.
Mengapa Bravta
tertarik padaku. “Kau akan menemukan caranya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar