Minggu, 18 Februari 2018

Bound By Honor Chapter 14 By Cora Reyli

Pergi ke toilet rasanya seperti terbakar di Neraka dan berjalan bahkan sangat tidak nyaman. Aku meringis di tiap langkah kembali ke tempat tidur dimana Luca berbaring dengan kepala di sangga diatas lengannya. Dia mengamatiku. “Ngilu?”.
Aku mengangguk, merona. “Yeah. Maaf”.
“Kenapa kau meminta Maaf?”.
Aku berbaring di sampingnya. “Kupikir kau mungkin ingin melakukannnya lagi, tapi Kurasa aku belum bisa”.
Luca menjalarkan ujung jarinya di rusukku. “Aku tau. Aku tidak mengharapkan kau akan pulih dengan segera”. Dia membelai perutku, kemudian satu inci lebih ke bawah. “Aku bisa menjilatimu jika kau mau”.
Inti tubuhku mengencang dan aku sangat ingin berkata iya. “Kurasa itu bukan ide yang bagus”.
Luca mengangguk dan duduk bersandar pada bantal. Selimut menumpuk di atas pinggangnya menampakkan otot perutnya dan bekas luka yang ada di sana.
Aku bergerak mendekaat dan menempatkan diriku di atasnya. Aku menelusuri bekas luka Luca, penasaran akan setiap cerita di balik bekas lukanya. Aku ingin tau semuanya, ingin menyusun tiap bekas luka satu persatu seperti puzzle. Darimana dia memperoleh bekas luka memanjang yang ada di bahunya dan juga bekas peluru di bawah rusuknya? Luca pun sedang melakukan penjelajahannya sendiri dengan matanya, mengagumi payudara dan wajahku. “Payudaramu amat sangat sempurna”. Sentuhannya lebih terkesan posesif dibanding seksual, tapingomong-ngomong aku bisa merasakan segalanya di antara kakiku.
Berusaha mengalihkan pikiranku, aku menghentikan ujung jariku di atas bekas luka yang sudah hampir memudar di abs nya. “dimana kau mendapatkan luka ini?”.\
“Aku berusia tujuh tahun”. Mataku melebar. Aku sangat yakin kemana cerita ini akan berlanjut. “The Familia tidak sebersatu seperti saat ini. Beberapa orang berpikir mereka bisa mendapatkan kekuasaan dengan membunuh ayah ku dan anak laki-lakinya. Pada saat itu tengah malam saat aku mendengar teriakan dan suara tembakan. Sebelum aku bisa bangun dari tempat tidur, seorang pria melangkah masuk ke kamar dan mengacungkan pistol ke arahku. Aku tau aku akan mati ketika aku menatap ke arah laras senjata itu. Aku tidak seketakutan yang aku pikir. Dia mungkin sudah membunuh ku, jika saja Matteo tidak melompat ke arah pria itu dari belakang ketika Pria itu menarik pelatuk. Peluru menghantam sedikit lebih ke bawah di banding seharusnya, dan mengenai bagian tengah tubuhku. Rasanya sialan Sakit sekali. Aku menjerit dan kemungkinan akan pingsan jika pria itu tidak berbalik ke arah Matteo dan berniat membunuhnya. Aku mengambil pistol yang ada di laci meja kecil samping tempat tidur, mengekangnya dan menembakkan peluru ke kepala pria itu sebelum dia bisa membunuh Matteo.
“itu adalah pembunuhan pertamamu, bukan?” aku berbisik.
Mata Luca yang tampak menghilang beberapa saat yang lalu, kembali Focus padaku. “Yeah, yang pertama dari banyak yang lain”.
“Kapan kau membunuh lagi?”.
“Pada malam yang sama”. Dia tersenyum tanpa humor. “Setelah pria yang pertama, aku memberitahu Matteo untuk bersembunyi di Lemari. Dia protes tapi aku lebih besar dan aku menguncinya disana. Kemudian aku sedikit kehilangan darah tapi aku memiliki adrenalin yang memuncak dan masih bisa mendengar suara tembakan di lantai bawah, jadi aku menuju ke kebisingan itu dan membawa senjataku. Ayahku sedang dalam baku tembak dengan dua orang penyerang. Aku menuruni tangga dan tak ada seorangpun yang memberiku perhatian, dan kemudian aku menembak salah satu dari mereka dari belakang. Dan ayahku melumpuhkan satunya dengan tembakan di bahu.
“Kenapa dia tidak membunuhnya?”.
“Dia ingin mengorek informasi siapa pemberontak dalam Familia”.
“Jadi apa yang dia lakukan pada pria itu ketika dia membawamu ke Rumah sakit?”.
Luca memberiku tatapan masam. “Jangan bilang dia tidak membawamu ke rumah sakit?”.
“Dia menghubung The Doc of Familia. Dan memberitahuku untuk memberi tekanan pada luka ku dan mulai menyiksa pria itu untuk mendapatkan informasi”.
Aku tak bisa percaya seorang ayah tega melihat anaknya kesakitan dan megambil resiko kehilangan nyawa, hanya agar dia bisa mendapat informasi.
“Kau bisa saja mati. Sebagian hal butuh di rawat di rumah sakit. Bagaimana bisa dia melakukan itu?”.
“Familia selalu menjadi yang utama. Kami tidak pernah membawa kecelakaan apapun ke rumah sakit. Mereka akan bertanya terlalu banyak pertanyaan dan melibatkan polisi dan itu sama saja mengakui kelemahan. Dan ayahku memastikan si penghianat itu berbicara sebelum pria itu bunuh diri”.
“Jadi kau setuju dengan apa yang dia lakukan? Kau akan rela melihat seseorang yang kau cintai berdarah-darah hingga mati hanya untuk melindungi Familia dan kekuasaanmu”.
“Ayahku tidak mencintaiku. Matteo dan aku adalah garansi untuk kekuasaan dan sebagai cara untuk tetap mempertahankan nama keluarga. Cinta tak ada urusannya dengan ini”.
“Aku benci kehidupan ini. Aku benci Mafia. Terkadang aku berharap ada cara untuk melarikan diri”.
Wajah Luca menjadi sangat kaku. “Dariku?”.
“Bukan”. Kataku, mengejutkan diriku sendiri. “Dari dunia ini. Tak pernah kah kau ingin memiliki kehidupan normal?”.
“Tidak. Inilah diriku, untuk inilah aku dilahirkan, Aria. Ini satu-satunya hidup yang aku tau, satu-satunya kehidupan yang aku inginkan. Untukku kehidupan normal akan terasa seperti elang yang terpenjara di sangkar kebun binatang”. Dia terdiam. “Pernikahanmu mengikatmu ke dalam Mafia. Darah dan Kematian akan jadi kehidupanmu selama kau hidup”.
“Kalau begitu biarkan. Aku akan pergi kemanapun kau pergi tak peduli segelap apapun jalannya”.
Untuk beberapa saat, Luca menarik napas, kemudian dia menggenggam bagian belakang kepalaku dan mengecupku dengan kuat.
**
kurasa Luca ingin tidur lagi denganku setelah kali yang pertama, tapi dia tidak memaksa. Meskipun aku berusaha menyembunyikannya, tapi Luca tau bahwa aku masih nyeri beberapa hari sesudahnya. Dia terkadang memberiku kenikmatan dengan lidahnya beberapa kali, bahkan tak pernah memasukan jarinya ke tubuhku, dan aku membuatnya orgasme dengan mulutku sebagai gantinya.
Aku tidak yakin bahwa dia menunggu kata oke dariku tapi ketika dia pulang ke rumah suatu malam dalam seminggu setelah dia mengambil keperawananku, dia terlihat lelah, dan marah, aku ingin membuatnya merasa lebih baik. Setelah dia mandi, dia terhuyung-huyung ke tempat tidur hanya dengan celana boxernya, matanya di penuhi kegelapan.
“Hari yang buruk?” bisikku saat dia melemparkan diri ke ranjang di sampingku. Dia berbaring telentang dan menatap langit-langit dengan pandangan kosong.
“Luca?”.
“Aku kehilangan tiga anak buahku hari ini”.
“Apa yang telah terjadi?”.
“Bravta menyerang salah satu gudang kami”. Bibirnya menipis, dadanya terengah-engah. “Kami akan membuat mereka membayar. Pembalasan kami akan membuat mereka lebih berdarah-darah”.
“Apa yang bisa aku lakukan?” aku berkata dengan lembut, tanganku mengelus dadanya.
“Aku butuh dirimu”.
“Okay”. Aku melepas gaun tidurku dari kepalaku dan melepas celana dalamku. Aku berlutut disamping Luca. Dia sudah menyingkirkan Boxernya dan ereksi menjukang bebas, mencengkram pinggulku, dia membuatku menduduki perutnya. Rasa gugup mengikat perutku. Aku berharap di kali keduaku, Luca tetap yang berada di atas. Pikiran akan diriku yang memasukan diriku ke ereksinya setelah rasa sakit yang kurasakan kali terakhir, itu membuatku ketakutan, tapi jika Luca membutuhkanku, kurasa aku bisa melakukannya. Aku menjerit karena terkejut ketika Luca mencengkram bokongku dan menarikku ke atas wajahnya, jadi aku berada di atas mulutnya. Dia menekanku ke bawah, dan aku berteriak nikmat, tanganku terjulur kedepan untuk menekan kepala ranjang. Ini lebih intens dari semua yang pernah Luca lakukan untukku.
Lidahnya menyelinap masuk dengan lebih dalam dan dia memijat pantatku dengan ujung jarinya yang kuat. Aku mengintip ke mata Luca saat dia mengatupkan mulutnya di klitorisku. Aku menggoyangkan pinggulku, menekan diriku ke mulutnya. Dia menggeram. Getaran itu mengirimkan kenikmatan ke dalam diriku dan aku mulai memutar-mutar pinggulku dan mengendarai wajah Luca. Aku memejamkan mata, membiarkan kepalaku jatuh ke belakang saat Luca menyetubuhiku dengan lidahnya lagi,bersenandung untuk sesaat. Lalu aku hancur, bergoyang di mulut Luca, dan menjeritkan namanya. Di suatu tempat jauh di dalam diriku ingin merasa malu akan tetapi aku telah terlalu terangsang.
Ketika orgasme ku mereda, aku mencoba menarik diri dari bibir Luca tapi dia memelukku dengan cepat, matanya membara ke arahku saat dia menjilat ku dengan gerakan lambat. Ini sudah terlalu banyak, tapi dia tak bisa dihentikan. Dengan belaian lembut, dan dorongan dari lidahnya, dia perlahan membangunkan kenikmatanku kembali. Suara terengahku datang lebih cepat dan aku tak mencoba menyembunyikannya lagi, malahan aku membiarkan Luca menggerakan pinggulku maju mundur saat dia menjilatiku. Aku sudah separuh jalan menuju orgasme ku yang kedua. Tanpa aba-aba dia menarik diri dan dengan satu gerakan dia membaringkanku di punggungku dan berlutut diantara kedua kakiku, ereksinya menempel di pintu masukku.
Aku menegang tapi Luca belum masuk. Dia menundukkan kepala sehingga dia bisa menghisap putingku ke dalam mulutnya, dan mengusap ujung ereksinya bolak-balik di atas klitorisku. Aku mengoceh tak berdaya pada sensasi itu. Aku sudah amat dekat pada pelepasan sebelumnya dan bisa merasakan diriku sampai disana lagi. Lalu dia mencelupkan dirinya ke lubangku. Aku tersentak karena rasa sakit tapi dia menarik diri dengan cepat dan menggesekkan ujungnya ke klitorisku lagi. Dia melakukan itu berulang-ulang kali sampai aku terengah-engah dan begitu becek hingga aku bisa mendengar nya, kemudian dia melepaskan putingku dengan suara pop dan membawa wajahnya ke wajahku. Ujung penisnya masuk ke pembukaanku tapi kali ini dia tidak mundur.
Perlahan dia menyelinap masuk seluruhnya, dan tak pernah melepaskan pandangannya dari mataku. Aku menggigit bibirku untuk menahan suaraku. Tapi ini tidak semenyakitkan yang terakhir kali tapi ini tetap tidak nyaman. Aku merasa terlalu meregang, terlalu kencang. Luca menangkup bagian belakang kepalaku dan mulai bergerak. Napasku tertahan meski lamban tapi Luca tidak goyah. Dia meluncur keluar dan masuk dengan ritme yang sangat lambat dan lembut sampai napasku berhenti tertahan di tenggorokanku. Dia mempercepat tapi aku mencakar lengannya dan dia melambat lagi. Dia menurunkan mulutnya ke telingaku, suaranya rendah dan serak saat berbicara. “Aku menyukai rasamu, Tuan Putri. Aku menyukai bagaimana kau menyetubuhi mulutku. Aku amat menyukai ketika lidahku di dalam dirimu. Aku suka vagina dan payudaramu, dan aku suka kenyataan bahwa kau adalah milikku”. Luca tetap bergerak dengan mantap saat dia berbisik di telingaku. Dan aku lupa akan rasa sakit yang menyebalkan itu, dan mengerang. Tak ada yang lebih seksi dari Luca yang berbicara dengan suara baritonnya yang dalam.
Luca terus berbicara melewati rasa ketidaknyamananku dana ku bisa merasakan orgasme mulai terbangun. Luca menyelipkan tangannya diantara kami dan menemukan klitorisku, menggosoknya dengan cepat saat dia menusuk masuk dalam diriku. Dia sedikit lebih cepat, dan aku gemetar karena rasa sakit dan kenikmatan. Luca tidak melambat. Dia terengah-engah, kulitnya licin karena keringat saat dia bertarung untuk sebuah kontrol. Aku bisa melihat di wajahnya bagaimana pertahanan dirinya mulai memudar dan tapi dia tidak lepas kendali. Aku mengerang saat dia meluncur lebih dalam lebih dari sebelumnya ke dalam diriku. Kenikmatan memancar di tubuhku.
“Datanglah untukku, Aria”. Sergahnya, meningkatkan tekanan pada klitorisku. Lompatan kenikmatan lainnya bercampur rasa sakit membanting tubuhku dan aku terjerumus, terengah-engah, dan merintih saat orgasmeku mengguncang tubuhku. Luca menggeram dan mendorong lebih keras. Aku berpegangan padanya, dan jari-jariku mencengkeram bahunya saat dia mendekati puncaknya sendiri. Dengan erangan yang sangat keras, Luca menegang di atasku dan aku bisa merasakan pelepasanya di dalam diriku. Aku mengerang karena betapa meregang dan kencangnya yang aku rasakan. Luca terus menyodok hingga aku bisa merasakan dirinya melunak. Dia menarik dirinya keluar tapi tetap di atasku, berat badannya disangga dengan lengan bawahnya. “Apakah aku terlalu kasar?” tanyanya dengan suara tebal.
“Tidak, tak apa-apa”, aku tidak berani bertanya seberapa keras yang bisa dia lakukan.
Dia mencium ujung mulutku, kemudian bibir bawahku hingga dia memasukan lidahnya ke mulutku untu ciuman yang nikmat. Kita berciuman dalam waktu yang lama, tubuh licin kami saling menekan. Aku tidak yakin sudah berapa lama kami berbaring seperti itu, berciuman, tapi akhirnya aku bisa merasakanLuca semakin mengeras lagi.
Mataku terbelalak karena terkejut. “Secepat itu? Kupikir pria butuh waktu untuk beristirahat”.
Luca tertawa, suara seksi yang dalam. “Tidak , dengan tubuh telanjangmu di bawahku”. Dia meremas pantatku. Masih sakit?”.
Sangat sakit, tapi caranya menggosok ereksinya dengan ringan di lipatanku, aku tak bisa mengatakannya. “Tidak terlalu sakit”.
Luca menatapku dengan jelasd sehingga dia mengenali kebohonganku tapi dia memutar punggungnya, membawaku bersamanya. Aku mengangkangi perutnya. Dia pasti telah melihat bagaimana gugupnya aku karena dia membelai sisi tubuhku dengan lembut. “Manfaatkan waktumu. Kau yang pegang kendali”.
Dia menggerak gerakan pinggulnya, menggosokkan ereksinya ke bokongku.
“Aku ingin kau yang memegang kendali”. Kataku.
Mata Luca menggelap. “Jangan katakan hal seperti itu pada pria seperti ku”, tapi dia mencengkram pinggulku dan menempatkanku di atas ereksinya. Dari sudut pandang ini dia tampak lebih besar. Dia mengusap ujungnya di lingkaran kecil di atas klitorisku saat tangannya yang lain menyusuri dadaku dan menangkupnya. Dia mensejajarkan dirinya dengan pintu masukku sebelum meraih pinggulku dan dengan perlahan membimbingku turun. Ketika dia setengah masuk, aku berhenti, menarik napasku. Aku menekankan telapak tanganku di atas dadanya, saat aku mencoba posisi baru ini. Dia terasa lebih besar, dan ototklu meremas dengan sangat kencang di sepanjang ereksinya. Luca menggertakan giginya. Dia mengusap kedua sisi tubuhku dan menangkup payudaraku lagi, memutar-mutar putingku diantara jari-jarinya. Aku mengerang dan membuat gerakan bergoyang kecil dengan pinggulku. Luca menekan ibu jarinya di klitorisku dan menjentikkannya, lalu saat aku mengerang dia mendorong hingga ke dasar ereksinya.
Aku berteriak lebih karena terkejut bukan karena rasa sakitnya dan membeku, menghembuskan napas secara perlahan untuk mengatasi perasaan yang penuh.
“Aria” Luca berkata dengan suara serak. Aku bertemu dengan tatapannya. Sedikit ketidak pastian di matanya.
Aku memaksa bibirku untuk tersenyum. “Beri aku waktu sebentar”.
Dia mengangguk, tangannya diletakkan di pinggangku saat dia mengamatiku. Aku menghembuskan napas lagi, kemudian menggerakan pinggulku dengan coba-coba. Ada rasa nyeri tapi juga ada kenikmatan. “Bantu aku?” aku berbisik, memandang ke arahnya dari balik bulu mataku.
Dia menggenggam pinggangku, jarinya menyebar menyebrani bokongku dan membimbingku dalam ritme gerakan dan putaran yang lambat. Sungguh menyenangkan untuk bisa merasakan kekuatan tubuhnya di abwah tanganku,merasakan otot-ototnya melengkung di bawah ujung jariku, tapi yang paling tatapan matanya yang menatap aku yang ada di atasnya. Rasa lapar dan kagum bercampur dengan emosi lain yang tak berani aku tebak. Dada Luca terangkat di bawah telapak tanganku, napasnya semakin kencang saat dia mulai menyodok ke atas, mendorong tubuhnya lebih keras dan cepat. Jempolnya maju mundur di atas klitorisku saat dia melaju ke arahku. Aku berteriak. Luca mencengkram pinggulku dengan cengkraman yang membuat memar dan mendorongnya lebih cepat. Aku melemparkan kepalaku ke belakang, mengendarai melalui orgasme ku saat aku merasaka n Luca menegang di bawahku dan menyemburkan pelepasan dalam diriku dengan suara erangan yang lembut.
Aku menggigil tak berdaya di atas tubuhnya saat aku mereda dari rasa ekstasiku. Aku ambruk di dada Luca dan menempelkan bibirku ke bibirnya. Jantungnya berdebar kencang di dadaku. Dia memeluk lenganku dan menekanku erat-erat.
“Aku tidak akan kehilanganmu”, gerutunya, mengejutkanku.
“Kau tidak akan pernah kehilanganku”.
“The Bravta sudah mendekat. Bagaimana caranya aku melindungimu”.
Mengapa Bravta tertarik padaku. “Kau akan menemukan caranya”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

STUCK UP SUIT Chapter 8

GRAHAM AKU TIDAK MENDENGAR KABAR NYA SEPANJANG HARI di hari sabtu, dan tidak seperti yang aku harapkan juga. Soraya Venedetta san...