Rabu, 31 Januari 2018

Chapter Dua belas Part B

Romero menunggu di luar toko selama kami berbelanja. Dia kemungkinan telah memeriksa sebelumnya tentang ada tidaknya jalan yang bisa kami gunakan untuk melarikan diri. Aku belum memberitahunya tentang rencana kami untuk pergi ke klub. Akan lebih baik jika aku membeberkan padanya pada saat- saat terakhir.

Gianna bersiul saat aku berbalik sehingga dia bisa mengagumi pakaianku. “Sialan. Kau adalah sex on legs. Atau malah death on legs, karena Luca kemungkinan akan membunuh setiap pria yang memandangmu dengan cara yang salah”.

Aku memutar mataku. “Luca tak akan membunuh siapapun hanya karena melihat”.
“Mau bertaruh untuk itu?”
Tidak, aku tak mau. Aku tak pernah mengenakan sesuatu yang sexi di depan umum. Celana kulit hitam memeluk tubuhku erat-erat, mereka tampak seperti kulit kedua. Blus tanpa lengan berwarna hitam aku tarik ke ikat pinggangku, menampakkan push – up bra gemerlap di bawahnya.
“Kau juga tidak terlihat terlalu lusuh”, kataku,
Gianna melompat ke tempat tidurku. “Menurutmu?” dia melontarkan senyum menggoda padaku. Dia terlihat amat sangat hot dengan stocking hitam sebatas paha dan hotpants kulit berwarna hitam.
Kau Jail bait”. Untung kita tidak perlu khawatir akan di tangkap. Aku menghubungkan lengan kami dan membawanya keluar dari kamar tidue dan menuruni tangga. Romero sedang duduk di sofa, membersihkan pisaunya. Matanya melirik ke atas dan dia terdiam tanpa bergerak sama sekali. Matanya mengembara ke tubuh kami. Dia tak pernah secara terbuka menatapku.
“Apakah kau sedang memandangi kami?” aku tidak bisa tidak menggodanya. Dia selalu begitu terkendali. Sekilas sifat manuasiawinya ini membuatku lega.
Dia berdiri tiba-tiba, menyisipkan pisau kembali ke tempatnya. Matanya kembali tertuju ke wajahku. “ada apa?” ada sedikit ketegangan dalam suaranya.
Aku mendekatinya dan dia benar-benar tegang seakan mengira aku akan menerkamnya. Itu membuatku tertawa. “Gianna dan aku ingin pergi ke Marquee”. Itu adalah salah satu klub terpanas di kota.
Romero menggelengkan kepalanya. “Itu milik Bravta”.
“Oh, apa klub terkeren milik Familia?”.
Romero tidak mengatakan apapun pada awalnya. Dia merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya, mungkin untuk menghubungi Luca. Kemarahan menggelegak dalam diriku. Aku tak percaya dia perlu meminta izin kepada Luca. Aku menatap Gianna dan mengangguk ke arah Romero yang sudah mulai mengetik. Gianna mendekati Romero dan benar-benar meremas pantat Romero. Romero terlonjak dan aku memanfaatkan kesempatan itu untuk merebut ponselnya. Dia mengambil langkah mengancam ke arahku, matanya berkobar karena marah,lalu dia membeku. “Aria”, katanya. “Kembalikan”.
Aku menyelipkan ponsel ke pinggang celanaku. Celana ku cukup ketat sehingga sehingga tak ada resiko terjatuh.
Gianna melangkah menjauh dari Romero, menyeringai. “Mengapa kau tidak merogoh ke pinggang celana Aria dan mengambilnya? Aku akan memgambil foto dan mengirimkannya ke Luca”.
Mata Romero menempel ke ponselnya yang ada di celanaku, tapi aku tau dia tak akan mencoba untuk mengambilnya. “Ini tidak Lucu”.
“Tidak, memang Tidak”, kataku tajam. “aku sudah dewasa. Jika aku menyuruhmu untuk membawaku ke Klub, aku tak ingin kau meminta izin pada suamiku. Aku bukan anak kecil , juga bukanlah propertinya”.
“Kau milik Luca”, Romero berkata dengan lembut.
Aku melangkah mendekatinya, begitu dekat sehingga aku harus mendongakkan kepalaku. “Gianna dan aku akan pergi ke klub. Jadi terkecuali kau ingin menahan ku di bawah todongan senjata, kau akan mengantar kami kesana atau membiarkan kami pergi sendiri”.
Rahang Romero mengencang. Tatapan matanya membuatku sadar bahwa dia adalah pengawalku. Untuk pertama kalinya aku di ingatkan bahwa Romero adalah seorang pembunuh. “aku akan mengantarmu. Tapi kau akan pergi ke Sphere. Itu milik Luca”.
“Apakah itu lebih baik?”.
“Itu lebih keren dibanding Marquee sialan”. Romero benar-benar kesal.
“Bawa kami kesana”, dia mengenakan jaketnya dan mengantar kami ke lift. “Luca tidak akan menyukainya,” katanya.

##

aku dan Gianna duduk di belakang saat Romero mengarahkan mobilmya melewati lalu lintas. Aku menarik ponsel dan memeriksa pesan Romero.
Ingin pergi ke klub, diizinkan?
Dia berhasil mengirimnya sebelum aku menyambar ponselnya, tapi jawaban Luca datang sesudahnya.
Tidak.
Darahku mendidih. Gianna mendengus. “Aku sama sekali tak bisa percaya akan kegugupannya”.
Romero melirik kami dai kaca spion. “Apakah Luca membalas?”.
“Yeah”, kataku. “Dia bilang kau harus selalu ada di dekat kami setiap saat”.
Romero mempercayai kebohonganku dan benar-benar santai. Gianna mengedipkan mata. Luca akan marah besar, tapi aku tak cukup peduli. Romero memarkir mobil di gang samping dan membawa kami berkeliling gedung. Antrian panjang penikmat pesta menunggu di depan pintu masuk tapi Romero mengantar kami melewatinya.
“Hei, keparat tolol, ada antrean”, teriak seorang pria. Teriak seorang pria. Romero berhenti, kemarahan yang dingin menggantikan ketenangannnya yang biasa.
“Majulah,” Romero berkata pada kami sebelum dia berbalik ke arah pria tadi. Gianna menggenggam tanganku dan menyeretku ke dua penjaga di depan. Mereka sama tinggi dan berototnya seperti Luca.
“Kalian tidak terlihat cukup umur untuk bisa masuk ke dalam Klub” kata pria berkulit gelap itu.
“apakah itu jadi masalah?” kata Gianna sambil tersenyum kecil.
Mata mereka bergerak ke sesuatu di belakangku. “Romero”, katanya dengan sedikit kebingungan.
“Dia Milik bos, Jorge. Ini Aria Vittielo dan adiknya Gianna Scuderi dari Chicago Outfit”.
Kedua pria itu memandang kami, kemudian melangkah mundur dengan hormat. “Kami tidak tau dia akan datang kesini malam ini. Boss tidak mengatakan apapun”. Kata Jorge.
Romero meringis, tapi tidak mengatakan apapun. Sebagai gantinya dia membawaku dan Gianna ke dalam, melewati ruangan tempat menyimpan jas yang diwarnai cahaya kebiruan dan area bar. Di belakang itu pintu terbuka mengarah ke lantai dansa yang gelap. Lampu biru dan putih menyala dan denyut hip hop meledak ke arah kami. Gianna menarik tanganku , ingin masuk ke arah itu.
“Kita harus menemui Luca dulu”, kata Romero.
“Dia disini?” tanyaku heran.
Romero mengangguk. “Klub ini memiliki beberapa ruang belakang dan ruang bawah tanah tempat kami menangani bisnis”.
“Mengapa kau tidak pergi memberitahunya bahwa aku dan Gianna ada disini sementara Gianna dan aku memasuki lantai dansa”.
Romero menatapku. “Tak akan terjadi sampai Neraka membeku”.
“Kalau begitu itu masalahmu. Gianna dan aku akan menari”, Romero memegang pergelangan tanganku. Aku menegang. “Lepaskan aku saat ini juga”, desisku dan dia melakukannya, dadanya terengah-engah. Gianna dan aku masuk ke klub. Beat musik bergetar di bawah kaki kami seolah lantai mulai hidup. Klub penuh sesak dengan tubuh menggeliat. Romero membayangi adik ku dan aku saat kami meringsek ke kerumunan penari menuju area bar yang lain.
“Dua Gin dan Tonic” kataku. Si Bartender mengerutkan kening sebentar sebelum melihat Romero, lalu menyiapkan minuman kami, dan menyerahkan ke kami. Romero membungkuk di atas bar dan mengatakan sesuatu pada pria itu, yang mengangguk dan berjalan memutari bar. Aku tau apa artinya. Aku meneguk minuman kerasku , lalu meletakannya dan bergerak ke lantai dansa.
Aku membiarkan musik mengklaim tubuhku dan mulai menggeliat mengalahkannya. Gianna menyeringai lebar, menengadahkan kepalanya ke belakang. Dia terlihat lebih bahagia daripada yang pernah aku liat dalam waktu lama. Dia menggerakan pinggul dan pantatnya, berjoget dan menggoyangkan pinggulnya. Aku melangkah mendekat dan menirukkan gerakkannya. Mata kami terkunci saat kami kehilangan semua hal di sekitar kami, saat kami membiarkan musik membawa siapa diri kami. Aku tak yakin dimana Romero berada dan aku tak peduli. Ini terasa seperti kebebasan.
Pria memperhatikan kita. Aku tak membalas tatapan lapar mereka. Tak adil untuk memancing mereka. Gianna tidak mengendalikan diri sepertiku. Dia tersenyum dan mengggoda, mengedip-ngedipkan bulu matanya dan mengusap rambutnya. Beberapa orang mulai menari di sekitar kami. Gianna menekan salah satu dari mereka, tangannya di dadanya. Seorang pria lain menganggkat alis ke arahku,tapi aku menggelengkan kepala. Dia membuka mulutnya lalu menutupnya dan mundur.
Aku tak perlu melihat ke belakang. Aku tetap menari. Aku tau siapa yang ada di belakangku, tau dari tatapan hormat para pria di sekitar ku, dari tatapan kekaguman para wanita. Aku memutar pinggulku, menunggingkan pantatkui, menganggkat lenganku. Tangan yang kokoh meraih pinggulku. Untuk sesaat aku khawatir bahwa tangan itu tangan seorang bajingan tolol, tapi itu adalah tangan kokoh yang aku kenal. Aku melengkung, menekan pantatku ke selangkangannya. Aku tersenyu,. Aku dilingkupi tubuh berotot dan napas hangat Luca menyapu telingaku. “Untuk siapa kau menari?”.
Aku memiringkan kepalaku untuk menatap mata kelabu nya. “Kamu. Cuma dirimu”.
Ekspresi Luca tampak lapar, tapi masih ada sedikit kemarahan juga. “Apa yang kau lakukan disini?”
“Menari”.
Dia menyipitkan matanya. “aku mengatakan pada Romero 'Tidak'”.
“Aku bukan propertimu Luca. Jangan memperlakukanku seperti itu”.
Jari-jarinya di pinggangku menegang. “Kau milikku Aria dan aku melinduungi milikku”.
“Aku tak keberatan di lindungi, tapi aku keberatan di penjara”, aku memutar lengan Luca, melihat Gianna yang bertengkar sengit dengan Matteo. “Menarilah denganku”, teriakku.
Dan Luca melakukannya. Aku tau dari foto-foto yang beredar di internet bahwa dia dulu sering berada di klub dan itu tak diragukan ketika dia menggerakan tubuhnya. Seorang pria setinggi dan seberotot dia tidak seharusnya bisa bergerak dengan begitu lihai. Matanya tak pernah meninggalkanku, tangannya dengan posesif di pinggangku. Luca membungkuk ke arahku dan berbisik di telingaku. “kau terlihat sangat Hot, Aria. Dan setiap pria di klub menginginkanmu dan aku ingin membumuh mereka semua”.
“aku hanya milikmu”. Aku berkata dengan Galak dan Demi Tuhan itu adalah kenyataannya, bukan hanya karena cincin di jariku yang menandaiku sebagai miliknya. Bibir Luca meringsek ke bibirku, garang, menuntut, posesif dan aku terbuka untuknya , membiarkan dia mengklaimku di depan semua orang.
“Sialan aku mengeras”, Luca menggeram di bibirku dan aku bisa merasakan ereksinya menempel di perutku. “Sialan. Aku sudah ada janji dengan salah satu distributorku dalam lima menit kedepan”. Aku tak bertanya akan apa yang di distribusikan. Aku tidak ingin tau.
“Tak apa”, kataku. “Kembalilah saat kau ada waktu. Aku akan mengambil minuman”.
“Pergilah ke area VIP”.
Aku menggelengkan kepala. “Aku ingin berpura-pura menjadi gadis biasa malam ini”.
“Tak ada seorangpun yang melihatmu akan berpikir bahwa kau adalah gadis biasa”, matanya mengelilingi tubuhku, dan aku menggigil. Lalu dia mundur selangkah, dengan wajah menyesal. “Cesare dan Romero akan mengawasimu”, aku baru akan mengangguk saat melihat wajah yang familier di area VIP , memperhatikanku. Grace.
Napasku tertahan. Dia duduk di pangkuan pria lain jadi dia disini tidak untuk Luca tapi tatapan matanya mengatakan semuanya. Dia tidak benar-benar dengan pria itu. Luca mengikuti arah pandanganku dan mengumpat. “Dia tidak disini karena aku”.
“Ya, dia disini untukmu”.
“Aku tak bisa mengusirnya. Dia datang kesini setiap saat untuk berpesta. Aku tak pernah bertemu dengannya sejak malam itu. Aku biasanya tetap di belakang”.
Aku mengangguk, ada yang mengganjal di tenggorokanku. Luca meraih daguku, dengan ibu jari dan telunjuknya, memaksaku untuk menatap matanya. “Hanya ada dirimu, Aria”. Dia melirik arlojinya, dan mundur. “Aku benar-benar harus pergi sekarang. Aku akan kembali secepatnya”. Dia berputar dan berjalan melewati kerumunan. Matteo mengikutinya dari belakang dan Gianna melangkah ke sampingku. “Dasar Bajingan”.
“Siapa?” kataku bingung. Grace telah menghilang dari Area Vip.
“Matteo. Berani-beraninya dia menyuruhku untuk tidak menari dengan pria lain. Siapa dia? Pemilikku. Persetan dengan dia”, dia berhenti sejenak. “apakah kau baik-baik saja”.
“Yeah”, bisikku. “Ayo kita pergi ke Bar”, Romero dan Cesare masuk dan melangkah di belakang kami tapi akui berbalik dan menghadap mereka, merasa gelisah. “Bisakah kalian mengawasi kami dari kejauhan? Kalian membuatku gila”, tanpa sepatah katapun mereka berpisah dan mengambil posisi di sudut-sudut Klub. Aku menghembuskan napas dan duduk di bangku bar.
Aku memesan dua Gin dan Tonic yang baru dan meneguk dalam-dalam cairan dingin itu dan mencoba Rileks. Gianna menggoyang-goyangkan kakinya. “kau bisa menari” kataku padanya, tapi dia menggelengkan kepalanya dan mengangkat kepala nya ke arah musik. “Dalam beberapa menit. Kamu terlihat pucat”.
“Aku baik-baik saja” kataku, mataku mencari-cari tanda-tanda Grace di klu, tapi tampaknya dia menghilang di udara yang tipis. Lagian Terlalu banyak orang di lantai dansa untuk bisa menemukan dia.
“Aku perlu ke toilet”, kata Gianna beberapa saat kemudian. Gin dan Tonic nya sudah mulai habis.
“aku butuh duduk untuk beberapa menit”.
Gianna memberiku tatapan khawatir kemudian dia menyelinap dan Cesare mengikuti dalam jarak aman.
Aku meletakkan kepalaku di telapak tanganku, menarik napas dalam-dalam. Sebuah lengan menyentuh lenganku, mengejutkanku. Aku menghindar saat seorang pria dengan rambut pirang panjang bersender di counter di sampingku. Dia mengambil sedotan melewatiku. Jaketnya menggesek payudaraku dan aku bersandar menjauh, dan membuang muka, tidak nyaman akan tatapan yang dia berikan padaku.
“Siapa namamu?” dia berteriak.
Aku berusaha mengabaikan dia. Sesuatu tentang pria ini sungguh membuatku ngeri. Aku menyesap minumanku dan berpura-pura sibuk mencari seseorang. Pria ini tetap melirikku dengan senyum mengerikan di wajahnya yang tidak di cukur. “Apa kau sedang menunggu seseorang?”
aku berpaling, benar-benar mengabaikannya, dan menimbulkan masalah besar karena ini. Jika aku mulai panik, Romero akan datang dan bertindak. Mungkin dia sudah mengarah kesini. Pandanganku mulai buram dan perutku sedikit mual. Aku menyesap minumanku tapi itu tidak membantu. Aku turun dari bangku tapi kakiku goyah dan aku merasa pusing. Aku meraih meja di belakangku. Tiba-tiba, mulut pria itu ada di telingaku, bau rokoknya nya yang anyir di wajahku. “aku akan menggagahi pantatmu yang ketat. Aku akan membuatmu menjerit, sundal”. Cengkramannya di lenganku terasa meremukkan saat dia mencoba menyeretku dari bar. Mataku menemukan Romero yang mengarah padaku, tangannya di bawah jaketnya dimana pistol dan pisaunya perada. Tidak sabar dengan pergerakan ku yang lamban, penyerangku melingkarkan lengan di tubuhku seperti pacar yang penuh kasih sayang yang membantu pacarnya keluar dari klub karena mabuk. “aku akan menidurimu seperti binatang. Aku akan menyetubuhimu hingga berdarah-darah, Jalang”, serunya di telingaku. Aku menatapnya, anggota tubuhku terasa berat, mulutku seperti penuh dengan kapas. Aku pernah mendengar kata-kata seperti itu belum lama ini.
Aku memaksa bibirku tersenyum. “Kau akan Mati, Man”.
Kebingungan melintas di wajah pria itu beberapa saat sebelum dia mengalami kesakitan. Dia melepaskanku, dan kakiku melemas, tapi Cesare menangkapku, lengannya menggantikan lengan pria itu. Mataku melirik Gianna. Dia bergegas ke samping Cesare, wajahnya tampak khawatir. Romero mendekat di belakang penyerangku, pisaunya menancap di paha pria itu. “Kau akan mengikuti kami. Jika kau mencoba lari, kau akan mati”.
“Bawa minumannya”, Kata Cesare pada Gianna, “tapi jangan minum”.
Cesare setengah menarikku ke bagian belakang Klub dan menuruni tangga. Dia membuka pintu dan masuk ke semacam kantor. Matteo bangkit dari kursinya. “apa yang sedang terjadi?”.
“Mungkin Roofies” Kata Romero, dan mengguncang pria yang sedang dia pegang.
“Aku akan memanggil Luca” kata Matteo sambil tersenyum. Dia berjalan melalui pintu lain dan sesat kemudian Luca berjalan ke ruangan, setinggi dan semengesankan seperti biasanya. Aku menggantung di pegangan Cesare, wajahku setengah menempel di dadanya. Mata Luca menyipit, lalu melayang diantara aku dan penyerangku.
“Apa yang terjadi?” dia menggeram.
Tiba-tiba dia berada di depanku, mengangkatku ke lengannya. Kepalaku tertuju ke dadanya saat aku menatapnya. Dia menurunkanku di sofa. Gianna berlutut di sampingku, mencengkram tanganku. “apa yang terjadi padanya?”.
“Roofies”, kata Romero lagi. “Orang sakit ini mencoba menyeretnya keluar”.
Luca berjalan ke arah penyerangku. “Kau memasukan Roofies ke minuman istriku, Rick?”.
Luca mengenal pria itu? Kebingungan berkedip dalam pikiranku yang kabur.
“Istri! Aku tidak tau dia milikmu. Aku tak tau. Aku bersumpah!”, bibir bawah pria itu bergetar.
Luca mendorong tangan Romero menjauh dan jari-jarinya menggenggam gagang pisau yang masih terbenam di kaki Rick. Dia memutar pisau itu dan Rick menjerit. Romero memegangi Pria itu dengan tangannya. “apa yang akan kau lakukan pada istriku ketika kau membawa nya keluar?”.
“Tidak ada! “ Teriak pria itu.
“Tidak ada? Jadi jika orang-orangku tidak menghentikanmu, kau pasti akan mengantarnya ke rumah sakit”, suara Luca menyenangkan, tenang, dan wajahnya tanpa emosi.
Pegangan tangan Gianna padaku sangat menyakitkan. Aku menelan ludah dan berdeham. “Aku akan menyetubuhi pantat mu yang ketat” bisikku.
Kepala Luca berputar, lalu dia berada di sampingku, wajahnya berada di dekatku, aku bisa menciumnya. Mungkin ini efek Roofies, tapi aku benar-benar ingin menciumnya dengan sangat tepat pada saat ini, ingin merobek kemejanya, ingin untuk....
“Apa yang barusan kau katakan , Aria?”
“Aku akan menyetubuhi pantat ketatmu. Aku akan membuatmu menjerit, Jalang. Dan aku akan menyetubuhimu hingga berdarah-darah, Sundal. Itu yang dia katakan padaku”. Luca menatap langsung ke mataku, otot rahangnnya bergerak. Sebelum dia bisa bergerak, Gianna melompat berdiri dan berlari ke arah Rick. Dia memukul wajah Rick dan menendang pangkal pahanya, dan berusaha keras melepaskan diri dari pegangan Matteo saat Matteo menyeretnya menjauh dari Rick.
“Kau akan mati!” teriaknya.
Luca menegakkan tubuh dan dia berhenti bergerak.
“Lepaskan aku”, Gianna mendesis,
“Kau berjanji untuk menjaga kelakuanmu?” Matteo bertanya dengan senyum geli.
Dia mengannguk dan tatapannya tertuju pada Rick. Matteo melepaskan tangannya dan dia meluruskan bajunya. “Mereka akan membuatmu berdarah”, katanya dingin. “ Dan aku berharap mereka memerkosa pantat jelek mu dengan gagang sapu yang ada disana.
“Gianna”, sergahku. Dia menghampiriku dan duduk di tepi sofa, meraih tanganku lagi.
Matteo tidak mengalihkan pandangannya dari Gianna. “Aku akan membuat dia membayarnya, Gianna”.
“Tidak” Luca berkata dengan tegas. Rick tampak siap untuk merasa lega. “Dia adalah tanggung jawabku” Matteo dan Luca bertukar pandang lama, lalu Matteo mengangguk.
Luca mendekatkan wajahnya ke wajah Rick. “Kau ingin menyetubuhi istriku? Ingin membuatmu menjerit?” Suaranya merobek rasa pusingku dan mengirimkan rasa menggigil di punggungku. Aku senang itu tidak di arahkan padaku. Aku pernah takut pada Luca sebelumnya. Tapi dia tak pernah terdengar seperti ini. Rick menggeleng panik. “Tidak, Kumohon”.
Luca melingkarkan tangannya di leher Rick dan menganggkatnya sampai berdiri berjinjit dan wajahnya menjadi merah. Lalu dia melemparkannya dan Rick menabrak dinding dan meringkuk di lantai.
“Kuharap kau lapar”, Luca menggeram. “karena aku akan memberimu makan Burungmu”.
“Bawa gadis-gadis itu ke mobil, Romero” Perintah Matteo, saat Luca menghunus pisaunya. Romero mengangkatku ke pelukannya dan berjalan keluar melalui pintu belakang, Gianna mendekat. Rasa pusing menyelimuti otakku dan aku menempelkan wajahkku ke jaket Romero. Dia menegang.
Gianna mendengus. “apa kau pikir Luca akan memotong penis mu hanya karena Aria menempel padamu ketika dia Sakit?”.
“Luca adalah bos ku dan Aria adalah miliknya”.
Gianna menggumamkan sesuatu dibawah nafasnya tapi aku aku tak bisa mencerna kata-katanya.
“Bukakan pintu untukku”, Romero berkata dan aku berbaring di kursi kulit yang dingin. Gianna mengangkat kepalaku dan menaruhnya di pangkuannya. Jari-jarinya mengurai rambutku dan dia menempelkan keningnya ke keningku. “Pria itu mendapatkan apa yang layak dia dapatkan”.
Aku menutup mataku. Aku telah mengantarkan pria itu ke kematian dengan kata-kataku. Pembunuhan pertamaku. “Pengawalmu bahkan tak berani menunggu di dalam mobil bersama kita. Luca adalah binatang buas”.
“Romero tetap mengawasi” aku berbisik.
“Tentu”, aku pasti ketiduran karena tiba-tiba pintu terbuka dan Luca berbicara. “Bagaimana keadaannya?”.
“Astaga” kata Gianna, suaranya melengking. “Kau berlumuran darah”.
Aku membuka mataku, tapi sulit fokus.
“Hanya bajuku,” kata Luca dengan rasa jengkel dalam suaranya. Ada suara gemerisik.
“Kau tak tau malu”, kata Gianna.
“Aku melepas bajuku, bukan celanaku, Sialan. Apa kau pernah menutup mulutmu?”
“Ini Bos”.
Samar-samar aku melihat Luca memakai kemeja baru. “Bakar yang satu itu dan urus segalanya. Romero. Aku akan menyetir”.
Sebuah tangan mengelus pipiku dan wajah Luca melayang di atasku. Lalu dia pergi, pintu tertutup dan dia masuk ke kursi pengemudi. Mobil mulai bergerak dan perutku bergejolak.
Gianna mencondongkan tubuh ke depan , kepalanya diantara tempat duduk. “Kau cukup besar, kau tau itu? Jika saja kau belum menikah dengan kakakku dan bukan bajingan seperti itu, aku mungkin mempertimbangkan untuk memberi mu kesempatan”.
“Gianna “ aku mengerang. Ketika dia ketakutan, atau gugup atau marah, dia tak pernah bisa berhenti bicara, dan semakin lama dia berbicara, semakin menyinggung perkataannya. Dan di sekitar Luca dia terus menerus emosi.
“Apakah kucing mencuri lidahmu? Ku dengar kau selalu melompat kemanapun yang tidak memiliki penis”, kata Gianna.
Luca masih tidak mengatakan apapun. Aku berharap aku bisa melihat wajahnya untuk mencari tau seberapa dekat dia akan meledak. Dia telah membunuh seorang pria belum lama ini; Gianna benar-benar harus menutup mulut.
Gianna mundur kebelakang, tapi aku tau dia belum selesai. Dia belum akan me yerah, sampai dia berhasil membuat Luca murka. Luca masuk ke parkiran bawah tanah. “Kita sampai” Gianna berbisik di telingaku. Aku berharap dia bisa berbicara secukupnya pada Luca seperti dia berbicara padaku.
Pintu mobil terbuka dan Luca mengangkatku ke pelukannya. Dia membawaku ke lift pribadi dan melangkah masuk . Lampu halogen yang terang membuat perih mataku tapi aku tetap membuka mataku untuk mengawasi Gianna dan Luca di kaca. Dia membungkuk di samping Luca dan ekspresinya tidak menjadi pertanda baik. “Pernahkah kau melakukan Threesome”.
Luca tidak bergerak seinchi pun. Dia menunduk menatapku tapi aku tetap menjaga perhatianku ke arah kaca, mencoab untuk mengirimkan pesan diam-diam pada Gianna untuk bisa menutup mulutna. “Berapa banyak wanita yang sudah pernah kau perkosa selain kakakku?”
Kepala Luca terangkat, matanya membara ketika menatap Gianna. Aku menekan telapak tanganku dengan lembut ke punggung Luca dan dia melirik ke bawah ke arahku. Tensinya mengendur. “bisakah kau melakukan hal lain dengan mulutmu selain menggonggong”.
Gianna berdiri tegak. “Seperti apa? Memberimu Blowjob?”.
Luca tertawa. “Girl, kau bahkan tak pernah melihat penis. Jadi tutup saja mulutmu”.
“Gianna”. Seruku sambil memperingatkan. Akhirnya , aku sampai di lantai atas dan Luca melangkah masuk ke Penthouse kami. Dia menuju tangga kamar tidur kami saat Gianna menghalangi jalannya. “Kemana kau akan membawanya?”
“Tidurlah,” kata Luca, mencoba menghindari adikku, tapi Gianna mengikuti gerakannya.
“Dia mabuk karena Roofies. Itu mungkin kesempatan yang kau tunggu-tunggu. Aku tak akan membiarkan dia sendirian denganmu”.
Luca menjadi sangat diam sepert srigala yang nyaris menyerang. “Aku hanya akan mengatakannya sekali dan sebaikknya kau mematuhi; menyingkir dari jalanku dan pergilah tidur”.
“Atau apa?”.
“Gianna , Ku mohon”, aku memohom. Dia mencari -cari wajahku , kemudian dia mengangguk sekali dan dengan cepat mencium pipiku. “Cepetlah sembuh”.
Luca berjalan melewatinya, menggendongku menaiki tangga dan kemudia masuk ke kamar tidur utama. Rasa mual yang mendesak jauh di dalam perutku berubah menjadi desakan yang mendesak. “Aku akan muntah”.
Luca membawaku ke kamar mandi dan memelukku di toilet saat aku muntah, ketika aku selesai, aku berkata. “Maafkan aku”.
“Untuk apa?” dia membantuku berdiri, meskipun satu-satunya yang membuatku tegak adalah pegangannya di pinggangku.
“Karena muntah”.
Luca menggelengkan kepalanya dan menyodorkan handuk basah. Tanganku bergetar saat aku menyeka wajahku. “ada baiknya kau mengeluarkan sebagian dari sistem tubuhmu. Roofies sialan. Itu satu-satunya cara agar pecundang jelek seperti Rick bisa memasukan penis mereka ke dalam Vagina.
Dia membawaku kembali ke kamar dan menuju tempat tidur. “Bisakah kau menanggalkan pakaianmu?”.
“Yeah”. Pada saat Luca pergi, aku terjatuh ke belakang dan mendarat di kasur. Tawa menggelegak terlepas dari ku, lalu gelombang rasa pusing yang baru menimpaku dan aku mengerang. Luca membungkuk di atasku, wajahnya sedikit buram.
“Aku akan melepaskan pakaianmu. Pakaianmu berbau asap dan muntah”. Aku tak yakin mengapa dia memberitahuku. Bukankah dia sudah pernah melihatku telanjang sebelumnya. Dia meraih ujung bajuku dan menarik ke atas kepalaku. Aku mengawasinya ketika dia membuka resleting celana kulitku dan menariknya menuruni kakiku, buku-buku jarinya menggesek kulitku dan meninggalkan rasa merinding di tiap kulit yang dilewatinya. Dia melepas sepatuku yang berkilau, dan melemparkaknya ke tanah sebelum berdiri dan menatapku. Dia berbalik tiba-tiba dan menghilang dari pandanganku. Titik-titik menari nari keluar dan masuk dari penglihatanku dan aku berada di ambang tawa lain saat Luca kembali dan membantuku mengenakan salah satu kemejanya . Dia hanya mengenakan celana pendeknya. Dia melingkarkan lengan di bawah lutut dan pundakku, lalu memindahkan tubuhku sampai kepalaku tertelungkup di atas bantal, lalu dia tidur disampingku.
“Kau mengesankan, kau tau?” Aku mengoceh.
Luca mengamati wajahku, lalu menempelkan telapak tangan di dahiku. Aku terkikik dan mengulurkan tangan , ingin menyentuh tatonya tapi salah menilai jarak dan menyapukan ujung jariku ke perutnya lalu turun. Dia mendesis, merenggut tanganku dan menekan nya di perutku. “Aria, kau dalam pengaruh obat bius. Cobalah untuk tidur”.
“Mungkin aku tak mau tidur”, aku menggeliat dalam cengkramannya.
“Tidak, kau harus tidur”.
Aku menguap. “Maukah kau memelukku?”.
Luca tidak mengatakan apa-apa. Tapi dia mematikan lampu dan memelukku dari belakang. “sebaiknya kau berbaring miring berjaga-jaga takutnya kau akan muntah lagi”.
“Apakah kau membunuhnya?”.
Ada sebuah jeda. “Ya”.
“Sekarang ada darah di tanganku”.
“Kau tidak membunuhnya”.
“Tapi kau membunuhnya karena aku”.
“Aku seorang pembunuh , Aria. Itu tidak ada hubungannya denganmu”. Itu ada hubungannya denganku, tapi aku terlalu lelah untuk mendebat.
Aku mendengarkan napasnya dan detak jantungnya. “Kau tau, terkadang aku berharap bisa membencimu, tapi aku tidak bisa. Kurasa aku mencintaimu. Aku tak pernah menyangka aku bisa mencintaimu. Dan terkadang aku bertanya-tanya bagaimana rasanya jika kau bercinta denganku”.
Luca menempelkan bibirnya di leherku. “Tidur”.
“Tapi kau tidak mencintaiku”, gumamku. “Kau tak ingin bercinta denganku. Kau ingin meniduriku karena aku milikmu”, pelukannya mengencang. “Terkadang aku berharap kau mengklaimku pada malam pernikahan kita, sehingga setidaknya aku tak akan mengharapkan sesuatu yang tak akan pernah ada. Kau ingin bersetubuh seperti kau meniduri Grace, seperti binatang. Karena itulah dia memberitahuku bahwa kau akan meniduriku hingga berdarah-darah, bukan?”
lidahku terasa berat dan kelopak mataku saling menempel. Aku sedang berbicara omong kosong, kata-kata kasar yang seharusnya tak ku ucapkan.
“Kapan dia mengatakan itu,Aria, Kapan?”
suara tajam Luca tidak bisa merobek kabut yang menutupi pikiranku dan kegelapan yang mengenalku.



**
JAILBAIT : ORANG YANG USIA NYA LEBIH MUDA DARI USIA YANG DI PERBOLEHKAN UNTUK MELAKUKAN AKTIVITAS SEKSUAL, DENGAN IMPLIKASI BAHWA  ORANG YANG BERUSIA DI ATAS USIA YANG DI LEGALKAN MENGANGGAP MEREKA MENARIK.  ISTILAH JAILBAIT BERASAL DARI FAKTA BAHWA MELAKUKAN AKTIVITAS SEKSUAL DENGAN ANAK DI BAWAH UMUR TERGOLONG PEMERKOSAAN MENURUT UNDANG -UNDANG.

ROOFIES: Obat jenis Benzodiazepin untuk mengobati keluhan tidur dan sering di gunakan sebagai obat bius dalam kasus pemerkosaan.

SEX ON LEGS ;  orang yang sangat menarik secara seksual 

Senin, 29 Januari 2018

Chapter Dua Belas Part A

Gianna berhasil mendapatkan tiket pesawat dua hari kemudian. Aku amat dipenuhi kegembiraan hari itu. Belum lama aku tak melihatnya, tapi rasanya seperti sudah selamanya. Saat itu di luar sudah gelap saat Luca dan aku berhenti di JFK. Kuharap Gianna bisa mendapatkan penerbangan pagi atau siang.
Karena komentarku tentang Luca yang akan membunuhku demi Familia, dia telah menarik diri secara emosional, walaupun sebelumnya dia juga bukan sebuah buku yang terbuka. Satu-satunya cara kami berinteraksi adalah pada malam hari ketika Luca dan aku saling menyenangkan dengan mulut dan tangan kami. Mungkin tanpa Gianna yang akan berkunjung, aku pasti sudah berusaha berbicara padanya atau mungkin membujuknya untuk menunjukan tempat kerjanya, alih-alih memberi ruang yang sangat dia inginkan. Luca memarkir mobil dan kami keluar. Dia tidak mencoba meraih tanganku. Dan kurasa dia bukan tipe pria yang menggandeng tangan, tapi dia menyentuh bagian bawah punggungku saat kami memasuki area kedatangan di bandara.
“kau yakin kau akan baik-baik saja dengan Gianna yang tinggal bersama kita selama beberapa hari ke depan?”
“Ya. Dan aku sudah berjanji pada ayahmu untuk melindungi dia. Dan akan lebih mudah bagiku jika dia tinggal bersama kita di apartemen”.
“Dia akan memprovokasi mu?” kataku.
“aku bisa menangani gadis cilik”.
“Luca”, kataku dengan tegas. “Gianna tau caranya menekan tombol kesabaran seseorang. Jika kau tidak benar-benar yakin kau bisa mengendalikan dirimu, aku tak akan membiarkan dia dekat dengan mu”.

Mata Luca membara. Dia tampaknya sudah hilang kesabaran sepanjang hari ini. “Jangan khawatir. Aku tak akan membunuhnya atau kamu dalam beberapa hari kedepan”.
Aku melangkah mundur. Dari mana datangnya itu semua? Apakah dia marah karena apa yang pernah aku katakan? Itu adalah fakta : kami berdua tau itu.
“Aria!”.
Aku berputar. Giana berlari-lari ke arahku dan meninggalkan trolley nya di jalan. Kami bertabrakan hingga hampir menyakitkan. Tapi aku menariknya erat dalam pelukanku. “aku sangat senang kau ada disini,” aku berbisik.
Dia mengangguk, kemudian dia menarik diri, mencari-cari di wajahku. “tak ada bekas luka yang terlihat”, dia berkata dengan keras , pandangannya mengarah ke belakangku ke arah Luca. “kau cuma memukul tempat yang di tutupi pakaian?”.
Aku mencengkram tangannya dan memberinya tatapan peringatan.
“ambil barang-barangmu,” perintah Luca. “aku tak ingin berdiri disini sepanjang malam”.
Gianna melotot ke Luca tetapi mengambil troley nya lalu kembali ke arah kami. “seorang Gentlement akan membawakan ini untuk ku”.
“Seorang Gentleman, Ya,”. Luca berkata dengan senyum kecut.
Kami berjalan kembali ke mobil kami, lenganku mengait di lengan Gianna. Luca berjalan beberapa langkah di depan dan berada di belakang kemudi tanpa kata.
“apa yang terjadi dengan dia? Dia bahkan lebih bajingan dari yang aku ingat?”.
“Kurasa pihak Rusia memberinya banyak masalah”.
“Bukannya memang selalu?” Gianna meletakkan barang-barangnya di bagasi mobil sebelum kami duduk di kursi belakang.
Luca mengangkat alisnya padaku. “aku bukan supirmu. Duduk di depan bersamaku”.
Aku tersentak karena kekasarannya tapi aku tetap menurutinya dan duduk tegak. Wajah Gianna dipenuhi kemarahan. “Kau tidak seharusnya berkata dengan cara seperti itu dengannya”.
“Dia istriku. Dan aku bisa melakukan atau mengatakan apapun yang aku inginkan”.
Aku cemberut. Luca berbalik ke arahku, bertemu dengan tatapanku. Aku tak bisa menatap matanya. Dia kembali mengarah ke jalanan.
“bagaimana kabar Lily dan Fabi?”
“amat sangat menyebalkan. Khususnya Lily. Dia tak berhenti membicarakan Romero. Dia jatuh cinta pada Romero”.
Aku tertawa, dab bahkan bibir Luca sedikit terangkat. Aku tak mengerti kenapa tapi mengulurkan tangan dan meletakknya di paha Luca. Matanya terlontar padaku dengan kaget, kemudian dia membungkus tanganku dengan tangannya hingga dia perlu untuk mengganti gigi lagi. Mata Gianna tampak penasaran ketika melihatnya. Dia pasti akan menghujaniku dengan pertanyaan pada saat kami sendirian, tak di ragukan lagi.

##

ketika kami melangkah masuk ke dalam apartemen. Aroma daging domba yang di panggang dengan rosemary tercium oleh kami.
“aku memberitahu Marrianna untuk menyiapakan makan malam yang nikmat ,” kata Luca. Alis kemerahan Gianna terangkat karena terkejut.
“Terima kasih”. Kataku.
Luca mengangguk. “ Tunjukan kamar adikmu kemudian kita bisa makan”. Dia masih kaku dan tegang. Aku melihat dia menuju pojokan dekat area dapur.
Aku menunjukan Gianna kamarnya, tapi dia dengan cepat menarikku masuk dan menutup pintu. “apa kau baik-baik saja”.
“Ya, aku sudah memberitahu di telepon. Aku baik-baik saja”.
“aku lebih suka mendengarmu mengatakan itu ketika aku bisa melihat wajahmu”.
“Aku tidak berbohong padamu, Gianna”.
Dia menggenggam tanganku. “apakah dia memaksamu untuk tidur dengan dia?”.
“Tidak, dia tidak memaksaku. Dan kami belum tidur bersama”.
Mata Gianna melebar. “Tapi sesuatu terjadi antara kalian berdua. Aku menginginkan detil”.
Aku menari diri. “kita harus makan malam sekarang. Marianna akan marah jika kita membiarkan makanan menjadi dingin. Kita bisa mengobrol besok ketika Luca sibuk dengan bisnis”.
“Besok”. Gianna berkata dengan tegas.
Aku membuka pintu dan membibingnya ke arah Ruang makan. Matanya mengamati semuanya, dan kemudian menjadi marah ketika dia melihat orang lain yang akan makan malam bersama kami : Matteo. Dia dan Luca berdiri di samping meja, mendiskusikan sesuatu, kemudian berpisah saat mereka menyadari kehadiran kami.
“apa yang sedang dia lakukan disini?” Giana berkata, hidungnya mengerut.
Menampilkan senyum Hiu nya, Matteo berjalan ke arah Gianna dan menggenggam tangan Gianna untuk menciumnya. “ Senang bertemu denganmu lagi, Gianna”.
Gianna menarik tangannya menjauh. “Jangan sentuh aku”.
Dia harus berhenti memprovokasi Matteo; Matteo amat sangat menyukai itu semua. Luca dan aku duduk berdekatan satu sama lain, dan Matteo duduk di samping Gianna. Aku tak yakin bahwa itu adalah keputusan yang baik. Aku melirik ke arah Luca, tapi Tatapan yang hati-hati tertumpu pada adikku dan adiknya.
Marriana sibuk, menyiapkan daging domba panggang,kentang Rosmary dan kacang hijau. Kami makan dalam keheningan selama beberapa saat sampai Gianna tak bisa menahan lidahnya lagi. “Mengapa kau menghancurkan tenggorokan orang itu?”.
Aku meletakkan garpuku, mengira Luca akan meledak,tapi dia hanya bersandar pada kursinya dan menyilangkan lengannya di dada.
Giana mendengus. “Ayolah. Lagian ini bukan rahasia besar. Kau mendapat julukan karena hal itu”.
Matteo menyeringai. “The Vice adalah nama yang bagus”.
Luca menggelengkan kepalanya. “Aku membencinya”.
“Kau berhak mendapatkannya”, Kata Matteo. “Sekarang ceritakanlah pada mereka atau aku yang akan menceritakannya”.
Aku sudah lama ingin tau tentang itu. Tak satupun dari orang-orang di Chicago yang mau menceritakan itu padaku dan aku belum berani bertanya pada Romero.
“Saat itu aku baru berusia tujuh belas tahun”,Luca Memulai. “Ayah kami memiliki banyak saudara laki-laki dan perempuan, dan salah satu sepupu ku naik pangkat bersaaman dengan ku, dia beberapa tahun lebih tua dariku dan ingin menjadi Capo. Dia tau ayahku akan memilihku, jadi dia mengundangku ke rumahnya dan mencoba menikamku dari belakang. Pisau itu hanya menggores lenganku dan saat aku mendapat kesempatan, aku merangkum tanganku di lehernya dan mencekiknya”.
“Kenapa kamu tidak menembaknya?” Tanya Gianna.
“Dia adalah keluarga dan sudah tradisi bahwa kita harus meninggalkan senjata ketika kita memasuki rumah anggota keluarga”, Luca berkata dengan dingin. “Tidak lagi, tentu saja”.
“Penghianatan membuat Luca sangat marah, dia benar-benar menghancurkan tenggorokan sepupu kami. Dia sampai tersedak darah karena tulang lehernya memotong nadinya. Itu benar-benar kacau. Aku tak pernah melihat sesuatu seperti itu”, Matteo terlihat seperti anak-anak di natal pagi. Dan itu lebih dari sekedar mengganggu.
Luca melirik ke bawah ke piringnya, tangannya bertaut di pahanya. Tidak heran dia tidak suka untuk mempercayai orang lain. Dikhianati oleh keluarga pastinya amat sangat mengerikan.
“itulah kenapa Luca tidur dengan mata terbuka. Dia tak pernah tidur dengan perempuan tanpa senjata dibawah bantalnya atau di suatu tempat di tubuhnya.
Luca melemparkan pelototan ke arah adiknya.
Matteo mengangkat tangannya. “seolah-olah Aria tidak tau saja kau bermain-main dengan wanita lain”.
Aku rasa itu bukanlah alasan dari reaksi Luca.
“Jadi, apakah kau menyimpan senjata sekarang?” Gianna bertanya. “Bukankah kita keluarga”.
“Luca selalu menyimpan senjata”, Matteo mencondongkan tubuh ke arah Gianna, “Jangan menganggapinya secara personal. Aku bahkan tak pernah melihatnya tanpa senjata sejak hari itu. Itu adalah Denyutan Luca”.
Luca tidak pernah mengenakan senjata ketika kami sendirian. Dia mengenakan satu saat dia bersama Romero atau Marianna ada disana, bahkan saat Matteo ada disana, tapi saat Luca dan aku berbagi tempat tidur, tak pernah ada senjata di bawah bantalnya atau di tempat lain. Itu mungkin karena dia bisa dengan mudah mengalahkanmu dengan tangan terikat di belakang punggungnya. Itu masih tampak seperti resiko yang tak diperlukan.
Luca menghabiskan sisa makan malamnya, tegang dan diam, tapi saling adu argumen antara Matteo dan Gianna mengisi keheningan. Aku tak yakin siapa yang paling mendominasi dalam pertengkaran.
Ketika kami selesai makan, aku bangun dan membersihkan meja. Marriana sudah pulang dan aku tak ingin cucian piring kotor harus menunggu dia ketika dia kembali besok. Luca mengejutkanku saat dia bangkit juga dan membawa piring saji dan piring-piringnya ke mesin cuci piring. Aku menguap , kelelahan.
“Ayo tidur”. Kata Luca pelan.
Aku melirik Gianna. Ada banyak hal yang ingin aku bicarakan dengannya, tapi sudah terlalu larut dan besok adalah hari yang lain. “tidak sebelum Matteo pergi. Aku tak ingin meninggalkan dia dengan adikku berduan”.
Luca mengangguk dengan Muram. “Kau benar. Dia tak seharusnya berduan dengan Matteo”. Dia menghampiri Matteo dan meletak tangannya di bahu Matteo dan mengatakan sesuatu di telinga Matteo. Wajah Matteo menggelap karena kemarahan tapi dia bangkit dengan mulus, memberikan Gianna seringai hiu nya dan keluar dari apartemen tanpa sepatah kata pun.
Gianna menghampiriku. “Dia terobsesi denganku”.
Kekhawatiran mencakar bagian dalam ku. “Kalau begitu berhentilah menggodanya. Dia menyukai itu”.
“Aku tak peduli dengan yang dia suka”.
Luca bersandar di counter di sampingku, lengannya menyelip di pinggangku dan Gianna tampak sangat tidak senang. “Matteo itu pemburu. Dia senang mengejar. Dan kau lebih baik tidak membuat dia mengejarmu”.
Aku khawatir mungkin itu adalah peringatan yang terlalu terlambat. Gianna memutar matanya. “dia bisa memburuku semau dia. Dia tak akan mendapatkanku”. Dia memandangku. “Kau tidak akan tidur sekarang, bukan?”.
“Aku benar-benar lelah” kataku dengan rasa bersalah.
Bahu Gianna merosot. “Ya, aku juga. Tapi besok aku ingin dirimu hanya untukku”. Dia memberi Luca tatapan tajam sebelum menuju ke kamarnya. Dia berhenti di ambang pintu kamarnya. “Jika aku mendengar jeritan, tak ada pistol dibawah bantal yang akan menyelamatkanmu, Luca”. Dengan itu dia menutup pintu.
Luca mengusap telingaku dengan bibirnya. “akankah kau menjerit untukku malam ini?” dia menjilat kulitku dan aku menggigil.
“Tidak, dengan adik ku yang berada dibawah atap yang sama dengan kita”,kataku, meski rasa kesemutan diantara kakiku menghianatiku.
“Kita lihat saja nanti”, Geram Luca, kemudian dengan lembut menggigit tenggorokanku. Aku mengerang, tapi dengan cepat menggigit bibirku menahan suaraku. Luca meraih tanganku dan menarikku ke lantai atas. Dengan setiap langkah yang semakin dekat dengan kamar tidur, tekanan diantara kedua kaki ku semakin meningkat. Aku tak bisa percaya betapa semangatnya tubuhku akan sentuhannya, untuk pelepasan yang akan dia berikan untukku. Itu adalah satu-satunya waktu aku bisa melupakan segalanya tentang hidupku, satu-satunya waktu aku bisa terbebas dari dunia kita.
Luca membanting pintu dibelakang kami dan aku harap itu tidak menimbulkan perhatian Gianna. Tapi aku tak punya banyak waktu untuk khawatir karena Luca telah menangggalkan dress ku, kemudian dia mengangkatku ke lengannya, hanya membaringkanku di tengah-tengah tempat tidur. Luca mendaratkan ciuman di celana dalam berenda ku , menghirupnya, sebelum dia mencium perutku dan rusukku, kemudian payudaraku melalui bra berendaku.
“Milikku”, dia menggeram diatas kulitku, membuatku merinding karena kebutuhan. Dia mennyelipkan tangannya di bawah punggungku dan melepaskan bra ku dan dengan perlahan menariknya lepas. Puting ku sudah mengeras. “Aku sunguh menyukai putingmu. Mereka berwarna pink dan kecil dan sempurna”.
Aku mengtupkan kakiku, tapi Luca meraih celana dalamku dan menurunkannya. Dia menelusurkan jemarinya di sepanjang lipatanku, menyeringai. Tatapan laparnya kembali mengarah ke payudaraku dan dia menundukan kepalanya dan menelusurkan lidahnya dari satu puting ke puting yang lain. Aku mengerang dengan lembut. Dia menghabiskan waktu dengan payudaraku ketika dia perlahan bergerak lebih kebawah aku sudah terengah -engah. Bibirnya mencapai lipatanku, menggoda dan lembut, kemudian tiba-tiba lidahnya menyelip dengan keras dan cepat, dan aku menutup mulutku dengan telapak tanganku, terengah- engah dan berteriak.
“Lepaskan”,Luca menggeram. Dia menarik kedua pergelangan tanganku dan menekannya di perutku, memerangkapnya disana.
Mataku melebar. “Gianna akan mendengarnya”.
Dia menyeringai dan menghisap klitorisku cepat, kemudian perlahan dan lembut. Aku merintih dan mengerang, tubuhku gemetar karena usahaku untuk diam. “Oh Tuhan”. Aku tersentak ketika Luca memasukan jarinya dengan tajam ke dalam tubuhku, kemudian menggerakannya keluar masuk dengan irama yang seirama dengan hisapannya di klitorisku. Aku mengubur wajahku di bantal. Genggaman Luca di pergelangan tanganku mengencang dan kenikmatan merobekku. Aku berteriak di bantal, punggungku melengkung dan kaki bergetar.
Luca bergerak ke atas tubuhku hingga dia membungkuk di atas tubuhku , lutut diantara dua kakiku yang terpentang. “Kapan kau mengijinkanku memilikkimu?” dia berbisik dengan serak diatas tenggorokanku.
Aku membatu. Luca mengangkat kepalanya, matanya bertemu dengan mataku. “Sialan. Kenapa kau terlihat begitu ketakutan ketika aku menanyakan pertanyaan itu?”.
“Maafkan aku” aku berkata dengan pelan. “aku cuma butuh lebih banyak waktu”.
Luca mengangguk, tapi ada kebutuhan besar di matanya yang tampaknya tumbuh tiap harinya.
Aku menjalarkan tanganku ke dadnya, merasakan sarung senjata di bawah kemejanya. Dia duduk, dan aku membungkuk mendekat, melepaskan kancing kemejanya, menampakkan otot perutnya yang mengagumkan dan sarung senjatanya yang berwarna hitam berisi pisau dan pistol. Luca melepaskan kemejanya dan aku membuka sarung senjatanya, membantunya melepaskannya. Dia melemparkan itu ke lantai. Kata-kata Matteo teringat olehku dan aku menjalarkan tanganku ke dada Luca yang telanjang.
Aku menekankan ciuman di tato Luca, kemudian ke bekas luka yang mulai sembuh di bawah rusuknya. Aku menggosok putingnya dengan ujung jariku dan dia menggeram sebagai respon. Dia dengan cepat melepaskan celananya. Aku menurunkan bibirku ke arah ereksinya tapi berhenti seinci dari ujungnya. “Jika kau tidak diam, aku akan berhenti”.
Mata luca berkilat. Dia meletakkan tangan diatas kepalaku. “ mungkin aku tak akan mengijinkanmu untuk berhenti”.
“Mungkin aku akan menggigit”.
Luca tergelak. “silahkan lakukan yang kau mau denganku, aku tak akan bersuara. Tak ingin menyinggung telinga perawan adikmu”.
“Bagaimana dengan telinga perawanku?” aku mencium ujungnya.
“Kau seharusnya sudah tidak perawan”, kata Luca dengan suara rendah. Aku mengambil ereksinya kedalam mulutku untuk mengalihkan perhatiannya. Dia membuat suara jauh di tenggorokannnya, lalu diam saat aku merawatnya.
Aku menarik diri sebelum dia menyembur.
Setelah dia membersihakan dirinya, Luca merengkuhku.
“Aku turut menyesal atas apa yang sepupumu lakukan”, aku berkata dalam kegelapan.
“aku seharusnya tau lebih baik untuk tidak mempercayai siapapun. Kepercayaan adalah sesuatu yang mewah yang orang-orang seperti ku tak dapat milikki”.
Kau bisa mempercayaiku, aku ingin mengatakan nya karena aku tau dia bisa. Tak peduli sebrapa kuat aku mencoba melawannya, aku telah jatuh cinta padanya. “hidup tanpa mempercayai itu sepi”.
“Ya, benar”. Dia mencium belakang telingaku, kemudian kami terjatuh dalam keheningan.


Luca masih tertidur ketika aku bangun, tubuhnya merapat di tubuhku, batangnya yang mengeras menekan bagian bawah punggungku. Aku melepaskan diri dan menyelinap menuju kamar mandi. Sekarang belum terlalu terlambat, tapi Gianna adalah tipe yang bangun pagi buta dan aku tak sabar untuk menghabiskan waktu dengannya. Aku mandi lama dan membungkus tubuhku dengan handuk, sudah merasa lebih segar, kemudian kembali ke kamar. Luca duduk di ujung tempat tidur ketika aku masuk. Ereksinya mencuat. Aku memberinya senyum menggoda saat dia melingkarkan jarinya di tulang pinggulku. “Mengeras lagi?”.
Dia menggeram. “aku selalu mengeras untukmu. Dan suatu saat bolaku akan meledak”.
Aku bisa mendengar gerakan di suatu tempat di apartemen, kemudian sebuah umpatan. Gianna sudah bangun. “Aku harus menemuinya”?
“Oh tidak, belum boleh” Luca berkata dengan serak. Dia menciumku dengan posesif dan aku berdiri dengan berjinjit untuk membuatnya lebih mudah. Satu ciuman tak akan sulit, tapi cara Luca menggesekan dirinya ke diriku aku tau dia menginginkan lebih dari sekedar ciuman. Dia membaliikku dan menarikku menempel ke dadanya sehingga ereksinya menekan punggungku.
Aku terkesiap. Kami menghadap ke kaca lantai yang panjang di seberang tempat tidur. Luca mencengkram handuk dan menariknya lepas, meninggalkanku telanjang. Dia mencium tenggorokanku, matanya menatapku dari kaca. Tangannya yang kekar berkeliaran di sisi tubuhku dan menangkup payudaraku. Dia menjepit putingku diantara jari telunjuk dan ibu jarinya, dan memelintirnya. Bibirku membuka dan desahan lembut terlepas.
Aku bisa mendengar Gianna menaiki tangga ke lantai kami. Oh Tuhan.
Luca mencubit putingku, kemudian menariknya. Aku memejamkan mata menikmati sensasi nikmat yang menjalar ke tubuhku. Dia menghujani tenggorokan dan tulang selangka ku dengan ciuman ketika tangannya menyelinap turun di celah antara payudaraku, menuju ke perutku, dan diantara pahaku. Gianna berhenti di luar kamar kami. Luca menjentikkanibu jarinya ke klitorisku dan aku menggigit bibir bawahku untuk menhentikan erangan.
“Aria? Apakah kau sudah bangun?”.
“adikmu benar-benar pengganggu” Luca bergumam di telingaku,kemudian menjilat kulit di bawah telinagku sebelum dia menghisapnya. Jari tengahnya menyelip diantara lipatanku, kemudian memasukiku. Aku menghembuskan napas. “Tapi kau sudah sangat basah, tuan putri”. Gelombang kelembapan baru berkumpul diantara kakiku. “Yes”, Luca menggeram ditelingaku. Matanya terpaku ke mataku di kaca dan aku tak bisa mengalihkan tatapanku. Jarinya keluar masuk dalam diriku, menyebarkan kelembapanku ke seluruh lipatanku.
Aku tak bisa mempercayai dia membuatku menonton dia yang menyetubuhiku dengan jarinya. Aku tak menyangka itu sungguh membuatku terangsang. Jarinya menjepit putingku lagi, kali ini lebih keras dan aku bisa merasakan hingga ke klitorisku. Aku merancau.
“Aria?” Gianna menggedor-gedor pintu. Oh tuhan, dia tidak mau berhenti. Aku mencoba untuk menarik diri. Ini salah. Aku tak bisa melakukan ini de ngan adikku berada di luar pintu. Luca menyeringai, pegangannya padaku mengencang. Tangan satunya bergerak turun ke bawah dan menggosok klitorisku selama jari tangan satunya menyelinap keluar masuk dalam diriku. Aku meliuk-liuk tak terkendali. Bibirnya meringsek ke bibirku, menelan eranganku saat kenikmatan menerjangku. Kakiku mengejang dan aku menggoyangkan diriku ke tangan Luca saat aku datang dengan keras. Luca tak berhenti menggerakan tangannya, walaupun aku mencoba untuk melangkah pergi. Alih-alih dia mendorong bahuku hingga aku membungkuk ke depan , tanganku terjulur untuk menyanggaku di kaca. Mataku semakin melebar ketika dia berlutut dibelakang ku, telapak tangannya di pantatku dan melebarkan kakiku. Dan kemudian lidahnya sudah ada disana, menyelinap di lipatanku. Dia menjilat sepanjang vaginaku. Aku menegang ketika ujung lidahnya menyelinap di bagian belakang pintu masukku dan dia dengan cepat mengembalikan mulutnya ke klitorisku. Aku mati rasa, bahkan ketika aku mendengar Gianna yang terus menerus mengetuk dan memanggil-manggil. Semua yang penting hanyalah lidah Luca yang membuatku semakin tinggi dan lebih tinggi. Ini seharusnya salah, tapi ini terasa sangat nikmat. Aku menggigit bagian dalam pipiku dan saat perih dan kenikmatan menyatu kedalam orgasme kedua yang menghancurkanku. Kakiku menyerah dan aku jatuh berlutut disamping Luca, terengah-engah dan tercekat dan berharap Gianna tak mendengarnya.
Aku melotot ke Luca, dan dia menyeringai, rasa lapa menghiasi wajahnya. Dia berhenti dan ereksi nya mencuat. Aku menonton nya ketika dia mulai mengocok dirinya semdiri di depan wajahku. Aku tau apa yang dia inginkan. Aku membuka bibirku dan dia menyelipkan ujungnya masuk. Rasa asin dari pre-cum nya menyebar di lidahku. Aku tak percaya aku mengulum Luca dengan Gianna yang berada di luar, tapi rasa khawatir membuatku lebih bergairah. Apa yang salah denganku? Luca mengelus pipiku dan tangan satunya menangkup bagian belakang kepalaku. Matanya tak pernah meninggalkanku saat dia dengan perlahan menyelip keluar dan masuk di mulutku. Aku tak yakin kenapa aku menyukainya, tapi aku memang suka.
“Kau begitu cantik, Aria”, dia bergumam, menekan sedikit lebih dalam ke mulutku. Aku memutar lidahku di sepanjang ujungnya dan dia menghembuskan napas dengan tajam, jadi aku melakukannya lagi.
langkah Gianna menyusut menuruni tangga tapi aku tetap menghisap Luca, pelan dan dengan sensual. Tangan Luca membimbingku, ada tekanan ringan di kepalaku. Aku menghisap lebih cepat, meningkatkan tekanan bibirku. “Genggam bola ku”.
Aku melakukannya. Aku suka betapa lembut rasanya di telapak tanganku. Luca menggoyangkan pinggulnya lebih cepat. “Aku ingin keluar di mulutmu, Tuan Putri”, katanya dengan suara kasar. Aku tak yakin apakah itu adalah sesuatu yang aku inginkan, tapi Luca tak keberatan mencicipiku disana, jadi setidaknya aku harus mencobanya. Aku mengangguk dan menghisapnya lebih dalam ke dalam mulutku. Luca menggeram, pinggulnya bergetar lebih cepat, setalh beberapa kali dorongan , dia menyembur di dalam mulutku. Aku menelan ludah. Rasanya aneh dan lebih dari yang aku kira tapi tidak terlalu buruk.
Luca masih membelai pipiku saat ia melunak di mulutku. Dia menarik diri, penisnya meluncur keluar dari bibirku. Aku menelan lagi. Luca meraih lenganku, dan menarikku berdiri, mulutnya jatuh ke mulutku dengan ciuman ganas. Dia tidak keberatan mencicipi dirinya sendiri. “Ku harap kau mengingat ini sepanjang hari”.

##

Luca pergi tidak lama setelah sarapan dan Gianna dengan terburu-buru menarikku ke teras atap , menjauh dari telinga Romero yang ingin tau.
“Apa yang sedang terjadi? Kau bertingkah sangat aneh sepannjang pagi. Kenapa kau tidak menjawab saat aku memanggilmu tadi pagi?”.
Aku membuang muka, rona merah muda menyebar di pipiku. Mata Gianna terbelalak. “Apa yang dia lakukan?”.
“Dia berada di bawahku?”
“Kau membiarkan dia”.
Aku tertawa. “Ya”, warna merah yang lebih kuat menyebar di pipiku karena suara bersemangat dalam suaraku.
Gianna membungkuk kedepan. “Kau menyukainya?”.
“Sangat”. Gianna menggigit bibirnya. “aku benci memikirkanmu bersama dia, tapi kelihatannya kau sangat menikmatinya. Jadi kurasa ada untungnya Luca menyetubuhi banyak perempuan di New York”.
Aku tak ingin memikirkan tentang itu.
“Jadi bagaimana rasanya?”.
“Seakan akan aku hancur. Ini luar biasa dan menakjubkan, dan aku tak tau bagaimana menggambarkannya”.
“Tapi kau belum tidur dengannya?”.
Aku menggelengkan kepala. “Belum. Tapi kurasa Luca tak mau menunggu lebih lama lagi”.
“Persetan dengan dia. Dia bisa menidurinya dirinya sendiri”, Gianna menyipitkan matanya. “Apakah dia memaksamu untuk menghisapnya”.
“Dia tidak memaksaku. Aku yang ingin melakukannya”.
Gianna tampak ragu. “Dan? Ceritakan lebih banyak. Kau tau aku harus mengetahui kehidupan melalui dirimu. Aku sangat bosan berada dalam pengawasan sepanjang hari. Aku ingin memiliki pacar, aku ingin berhubungan sex, dan mengalami orgasme”.
Aku mendengus. “aku ragu ayah akan mengijinkannya”.
“aku tidak berniat untuk meminta ijinnya”,Gianna berkata dengan mengangkat bahu. “Aku disini sekarang. Tak akan ada seorang pun yang akan menghalangiku untuk bersenang-senang, bukan?”.
Mataku melebar. “Ayah akan membunuhku jika dia tau aku membiarkanmu berhubungan dengan para pria ketika kau ada disini”.
“Dia tak harus tau, bukan begitu?” dia mengangkat bahu lagi. “dan juga aku tak mungkin memberitahunya”.
Aku ternganga, lalu tertawa. “baiklah, kecuali jika kau ingin merayu Romero atau Matteo, pilihanmu terbatas”.
“Ugh, tidak. Aku tak menginginkan salah satu dari mereka. Aku ingin cowok normal. Seorang pria yang tak tau siapa aku”.
“Yah, aku tak tau bagaimana aku bisa menemukan pria seperti itu untuk mu”.
Gianna menyeringai. “Bagaimana kalau kita pergi ke Klub?”.
“Romero tak akan membiarkanku menghilang dari pengawasannya setelah aku melarikan diri darinya sekali. Tak mungkin kita bisa melarikan diri darinya dan pergi ke klub”
Gianna merenungkan itu. Aku khawatir akan rencana gilanya. Tapi aku benar-benar menyukai gagasan pergi keluar malam untuk menari di lantai dansa dan melepaskan semuanya.
“Romero bisa ikut dengan kita. Dia menjagamu bukan aku. Mungkin aku bisa lolos”.
“Lalu apa? Sex kilat di bilik toilet? Apakah kau sungguh ingin mengalami kali pertama mu dengan cara seperti itu?”.
Gianna melotot. “Setidaknya, aku akan mengalaminya dengan kemauanku sendiri. Itu akan menjadi pilihanku. Kau sama sekali tidak punya pilihan. Luca dan ayah mengambil semua pilihanmu pergi. Aku tak mengerti mengapa kau bisa sangat tenang akan hal itu. Bagaimana kau tidak membenci Luca?”.
Terkadang aku bertanya-tanya sendiri. “aku seharusnya membencinya”.
Wajah Gianna menjadi tak karuan. “Tapi kau tidak membencinya. Persetan, Aria, apakah kau sungguh peduli pada dia? Mencintai dia?”.
“apakah kau sungguh lebih suka aku membenci dia dan menjadi menderita?”.
“Dia memperlakukanmu seperti seorang tahanan. Kau tidak sungguh-sungguh percaya bahwa Romero hanya untuk pelindungmu, bukan? Dia terus mengawasimu, sehingga tak ada seorangpun yang bisa mendekatimu sedikitpun”.
Aku tau itu. “Ayo belanja”.
“yang benar saja? Kau itu cuma istri pajangan”.
“Diam”, kataku dengan bercanda, ingin menghidupkan suasana hatinya. “ayo kita membeli pakaian yang hot untuk malam ini. Kita bisa pergi ke salah satu klub Luca”.
Gianna menyeringai. “aku ingin memekai sesuatu yang membuat pria mengeras ketika melihatku”

Bound by Honor Chapter 11 Part B

Seperti yang telah dijanjikan, Luca pulang lebih awal. Aku amat sangat gugup. Aku memilih mengenakan gaun kuning cantik dan mengatur meja di teras atap. Keterkejutan melintas di wajah luca saat dia melihatku di luar.
“Kupikir kita bisa makan disini?”.
Dia melingkarkan tangannya di tubuhku dan menarikku lalu memberikan kecupan yang lama. Kupu-kupu berterbangan di perutku. “aku memesan makanan india”.
“aku hanya lapar untuk satu hal”.
Aku menggigil. “Mari makan”. Apa yang akan dilakukan oleh Luca jika aku mengatakan padanya bahwa kesepakatan itu dibatalkan? Aku duduk. Luca menatapku dengan penuh semangat. Akhirnya dia duduk di kursi di seberangku. Ada angin sepoi-sepoi yang membelai kulitku dan menarik rambutku.
“Kau terlihat sangat seksi”.
Aku mulai makan. “Romero membawaku ke Metropolitan hari ini. Disana luar biasa”.
“bagus”. Kata Luca dengan sedikit geli. Bisakah dia melihat betapa gugupnya aku?
“Bagaimana dengan pemilik restoran? Apakah kau meyakinkan mereka Familia akan melindungi mereka dari orang-orang Rusia?”.
“tentu saja”. Dia sudah dibawah perlindungan Familia selama lebih dari satu dekade. Tak ada alasan untuk mengubahnya sekarang”.
“Tentu”, kataku dengan bingung, dan meneguk anggur putih itu.
Luca meletakkan garpunya. “Aria?”.
“Hmm?” aku menyenggol sepotong brokoli di piringku, tanpa menatap Luca.
“Aria”, suaranya mengirimkan gelanyar di punggungku dan aku meliriknya. Dia bersandar di kursinya, lengannya disilangkan di depan dadanya yang kekar. “kau ketakutan”.
“Tidak”, dia memicingkan matanya. “mungkin sedikit, tapi selebihnya aku gugup”.
Dia bangun dari kursi dan memutari meja. “kemarilah” dia mengulurkan tangannya. Setelah beberapa momen keraguan, aku meraih tangannya dan membiarkannya menarikku berdiri. “ayo kita ke Jacuzzi, oke? Itu akan membuatmu santai”.
Aku ragu berada di bak air panas dengan dia ha nya dengan pakaian renang akan membuat kegugupanku berkurang. Aku tak tau apa yang di harapkan dan itu membuatku takut.
“kenapa kau tidak mengambil bikini mu dan aku akan menyiapkan Jacuzzi?”.
Aku mengangguk dan kembali ke dalam. Aku mengambil bikini favoritku yang berwarna putih dengan titik -titik berwarna pink. Aku mengikat rambutku menjadi kuncit kuda, lalu mengamati diriku di kaca kamar mandi. Aku tak mengerti kenapa i ni membuatku gugup. Pagi tadi Luca menyentuhku hingga membuat kulitku membara. Dia telah berjanji untuk tidak melakukan apapun yang tak aku inginkan.
Aku menarik napas dalam-dalam dan berjalan ke kamar tidur. Luca sudah menungguku dengan mengenakan celana pendek hitam ; celananya tak menyembunyikan apapun dari tubuh kekarnya. Matanya melayang ke tubuhku, lalu dia menyelipkan tangan ke pinggulku. “kau sempurna”, katanya dengan suara pelan. Dengan dorongan lembut, dia menuntunku keluar dari kamar tidur, menuruni tangga, dan menuju teras atap. Aku menggigil dalam bikini. Angin musim sepoi-sepoi telah berhembus dan tentunya terlalu dingin untuk berdiri diluar hanya dengan bikini. Luca mengangkatku ke pelukannya. Aku tersentak kaget, tanganku menempel di tato yang ada di jantungnya. Jantungku sendiri berdetak kencang di dadaku. Aku membenamkan wajahku di lekuk leher Luca, mencoba untuk rileks. Pelukan Luca pada diriku mengencang saat dia melangkah ke Jacuzzi dan perlahan menurunkan ke air panas yang berbusa. Aku duduk di pangkuannya, wajahku masih tersembunyi di kulitnya. Luca menggosok-gosokan tangannya ke atas ke bawah tulang belakangku. “Tak ada alasan bagumu untuk takut”.
“kata-kata seorang pria yang meremukan tenggorokan dengan tangan kosong”, niatku mengatakan itu hanya untuk bermain-main tapi kata-kata yang keluar dariku terdengar bergetar.
“itu tak ada hubungannya dengan kita, Aria. Itu adalah bisnis”.
“aku tau. Tak seharusnya aku mengemukakannya”.
“apa sebenarnya masalahnya?”.
“aku gugup karena aku merasa rentan , rasanya seperti aku berada dalam belas kasihanmu karena kesepakatan itu”.
“Aria , lupakan masalah kesepakatan itu. Kenapa kau tidak mencoba rileks dan menikmati ini?” dia mengangkat daguku hingga bibir kami hampir bersentuhan dan mata kami saling mengunci.
“Berjanjilah kau tak akan memaksaku melakukan sesuatu yang tak ingin aku lakukan”. Aku merendahkan pandanganku ke arah dadanya. “berjanjilah padaku kau tak akan melukaiku”.
“Kenapa aku mesti melukaimu?” Luca bertanya. “Aku sudah berkata padamu bahwa aku tak akan tidur dengan mu kecuali kau menginginkanku juga”.
“jadi kau tak akan menyakitiku ketika kita tidur bersama?”.
Bibir Luca terangkat dengan senyum lemah. “ Tidak, tidak dengan sengaja, tapi kurasa tak ada jalan lain”. Dia memcium titik dibawah telingaku. “tapi malam ini aku akan membuatmu menggeliat dengan senang hati. Percayalah padaku”.
Aku ingin, tapi kepercayaan adalah hal yang berbahaya di dunia kami. Sebagian dari diriku ingin bertahan dengan kebencian padanya seperti saat aku memergoki dia dengan Grace. Tapi bagian lain dari diriku yang lebih besar ingin berpura-pura kami tidak terpaksa bersatu dalam ikatan ini, ingin berpura-pura bahwa kami saling mencintai.
Lidah Luca menjelajah di tenggorokanku. Dia berhenti di denyut nadiku dan menghisap kulitku ke mulutnya. Aku merinding karena sensasi ini. Tubuhnya panas dan keras dibawahku dan aku suka duduk di atas pangkuannya; kurasa itu amat sangat nyaman. Tak ada banyak kelembutan di tubuh Luca, hanya otot yang kuat. Dia bergeser, menekan ereksinya ke pantatku saat bibirnya menyentuh bibirku. Ciuman itu mengirimkan kilat kecil dalam tubuhku tapi aku membutuhkan ini lebih dari sekedar fisik. Aku ingin tau lebih banyak tentang pria dimana aku menghabiskan seumur hidup dengannya.
Aku meanrik diri, dan Luca menggeram sebagai balasan. Jari- jarinya di pinggangku mengencang, mata abu-abunya penuh pertanyaan saat dia menatap wajahku. Aku mengecup pipinya dan mengalungkan lenganku ke lehernya. “Bisakah kita mengobrol sebentar?”.
Jelas dari ekspresi Luca bahwa berbicara adalah hal terakhir yang ada di pikirannya, tapi dia bersandar di dinding Jacuzzi. “apa yang ingin kau bicarakan?”.
Salah satu tangannya meluncur kebawah dan mulai membelai pantatku. Aku tak bisa membiarkan itu mengalihkanku dari tujuan utamaku, bahkan jika hal itu sangat mengganggu. Tatapan lapar di mata Luca pun sama sekali tak membantu.
“Apa yang telah terjadi dengan ibumu?” aku tau ibunya meninggal saat Luca masih anak-anak tapi Umberto tak mengatakan banyak, entah dia tidak tau atau karena dia pikir sebaiknya aku tidak tau.
Tubuh Luca berubah kaku, matanya tajam. “Dia meninggal”. Dia memalingkan wajahnya, rahangnya meregang. “itu adalah hal yang tak ingin aku bicarakan malam ini”.
Kemarahannya mencuat. Aku ingin mendekatinya, ingin mengenal sisi dirinya, tapi jelas dia tidak mengizinkanku. Aku mengangguk.
Luca melepaskan tangannya dari pantatku dan perlahan naik ke pinggangku, lalu turun hingga tangannya mencapai paha bagian dalamku. Dia menyelipkan tangannya ke bagian bawah bikiniku, jemarinya mengelus bibir vaginaku. Aku seharusnya mendorongnya, tapi aku malahan membuka kakiku sedikit lebih lebar. Luca mengusap leherku, lalu mundur. Dia mengaitkan jemari tangan satunya ke bawah atasan bikiniku dan menariknya ke bawah. Payudaraku terpampang bebas, bulu romaku berdiri menutupi kulitku dan puting tegak karena bersentuhan dengan angin sepoi-sepoi.
Luca mengeluarkan suara rendah di tenggorokannya saat dia menatap dadaku. Lalu dia membungkuk rendah dan menghisap putingku ke dalam mulutnya dan pada saat yang sama ibu jarinya mengusap klitorisku. Aku menjerit karena sensasinya. Dia menggeram diatas kulitku dan dia melepaskan putingku dengan suara pop yang keras. Tatapannya tersentak ke arahku saat lidahnya menjilati payudaraku. Aku mencoba berpaling, tapi dia menggeram. “Jangan. Lihat aku”.
Dan aku melakukannya. Aku melihat putingku menghilang ke dalam mulutnya sekali lagi,melihatnya saat dia menggoda nya dengan lidahnya., dan mata abu-abunya yang lapar menatapku. Dia sedikit menggigit dengan lembut dan pinggulku terangkat ke arah tangannya yang masih menggoda bibir vaginaku. Pelepasan menggetarkan tubuhku. Luca menarik mundur secepat kilat, mencengkram pinggulku dan mengangkatku ke ujung jacuzzi.
“Luca, apa--” Luca merobek celana bikini ku, merobek dengan cukup lebar hingga setengahnya. Aku tersentak dan berusaha menutup kakiku, tapi Luca memosisikan diri diantara kedua kakiku, mendorong kakiku sejauh mungkin dan menurunkan kepalanya.
Aku tersentak lagi, ngeri dan tertegun dan......oh Tuhan. Luca menjulurkan lidahnya ke bukaanku dan ke klitorisku.
“Fuck, yes”, dia menggeram.
Mataku membeliak. Bagaimana jika ada orang yang melihat? Hanya bagian Jacuzzi yang di tutupi oleh penutup, tapi Luca menghisap bibir bagian luarku kedalam mulutnya dan aku tak peduli lagi.
“Lihat aku”.perintahnya dari lipatan vaginaku, merasakan napasnya di dagingku yang panas membuatku bergidik. Aku mengintip ke bawah, kulitku memerah karena malu dan geli saat melihat tatapannya. Matanya terkunci di mataku, dia dengan perlahan menyelipkan lidahnya diantara bibir vaginaku. Aku mengerang.
“kau adalah milikku”, dia berkata dengan serak. Dia menjilatku lagi dengan lebih kuat tapi sedikit melambat. “katakan”.
“aku milikmu”, aku berkata dengan napas tersengal. Ibu jarinya memisahkan ku lebih jauh, menampakan bagian intiku yang kecil dan berwarna pink. Dia menghembuskan napas rendah, seringai melengkungkan bibirnya. Aku ingin dia menyentuhku disana, tak menginginkan apa-apa lagi. Dia mencondongkan tubuh kedepan,menatap ke arahku, dan membuat jilatan melingkar di sekitar perutku. Aku merintih, tanganku menjulur kedepan dan menjambaki rambut Luca. Aku datang dengan keras, gemetar, menangis dan menggeliat di bibir Luca.
Dia tidak berhenti. Dia tanpa henti. Aku melemparkan kepalaku di belakang, menatap langit malam. Luca tak menyuruhku menatapnya kali ini. Tapi aku bisa mendengar suara atas apa yang dia lakukan. Bagaimana dia menghisap dan menjilat, bagaimana dia bersenandung dengan penerimaan, bagaimana dia meniup dagingku yang memanas, lalu menjilatnya lagi. Seluruh tubuhku terbakar, gemetar. Aku tak tahan lagi, tapi Luca mendorong lidahnya ke arahku dan aku klimaks, ototku mengepul disekitar lidahnya. Aku memejamkan rapat-rapat mataku, punggungku melengkung dari marmer yang dingin. Aku sangat basah. Bagaimana bisa seseorang bisa sebasah ini? Suara Luca yang menjilatiku tampak salah tapi membangkitkanku tak seperti yang pernah aku rasakan.
Luca menarik lidahnya dan semburan orgasme terakhirku merobekku. Sebelum aku tau apa yang telah terjadi, aku merasakan jarinya di jalan masukku dan dia memasukann hampir seluruhnya masuk. Gangguan itu asing dan tak terduga. Aku tersentak dan tersentak dari rasa sakit. Tubuhku menjadi kaku saat aku mencoba menarik napas. Aku bahkan tak pernah menggunakan tampan karena mereka terlalu tidak nyaman dan karena ibuku khwatir itu akan merusak selaput daraku secara tidak sengaja.
“Fuck, kau sangat ketat , Aria”.
Aku meratakan telapak tanganku di bibir jacuzzi, mencoba untuk rileks. Air beriak ketika saat Luca keluar dari air untuk bersandar di atasku, jarinya masih di dalam diriku. Aku menggigit bibirku tapi tidak menatapnya.
“Hei,” katanya dengan suara kasar. Aku bertemu dengan tatapannya. “seharusnya aku masuk dengan lebih lambat, tapi kau sangat basah”.
Aku mengangguk tapi tidak mengatakan apapun. Aku tidak bisa menghindar dari rasa jarinya yang ada dalam diriku. Jarinya tidak bergerak, tapi jarinya ada di dalam sana, memenuhiku. Luca mencium bibirku. Matanya lebih gelap daripada yang pernah aku lihat dan dipenuhi dengan begitu banyak keinginan dan kelaparan dan itu membuatku takut dan juga bergairah dalam waktu yang sama.
“apakah masih sakit?” berkata dengan suara serak.
Aku menggeser pinggulku sedikit, mencoba menemukan kata-kata untuk sensasi ini. “Tidak nyaman dan sedikit menyengat”, aku memerah.
Luca menjilat bibirku, lalu menghisap bibir bawahku ke mulutnya. “aku tau aku bajingan karena mengatakan ini, tapi pikiran akan burungku di dalam vagina ketatmu membuat ku mengeras”.
Mataku melebar tapi dia menggelengkan kepalanya. “jangan terlihat begitu ketakutan. Aku telah berkata padamu bahwa aku tak akan mencobanya malam ini”.
“kau juga mengatakan bahwa kau tak akan menyakitiku”. Itu lebih untuk memancingnya bukan karena aku benar-benar marah. Aku perlahan-lahan terbiasa dengan jarinya yang berada di dalam diriku, dan apa yang telah dilakukan sebelumnya adalah surga. Aku ingin lidah dan bibirnya kembali ke tubuhku.
Sesuatu dalam ekspresi Luca bergeser, tapi aku tidak bisa membaca ekspresinya. “Kurasa tidak, Aria”, katanya lembut. “Kau sangat basah dan pasrah. Kupikir jariku bisa masuk tanpa hambatan. Aku ingin menggunakan jariku untuk orgasme keempatmu”.
Aku merinding dan lecutan kecil kenikmatan terbangun di pusatku lagi. Aku hampir ingin Luca menggerakan jarinya sekatrang. “apakah ini sakit karena kau mengambil milikku kau tau...” rasa panas menjalar ke pipiku dan sesuatu melintas di mata Luca. “Keperawananmu? Tidak, Tuan Putri. Aku masuk tidak terlalu dalam dan aku ingin mengklaim milikmu dengan penisku, bukan dengan jariku”.
Tuan putri? Kehangatan menetap didadaku. Perlahan dia menarik jarinya keluar, otot-ototku mengepul di sekelilingnya dan mengirimkan tusukan aneh ke intiku. Dia menelusurkan jari yang sama ke bibirku dan memasukannya ke dalam mulutku. Aku mengitarinya dengan lidahku tanpa ku tau kenapa.
Luca menggeram. Dia menarik lepas tangannya dan memasukan lidahnya diantara bibirku. Aku menekan tubuhku ke dada Luca, lidahku bertarung dengan lidahnya. “ayo kedalam. Aku ingin menjilatmu lagi”.
Aku menghembuskan napas.
“akankah kau mengijinkanku memasukan jariku padamu lagi? Kali ini aku akan pelan-pelan”.
“Ya”, kataku. Dia bangun dari Jacuzzi dan menarikku berdiri. Kemudian dia mengangkatku ke dalam pelukannya, kakiku mengait ke pinggangnya saat dia membawaku masuk ke dalam.
Dia menurunkanku di depan ranjang kami dan menghilang ke kamar mandi dan kembali dengan membawa handuk. Dia membantuku melepaskan atasan bikiniku, melingkarkan handuk ke tubuhku, dan mulai mengeringkanku dengan lembut. Aku memejamkan mataku, menikmati rasa itu semua. Aku tak percaya aku membiarkan Luca melakukan apa yang telah dia lakukan. Aku tak bisa percaya bahwa aku menginginkan dia melakakukan itu lagi. Segalanya sangat memabukkan. Aku tau ini terlalu cepat, tapi seperti yang Luca bilang apa yang harus di tunggu? Dia adalah suamiku.
“Apa kau kedinginan?”.
Mataku perlahan membuka. Luca menjatuhkan handuk, meninggalkanku telanjang. Tangannya menyelip ke bawah lenganku. Seluruh tubuhku merinding. “sedikit”.
Luca membuatku berbaring di tempat tidur sebelum dia berdiri dan melepas celana pendeknya. Ereksi terbebas, keras dan panjang , dan tiba-tiba rasa penasaran mencengkramku. Dia memasukan jarinya , mungkin kali ini dia akan melakukan langkah selanjutnya. Untuk sesaat aku ragu akan beberapa hal, tapi aku tau satu hal : aku belum siap untuk itu semua.
Aku baru kenal dengan pria di depanku, tidur dengannya, dan membiarkan dia melakukan itu terasa terlalu banyak, terlalu intim. Mungkin malam ini dia sedang memanipulasiku. Tak ada seorang pun di mafia bisa sampai sejauh ini tanpa menjadi master manipulasi. Aku merapatkan kakiku dan tergesa-gesa menarik diri. Luca berhenti, satu lututnya sudah ada di ranjang.
“Aria?” jari-jarinya meringkuk di atas betisku dan aku tersentak mundur dan menarik kakiku ke dadaku. “kenapa lagi sekarang?”
dia duduk di sampingku, penisnya hampir menyisir kakiku. “katakan sesuatu”.
“ini terlalu cepat,” kataku pelan.
“karena aku telanjang? Kamu pernah melihat penisku sebelumnya bahkan pernah mengocokku”.
Wajahku memanas. “kurasa kau mencoba memanipulasiku. Jika aku memberimu kesempatan, kau akan bertindak lebih jauh hari ini”.
“kau bertaruh aku akan melakukannya, tapi aku tak dapat melihat dimana bentuk manipulasinya”, katanya dengan nada marah dalam suaranya. “aku menginginkanmu. Aku tak pernah berbohong kepadamu tentang itu. Aku akan mengambil apapun yang kau berikan, dan saat di Jacuzzi kau bersedia”.
“Tidak tentang jari”. Bentakku, tiba-tiba juga marah. “mungkin kau juga akan mencoba hal yang sama dengan seks”. Aku tau aku terdengar menggelikan.
Luca sebenarnya tertawa. Dia membungkuk sangat dekat. “itu tak akan berhasil. Penisku tak akan masuk dengan mudah, percayalah, dan itu akan lebih menyakitkan”.
Aku tersentak, mengingat apa yang Grace katakan pada pernikahan kami. Dia akan menyetubuhimu hingga berdarah-darah. Luca menghembuskan napas dengan keras. “seharusnya aku tak mengatakan itu. Aku tak bermaksud membuatmu takut”.
Aku mengawasinya dari atas kakiku. Dia mengusapkan buku-buku jarinya di sisi tubuhku dengan ringan. Bibirnya yang keras mengendur. “katakan padaku bahwa kau menikmati apa yang aku lakukan pada mu di atap,” gumam Luca, ada sedikit kebutuhan dalam suaranya, bahkan mungkin kerentanan.
“Ya”, kataku terengah-engah. Dia membungkuk mendekat, bibirnya di telingaku. “apa yang paling kau nikmati? Lidahku yang menyetubuhimu atau ketika lidahku menjilati sepanjang vaginamu? Atau saat aku menghisap klitorismu?”.
Ya tuhan aku mulai basah lagi. Suara Luca yang dalam bergetar menembus tubuhku. “aku tak tau”.
“Mungkin aku perlu menunjukannya lagi?” Luca mendorong pergelangan kakiku, yang menempel di tubuhku sampai ada cukup ruang agar tangannya bisa masuk di anatar kakiku dan paha atas ku. Dia menangkup vaginaku dengan telapak tangannya. Aku ingin berbaring untuk membuat dia lebih mudah, tapi dia meggelengkan kepalanya. “Jangan”, katanya dengan suara serak. Jarinya mulai bergerak di lipatanku, empat jarinya yang lain menggoda, memutar-mutar, dan menggosok.
Aku meletakan daguku di lututku, bernapas dengan berat. Luca mencium telingaku dan mengalungkan lengannya di bahuku, menarikku ke sisinya. Ini terasa asing, duduk dengan kaki menempel didadaku saat dia menyentuhku, tapi rasanya sangat luar biasa. Ereksi Luca digosok-gosokkan di paha bagian luarku, napasnya terengah -engah di telingaku.
“Tenang,” katanya dengan suara rendah. Ada tekanan pelan di lobangku. Aku mengintip dari antara kakiku. Luca menggodaku dengan jarinya yang kecil. Dia mencelupkan ujungnya, lalu memutar di lubangku lagi sebelum masuk lagi, meluncur sedikit lebih dalam setiap kali dia melakukannya.
“Tatap aku”.
Aku melakukannya, terperangkap dalam intensitas mata kelabunya. “kau sangat basah, lembut, dan kencang. Kau tak bisa membayangkan betapa nikmatnya ini”, penisnya meluncur di sepanjang paha luarku lagi. Bibirnya menempel di bibirku, lidahnya menuntut masuk. Jarinya meluncur masuk, kali ini seluruh jarinya. Itu cuma jari kelingkingnya tapi aku sangat nikmat. Dia mulai menggerakan di dalam tubuhku dan aku tersentak ke mulutnya, menyentakkan pinggulku, membutuhkan lebih banyak. Dia memompa keluar masuk secara perlahan, ibu jarinya mengusap klitorisku. Aku bisa merasakan kenikmatan terbangun lagi dan aku menggerakkan pinggulku selaras dengan jarinya. Dia menarik tangannya, menimbulkan suara protes dariku.
Luca tertawa, suara terbahak di dadanya. Dia berlutut di depanku dan membuka kakiku, lalu menatapku. Dia menelusurkan jari telinjuknya di lipatanku, lalu mengusap bukaanku dengan jari telunjuknya. Tak pernah berpaling dari wajahku, dia mendorong bagian ujung telunjuknya masuk, ototku mengencang, dan aku menghembuskan napas rendah. Ini tidak terasa sakit dan aku merasa rilex. Perlahan dia mulai bergerak keluar masuk, bergerak lebih dalam setiap kali seperti yang dia lakukan dengan jari kelingkingnya tadi. Mulutnya menghisap klitorisku.
Aku merintih, kaki membuka lebih lebar. Kenikmatanku semakin cepat meluncur saat Luca merangsangku dengan bibir dan jarinya. Dengan teriakan, aku terjatuh, kaki ku gemetar , pinggul bergoyang. Jariku mencengkram selimut saat aku hancur berkeping-keping. Luca melepaskan jarinya, mencium pusarku, lalu berbaring disampingku, ereksinya merah dan berkilau. Aku mengulurkan tangan, mengoleskan tetesan cairan yang menetes dari ujung penisnya.
Luca menggeram, perutnya melengkung. “aku ingin mulutmu di penisku,” katanya dengan suara pelan. Aku membeku, tanganku tertahan. Rasanya adil setelah apa yang telah apa yang barusaja dia lakukan, tapi aku benar-benar tak tau bagaimana caranya mengulumnya. Blowjob adalah nama yang cukup membingungkan, karena aku tau tak seharusnya meniup ereksinya, tapi sayangnya aku tidak tau akan apa yang harus dilakukan secara rinci. Dan bagaimana kalau aku tidak menyukainya?
Aku mengingat kata-katanya tentang Grace, bahwa Grace tau bagaimana caranya mengulum penis. Bukan berarti aku ingin seperti Grace. Aku tak ada minat menjadi pelacur luca, tapi aku juga tidak mau benar- benar gagal. Aku terlalu berpikir berlebihan untuk ini.
“ini karena kau tidak mau, atau karena kau tidak tau caranya?” Luca bertanya dengan lembut, tapi aku tau dia sedikit kesulitan membuat suaranya terdengar seperti itu. Dia memberiku beberapa oragsme. Dia mungkin saja meledak. “kau bisa mengocokku seperti terakhir kali”, katanya saat aku diam. Tangannya menyisir rambut pirang di wajahku, mata kelabunya bertanya.
“Tidak, maksudku, kurasa aku ingin melakukannya?”
“Kau rasa?” suara kesenangan menghiasi suara Luca. “Tapi?”.
“Bagaimana kalau aku tidak menyukainya?”
Luca mengaangkat bahu tapi jelas dari ekspresinya bahwa dia tidak menyukai gagasan itu. “kalau begitu jangan. Aku tak akan memaksamu”.
Aku mengangguk dan mendekatkan wajah ke ereksinya, yang sama sekali tidak melunak saat percakapan kami berlangsung. Luca menegang dalam antisipasi, ujung jarinya menempel di kulit kepalaku ya ng berkedut. Malu, aku mengakui. “Aku tak tau harus berbuat apa”.
Ereksi nya mencuat sebagai respons. Aku tidak tahan untuk tidak tertawa, dan Luca menyeringai dengan seringai predatornya. “Kau suka menguji kesabaranku dengan keluguanmu , bukan?”
aku meniup ujung penisnya, membuat dia menggeram. “ kurasa ini bukan caranya kenapa ini disebut Blowjob, bukan?”.
Dia tertawa denga tawa yang benar-benar tawa, dan suaranya membuat perutku serasa di penuhi kupu-kupu. “kau bisa menjadi kematianku, tuan putri”.
“Jangan ketawa,” aku berkata dengan senyuman. “aku tak ingin melakukan sesuatu yang salah”.
“apa kau ingin agar aku memberitahumu apa yang harus kau lakukan?” rasa senang melintas di matanya.
Aku mengangguk.
“Okay”. Dia berkata dengan serak. Katupkan bibirmu di seputar ujungnya dan berhati-hatilah dengan gigimu. Aku tak masalah sedikit kasar, tapi jangan mengunnyahnya”.
Aku mendengus, lalu rasa gugup membuatku terdiam. Jari-jari Luca menyelinap di rambutku sampai mereka berhenti di belakang kepalaku. Dia tidak mendorongku, tapi dari cara jari-jarinya menegang, aku bisa mengatakan bahwa dia menginginkan itu. Aku meraih bagian ujungnya ke dalam mulutku. Dia tebal dan aku harus berhati-hati untuk tidak menggoresnya dengan gigiku. Ujungnya sedikit terasa asin, tapi bukan dengan cara yang buruk.
“Sekarang gerakan lidahmu disekitarnya. Ya , begitu”, dia menatapku, rahanya mengepal. “ambil sedikit lebih banyak, dan masukan kemulutmu, gerakkan kepalamu ke atas dan ke bawah. Sekarang sedot ketika kau bergerak. Yes, Fuck”. Pinggulnya melawan gerakanku ketika aku masih bisa meraihnya, menggerakan ereksinya lebih dalam . Aku tersedak dan mundur, terbatuk.
Dia membelai rambutku. “Sialan, Maaf”. Dia mengusap ibu jarinya di bibirku. “aku akan mencoba tetap diam”.
Alaih-alih membawanya kembali ke dalam mulutku, aku menjilatnya , dari pangkal ke ujungnya. Dia mengerang. “apakah tak apa?” aku berbisik sebelum melakukan itu lagi.
“Fuck, Yes”.
Aku menghabiskan waktuku menjilati tiap inci darinya , terutama bagian ujungnya. Aku suka rasanya di lidahku.
“ini terasa amat sangat nikmat, tapi aku amat sangat ingin datang”. Aku mendongak , tak yakin. Aku bisa orgasme saat dia membelai dan menjilatku dengan lembut. Apakah dia membutuhkan yang lebih kasar? Apakah dia membutuhkan lebih kasar juga saat berhubungan seks? Kata-kata Grace berlompatan di kepalaku lagi, tapi aku menyingkirkannya. Aku tak ingin pelacur itu menghancurkan ini untukku. “apa yang kau butuh untuk aku lakukan?” bisikku.
“Kulum aku dengan lebih keras lagi dan terus manatapku dengan mata indahmu”.
Aku menatap lurus ke arahnya dan aku memasukakanya ke mulutku hingga dia menyentuh bagian belakang tenggorokanku, kemudian menggerakan kepalaku ke atas ke bawah dengan cepat dan keras, bibirku berkerut di sekelilingnya. Luca mengerang, pinggulnya bergoyang ringan. Matanya membara menatapku, giginya ternganga. “jika kau tak ingin menelan, kau harus menyingkir...”.
Aku menarik diri, melepaskan dia dengan suara pop dan sesaat kemudian dia menyemburkan benihnya di perut dan kakinya. Luca memejamkan matanya saat ereksinya berkedut. Tangannya masih di rambutku, dengan lembut meremas leher dan kulit kepalaku. Perlahan dia melemas, tapi aku menggenggap tangannya dan menempelkan pipiku disana, membutuhkan kedekatannya setelah apa yag kami lakukan. Matanya mulai terbuka dengan tatapan yang tak bisa di baca. Ibu jarinya mengelus tulang pipiku dengan lembut. Kami tetap seperti itu untuk beberapakali detak jantung, kemudian Luca duduk, membersihkan kekacauan yang ada di paha atasnya dan di perutnya. “aku sungguh butuh mandi”, Luca meraih tisu dan membersihkan spermanya sebelum mengayunkan kakinya turun dan berdiri.
Aku mengangguk dan anaehnya kecewa karena dia turun dari tempat tidur dengan begitu cepat. Tiba-tiba aku merasa tidak sadar akan apa yang telah aku lakukan.
Luca mengulurkan tangannya. “Ayolah. Aku tidak mau mandi sendiri”.
Aku bergegas turun dari tempat tidur, meletakkan tanganku di tangannya dan mengikutinya ke kamar mandi.
Saat air panas menetes, Luca mulai mengolesi tubuhku dengan sabun dan aku memejamkan mata, menikmati nuansa tangannya di tubuhku. Dia menekan punggungku, satu lengan melingkar di perutku. “jadi tak apa-apa untukmu?” tanyanya pelan.
Dia mungkin khawatir aku tak mau mengulumnya lagi. “Yeah”.
Dia mencium tenggorokanku. Dia melakukannya berulang kali. Itu terasa lembut , penuh kasih sayang dan intim, tapi aku tau itu tidak dimaksudkan seperti itu. “aku senang karena aku sungguh sangat menikmari berada dalam mulutmu”.

STUCK UP SUIT Chapter 8

GRAHAM AKU TIDAK MENDENGAR KABAR NYA SEPANJANG HARI di hari sabtu, dan tidak seperti yang aku harapkan juga. Soraya Venedetta san...