Romero menunggu di
luar toko selama kami berbelanja. Dia kemungkinan telah memeriksa
sebelumnya tentang ada tidaknya jalan yang bisa kami gunakan untuk
melarikan diri. Aku belum memberitahunya tentang rencana kami untuk
pergi ke klub. Akan lebih baik jika aku membeberkan padanya pada
saat- saat terakhir.
Gianna bersiul saat
aku berbalik sehingga dia bisa mengagumi pakaianku. “Sialan. Kau
adalah sex on legs. Atau
malah death on legs, karena
Luca kemungkinan akan membunuh setiap pria yang memandangmu dengan
cara yang salah”.
Aku
memutar mataku. “Luca tak akan membunuh siapapun hanya karena
melihat”.
“Mau
bertaruh untuk itu?”
Tidak,
aku tak mau. Aku tak pernah mengenakan sesuatu yang sexi di depan
umum. Celana kulit hitam memeluk tubuhku erat-erat, mereka tampak
seperti kulit kedua. Blus tanpa lengan berwarna hitam aku tarik ke
ikat pinggangku, menampakkan push – up bra gemerlap di bawahnya.
“Kau
juga tidak terlihat terlalu lusuh”, kataku,
Gianna
melompat ke tempat tidurku. “Menurutmu?” dia melontarkan senyum
menggoda padaku. Dia terlihat amat sangat hot dengan stocking hitam
sebatas paha dan hotpants kulit berwarna hitam.
“Kau
Jail bait”. Untung
kita tidak perlu khawatir akan di tangkap. Aku menghubungkan lengan
kami dan membawanya keluar dari kamar tidue dan menuruni tangga.
Romero sedang duduk di sofa, membersihkan pisaunya. Matanya melirik
ke atas dan dia terdiam tanpa bergerak sama sekali. Matanya
mengembara ke tubuh kami. Dia tak pernah secara terbuka menatapku.
“Apakah
kau sedang memandangi kami?” aku tidak bisa tidak menggodanya.
Dia selalu begitu terkendali. Sekilas sifat manuasiawinya ini
membuatku lega.
Dia
berdiri tiba-tiba, menyisipkan pisau kembali ke tempatnya. Matanya
kembali tertuju ke wajahku. “ada apa?” ada sedikit ketegangan
dalam suaranya.
Aku
mendekatinya dan dia benar-benar tegang seakan mengira aku akan
menerkamnya. Itu membuatku tertawa. “Gianna dan aku ingin pergi
ke Marquee”. Itu adalah salah satu klub terpanas di kota.
Romero
menggelengkan kepalanya. “Itu milik Bravta”.
“Oh,
apa klub terkeren milik Familia?”.
Romero
tidak mengatakan apapun pada awalnya. Dia merogoh sakunya dan
mengeluarkan ponselnya, mungkin untuk menghubungi Luca. Kemarahan
menggelegak dalam diriku. Aku tak percaya dia perlu meminta izin
kepada Luca. Aku menatap Gianna dan mengangguk ke arah Romero yang
sudah mulai mengetik. Gianna mendekati Romero dan benar-benar
meremas pantat Romero. Romero terlonjak dan aku memanfaatkan
kesempatan itu untuk merebut ponselnya. Dia mengambil langkah
mengancam ke arahku, matanya berkobar karena marah,lalu dia membeku.
“Aria”, katanya. “Kembalikan”.
Aku
menyelipkan ponsel ke pinggang celanaku. Celana ku cukup ketat
sehingga sehingga tak ada resiko terjatuh.
Gianna
melangkah menjauh dari Romero, menyeringai. “Mengapa kau tidak
merogoh ke pinggang celana Aria dan mengambilnya? Aku akan memgambil
foto dan mengirimkannya ke Luca”.
Mata
Romero menempel ke ponselnya yang ada di celanaku, tapi aku tau dia
tak akan mencoba untuk mengambilnya. “Ini tidak Lucu”.
“Tidak,
memang Tidak”, kataku tajam. “aku sudah dewasa. Jika aku
menyuruhmu untuk membawaku ke Klub, aku tak ingin kau meminta izin
pada suamiku. Aku bukan anak kecil , juga bukanlah propertinya”.
“Kau
milik Luca”, Romero berkata dengan lembut.
Aku
melangkah mendekatinya, begitu dekat sehingga aku harus mendongakkan
kepalaku. “Gianna dan aku akan pergi ke klub. Jadi terkecuali kau
ingin menahan ku di bawah todongan senjata, kau akan mengantar kami
kesana atau membiarkan kami pergi sendiri”.
Rahang
Romero mengencang. Tatapan matanya membuatku sadar bahwa dia adalah
pengawalku. Untuk pertama kalinya aku di ingatkan bahwa Romero
adalah seorang pembunuh. “aku akan mengantarmu. Tapi kau akan
pergi ke Sphere. Itu milik Luca”.
“Apakah
itu lebih baik?”.
“Itu
lebih keren dibanding Marquee sialan”. Romero benar-benar kesal.
“Bawa
kami kesana”, dia mengenakan jaketnya dan mengantar kami ke lift.
“Luca tidak akan menyukainya,” katanya.
##
aku
dan Gianna duduk di belakang saat Romero mengarahkan mobilmya
melewati lalu lintas. Aku menarik ponsel dan memeriksa pesan
Romero.
Ingin
pergi ke klub, diizinkan?
Dia berhasil mengirimnya sebelum aku menyambar ponselnya, tapi
jawaban Luca datang sesudahnya.
Tidak.
Darahku mendidih. Gianna mendengus. “Aku sama sekali tak bisa
percaya akan kegugupannya”.
Romero melirik kami dai kaca spion. “Apakah Luca membalas?”.
“Yeah”, kataku. “Dia bilang kau harus selalu ada di dekat kami
setiap saat”.
Romero mempercayai kebohonganku dan benar-benar santai. Gianna
mengedipkan mata. Luca akan marah besar, tapi aku tak cukup peduli.
Romero memarkir mobil di gang samping dan membawa kami berkeliling
gedung. Antrian panjang penikmat pesta menunggu di depan pintu
masuk tapi Romero mengantar kami melewatinya.
“Hei, keparat tolol, ada antrean”, teriak seorang pria. Teriak
seorang pria. Romero berhenti, kemarahan yang dingin menggantikan
ketenangannnya yang biasa.
“Majulah,” Romero berkata pada kami sebelum dia berbalik ke arah
pria tadi. Gianna menggenggam tanganku dan menyeretku ke dua
penjaga di depan. Mereka sama tinggi dan berototnya seperti Luca.
“Kalian tidak terlihat cukup umur untuk bisa masuk ke dalam Klub”
kata pria berkulit gelap itu.
“apakah itu jadi masalah?” kata Gianna sambil tersenyum kecil.
Mata mereka bergerak ke sesuatu di belakangku. “Romero”, katanya
dengan sedikit kebingungan.
“Dia Milik bos, Jorge. Ini Aria Vittielo dan adiknya Gianna
Scuderi dari Chicago Outfit”.
Kedua pria itu memandang kami, kemudian melangkah mundur dengan
hormat. “Kami tidak tau dia akan datang kesini malam ini. Boss
tidak mengatakan apapun”. Kata Jorge.
Romero meringis, tapi tidak mengatakan apapun. Sebagai gantinya dia
membawaku dan Gianna ke dalam, melewati ruangan tempat menyimpan jas
yang diwarnai cahaya kebiruan dan area bar. Di belakang itu pintu
terbuka mengarah ke lantai dansa yang gelap. Lampu biru dan putih
menyala dan denyut hip hop meledak ke arah kami. Gianna menarik
tanganku , ingin masuk ke arah itu.
“Kita harus menemui Luca dulu”, kata Romero.
“Dia disini?” tanyaku heran.
Romero mengangguk. “Klub ini memiliki beberapa ruang belakang dan
ruang bawah tanah tempat kami menangani bisnis”.
“Mengapa kau tidak pergi memberitahunya bahwa aku dan Gianna ada
disini sementara Gianna dan aku memasuki lantai dansa”.
Romero menatapku. “Tak akan terjadi sampai Neraka membeku”.
“Kalau begitu itu masalahmu. Gianna dan aku akan menari”, Romero
memegang pergelangan tanganku. Aku menegang. “Lepaskan aku saat
ini juga”, desisku dan dia melakukannya, dadanya terengah-engah.
Gianna dan aku masuk ke klub. Beat musik bergetar di bawah kaki kami
seolah lantai mulai hidup. Klub penuh sesak dengan tubuh
menggeliat. Romero membayangi adik ku dan aku saat kami meringsek
ke kerumunan penari menuju area bar yang lain.
“Dua Gin dan Tonic” kataku. Si Bartender mengerutkan kening
sebentar sebelum melihat Romero, lalu menyiapkan minuman kami, dan
menyerahkan ke kami. Romero membungkuk di atas bar dan mengatakan
sesuatu pada pria itu, yang mengangguk dan berjalan memutari bar.
Aku tau apa artinya. Aku meneguk minuman kerasku , lalu meletakannya
dan bergerak ke lantai dansa.
Aku membiarkan musik mengklaim tubuhku dan mulai menggeliat
mengalahkannya. Gianna menyeringai lebar, menengadahkan kepalanya ke
belakang. Dia terlihat lebih bahagia daripada yang pernah aku liat
dalam waktu lama. Dia menggerakan pinggul dan pantatnya, berjoget
dan menggoyangkan pinggulnya. Aku melangkah mendekat dan menirukkan
gerakkannya. Mata kami terkunci saat kami kehilangan semua hal di
sekitar kami, saat kami membiarkan musik membawa siapa diri kami.
Aku tak yakin dimana Romero berada dan aku tak peduli. Ini terasa
seperti kebebasan.
Pria memperhatikan kita. Aku tak membalas tatapan lapar mereka.
Tak adil untuk memancing mereka. Gianna tidak mengendalikan diri
sepertiku. Dia tersenyum dan mengggoda, mengedip-ngedipkan bulu
matanya dan mengusap rambutnya. Beberapa orang mulai menari di
sekitar kami. Gianna menekan salah satu dari mereka, tangannya di
dadanya. Seorang pria lain menganggkat alis ke arahku,tapi aku
menggelengkan kepala. Dia membuka mulutnya lalu menutupnya dan
mundur.
Aku tak perlu melihat ke belakang. Aku tetap menari. Aku tau siapa
yang ada di belakangku, tau dari tatapan hormat para pria di sekitar
ku, dari tatapan kekaguman para wanita. Aku memutar pinggulku,
menunggingkan pantatkui, menganggkat lenganku. Tangan yang kokoh
meraih pinggulku. Untuk sesaat aku khawatir bahwa tangan itu tangan
seorang bajingan tolol, tapi itu adalah tangan kokoh yang aku kenal.
Aku melengkung, menekan pantatku ke selangkangannya. Aku tersenyu,.
Aku dilingkupi tubuh berotot dan napas hangat Luca menyapu
telingaku. “Untuk siapa kau menari?”.
Aku memiringkan kepalaku untuk menatap mata kelabu nya. “Kamu.
Cuma dirimu”.
Ekspresi Luca tampak lapar, tapi masih ada sedikit kemarahan juga.
“Apa yang kau lakukan disini?”
“Menari”.
Dia menyipitkan matanya. “aku mengatakan pada Romero 'Tidak'”.
“Aku bukan propertimu Luca. Jangan memperlakukanku seperti itu”.
Jari-jarinya di pinggangku menegang. “Kau milikku Aria dan aku
melinduungi milikku”.
“Aku tak keberatan di lindungi, tapi aku keberatan di penjara”,
aku memutar lengan Luca, melihat Gianna yang bertengkar sengit dengan
Matteo. “Menarilah denganku”, teriakku.
Dan Luca melakukannya. Aku tau dari foto-foto yang beredar di
internet bahwa dia dulu sering berada di klub dan itu tak diragukan
ketika dia menggerakan tubuhnya. Seorang pria setinggi dan seberotot
dia tidak seharusnya bisa bergerak dengan begitu lihai. Matanya tak
pernah meninggalkanku, tangannya dengan posesif di pinggangku. Luca
membungkuk ke arahku dan berbisik di telingaku. “kau terlihat
sangat Hot, Aria. Dan setiap pria di klub menginginkanmu dan aku
ingin membumuh mereka semua”.
“aku hanya milikmu”. Aku berkata dengan Galak dan Demi Tuhan itu
adalah kenyataannya, bukan hanya karena cincin di jariku yang
menandaiku sebagai miliknya. Bibir Luca meringsek ke bibirku,
garang, menuntut, posesif dan aku terbuka untuknya , membiarkan dia
mengklaimku di depan semua orang.
“Sialan aku mengeras”, Luca menggeram di bibirku dan aku bisa
merasakan ereksinya menempel di perutku. “Sialan. Aku sudah ada
janji dengan salah satu distributorku dalam lima menit kedepan”.
Aku tak bertanya akan apa yang di distribusikan. Aku tidak ingin
tau.
“Tak apa”, kataku. “Kembalilah saat kau ada waktu. Aku akan
mengambil minuman”.
“Pergilah ke area VIP”.
Aku menggelengkan kepala. “Aku ingin berpura-pura menjadi gadis
biasa malam ini”.
“Tak ada seorangpun yang melihatmu akan berpikir bahwa kau adalah
gadis biasa”, matanya mengelilingi tubuhku, dan aku menggigil.
Lalu dia mundur selangkah, dengan wajah menyesal. “Cesare dan
Romero akan mengawasimu”, aku baru akan mengangguk saat melihat
wajah yang familier di area VIP , memperhatikanku. Grace.
Napasku tertahan. Dia duduk di pangkuan pria lain jadi dia disini
tidak untuk Luca tapi tatapan matanya mengatakan semuanya. Dia tidak
benar-benar dengan pria itu. Luca mengikuti arah pandanganku dan
mengumpat. “Dia tidak disini karena aku”.
“Ya, dia disini untukmu”.
“Aku tak bisa mengusirnya. Dia datang kesini setiap saat untuk
berpesta. Aku tak pernah bertemu dengannya sejak malam itu. Aku
biasanya tetap di belakang”.
Aku mengangguk, ada yang mengganjal di tenggorokanku. Luca meraih
daguku, dengan ibu jari dan telunjuknya, memaksaku untuk menatap
matanya. “Hanya ada dirimu, Aria”. Dia melirik arlojinya, dan
mundur. “Aku benar-benar harus pergi sekarang. Aku akan kembali
secepatnya”. Dia berputar dan berjalan melewati kerumunan.
Matteo mengikutinya dari belakang dan Gianna melangkah ke sampingku.
“Dasar Bajingan”.
“Siapa?” kataku bingung. Grace telah menghilang dari Area Vip.
“Matteo. Berani-beraninya dia menyuruhku untuk tidak menari dengan
pria lain. Siapa dia? Pemilikku. Persetan dengan dia”, dia
berhenti sejenak. “apakah kau baik-baik saja”.
“Yeah”, bisikku. “Ayo kita pergi ke Bar”, Romero dan Cesare
masuk dan melangkah di belakang kami tapi akui berbalik dan menghadap
mereka, merasa gelisah. “Bisakah kalian mengawasi kami dari
kejauhan? Kalian membuatku gila”, tanpa sepatah katapun mereka
berpisah dan mengambil posisi di sudut-sudut Klub. Aku menghembuskan
napas dan duduk di bangku bar.
Aku memesan dua Gin dan Tonic yang baru dan meneguk dalam-dalam
cairan dingin itu dan mencoba Rileks. Gianna menggoyang-goyangkan
kakinya. “kau bisa menari” kataku padanya, tapi dia
menggelengkan kepalanya dan mengangkat kepala nya ke arah musik.
“Dalam beberapa menit. Kamu terlihat pucat”.
“Aku baik-baik saja” kataku, mataku mencari-cari tanda-tanda
Grace di klu, tapi tampaknya dia menghilang di udara yang tipis.
Lagian Terlalu banyak orang di lantai dansa untuk bisa menemukan
dia.
“Aku perlu ke toilet”, kata Gianna beberapa saat kemudian. Gin
dan Tonic nya sudah mulai habis.
“aku butuh duduk untuk beberapa menit”.
Gianna memberiku tatapan khawatir kemudian dia menyelinap dan
Cesare mengikuti dalam jarak aman.
Aku meletakkan kepalaku di telapak tanganku, menarik napas
dalam-dalam. Sebuah lengan menyentuh lenganku, mengejutkanku. Aku
menghindar saat seorang pria dengan rambut pirang panjang bersender
di counter di sampingku. Dia mengambil sedotan melewatiku.
Jaketnya menggesek payudaraku dan aku bersandar menjauh, dan membuang
muka, tidak nyaman akan tatapan yang dia berikan padaku.
“Siapa namamu?” dia berteriak.
Aku berusaha mengabaikan dia. Sesuatu tentang pria ini sungguh
membuatku ngeri. Aku menyesap minumanku dan berpura-pura sibuk
mencari seseorang. Pria ini tetap melirikku dengan senyum mengerikan
di wajahnya yang tidak di cukur. “Apa kau sedang menunggu
seseorang?”
aku berpaling, benar-benar mengabaikannya, dan menimbulkan masalah
besar karena ini. Jika aku mulai panik, Romero akan datang dan
bertindak. Mungkin dia sudah mengarah kesini. Pandanganku mulai
buram dan perutku sedikit mual. Aku menyesap minumanku tapi itu
tidak membantu. Aku turun dari bangku tapi kakiku goyah dan aku
merasa pusing. Aku meraih meja di belakangku. Tiba-tiba, mulut
pria itu ada di telingaku, bau rokoknya nya yang anyir di wajahku.
“aku akan menggagahi pantatmu yang ketat. Aku akan membuatmu
menjerit, sundal”. Cengkramannya di lenganku terasa meremukkan
saat dia mencoba menyeretku dari bar. Mataku menemukan Romero yang
mengarah padaku, tangannya di bawah jaketnya dimana pistol dan
pisaunya perada. Tidak sabar dengan pergerakan ku yang lamban,
penyerangku melingkarkan lengan di tubuhku seperti pacar yang penuh
kasih sayang yang membantu pacarnya keluar dari klub karena mabuk.
“aku akan menidurimu seperti binatang. Aku akan menyetubuhimu
hingga berdarah-darah, Jalang”, serunya di telingaku. Aku
menatapnya, anggota tubuhku terasa berat, mulutku seperti penuh
dengan kapas. Aku pernah mendengar kata-kata seperti itu belum lama
ini.
Aku memaksa bibirku tersenyum. “Kau akan Mati, Man”.
Kebingungan melintas di wajah pria itu beberapa saat sebelum dia
mengalami kesakitan. Dia melepaskanku, dan kakiku melemas, tapi
Cesare menangkapku, lengannya menggantikan lengan pria itu. Mataku
melirik Gianna. Dia bergegas ke samping Cesare, wajahnya tampak
khawatir. Romero mendekat di belakang penyerangku, pisaunya menancap
di paha pria itu. “Kau akan mengikuti kami. Jika kau mencoba
lari, kau akan mati”.
“Bawa minumannya”, Kata Cesare pada Gianna, “tapi jangan
minum”.
Cesare setengah menarikku ke bagian belakang Klub dan menuruni
tangga. Dia membuka pintu dan masuk ke semacam kantor. Matteo
bangkit dari kursinya. “apa yang sedang terjadi?”.
“Mungkin Roofies” Kata Romero, dan mengguncang pria yang sedang
dia pegang.
“Aku akan memanggil Luca” kata Matteo sambil tersenyum. Dia
berjalan melalui pintu lain dan sesat kemudian Luca berjalan ke
ruangan, setinggi dan semengesankan seperti biasanya. Aku
menggantung di pegangan Cesare, wajahku setengah menempel di
dadanya. Mata Luca menyipit, lalu melayang diantara aku dan
penyerangku.
“Apa yang terjadi?” dia menggeram.
Tiba-tiba dia berada di depanku, mengangkatku ke lengannya. Kepalaku
tertuju ke dadanya saat aku menatapnya. Dia menurunkanku di sofa.
Gianna berlutut di sampingku, mencengkram tanganku. “apa yang
terjadi padanya?”.
“Roofies”, kata Romero lagi. “Orang sakit ini mencoba
menyeretnya keluar”.
Luca berjalan ke arah penyerangku. “Kau memasukan Roofies ke
minuman istriku, Rick?”.
Luca mengenal pria itu? Kebingungan berkedip dalam pikiranku yang
kabur.
“Istri! Aku tidak tau dia milikmu. Aku tak tau. Aku bersumpah!”,
bibir bawah pria itu bergetar.
Luca mendorong tangan Romero menjauh dan jari-jarinya menggenggam
gagang pisau yang masih terbenam di kaki Rick. Dia memutar pisau itu
dan Rick menjerit. Romero memegangi Pria itu dengan tangannya.
“apa yang akan kau lakukan pada istriku ketika kau membawa nya
keluar?”.
“Tidak ada! “ Teriak pria itu.
“Tidak ada? Jadi jika orang-orangku tidak menghentikanmu, kau
pasti akan mengantarnya ke rumah sakit”, suara Luca menyenangkan,
tenang, dan wajahnya tanpa emosi.
Pegangan tangan Gianna padaku sangat menyakitkan. Aku menelan ludah
dan berdeham. “Aku akan menyetubuhi pantat mu yang ketat”
bisikku.
Kepala Luca berputar, lalu dia berada di sampingku, wajahnya berada
di dekatku, aku bisa menciumnya. Mungkin ini efek Roofies, tapi aku
benar-benar ingin menciumnya dengan sangat tepat pada saat ini, ingin
merobek kemejanya, ingin untuk....
“Apa yang barusan kau katakan , Aria?”
“Aku akan menyetubuhi pantat ketatmu. Aku akan membuatmu menjerit,
Jalang. Dan aku akan menyetubuhimu hingga berdarah-darah, Sundal.
Itu yang dia katakan padaku”. Luca menatap langsung ke mataku,
otot rahangnnya bergerak. Sebelum dia bisa bergerak, Gianna melompat
berdiri dan berlari ke arah Rick. Dia memukul wajah Rick dan
menendang pangkal pahanya, dan berusaha keras melepaskan diri dari
pegangan Matteo saat Matteo menyeretnya menjauh dari Rick.
“Kau akan mati!” teriaknya.
Luca menegakkan tubuh dan dia berhenti bergerak.
“Lepaskan aku”, Gianna mendesis,
“Kau berjanji untuk menjaga kelakuanmu?” Matteo bertanya dengan
senyum geli.
Dia mengannguk dan tatapannya tertuju pada Rick. Matteo melepaskan
tangannya dan dia meluruskan bajunya. “Mereka akan membuatmu
berdarah”, katanya dingin. “ Dan aku berharap mereka memerkosa
pantat jelek mu dengan gagang sapu yang ada disana.
“Gianna”, sergahku. Dia menghampiriku dan duduk di tepi sofa,
meraih tanganku lagi.
Matteo tidak mengalihkan pandangannya dari Gianna. “Aku akan
membuat dia membayarnya, Gianna”.
“Tidak” Luca berkata dengan tegas. Rick tampak siap untuk
merasa lega. “Dia adalah tanggung jawabku” Matteo dan Luca
bertukar pandang lama, lalu Matteo mengangguk.
Luca mendekatkan wajahnya ke wajah Rick. “Kau ingin menyetubuhi
istriku? Ingin membuatmu menjerit?” Suaranya merobek rasa
pusingku dan mengirimkan rasa menggigil di punggungku. Aku senang
itu tidak di arahkan padaku. Aku pernah takut pada Luca sebelumnya.
Tapi dia tak pernah terdengar seperti ini. Rick menggeleng panik.
“Tidak, Kumohon”.
Luca melingkarkan tangannya di leher Rick dan menganggkatnya sampai
berdiri berjinjit dan wajahnya menjadi merah. Lalu dia
melemparkannya dan Rick menabrak dinding dan meringkuk di lantai.
“Kuharap kau lapar”, Luca menggeram. “karena aku akan
memberimu makan Burungmu”.
“Bawa gadis-gadis itu ke mobil, Romero” Perintah Matteo, saat
Luca menghunus pisaunya. Romero mengangkatku ke pelukannya dan
berjalan keluar melalui pintu belakang, Gianna mendekat. Rasa pusing
menyelimuti otakku dan aku menempelkan wajahkku ke jaket Romero. Dia
menegang.
Gianna mendengus. “apa kau pikir Luca akan memotong penis mu hanya
karena Aria menempel padamu ketika dia Sakit?”.
“Luca adalah bos ku dan Aria adalah miliknya”.
Gianna menggumamkan sesuatu dibawah nafasnya tapi aku aku tak bisa
mencerna kata-katanya.
“Bukakan pintu untukku”, Romero berkata dan aku berbaring di
kursi kulit yang dingin. Gianna mengangkat kepalaku dan menaruhnya
di pangkuannya. Jari-jarinya mengurai rambutku dan dia menempelkan
keningnya ke keningku. “Pria itu mendapatkan apa yang layak dia
dapatkan”.
Aku menutup mataku. Aku telah mengantarkan pria itu ke kematian
dengan kata-kataku. Pembunuhan pertamaku. “Pengawalmu bahkan tak
berani menunggu di dalam mobil bersama kita. Luca adalah binatang
buas”.
“Romero tetap mengawasi” aku berbisik.
“Tentu”, aku pasti ketiduran karena tiba-tiba pintu terbuka dan
Luca berbicara. “Bagaimana keadaannya?”.
“Astaga” kata Gianna, suaranya melengking. “Kau berlumuran
darah”.
Aku membuka mataku, tapi sulit fokus.
“Hanya bajuku,” kata Luca dengan rasa jengkel dalam suaranya.
Ada suara gemerisik.
“Kau tak tau malu”, kata Gianna.
“Aku melepas bajuku, bukan celanaku, Sialan. Apa kau pernah
menutup mulutmu?”
“Ini Bos”.
Samar-samar aku melihat Luca memakai kemeja baru. “Bakar yang satu
itu dan urus segalanya. Romero. Aku akan menyetir”.
Sebuah tangan mengelus pipiku dan wajah Luca melayang di atasku.
Lalu dia pergi, pintu tertutup dan dia masuk ke kursi pengemudi.
Mobil mulai bergerak dan perutku bergejolak.
Gianna mencondongkan tubuh ke depan , kepalanya diantara tempat
duduk. “Kau cukup besar, kau tau itu? Jika saja kau belum menikah
dengan kakakku dan bukan bajingan seperti itu, aku mungkin
mempertimbangkan untuk memberi mu kesempatan”.
“Gianna “ aku mengerang. Ketika dia ketakutan, atau gugup atau
marah, dia tak pernah bisa berhenti bicara, dan semakin lama dia
berbicara, semakin menyinggung perkataannya. Dan di sekitar Luca dia
terus menerus emosi.
“Apakah kucing mencuri lidahmu? Ku dengar kau selalu melompat
kemanapun yang tidak memiliki penis”, kata Gianna.
Luca masih tidak mengatakan apapun. Aku berharap aku bisa melihat
wajahnya untuk mencari tau seberapa dekat dia akan meledak. Dia
telah membunuh seorang pria belum lama ini; Gianna benar-benar harus
menutup mulut.
Gianna mundur kebelakang, tapi aku tau dia belum selesai. Dia belum
akan me yerah, sampai dia berhasil membuat Luca murka. Luca masuk ke
parkiran bawah tanah. “Kita sampai” Gianna berbisik di
telingaku. Aku berharap dia bisa berbicara secukupnya pada Luca
seperti dia berbicara padaku.
Pintu mobil terbuka dan Luca mengangkatku ke pelukannya. Dia
membawaku ke lift pribadi dan melangkah masuk . Lampu halogen yang
terang membuat perih mataku tapi aku tetap membuka mataku untuk
mengawasi Gianna dan Luca di kaca. Dia membungkuk di samping Luca
dan ekspresinya tidak menjadi pertanda baik. “Pernahkah kau
melakukan Threesome”.
Luca tidak bergerak seinchi pun. Dia menunduk menatapku tapi aku
tetap menjaga perhatianku ke arah kaca, mencoab untuk mengirimkan
pesan diam-diam pada Gianna untuk bisa menutup mulutna. “Berapa
banyak wanita yang sudah pernah kau perkosa selain kakakku?”
Kepala Luca terangkat, matanya membara ketika menatap Gianna. Aku
menekan telapak tanganku dengan lembut ke punggung Luca dan dia
melirik ke bawah ke arahku. Tensinya mengendur. “bisakah kau
melakukan hal lain dengan mulutmu selain menggonggong”.
Gianna berdiri tegak. “Seperti apa? Memberimu Blowjob?”.
Luca tertawa. “Girl, kau bahkan tak pernah melihat penis. Jadi
tutup saja mulutmu”.
“Gianna”. Seruku sambil memperingatkan. Akhirnya , aku sampai
di lantai atas dan Luca melangkah masuk ke Penthouse kami. Dia
menuju tangga kamar tidur kami saat Gianna menghalangi jalannya.
“Kemana kau akan membawanya?”
“Tidurlah,” kata Luca, mencoba menghindari adikku, tapi Gianna
mengikuti gerakannya.
“Dia mabuk karena Roofies. Itu mungkin kesempatan yang kau
tunggu-tunggu. Aku tak akan membiarkan dia sendirian denganmu”.
Luca menjadi sangat diam sepert srigala yang nyaris menyerang. “Aku
hanya akan mengatakannya sekali dan sebaikknya kau mematuhi;
menyingkir dari jalanku dan pergilah tidur”.
“Atau apa?”.
“Gianna , Ku mohon”, aku memohom. Dia mencari -cari wajahku ,
kemudian dia mengangguk sekali dan dengan cepat mencium pipiku.
“Cepetlah sembuh”.
Luca berjalan melewatinya, menggendongku menaiki tangga dan kemudia
masuk ke kamar tidur utama. Rasa mual yang mendesak jauh di dalam
perutku berubah menjadi desakan yang mendesak. “Aku akan muntah”.
Luca membawaku ke kamar mandi dan memelukku di toilet saat aku
muntah, ketika aku selesai, aku berkata. “Maafkan aku”.
“Untuk apa?” dia membantuku berdiri, meskipun satu-satunya yang
membuatku tegak adalah pegangannya di pinggangku.
“Karena muntah”.
Luca menggelengkan kepalanya dan menyodorkan handuk basah. Tanganku
bergetar saat aku menyeka wajahku. “ada baiknya kau mengeluarkan
sebagian dari sistem tubuhmu. Roofies sialan. Itu satu-satunya
cara agar pecundang jelek seperti Rick bisa memasukan penis mereka ke
dalam Vagina.
Dia membawaku kembali ke kamar dan menuju tempat tidur. “Bisakah
kau menanggalkan pakaianmu?”.
“Yeah”. Pada saat Luca pergi, aku terjatuh ke belakang dan
mendarat di kasur. Tawa menggelegak terlepas dari ku, lalu
gelombang rasa pusing yang baru menimpaku dan aku mengerang. Luca
membungkuk di atasku, wajahnya sedikit buram.
“Aku akan melepaskan pakaianmu. Pakaianmu berbau asap dan muntah”.
Aku tak yakin mengapa dia memberitahuku. Bukankah dia sudah pernah
melihatku telanjang sebelumnya. Dia meraih ujung bajuku dan menarik
ke atas kepalaku. Aku mengawasinya ketika dia membuka resleting
celana kulitku dan menariknya menuruni kakiku, buku-buku jarinya
menggesek kulitku dan meninggalkan rasa merinding di tiap kulit
yang dilewatinya. Dia melepas sepatuku yang berkilau, dan
melemparkaknya ke tanah sebelum berdiri dan menatapku. Dia berbalik
tiba-tiba dan menghilang dari pandanganku. Titik-titik menari nari
keluar dan masuk dari penglihatanku dan aku berada di ambang tawa
lain saat Luca kembali dan membantuku mengenakan salah satu kemejanya
. Dia hanya mengenakan celana pendeknya. Dia melingkarkan lengan di
bawah lutut dan pundakku, lalu memindahkan tubuhku sampai kepalaku
tertelungkup di atas bantal, lalu dia tidur disampingku.
“Kau mengesankan, kau tau?” Aku mengoceh.
Luca mengamati wajahku, lalu menempelkan telapak tangan di dahiku.
Aku terkikik dan mengulurkan tangan , ingin menyentuh tatonya tapi
salah menilai jarak dan menyapukan ujung jariku ke perutnya lalu
turun. Dia mendesis, merenggut tanganku dan menekan nya di perutku.
“Aria, kau dalam pengaruh obat bius. Cobalah untuk tidur”.
“Mungkin aku tak mau tidur”, aku menggeliat dalam cengkramannya.
“Tidak, kau harus tidur”.
Aku menguap. “Maukah kau memelukku?”.
Luca tidak mengatakan apa-apa. Tapi dia mematikan lampu dan
memelukku dari belakang. “sebaiknya kau berbaring miring
berjaga-jaga takutnya kau akan muntah lagi”.
“Apakah kau membunuhnya?”.
Ada sebuah jeda. “Ya”.
“Sekarang ada darah di tanganku”.
“Kau tidak membunuhnya”.
“Tapi kau membunuhnya karena aku”.
“Aku seorang pembunuh , Aria. Itu tidak ada hubungannya denganmu”.
Itu ada hubungannya denganku, tapi aku terlalu lelah untuk mendebat.
Aku mendengarkan napasnya dan detak jantungnya. “Kau tau,
terkadang aku berharap bisa membencimu, tapi aku tidak bisa. Kurasa
aku mencintaimu. Aku tak pernah menyangka aku bisa mencintaimu.
Dan terkadang aku bertanya-tanya bagaimana rasanya jika kau bercinta
denganku”.
Luca menempelkan bibirnya di leherku. “Tidur”.
“Tapi kau tidak mencintaiku”, gumamku. “Kau tak ingin bercinta
denganku. Kau ingin meniduriku karena aku milikmu”, pelukannya
mengencang. “Terkadang aku berharap kau mengklaimku pada malam
pernikahan kita, sehingga setidaknya aku tak akan mengharapkan
sesuatu yang tak akan pernah ada. Kau ingin bersetubuh seperti kau
meniduri Grace, seperti binatang. Karena itulah dia memberitahuku
bahwa kau akan meniduriku hingga berdarah-darah, bukan?”
lidahku terasa berat dan kelopak mataku saling menempel. Aku sedang
berbicara omong kosong, kata-kata kasar yang seharusnya tak ku
ucapkan.
“Kapan dia mengatakan itu,Aria, Kapan?”
suara tajam Luca tidak bisa merobek kabut yang menutupi pikiranku dan
kegelapan yang mengenalku.
**
JAILBAIT : ORANG YANG USIA NYA LEBIH MUDA DARI USIA YANG DI PERBOLEHKAN UNTUK MELAKUKAN AKTIVITAS SEKSUAL, DENGAN IMPLIKASI BAHWA ORANG YANG BERUSIA DI ATAS USIA YANG DI LEGALKAN MENGANGGAP MEREKA MENARIK. ISTILAH JAILBAIT BERASAL DARI FAKTA BAHWA MELAKUKAN AKTIVITAS SEKSUAL DENGAN ANAK DI BAWAH UMUR TERGOLONG PEMERKOSAAN MENURUT UNDANG -UNDANG.
ROOFIES: Obat jenis Benzodiazepin untuk mengobati keluhan tidur dan sering di gunakan sebagai obat bius dalam kasus pemerkosaan.
SEX ON LEGS ; orang yang sangat menarik secara seksual