MORGAN FINANCIAL
HOLDING menguasai keseluruhan dua puluh lantai di mulai dari tanda
yang ada di lobbi. Perutku mulas saat aku menunggu elevator.
Mengingat bahwa aku baru saja memakan sarapanku, aku tau ini adalah
rasa gugup, dan itu membuatku jengkel.
Mengapa memikirkan
tentang datang untuk bertemu langsung dengan si bajingan tengik
membuatku gugup?
Tampangnya.
Jauh di dalam hati, aku
tau itu karena tampangnya, dan itu sangatlah tak masuk akal. Aku
bukanlah orang yang mementingakan tampang, tapi sebagian dari diriku
tak bisa untuk tidak tergila-gila dengan si bajingan ini. Sebagian
diriku amat sangat butuh untuk diam sekarang.
Elevator membuat tanda
berdenging dan membuka, mempersilahkan aku dan seorang bisnismen yang
lebih tua dari ku masuk. Hanya ada kami berdua di dalam pintu yag
tertutup. Ketika pria itu menggaruk-garuk bola nya, aku menunduk ke
arah tato sayap yang ada di kakiku untuk mengalihkan ku dari
pemandangan itu. Mengapa aku menjadi magnet bagi pria yang
menggaruk-garuk perkakas sialan mereka? Untungnya, lift sudah sampai
di lantai dua puluh dengan cukup cepat. Aku keluar dari elevator,
dan membiarkan si pria bebas untuk menikmati perjalanannya secara
pribadi.
Sebuah tanda dengan
huruf berwarna hitam yang dibaca Morgan Financial Holdingsv
menggantung diatas dua pintu kaca. Menarik nafas dalam-dalam
dan sedikit merapihkan gaun merahku, aku berjalan ke arah pintu
masuk. Ya, aku aku sudah menyadari ketololanku dalam situasi ini.
Jangan menghakimiku.
Seorang resepsionis
muda berambut merah tersenyum padaku. “ada yang bisa saya bantu?”
“Ya , aku ingin
bertemu dengan Graham Morgan”.
Dia tampak terlihat
ingin menertawakanku. “apakah dia menunggumu?”
“Tidak”.
“Mr Morgan tidak akan
menemui siapapun yang belum membuat janji temu?”
“Yah, aku memiliki
sesuatu yang sangat penting untuknya, jadi aku benar-benar harus
menemuinya”.
“siapa nama anda?”
“Soraya Venedetta”.
“bisakah kau ejakan
nama terakhir anda untukku? Vendetta? Seperti “vendetta”
pada seseorang”.
“Bukan, Ven- E-
detta. Ada huruf E di tengah-tengah. V-E-N-E-D-E-T-T-A”. jika
saja aku mendapat perak disetiap kali orang salah menyebutkan nama
terakhirku, aku pasti akan lebih kaya dibandingkan dengan Graham J
Morgan.
“Okay, miss
Venedetta. Jika anda mau, anda bisa duduk menunggu disana. Ketika
Mr Morgan datang, aku akan menanyakan apakah Mr Morgan bersedia
menemui anda”.
“Terima kasih”.
Meluruskan gaunku, aku
duduk di sofa microfiber yang mewah yang berada di seberang meja
depan. Seharusnya tidak mengejutan bahwa si Tuan “bajingan
terbesar” belum ada disini, karena dia tidak berada di kereta yang
biasa pagi ini. Aku bertanya-tanya berapa lama , aku harus menunggu
; aku hanya meminta izin setengah hari dan harus kembali ke Ida
setelah jam makan siang.
Terlalu terhanyut di
dalam beberapa majalah keuangan, aku hampir tidak mendongak ketika
pintu terbuka. Jantungku mulai berdebar ketika aku melihat Graham,
terlihat marah seperti biasanya. Dia mengenakan celana hitam dan
kemeja putih bersih yang di gulung hingga ke lengan. Ada jam
berkilau yang melilit pergelangan tangannya. Dia memegang dasi
berwarna merah anggur di satu tangan dan laptop di tangan satunya.
Ketika dia lewat, secercah aroma cologne yang memabukan langsung
menghantamku seperti pukulan di hidung. Dia melihat lurus kedepan,
benar-benar tak peduli padaku atau hal lain di sekitarnya.
Resepsionis menyapa
saat dia berjalan melewatinya. “Selamat pagi. Mr Morgan”.
Graham tidak
menanggapi. Dia hanya mengeluarkan dehaman yang nyaris tidak
terdengar saat dia dengan cepat melewati kami dan menghilang di
lorong.
Sungguh.
Aku menatap ke si
resepsionis. “kenapa kau tidak memberi tahu dia, bahwa aku disini
untuk menemui dia?”.
Dia tertawa. Mr Morgan
perlu waktu untuk melakukan dekompresi di pagi hari. Aku tak bisa
langsung menyodorkan tamu yang tidak dia sebutkan pada saat dia
berjalan masuk”.
“Yah, berapa lama
tepatnya aku harus menunggu?”
“aku akan menghubungi
sekretarisnyadalam waktu sekitar tiga pluh menit”.
“apa kau sedang
bercanda?”
“sama sekali tidak”.
“itu sangat lah
konyol. Aku hanya butuh waktu dua menit untuk melakukan apa yang
harus ku lakukan. Aku tak bisa menunggu sepanjang pagi. Aku akan
terlambat berkerja”.
“Ms Vendetta”.
“Ven-E- detta,,,,”.
“Venedetta. Maaf,
ada aturan tertentu disini, aturan nomor satu adalah, kecuali Mr
Morgan memiliki jadwal penting yang di jadwalkan pagi hari, dia
tidak boleh di ganggu segera setelah dia tiba”.
“apa yang akan dia
lakukan jika kamu mengganggunya”.
“saya tidak ingin
mencari tau”.
“Yah, aku mengerti”.
Turun dari tempat dudukku, aku menyerbu ke lorong ketika si rambut
merah berlari di belakangku.
“Miss Venedetta aku
tak tau apa yang anda lakukan. Kembali kesini sekarang juga! Aku
serius”.
Aku berhenti ketika
aku menemukan sebuah pintu kayu cheri gelap dengan nama Graham J
Morgan yang di ukir di plakat di atasnya. Nuansa jendela yang
mengelilingi pintu tertutup sepenuhnya.
“Dimana
sekretarisnya?”
dia menunjuk meja
kosong di seberang kantor Graham. “sekertarisnya biasanya duduk
disana, tapi tampaknya dia belum masuk. Jadi, ada lebih banyak
alasan kenapa aku tak bisa mengganggu nya sekarang karena mungkin
dia marah tentang itu”.
Dia memandang karyawan
wanita lain yang bekerja di sebuak kubikel di dekatnya. “apakah
kau tau mengapa Rebbeca belum ada disini?”
“Rebecca sudah
berhenti. Agency sedang mencari penggantinya”.
“Luar biasa”.
Teriak si resepsionis itu. “ dan dia bertahan selama.....dua
hari?”
wanita itu tertawa.
“tidak buruk , mengingat.....”.
Orang macam apa si
Graham Morgan ini?
Dia pikir dia siapa?
Adrenalin tiba-tiba
mengalir dalam diriku. Aku berjalan ke meja kosong sekretaris dan
menekan tombol interkom yang di beri label GJM.
“Dia pikir dia
siapa....penyihir dari Oz? Aku bahkan yakin memiliki akses jauh
lebih mudah untuk bertemu ratu Elizabeth”.
Rasa takut di mata si
resepsionis terlihat jelas, tapi dia tau sudah terlambat, jadi dia
hanya diam di pinggir dan mengawasi.
Tak ada tanggapan
selama satu menit penuh. Kemudian terdengar suara tajam nya. “siapa
ini?”
“Namaku Soraya
Venedetta”.
“Venedetta”. Dia
mengulang namaku dengan jelas. Tidak membuatku kesal seperti orang
lain. Dia mengucapkan namaku dengan tepat.
Ketika dia tak
mengatakan hal lain, aku menekan tombol lagi. “aku sudah menunggu
dengan sabar untuk menemui anda. Tapi tampaknya, anda sedang
mengamuk disana atau apalah. Semua orang disini ketakutan kepada mu,
jadi tak ada seorang pun disini yang ingin memberitahumu bahwa saya
ada disini. Aku memiliki sesuatu yang kurasa sedang anda cari”.
Suaranya terdengar
lagi. “Oh benarkah?”
“Iya, aku tak akan
memberikannya terkecuali anda membuka pintu itu”.
“biarkan aku
menanyakan sesuatu, Ms Venedetta”.
“Baik...”.
“hal yang kau klaim
aku cari. Apakah ini obat untuk kanker?”
“Bukan”
“Apakah itu shelby
cobra asli?”
sebuah apa?
“Um,,,, bukan”.
“Lalu, kamu salah.
Tidak mungkin yang kau miliki adalah yang aku cari, yang akan membuat
usaha ku membuka pintu itu dan berurusan dengan mu menjadi sepadan.
Sekarang tinggalkan lantai ini, atau aku akan memanggil petugas
keamanan untuk menggiringmu”.
Efff
sialan. Aku tak mau lagi
berurusan dengan omong kosong ini lagi. Aku tak ingin ada hubungan
dengan dia dari titik ini hingga ke depannya, jadi aku memutuskan
untuk meninggalkan ponsel tololnya. Meraih ponsel ku sendiri, aku
mendapat ide. Hadiah perpisahan. Aku mengambil tiga foto diriku
sendiri : satu, bagian belahan payudaraku dengan jari tengah yang
besar di tengah,satu kaki ku, dan satu bagian belakangku. Aku
kemudian memasukan nomorku ke ponselnya, menamai diriku “
you are welcome asshole” .
aku secara khusus memilih untuk tidak menunjukan wajahku karena aku
tak ingin dia mengenaliku di kereta.
Aku
mengirim tiga gambar itu dan disusul dengan mengirim teks terakhir.
Ibumu
harus nya malu padamu.
Aku
menyerahkan ponselnya ke resepsionisnya dan berkata. “ pastikan
dia mengambil ponselnya”.
Aku
bergegas keluar dari sana meskipun merasa sedikit kalah dan sangat
marah.
Suasana
hatiku semakin buruk ketika aku kembali bekerja. Satu-satunya hal
baik adalah Ida memiliki pertemuan yang tak terduga, jadi aku tak
perlu berurusan dengannya. Aku akhirnya mengambil keuntungan dan
pulang lebih awal satu jam.
Sepulang
kerja, aku memberanikan diri untuk menemui Tig dan istrinya, Delia,
sebelum pulang ke apartemenku. Dia dan aku adalah teman baik sejak
kecil, tumbuh di sebelah rumah yang sama. Tig dan Del memiliki usaha
Tig's Tatoo and Pierching di Eight Avenue.
Aku
bisa mendengar jarum Tig berdengung di pojokan; dia sedang sibuk
dengan pelanggan. Tig mengerjakan bagian tato dan Del mengerjakan
Piercing. Kapan pun ketika aku dalam suasana hati yang tidak stabil,
aku bertindak sangat impulsif. Aku sudah memutuskan bahwa malam ini
ketika di rumah aku akan mewarnai rambutku menjadi merah, tapi tampak
nya itu tidak cukup memuaskanku.
“Del,
aku ingin kau menindik lidahku”.
“keluarlah
dari sini”. Dia melambaikan tangannya dengan tak beraturan. Dia
sangat sadar akan mood ku yang tak menentu.
“aku
serius”.
“kau
berkata bahwa kau tak akan pernah mempunyai tindikan. Aku tak ingin
kau datang dan menyalahkanku ketika suasana hatimu membaik”.
“Well,
aku telah berubah pikiran. Aku menginginkan satu”.
Tig
mendengar pembicaraan kami dan mengalihakan perhatian nya sejenak
dari pelanggannya. “aku mengenalmu. Beberapa hal menyebalkan
pasti terjadi hari ini sehingga kamu mau menindik lidahmu secara
tiba-tiba”.
Menghembuskan
napas berat, aku berkata. “beberapa hal menyebalkan, benar”.
Aku
mulai menceritakan cerita keseluruhan, dari awal mula menemukan
ponsel Graham sampai kekasaran dia di Intercom hari ini.
Tig
berbicara di sela-sela suara jarum. “kalau begitu lepaskan. Kau
tak perlu berurusan dengan bajingan itu lagi. Kau membuat dia
mempengaruhi mu. Hapuslah dia dari memorimu”.
Aku
tau Tig benar. Aku hanya tak mengerti mengapa penolakan Graham
memberikan semacam efek padaku. Aku tak akan terlalu menganalisisnya
atau menghubungkannya dengan masalah ayahku yang menolakku. Mungkin
aku berharap bahwa aku akan menjadi kejutan yang menyenangkan hari
ini bukannya malah benar-benar kekecewaan. Ada yang menghalangiku
untuk membiarkan dia terlupakan. Masih ada lagi yang aku harapkan
untuk ku ketahui tentang Graham yang tidak akan pernah aku sadari.
Aku tak mengerti mengapa itu sangat penting, dan sampai aku bisa
mengetahuinya, aku akan menyimpan semuanya sendiri.
“aku
masih tetap ingin kau menindik lidahku”.
Del
memutar matanya. “soraya...”.
“Ayolah
Del. Lakukan saja !”.
lidahku
terasa menyengat sepanjang perjalan di kereta menuju rumah. Aku
membaca instruksi perawatan – setelah tindikan, aku tak bisa
menahan diri untuk tidak tertawa.
Jangan berciuman
atau terlibat dalam kegiatan oral lainnya sampai kau benar-benar
sembuh.
Ya itu tak akan menjadi
masalah, menilik aku tak punya orang yang akan aku ikut sertakan
dalam kegiatan-kegiatan tersebut. Semua intruksi tampak mudah
sampai aku membaca yang terakhir.
Jangan minum-minuman
asam atau berakohol sementara selama lukanya dalam masa penyembuhan.
Yah, sial. Aku akan
menembak kakiku sendiri dengan yang satu itu, memutuskan melubangi
lidahku sendiri di malam dimana aku benar-benar perlu menenggelamkan
kesedihanku dalam minuman keras.
Sesampainya di
apartemenku, aku menanggalkan pakaianku dan memulai proses
mewarnai rambutku, yang menandakan keadaan pikiran terburukku. Tepat
ketika saku berpikir bagaimana malam ini akan berakhir, hal
terakhir yang aku harapkan terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar