Kamis, 12 April 2018

LICK CHAPTER DELAPAN

“Hey” David berjalan menuruni tangga tujuh jam kemudian, mengenakan handuk yang di lingkarkan di pinggangnya. Dia menyelipkan rambut basahnya ke belakang dan tato nya terpampang dengan segala kesempurnaan, mengungkapkan tubuh ramping serta lengannya yang berotot. Ada terlalu banyak kulit yang di tampilkan. Pria ini adalah gambaran liar. Aku melakukan perjuangan tanpa sadar untuk membuat lidahku tetap di dalam kepalaku. Tetap menjaga cengiran selamat datang diluar dari kemampuanku. Aku berencana memainkannya dengan kalem sehingga tidak menakuti dia. Tapi tampaknya aku gagal.
“Apa yang sedang kau lakukan?” tanyanya.
“Tidak banyak. Ada kiriman paket untukmu” aku menunnjukan tas-tas dan kotak-kotak yang menunggu di depan pintu. Sepanjang hari aku berusaha menguraikan masalah diantara kami. Satu hal yang menjadi kesimpulan adalah aku tak ingin waktu kami berakhir. Aku tak ingin menandatangani dokumen pembatalan. Belum. Ide itu membuatku ingin muntah lagi. Aku menginginkan David. Aku ingin bersama dia. Aku butuh rencana baru.
Buku jariku menggosok bibir bawahku, kedepan dan kebelakang. Aku tadi pergi berjalan-jalan sepanjang pantai, melihat ombak memecah karang dan mengingat kembali tentang ciuman. Lagi dan lagi. Aku memainkannya di dalam pikiranku. Hal yang sama juga terhadap percakapan kami. Faktanya, aku mengambil bagian juga pada momen kami bersama, dan mengeksplorasi setiap nuansa. Setiap momen yang bisa aku ingat, dan aku berusaha sangat keras untuk mengingat itu semua.
“kiriman paket?” dia berjongkok di samping paket terdekat dan mulai merobek pembungkusnya. Aku mengalihkan pandanganku sebelum aku melihat handuknya, meskipun aku sangat ingin tau.
“Apakah kau keberatan jika aku menggunakan telepon mu?” tanya ku.
“Ev, kau tak perlu bertanya. Ambil saja semua yang kau butuhkan”.
“Terima kasih”. Lauren dan orang tua ku mungkin panik, bertanya-tanya akan apa yang terjadi. Sudah waktunya untuk dapat menghadapi perkara gambar -bokong. Aku mengerang di dalam.
“Yang ini untukmu”. Dia menyerahkan padaku sebungkus kertas cokalat yang diikat dengan pita, dan di ikuti oleh tas belanja dengan beberapa merek yang belum pernah kudengar. “Ah, yang ini juga dari kelihatannya”.
Ini?”.
“Yeah, aku meminta pada Martha untuk membelikan beberapa barang untuk kita”.
“Oh”.
“Oh? Tidak”. Dia menggelengkan kepalanya. Kemudian dia berlutut di depanku dan menyobek paker berwarna coklat dari tanganku. “Tidak ada “Oh”. Kita butuh pakaian. Sesederhana itu”.
“kau sungguhh sangat murah hati, David, tapi aku baik-baik saja”.
Dia tidak mendengarkan. Sebaliknya dia menganngkat gaun merah depan panjang sampai paha , sama dengan yang digunakan gadis-gadis di mansion itu. “apa-apaan ini? Kau tidak akan memakai ini”. Gaun designer itu di lempar. Dan dia merobek tas belanja lain di kakiku.
“David kau tidak bisa melemparkannya begitu saja ke lantai”.
“Tentu saja aku bisa. Ini dia, ini sedikit lebih baik”.
Sebuah tank top hitam jatuh di pangkuanku. Setidaknya ini ukurannya terlihat pas. Gaun merah berukuran empat itu adalah sebuah lelucon. Sebuah lelucon yang jahat, karena mungkin Martha tidak menyukaiku kembali ke LA. Terserah.
Sebuah tag harga menjuntai dari tank top. Harganya. Sialan. Mereka tidak mungkin serius.
“Whoa. Aku bisa membayar sewa selama berminggu-minggu dengan tanktop ini”.
Sebagai pengganti jawabanya, dia melemparkan celana skinny jeans hitam ke arahku. “ ini, ini juga oke”.
Aku menyingkirkan jeans itu. “ini cuma tanktop katun polos. Bagaimana bisa harganya 200 dolar?”.
“apa pendapatmu tentang ini?” selembar kain sutra halus menjuntai di tangannya. “Bagus tidak?”.
“Apakah mereka menjahit nya dengan benang emas? Cuma begitu doang?”.
“Apa yang sedang kau bicarakan?”, dia mengangkat gaun biru itu, mengerak gerakannya dengan cara sebegitu rupa. “Sialan jangan. Ini tanpa ada punggung di belakangnya. Bokongmu bisa saja terlihat dari situ”. Gaun itu bergabung dengan gaun merah di lantai. Tanganku gatal untuk menyelamatkan mereka, melipatnya dengan baik. Tapi David baru saja merobek bungkusan di sebelahnya. “Apa yang kau katakan?”.
“aku sedang berbicara tentang harga atasan ini”.
“Sialan, hentikan. Kita tidak akan berbicara tentang harga atasan ini karena kita tidak membicarakan tentang uang. Itu masalah untukmu dan aku tak mau ikut-ikutan”. Sebuah rok denim mini – mikro keluar selanjutnya. “Apa-apaan ini, Martha, kenapa memesankan barang-barang seperti ini untukmu?”.
“Yah, tentunya, karena dirimu biasa memiliki para gadis-gadis berbikini yang bergelayutan padamu. Sebagai perbandingan, gaun backless itu cukup sopan”.
“Kau berbeda. Kau adalah temanku, bukan?”.
“Ya”, aku bahkan tak percaya dengan nada suaraku sendiri.
Dahinya berkerut karena jijik. “sial. Lihatlah panjangnya. Aku bahkan tak mengerti ini dipakai untuk rok atau malah sabuk sialan”.
Gelak tawa keluar dari diriku dan dia memberiku tatapan terluka, puppy eyes berwarna biru besarnya penuh kesedihan dan ketidaksenangan. Jelas, aku telah menyakiti hatinya.
“Maafkan aku”. Kataku. “tapi kau terdengar seperti ayahku”.
Dia menjejalkan rok mikro- mini itu kembali kedalam bungkusan. Minimal tidak lagi di lantai. “Yeah? Ayahmu dan aku harus bertemu. Kurasa kami bisa berteman”.
“kau ingin bertemu dengan ayahku?”.
“Tergantung, apakah dia akan menembakku di kali pertama dia melihatku?”
“Tidak”. Mungkin tidak.
Dia memberiku tatapan penasaran dan melanjutkan ke kotak selanjutnya. “itu lebih baik. Kemari”.
Dia menyerahkan padaku beberapa pasang T-shirt, satu hitam dan satu biru.
“kurasa kau tidak perlu memilihkan pakaian biarawati padaku, kawan”.kataku, bingung dengan prilakunya. “itu sangat, munafik”.
“Itu semua bukan pakaian biarawati. Mereka hanya menutupi bagian-bagian yang penting. Apakah itu harus terlalu di pertanyakan?” Tas penuh barang belanjaan yang selanjutnya di serahkan kepadaku sepenuhnya.
“Kau mengakaui, bahwa itu sedikit munafik, bukan?”.
“Aku tak mengakui apapun. Adrian sudah mengajarakan itu padaku sejak lama sekali. Lihatlah ke dalam tas itu”.'
aku melakukannya dan dia menyemburkan tawa , ekspresi apapun yang aku pancarkan tampaknya sangat menghibur.
“Apa ini?” tanyaku, mataku terbelalak heran. Ini mungkin aja sebuah thong jika si pembuat sedikit mengalokasikan lebih banyak bahan di dalamnya.
“aku mendandanimu seeprti biara wati”.
“La Perla”, aku membaca tag dan turun untuk melihat harga.
“Sial. Bisakah kau jangan melihat harga, please? Ev”. David menyergapku dan aku jatuh terbaring, mencoba melihat angka-angka pada tag yang yang bergoyang-goyang dari potongan renda. Tangannya yang lebih besat menutup tanganku, menelan Thong. “Tidak. Sialan demi Tuhan”.
Bagian belakang kepalaku menghantam anak tangga dan aku meringis, mataku berkaca-kaca. “Ow”.
“Kau baik-baik saja?” tubuhnya meregang di atasku. Tangannya mengelus-elus dengan hati-hati bagian belakang tengkorakku.
“Um Yeah”, aroma sabun dan shamponya sungguh aroma murni surga, Tuhan, bantu aku. Tapi ada sesuatu lebih dari itu. Cologne nya. Tidak beraroma berat. Hanya aroma pedas yang ringan. Ada sesuatu yang sangat familiar tentang itu.
Tag harga menggantung tepat didepan wajahku sesaat mengalihkan perhatianku. “Tiga ratus dollar?”.
“Itu sepadan”.
“Sialan. Tidak. Ini tidak sepadan”.
Dia menggantung Thong itu di ujung jari, senyum yang luar biasa dingin di wajahnya. “Percayalah. Aku pernah membayar sepuluh kali dari harga ini. Tak ada bantahan”.
“David, aku bisa mendapatkan sesuatu yang hampir sama persis sepuluh kali lebih murah dari itu di toko biasa. Itu gila”.
“Tidak, kau tak bisa”. Dia menyeibangkan berat tubuhnya di siku yang di letakkan di anak tangga disamping kepalaku dan mulai membaca tag. “Lihat, renda indah ini dibuat oleh seniman lokal di daerah kecil di Italia utara yang terkenal karena keahliannya. Ini terbuat dari sutra terbaik. Kau tidak bisa mendapatkannya di Walmart, sayang”.
“Tidak, kurasa tidak”.
Dia membuat suara bersenandung senang dan menatapku dengan tatapan lembut dan kabur. Lalu senyumnya memudar. Dia menarik kembali dan meremas-remas thong di tangannya. “bagaimanapun caranya”.
“tunggu” jemariku melingkari bisep nya, membuatnya tetap di tempatnya.
“Ada apa?” tanyanya, suaranya menegang.
“Hanya, biarkan aku...”, aku mengangkat wajahku ke lehernya. Aromanya paling kuat disana. Aku menghirupnya dalam-dalam. Membiarkan diriku tenggelam dalam aroma tubuhnya. Aku menutup mataku dan ingat.
“Evelyn?” otot-otot di tangannya tertekuk dan mengeras. “aku tak yakin ini ide yang bagus”.
“Kita berada di Gondola di The Venetian. Kau mengatakan bahwa kau tidak bisa berenang, bahwa aku harus menyelamatkanmu kalau perahu kita terbalik”.
Jakunya terlonjak. “Ya”.
“Aku ketakutan untukmu”.
“Aku tau. Kau memelukku begitu erat hingga aku tak bisa bernapas”.
Aku mundur hingga aku bisa menatap wajahnya.
“Menurutmu apa alasan kita tetap disana sampai lama?” tanyanya. “Dan kau praktis duduk di pamngkuanku”.
“Bisakah kau berenang?”.
Dia tertawa dengan tenang. “tentu saja aku bisa berenang. Aku bahkan berpikir bahwa airnya tidak terlalu dalam”.
“Itu semua hanya tipu muslihat. Kau licik, David Ferris”.
“Dan kau lucu, Evelyn Thomas”. Wajahnya rileks , dan matanya melembut lagi. “kau ingat sesuatu”.
“Iya”.
“Itu hebat. Ada yang lain?”.
Aku memberinya senyum sedih. “Tidak, maaf”.
Dia memalingkan wajah, kecewa, kurasa, tapi berusaha untuk tidak memperlihatkannya.
“David”.
“Mm”.
Aku membungkuk ke depan untuk menempelkan bibirku ke bibirnya, ingin menciumnya, membutuhkanya. Dia menarik diri lagi. Harapanku tenggelam. “Maaf. Aku minta maaf”.
“Ev. Apa yang sedang kau lakukan?”.
“Menciummu?”.
Dia hanya diam, rahangnya kaku, dia memalingkan wajah.
“Kau diperbolehkan menciumku, memelukku, membelikanku lingerie dengan harga dengan harga gila-gilaan, dan aku tidak bisa menciummu balik?” tangannku meluncur ke tangannya dan dia memegangnya. Setidaknya dia tidak menolakku sepenuhnya.
“Mengapa kau ingin menciumku?” tanyanya, suaranya keras.
Aku mempelajari jari-jari kami yang terjalin untuk beberapa saat, membuat pikiranku tertata. “David, mungkin aku tidak akan mengingat segala sesuatu tentang malam itu di Vegas. Tapi kupikir kita mungkin bisa membuat beberapa kenangan baru selama akhir pekan ini. Sesuatu yang kita bagi bersama”.
“Hanya akhir pekan ini?”.
Jantungku memenuhi tenggorokanku. “Tidak, aku tak tau. Ini hanya..... seakan ada sesuatu yang lebih berarti antara kita”.
“Lebih dari sekedar teman?” dia mengawasiku, ,matanya intens.
“Ya, aku menyukaimu. Kau baik hati dan manis dan tampan dan kau mudah untuk di ajak mengobrol. Ketika kita tidak selalu berdebat tentang Vegas. Aku merasa seperti....”
“Apa?”
“Seakan akhir pekan ini adalah kesempatan kedua. Aku tak bisa membiarkannya berlalu begitu saja. Kurasa aku akan menyesali itu dalam waktu yang lama”.
Dia mengangguk, memiringkan kepalanya. “jadi apa rencanamu? Hanya menciumku, dan liat apa yang terjadi?”
“Rencana ku?”
“Aku tau tentang dirimu dan rencanamu. Kau mengatakan padaku tentang bagaiamana terencananya dirimu”.
“Aku memberitahumu itu?” aku benar-benar idiot.
“Yeah. Kau memberitahuku. Kau khususnya memberitahuku tentang rencana besarmu”. Dia menunduk menatapku, matanya intense. “Kau tau.... menyelesaikan kuliah kemudian tiga sampai empat tahun menstabilkan ditimu di firma kelas menengah sebelum bergerak ke tingkatan yang lebih prestisius dan memulai membangun perusahaan konsultasi kecil-kecilan di usai tiga puluh lima. Dan mungkin ada waktu untuk memulai hubungan dan memiliki anak-anak yang menyebalkan.
Tenggorokanku tiba-tiba menjadi tempat yang kering dan tandus. “aku benar-benar cerewet malam itu”.
“Mm. Tapi yang menarik adalah cara mu membicarakan semuanya seakan itu bukanlah hal yang bagus. Kau membicarakanya seakan itu adalah sebuah kerangkeng dan dirimu mengguncang jeruji”.
Aku tak mampu berkata apa-apa.
“Jadi, ayolah”, dia berkata dengan lembut, mengejekku. “apa rencananya disini, Ev? Bagaimana kau akan menyakinkanku?”.
“Oh, ya, aku, um.... aku akan membujukmu, kurasa. Dan kita lihat apa yang terjadi. ya....”.
“Bagaimana? Dengan mengeluh tentang aku yang memberimu barang-barang?”
“Tidak. Itu hanya bonus tambahan. Permulaan”.
Dia menjilat bibirnya, tapi aku melihat senyuman. “baiklah, mulailah, tunjukan gerakanmu”.
“Gerakanku?”.
“tekhnik merayumu. Ayolah, waktu terbuang percuma”. Aku ragu-ragu, mendecakkan lidah, tak sabaran. “Aku hanya mengenakan handuk, Baby. Sesulit itukah?”.
“Baik. Baiklah”. Aku menggengganm jari-jarinya erat, menolak untuk melepaskannya. “Jadi, David?”
“Ya, evelyn?”
“kurasa...”
“Hmm?”
aku sungguh jauh dari kelasnya. Jadi aku mengatakan satu-satunya hal yang terpikir olehku. Sesuatu yang ku tau track record keberhasilannya. “Kurasa kau lelaki yang sangat baik dan aku penasaran jika mungkin saja kau mau datang ke kamarku dan melakukan sex dengankuda dan mungkin bersenang-senang sejenak. Jika mungkin saja ada sesuatu yang tertarik untuk dilakukan....”
matanya menggelap, menuduh dan tidak senang. Dia mulai menarik diri kembali. “Sekarang kau sedang melucu”.
“Tidak” aku menyelipkan tanganku ke belakang lehernya, dibawah rambutnya yang basah, mencoba menariknya kembali padaku. “Tidak, aku sangat, sangat serius”.
Rahangnya kaku, dia menatapku.
“Kau bertanya padaku pagi ini di mobil apakah aku berpikir kau menakutkan. Jawabannya iya. Kau membuatku ketakutan setangah mati. Aku tak tau apa yang kulakukan disini. Tapi aku benci memikirkan meninggalkanmu”.
Tatapannya mencari-cari wajahku tapi dia tetap tak mengatakan apapun. Dia akan menolokku. Aku tau itu. Aku sudah meminta terlalu banyak, mendorongnya terlalu jauh, dan siapa yang bisa menyalahkannya setelah semuanya?
“Tak apa”, kataku, mengumpulkan sisa harga diriku yang berserakan di lantai.
“Ah, Man”, dia menghela napas. “Kau juga agak menakutkan”.
“Aku?”.
“Ya, kamu. Dan singkirkan senyum itu dari wajahmu”.
“Maaf”.
Dia memiringkan kepalanya lalu menciumku, bibirnya tegas dan sangat nikmat. Mataku terpejam dan mulutku terbuka. Rasa dirinya mengambil alih diriku. Rasa mint dari pasta giginya dan lidahnya menyerang lidahku. Semuanya terasa sempurna. Dia membaringkanku di atas tangga. Memar baru di belakang kepalaku berdenyut denyut ketika aku menghantamkannya lagi. Aku meringis tapi tidak berhenti. David menangkup bagian belakang tengkorakku, menjaga agar tidak terjadi memar lebih lanjut.
Berat tubuhnya menahanku di tempat, bukan berarti aku mencoba melarikan diri. Tepian anak tangga menekan punggungku dan aku tak peduli. Aku dengan senang hati berbaring di atasnya selama berjam-jam, aroma hangat kulitnya membuatku mabuk. Pinggulnya menahan kedua kakiku agar terbuka lebar. Jika bukan karena jeansku dan handuknya segalanya akan terasa menarik lebih cepat. Ya Tuhan, aku membenci Kain saat ini.
Kami tidak sekalipun menghentikan ciuman. Kakiku mengait di pinggangnya dan tanganku melengkung di bahunya. Tak pernah ada yang terasa senikmat ini. Rasa nyeri ku untuknya meningkat dan berkobar, menyebar kedalam diriku. Kaitan kaki mengencang di tubuhnya, otot-otot terbakar. Aku tak bisa merasa cukup dekat. Sunnguh membuat frustasi, mulutnya bergerak ke rahangku dan menuruni leherku, menyalakanku dari dalam. Dia menggigit dan menjilat, menemukan titik sensitif dibawah telingaku dan di lekukan leherku. Tempat yang tak pernah aku tau ada. Pria ini memiliki sihir. Dia mengetahui apa yang tak ku ketahui. Dimana dia mempelajari triknya sudah tidak penting. Tidak kapanpun.
“Naik”, katanya dengan suara serak. Perlahan dia berdiri, satu tangan dibawah pantatku dan yang lainnya masih melindungi tengkorakku.
“David”, aku buru-buru mengencangkan pegangan di punggungnya.
“Hei”, dia mundur cukup untuk melihat mataku. Pupilnya membesar, hampir menelan iris biru langitnya. “aku tak akan pernah menjatuhkanmu. Itu tak akan pernah terjadi”.
Aku menarik napas dalam-dalam. “Baiklah”.
“Kau percaya padaku?”.
“Iya”.
“Bagus”, tangannya meluncur ke punggungku. “Sekarang letakkan tanganmu di leherku”.
Aku melakukannya, dan keseimbangan ku dengan segera menjadi lebih baik. Kedua tangan David mencengkram bokongku dan mengunci kakiku di belakang punggungnya, berpegangan erat-erat. Wajahnya tidak menunjukan tanda-tanda kesakitan atau cedera punggung yang akan segera terjadi. Mungkin dia cukup kuat untuk menggendongku.
“Benar begitu”. Dia tersenyum dan mengecup keningku. “semua baik-baik saja?”.
Aku mengangguk, tidak percaya diri untuk berbicara.
“Ranjang?”
“YA”.
Dia tergelak dengan cara yang menimbulkan hal buruk padaku. “Cium aku”, katanya.
Tanpa ragu-ragu aku melakukannya, tepat di mulutnya. Lidahku bergerak diantara bibirnya dan tersesat di dalam dirinya lagi. Dia mengerang, tangannya memelukku erat-erat.
Saat itulah bel pintu berdering, membuat suara pelan, rasa nyeri menggema di hati dan pangkal pahaku. “Oh Tidaaak”.
“Sialan ini pasti lelucon” Wajah David kacau dan dia memberi tatapan sangat sebal kepada pintu ganda yang besar itu. Setidaknya aku tak sendirian. Aku mengerang dan memeluknya erat-erat. Ini akan lucu jika saja ini tdak terlalu menyakitkan.
Sebuah tangan digosok di punggungku, meluncur ke bawah ke ujung bokongku utuk membelai kulit bagian bawahnya. “aku bersumpah, Ini seperti alam semesta tak mengijinkanku berada dalam dirimu atau semacamnya.”, dia menggerutu.
“Buat mereka pergi. Please”.
Dia tertawa kecil. Memelukku lebih erat.
“ini menyakitkan”.
Dia menggeram dan mencium leherku. “Ijinkan aku membuka pintu dan menyingkirkannya, lalu aku akan mengurusmu, oke?”.
“Handukmu ada di lantai”.
“itu masalahnya. Turunkan kaitan kakimu”.
Dengan enggan aku melonggarkan peganganku dan mengembalikan kaki ku ke lantai yang kokoh. Sekali lagi suara sekeras Gong, memenuhi ruangan. David mengambil jelana jeans hitam dari tas dan dengan cepat menariknya. Yang aku tangkap hanyalah kilasan bokong kecoklatan. Menjaga mataku ketempat yang sebagian besar harus di hindari adalah hal tersulit yang pernah aku lakukan.
“tunggu di belakang untuk berjaga-jaga kalau-kalau ini pers”. Dia melihat layar kecil yang tertanam di samping pintu. “Ah, Man”.
“Masalah?”.
“Tidak. Lebih buruk. Teman lama dengan makanan”, dia memberiku tatapan sekilas. “jika ini membuatmu lebih baik, aku juga merasa nyeri”.
“Tapi-”.
“Antisipasi membuat segalanya lebih manis. Aku berjanji”.katanya , lalu membuka pintu. Tangan satunya menarik bagian depan kaosnya untuk menutupi tonjolan yang jelas dibawah celana jeansnya. “Tyler, Pam. Hei , senang bertemu dengan kalian”.
Aku akan membunuhnya. Pelan-pelan. Dengan thong yang terlalu mahal. Kematian yang pas untuk seorang bintang Rock.
Sepasang suami istri yang memiliki usia sama seperti orang tuaku masuk, menenteng rantang dan botol anggur. Lelaki itu, Tyler, bertubuh tinggi, kurus, dan dipenuhi dengan tato. Pam terlihat seperti Penduduk asli Amerika. Rambut hitam panjang yang indah menggantung di punggungnya dalam kepangan, setebal pergelangan tanganku. Mereka semua tersenyum lebar dan memberiku tatapan ingin tau. Aku bisa merasakan wajahku memerah ketika mereka melihat pakaian dalam yang berserakan di lantai. Mungkin ini terlihat seakan kami sedang melakukan pesta untuk dua orang. Yang mana memang itulah yang sebenarnya, tapi tetap saja.
“Bagaimana kabarmu?” Tyler mengaum dengan aksen australi, memberi David pelukan satu lengan karena ada rantang di tangan satunya. “Dan ini pasti Ev. Aku harus membacanya di koran sialan, Dave? Apa kau serius?” dia memberi suamiku tatapan tajam, satu alisnya melengkung tinggi. “Pam kesal”.
“Maaf. Itu- ah tiba-tiba”. David mencium pipi Pam dan mengambil piring Casserole dan tas bekal darinya. Dia menepuk kepala David dengan gaya keibuan.
“Perkenalkan aku” katanya.
“Ev, ini Pam dan Tyler. Teman lama ku. Mereka juga yang mengurus rumah ini untukku”. David tampak santai berdiri diantara orang-orang ini. Senyumnya ringan dan matanya cerah. Aku belum pernah melihanya terlihat sangat bahagia sebelumnya. Kecemburuan membesarkan kepalanya yang jelek, menenggelamkan giginya.
“Halo”, aku mengulurkan tanganku yang gemetar tetapi Tyler menelanku dalam pelukan.
“Dia sangat cantik. Bukankah dia cantik, sayang?” Tyler melangkah ke samping, dan Pam mendekat, senyum hangat di wajahnya.
Aku amatlah brengsek. Mereka adalah orang-orang baik. Aku seharusnya sangat bersyukur, tidak semua wanita yang mengenal David menggesekkan payudaranya pada David. Sialan, Hormonku yang menggelegak yang membuatku bermuka masam.
“Tentu saja dia cantik. Hello, Ev, aku Pam”. Mata berwarna coklat kopi itu mencair. Dia tampak siap menangis. Dengan terburu-buru, dia memegang tanganku dan menekan erat jari-jariku. “aku sangat senang David menemukan gadis yang baik, akhirnya”.
“Oh, terima kasih”. Wajahku terasa mudah terbakar.
David memberiku senyum kecut.
“Oke, cukup”, kata Tyler. “biarkan sejoli ini memiliki privasi mereka. Kita bisa berkunjung lain waktu”.
David berdiri di samping, masih memegangi piring Casserole dan tasnya. Ketika dia melihatku mengamati dia mengerling.
“Aku akan menunjukan pengaturan di ruangaan bawah tanah kapan-kapan”, kata Tyler. “kau disini untuk waktu lama?”.
“Kami tidak yakin”, ungkapnya, memberiku lirikan.
Pam menggandeng tanganku, enggan untuk pergi. “Aku membuat ayam enchilada dan nasi. Apa kau suka masakan meksiko? Itu favorit David”. Alis Pam berkerut. “Tapi aku tidak mencari tau apakah kau tidak apa dengan itu. Kau mungkin saja Vegetarian”.
“Tidak, aku bukan Vegetarian. Dan aku suka makanan Meksiko”, kataku, gantian meremas jarinya walaupun tidak begitu keras. “Terima kasih banyak”.
“phew”, dia menyeringai.
“Hon”, seru Tyler.
“Aku datang”, Pam memberikan tepukan perpisahan di jariku. “jika kau butuh sesuatu selama kau disini, telpon aku. Okay?”.
David tidak mengatakan apapun. Ini jelas keputusanku apakah mereka akan tinggal atau pergi. Tubuhku masih dipenuhi akan kebutuhan. Dan tampaknya kami lebih baik berduan. Aku tidak ingin membagi David karena aku orang yang dangkal dan menginginkan sex yang panas. Aku menginginkan David untuk diriku sendiri. Tapi ini adalah hal yang benar untuk di lakukan. Dan jika antisipasi membuat lebih manis, yah , mungkin hal ini tepat untuk di lakukan dan juga hal terbaik untuk dilakukan.
“Tinggalah”, kataku, kata-kataku terbata-bata. “Makan malam bersama kami. Kau telah memasak begitu banyak. Kami tak mungkin menghabiskan semuannya”.
Tatapan David terkejut ke arahku, senyum persetujuan di wajahnya. Dia tampak terliah kekanak-kanakan, berusaha menahan kegembiaraannya. Seakan aku baru memberitahunya bahwa ulang tahunnya di majukan. Siapapun orang-orang ini, mereka penting bagi David. Aku merasa seolah-olah baru saja melewati beberapa tes.
Pam menghela napas. “Tyler benar. Kalian pengantin baru”.
“Tinggalah, Please”.
Pam menatap Tyler.
Tyler mengangkat bahu tetapi tersenyum, jelas senang.
Pam bertepuk tangan dengan gembira. “Ayo Makan”.


3 komentar:

  1. Kaka di wattpad di blokir ya πŸ˜₯ ditunggu kak kelanjutan lick nya di wattpad πŸ˜ŠπŸ˜€

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya di blokir, tapi aku ada akun baru lagi satu2 di repost. follow ya

      Hapus

STUCK UP SUIT Chapter 8

GRAHAM AKU TIDAK MENDENGAR KABAR NYA SEPANJANG HARI di hari sabtu, dan tidak seperti yang aku harapkan juga. Soraya Venedetta san...