“Hey” David
berjalan menuruni tangga tujuh jam kemudian, mengenakan handuk yang
di lingkarkan di pinggangnya. Dia menyelipkan rambut basahnya ke
belakang dan tato nya terpampang dengan segala kesempurnaan,
mengungkapkan tubuh ramping serta lengannya yang berotot. Ada
terlalu banyak kulit yang di tampilkan. Pria ini adalah gambaran
liar. Aku melakukan perjuangan tanpa sadar untuk membuat lidahku
tetap di dalam kepalaku. Tetap menjaga cengiran selamat datang
diluar dari kemampuanku. Aku berencana memainkannya dengan kalem
sehingga tidak menakuti dia. Tapi tampaknya aku gagal.
“Apa yang sedang
kau lakukan?” tanyanya.
“Tidak banyak.
Ada kiriman paket untukmu” aku menunnjukan tas-tas dan kotak-kotak
yang menunggu di depan pintu. Sepanjang hari aku berusaha
menguraikan masalah diantara kami. Satu hal yang menjadi kesimpulan
adalah aku tak ingin waktu kami berakhir. Aku tak ingin
menandatangani dokumen pembatalan. Belum. Ide itu membuatku ingin
muntah lagi. Aku menginginkan David. Aku ingin bersama dia. Aku
butuh rencana baru.
Buku jariku
menggosok bibir bawahku, kedepan dan kebelakang. Aku tadi pergi
berjalan-jalan sepanjang pantai, melihat ombak memecah karang dan
mengingat kembali tentang ciuman. Lagi dan lagi. Aku memainkannya
di dalam pikiranku. Hal yang sama juga terhadap percakapan kami.
Faktanya, aku mengambil bagian juga pada momen kami bersama, dan
mengeksplorasi setiap nuansa. Setiap momen yang bisa aku ingat, dan
aku berusaha sangat keras untuk mengingat itu semua.
“kiriman paket?”
dia berjongkok di samping paket terdekat dan mulai merobek
pembungkusnya. Aku mengalihkan pandanganku sebelum aku melihat
handuknya, meskipun aku sangat ingin tau.
“Apakah kau
keberatan jika aku menggunakan telepon mu?” tanya ku.
“Ev, kau tak perlu
bertanya. Ambil saja semua yang kau butuhkan”.
“Terima kasih”.
Lauren dan orang tua ku mungkin panik, bertanya-tanya akan apa yang
terjadi. Sudah waktunya untuk dapat menghadapi perkara gambar
-bokong. Aku mengerang di dalam.
“Yang ini
untukmu”. Dia menyerahkan padaku sebungkus kertas cokalat yang
diikat dengan pita, dan di ikuti oleh tas belanja dengan beberapa
merek yang belum pernah kudengar. “Ah, yang ini juga dari
kelihatannya”.
Ini?”.
“Yeah, aku meminta
pada Martha untuk membelikan beberapa barang untuk kita”.
“Oh”.
“Oh? Tidak”.
Dia menggelengkan kepalanya. Kemudian dia berlutut di depanku dan
menyobek paker berwarna coklat dari tanganku. “Tidak ada “Oh”.
Kita butuh pakaian. Sesederhana itu”.
“kau sungguhh
sangat murah hati, David, tapi aku baik-baik saja”.
Dia tidak
mendengarkan. Sebaliknya dia menganngkat gaun merah depan panjang
sampai paha , sama dengan yang digunakan gadis-gadis di mansion itu.
“apa-apaan ini? Kau tidak akan memakai ini”. Gaun designer itu
di lempar. Dan dia merobek tas belanja lain di kakiku.
“David kau tidak
bisa melemparkannya begitu saja ke lantai”.
“Tentu saja aku
bisa. Ini dia, ini sedikit lebih baik”.
Sebuah tank top
hitam jatuh di pangkuanku. Setidaknya ini ukurannya terlihat pas.
Gaun merah berukuran empat itu adalah sebuah lelucon. Sebuah lelucon
yang jahat, karena mungkin Martha tidak menyukaiku kembali ke LA.
Terserah.
Sebuah tag harga
menjuntai dari tank top. Harganya. Sialan. Mereka tidak mungkin
serius.
“Whoa. Aku bisa
membayar sewa selama berminggu-minggu dengan tanktop ini”.
Sebagai pengganti
jawabanya, dia melemparkan celana skinny jeans hitam ke arahku. “
ini, ini juga oke”.
Aku menyingkirkan
jeans itu. “ini cuma tanktop katun polos. Bagaimana bisa harganya
200 dolar?”.
“apa pendapatmu
tentang ini?” selembar kain sutra halus menjuntai di tangannya.
“Bagus tidak?”.
“Apakah mereka
menjahit nya dengan benang emas? Cuma begitu doang?”.
“Apa yang sedang
kau bicarakan?”, dia mengangkat gaun biru itu, mengerak gerakannya
dengan cara sebegitu rupa. “Sialan jangan. Ini tanpa ada punggung
di belakangnya. Bokongmu bisa saja terlihat dari situ”. Gaun itu
bergabung dengan gaun merah di lantai. Tanganku gatal untuk
menyelamatkan mereka, melipatnya dengan baik. Tapi David baru saja
merobek bungkusan di sebelahnya. “Apa yang kau katakan?”.
“aku sedang
berbicara tentang harga atasan ini”.
“Sialan, hentikan.
Kita tidak akan berbicara tentang harga atasan ini karena kita tidak
membicarakan tentang uang. Itu masalah untukmu dan aku tak mau
ikut-ikutan”. Sebuah rok denim mini – mikro keluar selanjutnya.
“Apa-apaan ini, Martha, kenapa memesankan barang-barang seperti ini
untukmu?”.
“Yah, tentunya,
karena dirimu biasa memiliki para gadis-gadis berbikini yang
bergelayutan padamu. Sebagai perbandingan, gaun backless itu cukup
sopan”.
“Kau berbeda. Kau
adalah temanku, bukan?”.
“Ya”, aku
bahkan tak percaya dengan nada suaraku sendiri.
Dahinya berkerut
karena jijik. “sial. Lihatlah panjangnya. Aku bahkan tak
mengerti ini dipakai untuk rok atau malah sabuk sialan”.
Gelak tawa keluar
dari diriku dan dia memberiku tatapan terluka, puppy eyes berwarna
biru besarnya penuh kesedihan dan ketidaksenangan. Jelas, aku telah
menyakiti hatinya.
“Maafkan aku”.
Kataku. “tapi kau terdengar seperti ayahku”.
Dia menjejalkan rok
mikro- mini itu kembali kedalam bungkusan. Minimal tidak lagi di
lantai. “Yeah? Ayahmu dan aku harus bertemu. Kurasa kami bisa
berteman”.
“kau ingin bertemu
dengan ayahku?”.
“Tergantung,
apakah dia akan menembakku di kali pertama dia melihatku?”
“Tidak”. Mungkin
tidak.
Dia memberiku
tatapan penasaran dan melanjutkan ke kotak selanjutnya. “itu lebih
baik. Kemari”.
Dia menyerahkan
padaku beberapa pasang T-shirt, satu hitam dan satu biru.
“kurasa kau tidak
perlu memilihkan pakaian biarawati padaku, kawan”.kataku, bingung
dengan prilakunya. “itu sangat, munafik”.
“Itu semua bukan
pakaian biarawati. Mereka hanya menutupi bagian-bagian yang penting.
Apakah itu harus terlalu di pertanyakan?” Tas penuh barang
belanjaan yang selanjutnya di serahkan kepadaku sepenuhnya.
“Kau mengakaui,
bahwa itu sedikit munafik, bukan?”.
“Aku tak mengakui
apapun. Adrian sudah mengajarakan itu padaku sejak lama sekali.
Lihatlah ke dalam tas itu”.'
aku melakukannya dan
dia menyemburkan tawa , ekspresi apapun yang aku pancarkan tampaknya
sangat menghibur.
“Apa ini?”
tanyaku, mataku terbelalak heran. Ini mungkin aja sebuah thong jika
si pembuat sedikit mengalokasikan lebih banyak bahan di dalamnya.
“aku mendandanimu
seeprti biara wati”.
“La Perla”, aku
membaca tag dan turun untuk melihat harga.
“Sial. Bisakah
kau jangan melihat harga, please? Ev”. David menyergapku dan aku
jatuh terbaring, mencoba melihat angka-angka pada tag yang yang
bergoyang-goyang dari potongan renda. Tangannya yang lebih besat
menutup tanganku, menelan Thong. “Tidak. Sialan demi Tuhan”.
Bagian belakang
kepalaku menghantam anak tangga dan aku meringis, mataku
berkaca-kaca. “Ow”.
“Kau baik-baik
saja?” tubuhnya meregang di atasku. Tangannya mengelus-elus
dengan hati-hati bagian belakang tengkorakku.
“Um Yeah”, aroma
sabun dan shamponya sungguh aroma murni surga, Tuhan, bantu aku.
Tapi ada sesuatu lebih dari itu. Cologne nya. Tidak beraroma berat.
Hanya aroma pedas yang ringan. Ada sesuatu yang sangat familiar
tentang itu.
Tag harga
menggantung tepat didepan wajahku sesaat mengalihkan perhatianku.
“Tiga ratus dollar?”.
“Itu sepadan”.
“Sialan. Tidak.
Ini tidak sepadan”.
Dia menggantung
Thong itu di ujung jari, senyum yang luar biasa dingin di wajahnya.
“Percayalah. Aku pernah membayar sepuluh kali dari harga ini. Tak
ada bantahan”.
“David, aku bisa
mendapatkan sesuatu yang hampir sama persis sepuluh kali lebih murah
dari itu di toko biasa. Itu gila”.
“Tidak, kau tak
bisa”. Dia menyeibangkan berat tubuhnya di siku yang di letakkan
di anak tangga disamping kepalaku dan mulai membaca tag. “Lihat,
renda indah ini dibuat oleh seniman lokal di daerah kecil di Italia
utara yang terkenal karena keahliannya. Ini terbuat dari sutra
terbaik. Kau tidak bisa mendapatkannya di Walmart, sayang”.
“Tidak, kurasa
tidak”.
Dia membuat suara
bersenandung senang dan menatapku dengan tatapan lembut dan kabur.
Lalu senyumnya memudar. Dia menarik kembali dan meremas-remas thong
di tangannya. “bagaimanapun caranya”.
“tunggu”
jemariku melingkari bisep nya, membuatnya tetap di tempatnya.
“Ada apa?”
tanyanya, suaranya menegang.
“Hanya, biarkan
aku...”, aku mengangkat wajahku ke lehernya. Aromanya paling kuat
disana. Aku menghirupnya dalam-dalam. Membiarkan diriku tenggelam
dalam aroma tubuhnya. Aku menutup mataku dan ingat.
“Evelyn?”
otot-otot di tangannya tertekuk dan mengeras. “aku tak yakin ini
ide yang bagus”.
“Kita berada di
Gondola di The Venetian. Kau mengatakan bahwa kau tidak bisa
berenang, bahwa aku harus menyelamatkanmu kalau perahu kita
terbalik”.
Jakunya terlonjak.
“Ya”.
“Aku ketakutan
untukmu”.
“Aku tau. Kau
memelukku begitu erat hingga aku tak bisa bernapas”.
Aku mundur hingga
aku bisa menatap wajahnya.
“Menurutmu apa
alasan kita tetap disana sampai lama?” tanyanya. “Dan kau
praktis duduk di pamngkuanku”.
“Bisakah kau
berenang?”.
Dia tertawa dengan
tenang. “tentu saja aku bisa berenang. Aku bahkan berpikir bahwa
airnya tidak terlalu dalam”.
“Itu semua hanya
tipu muslihat. Kau licik, David Ferris”.
“Dan kau lucu,
Evelyn Thomas”. Wajahnya rileks , dan matanya melembut lagi. “kau
ingat sesuatu”.
“Iya”.
“Itu hebat. Ada
yang lain?”.
Aku memberinya
senyum sedih. “Tidak, maaf”.
Dia memalingkan
wajah, kecewa, kurasa, tapi berusaha untuk tidak memperlihatkannya.
“David”.
“Mm”.
Aku membungkuk ke
depan untuk menempelkan bibirku ke bibirnya, ingin menciumnya,
membutuhkanya. Dia menarik diri lagi. Harapanku tenggelam. “Maaf.
Aku minta maaf”.
“Ev. Apa yang
sedang kau lakukan?”.
“Menciummu?”.
Dia hanya diam,
rahangnya kaku, dia memalingkan wajah.
“Kau diperbolehkan
menciumku, memelukku, membelikanku lingerie dengan harga dengan harga
gila-gilaan, dan aku tidak bisa menciummu balik?” tangannku
meluncur ke tangannya dan dia memegangnya. Setidaknya dia tidak
menolakku sepenuhnya.
“Mengapa kau ingin
menciumku?” tanyanya, suaranya keras.
Aku mempelajari
jari-jari kami yang terjalin untuk beberapa saat, membuat pikiranku
tertata. “David, mungkin aku tidak akan mengingat segala sesuatu
tentang malam itu di Vegas. Tapi kupikir kita mungkin bisa membuat
beberapa kenangan baru selama akhir pekan ini. Sesuatu yang kita
bagi bersama”.
“Hanya akhir pekan
ini?”.
Jantungku memenuhi
tenggorokanku. “Tidak, aku tak tau. Ini hanya..... seakan ada
sesuatu yang lebih berarti antara kita”.
“Lebih dari
sekedar teman?” dia mengawasiku, ,matanya intens.
“Ya, aku
menyukaimu. Kau baik hati dan manis dan tampan dan kau mudah untuk
di ajak mengobrol. Ketika kita tidak selalu berdebat tentang Vegas.
Aku merasa seperti....”
“Apa?”
“Seakan akhir
pekan ini adalah kesempatan kedua. Aku tak bisa membiarkannya berlalu
begitu saja. Kurasa aku akan menyesali itu dalam waktu yang lama”.
Dia mengangguk,
memiringkan kepalanya. “jadi apa rencanamu? Hanya menciumku, dan
liat apa yang terjadi?”
“Rencana ku?”
“Aku tau tentang
dirimu dan rencanamu. Kau mengatakan padaku tentang bagaiamana
terencananya dirimu”.
“Aku memberitahumu
itu?” aku benar-benar idiot.
“Yeah. Kau
memberitahuku. Kau khususnya memberitahuku tentang rencana
besarmu”. Dia menunduk menatapku, matanya intense. “Kau tau....
menyelesaikan kuliah kemudian tiga sampai empat tahun menstabilkan
ditimu di firma kelas menengah sebelum bergerak ke tingkatan yang
lebih prestisius dan memulai membangun perusahaan konsultasi
kecil-kecilan di usai tiga puluh lima. Dan mungkin ada waktu untuk
memulai hubungan dan memiliki anak-anak yang menyebalkan.
Tenggorokanku
tiba-tiba menjadi tempat yang kering dan tandus. “aku benar-benar
cerewet malam itu”.
“Mm. Tapi yang
menarik adalah cara mu membicarakan semuanya seakan itu bukanlah hal
yang bagus. Kau membicarakanya seakan itu adalah sebuah kerangkeng
dan dirimu mengguncang jeruji”.
Aku tak mampu
berkata apa-apa.
“Jadi, ayolah”,
dia berkata dengan lembut, mengejekku. “apa rencananya disini, Ev?
Bagaimana kau akan menyakinkanku?”.
“Oh, ya, aku,
um.... aku akan membujukmu, kurasa. Dan kita lihat apa yang terjadi.
ya....”.
“Bagaimana?
Dengan mengeluh tentang aku yang memberimu barang-barang?”
“Tidak. Itu hanya
bonus tambahan. Permulaan”.
Dia menjilat
bibirnya, tapi aku melihat senyuman. “baiklah, mulailah, tunjukan
gerakanmu”.
“Gerakanku?”.
“tekhnik merayumu.
Ayolah, waktu terbuang percuma”. Aku ragu-ragu, mendecakkan lidah,
tak sabaran. “Aku hanya mengenakan handuk, Baby. Sesulit
itukah?”.
“Baik. Baiklah”.
Aku menggengganm jari-jarinya erat, menolak untuk melepaskannya.
“Jadi, David?”
“Ya, evelyn?”
“kurasa...”
“Hmm?”
aku sungguh jauh
dari kelasnya. Jadi aku mengatakan satu-satunya hal yang terpikir
olehku. Sesuatu yang ku tau track record keberhasilannya. “Kurasa
kau lelaki yang sangat baik dan aku penasaran jika mungkin saja kau
mau datang ke kamarku dan melakukan sex dengankuda dan mungkin
bersenang-senang sejenak. Jika mungkin saja ada sesuatu yang
tertarik untuk dilakukan....”
matanya menggelap,
menuduh dan tidak senang. Dia mulai menarik diri kembali. “Sekarang
kau sedang melucu”.
“Tidak” aku
menyelipkan tanganku ke belakang lehernya, dibawah rambutnya yang
basah, mencoba menariknya kembali padaku. “Tidak, aku sangat,
sangat serius”.
Rahangnya kaku, dia
menatapku.
“Kau bertanya
padaku pagi ini di mobil apakah aku berpikir kau menakutkan.
Jawabannya iya. Kau membuatku ketakutan setangah mati. Aku tak tau
apa yang kulakukan disini. Tapi aku benci memikirkan
meninggalkanmu”.
Tatapannya
mencari-cari wajahku tapi dia tetap tak mengatakan apapun. Dia akan
menolokku. Aku tau itu. Aku sudah meminta terlalu banyak,
mendorongnya terlalu jauh, dan siapa yang bisa menyalahkannya setelah
semuanya?
“Tak apa”,
kataku, mengumpulkan sisa harga diriku yang berserakan di lantai.
“Ah, Man”, dia
menghela napas. “Kau juga agak menakutkan”.
“Aku?”.
“Ya, kamu. Dan
singkirkan senyum itu dari wajahmu”.
“Maaf”.
Dia memiringkan
kepalanya lalu menciumku, bibirnya tegas dan sangat nikmat. Mataku
terpejam dan mulutku terbuka. Rasa dirinya mengambil alih diriku.
Rasa mint dari pasta giginya dan lidahnya menyerang lidahku.
Semuanya terasa sempurna. Dia membaringkanku di atas tangga. Memar
baru di belakang kepalaku berdenyut denyut ketika aku
menghantamkannya lagi. Aku meringis tapi tidak berhenti. David
menangkup bagian belakang tengkorakku, menjaga agar tidak terjadi
memar lebih lanjut.
Berat tubuhnya
menahanku di tempat, bukan berarti aku mencoba melarikan diri.
Tepian anak tangga menekan punggungku dan aku tak peduli. Aku dengan
senang hati berbaring di atasnya selama berjam-jam, aroma hangat
kulitnya membuatku mabuk. Pinggulnya menahan kedua kakiku agar
terbuka lebar. Jika bukan karena jeansku dan handuknya segalanya
akan terasa menarik lebih cepat. Ya Tuhan, aku membenci Kain saat
ini.
Kami tidak sekalipun
menghentikan ciuman. Kakiku mengait di pinggangnya dan tanganku
melengkung di bahunya. Tak pernah ada yang terasa senikmat ini.
Rasa nyeri ku untuknya meningkat dan berkobar, menyebar kedalam
diriku. Kaitan kaki mengencang di tubuhnya, otot-otot terbakar. Aku
tak bisa merasa cukup dekat. Sunnguh membuat frustasi, mulutnya
bergerak ke rahangku dan menuruni leherku, menyalakanku dari dalam.
Dia menggigit dan menjilat, menemukan titik sensitif dibawah
telingaku dan di lekukan leherku. Tempat yang tak pernah aku tau
ada. Pria ini memiliki sihir. Dia mengetahui apa yang tak ku
ketahui. Dimana dia mempelajari triknya sudah tidak penting. Tidak
kapanpun.
“Naik”, katanya
dengan suara serak. Perlahan dia berdiri, satu tangan dibawah
pantatku dan yang lainnya masih melindungi tengkorakku.
“David”, aku
buru-buru mengencangkan pegangan di punggungnya.
“Hei”, dia
mundur cukup untuk melihat mataku. Pupilnya membesar, hampir
menelan iris biru langitnya. “aku tak akan pernah menjatuhkanmu.
Itu tak akan pernah terjadi”.
Aku menarik napas
dalam-dalam. “Baiklah”.
“Kau percaya
padaku?”.
“Iya”.
“Bagus”,
tangannya meluncur ke punggungku. “Sekarang letakkan tanganmu di
leherku”.
Aku melakukannya,
dan keseimbangan ku dengan segera menjadi lebih baik. Kedua tangan
David mencengkram bokongku dan mengunci kakiku di belakang
punggungnya, berpegangan erat-erat. Wajahnya tidak menunjukan
tanda-tanda kesakitan atau cedera punggung yang akan segera terjadi.
Mungkin dia cukup kuat untuk menggendongku.
“Benar begitu”.
Dia tersenyum dan mengecup keningku. “semua baik-baik saja?”.
Aku mengangguk,
tidak percaya diri untuk berbicara.
“Ranjang?”
“YA”.
Dia tergelak dengan
cara yang menimbulkan hal buruk padaku. “Cium aku”, katanya.
Tanpa ragu-ragu aku
melakukannya, tepat di mulutnya. Lidahku bergerak diantara bibirnya
dan tersesat di dalam dirinya lagi. Dia mengerang, tangannya
memelukku erat-erat.
Saat itulah bel
pintu berdering, membuat suara pelan, rasa nyeri menggema di hati dan
pangkal pahaku. “Oh Tidaaak”.
“Sialan ini pasti
lelucon” Wajah David kacau dan dia memberi tatapan sangat sebal
kepada pintu ganda yang besar itu. Setidaknya aku tak sendirian.
Aku mengerang dan memeluknya erat-erat. Ini akan lucu jika saja ini
tdak terlalu menyakitkan.
Sebuah tangan
digosok di punggungku, meluncur ke bawah ke ujung bokongku utuk
membelai kulit bagian bawahnya. “aku bersumpah, Ini seperti alam
semesta tak mengijinkanku berada dalam dirimu atau semacamnya.”,
dia menggerutu.
“Buat mereka
pergi. Please”.
Dia tertawa kecil.
Memelukku lebih erat.
“ini menyakitkan”.
Dia menggeram dan
mencium leherku. “Ijinkan aku membuka pintu dan menyingkirkannya,
lalu aku akan mengurusmu, oke?”.
“Handukmu ada di
lantai”.
“itu masalahnya.
Turunkan kaitan kakimu”.
Dengan enggan aku
melonggarkan peganganku dan mengembalikan kaki ku ke lantai yang
kokoh. Sekali lagi suara sekeras Gong, memenuhi ruangan. David
mengambil jelana jeans hitam dari tas dan dengan cepat menariknya.
Yang aku tangkap hanyalah kilasan bokong kecoklatan. Menjaga mataku
ketempat yang sebagian besar harus di hindari adalah hal tersulit
yang pernah aku lakukan.
“tunggu di
belakang untuk berjaga-jaga kalau-kalau ini pers”. Dia melihat
layar kecil yang tertanam di samping pintu. “Ah, Man”.
“Masalah?”.
“Tidak. Lebih
buruk. Teman lama dengan makanan”, dia memberiku tatapan sekilas.
“jika ini membuatmu lebih baik, aku juga merasa nyeri”.
“Tapi-”.
“Antisipasi
membuat segalanya lebih manis. Aku berjanji”.katanya , lalu
membuka pintu. Tangan satunya menarik bagian depan kaosnya untuk
menutupi tonjolan yang jelas dibawah celana jeansnya. “Tyler, Pam.
Hei , senang bertemu dengan kalian”.
Aku akan
membunuhnya. Pelan-pelan. Dengan thong yang terlalu mahal.
Kematian yang pas untuk seorang bintang Rock.
Sepasang suami istri
yang memiliki usia sama seperti orang tuaku masuk, menenteng rantang
dan botol anggur. Lelaki itu, Tyler, bertubuh tinggi, kurus, dan
dipenuhi dengan tato. Pam terlihat seperti Penduduk asli Amerika.
Rambut hitam panjang yang indah menggantung di punggungnya dalam
kepangan, setebal pergelangan tanganku. Mereka semua tersenyum lebar
dan memberiku tatapan ingin tau. Aku bisa merasakan wajahku memerah
ketika mereka melihat pakaian dalam yang berserakan di lantai.
Mungkin ini terlihat seakan kami sedang melakukan pesta untuk dua
orang. Yang mana memang itulah yang sebenarnya, tapi tetap saja.
“Bagaimana
kabarmu?” Tyler mengaum dengan aksen australi, memberi David
pelukan satu lengan karena ada rantang di tangan satunya. “Dan ini
pasti Ev. Aku harus membacanya di koran sialan, Dave? Apa kau
serius?” dia memberi suamiku tatapan tajam, satu alisnya
melengkung tinggi. “Pam kesal”.
“Maaf. Itu- ah
tiba-tiba”. David mencium pipi Pam dan mengambil piring Casserole
dan tas bekal darinya. Dia menepuk kepala David dengan gaya
keibuan.
“Perkenalkan aku”
katanya.
“Ev, ini Pam dan
Tyler. Teman lama ku. Mereka juga yang mengurus rumah ini untukku”.
David tampak santai berdiri diantara orang-orang ini. Senyumnya
ringan dan matanya cerah. Aku belum pernah melihanya terlihat sangat
bahagia sebelumnya. Kecemburuan membesarkan kepalanya yang jelek,
menenggelamkan giginya.
“Halo”, aku
mengulurkan tanganku yang gemetar tetapi Tyler menelanku dalam
pelukan.
“Dia sangat
cantik. Bukankah dia cantik, sayang?” Tyler melangkah ke samping,
dan Pam mendekat, senyum hangat di wajahnya.
Aku amatlah
brengsek. Mereka adalah orang-orang baik. Aku seharusnya sangat
bersyukur, tidak semua wanita yang mengenal David menggesekkan
payudaranya pada David. Sialan, Hormonku yang menggelegak yang
membuatku bermuka masam.
“Tentu saja dia
cantik. Hello, Ev, aku Pam”. Mata berwarna coklat kopi itu
mencair. Dia tampak siap menangis. Dengan terburu-buru, dia
memegang tanganku dan menekan erat jari-jariku. “aku sangat
senang David menemukan gadis yang baik, akhirnya”.
“Oh, terima
kasih”. Wajahku terasa mudah terbakar.
David memberiku
senyum kecut.
“Oke, cukup”,
kata Tyler. “biarkan sejoli ini memiliki privasi mereka. Kita
bisa berkunjung lain waktu”.
David berdiri di
samping, masih memegangi piring Casserole dan tasnya. Ketika dia
melihatku mengamati dia mengerling.
“Aku akan
menunjukan pengaturan di ruangaan bawah tanah kapan-kapan”, kata
Tyler. “kau disini untuk waktu lama?”.
“Kami tidak
yakin”, ungkapnya, memberiku lirikan.
Pam menggandeng
tanganku, enggan untuk pergi. “Aku membuat ayam enchilada dan
nasi. Apa kau suka masakan meksiko? Itu favorit David”. Alis Pam
berkerut. “Tapi aku tidak mencari tau apakah kau tidak apa dengan
itu. Kau mungkin saja Vegetarian”.
“Tidak, aku bukan
Vegetarian. Dan aku suka makanan Meksiko”, kataku, gantian meremas
jarinya walaupun tidak begitu keras. “Terima kasih banyak”.
“phew”, dia
menyeringai.
“Hon”, seru
Tyler.
“Aku datang”,
Pam memberikan tepukan perpisahan di jariku. “jika kau butuh
sesuatu selama kau disini, telpon aku. Okay?”.
David tidak
mengatakan apapun. Ini jelas keputusanku apakah mereka akan tinggal
atau pergi. Tubuhku masih dipenuhi akan kebutuhan. Dan tampaknya
kami lebih baik berduan. Aku tidak ingin membagi David karena aku
orang yang dangkal dan menginginkan sex yang panas. Aku menginginkan
David untuk diriku sendiri. Tapi ini adalah hal yang benar untuk di
lakukan. Dan jika antisipasi membuat lebih manis, yah , mungkin hal
ini tepat untuk di lakukan dan juga hal terbaik untuk dilakukan.
“Tinggalah”,
kataku, kata-kataku terbata-bata. “Makan malam bersama kami. Kau
telah memasak begitu banyak. Kami tak mungkin menghabiskan
semuannya”.
Tatapan David
terkejut ke arahku, senyum persetujuan di wajahnya. Dia tampak
terliah kekanak-kanakan, berusaha menahan kegembiaraannya. Seakan aku
baru memberitahunya bahwa ulang tahunnya di majukan. Siapapun
orang-orang ini, mereka penting bagi David. Aku merasa seolah-olah
baru saja melewati beberapa tes.
Pam menghela napas.
“Tyler benar. Kalian pengantin baru”.
“Tinggalah,
Please”.
Pam menatap Tyler.
Tyler mengangkat
bahu tetapi tersenyum, jelas senang.
Pam bertepuk tangan
dengan gembira. “Ayo Makan”.
Aku suka..ayoo
BalasHapusKaka di wattpad di blokir ya π₯ ditunggu kak kelanjutan lick nya di wattpad ππ
BalasHapusiya di blokir, tapi aku ada akun baru lagi satu2 di repost. follow ya
Hapus