“Jadi,
Tunggu-Tunggu, ini lagu bukan tentang anjingnya yang mati atau
semacamnya kan?”
“Lo ga
lucu”. Aku tertawa
“beginilah
gue” Mal terkikik di ujung sofa karena Tim Mc Graw menerjang
hujan di tv layar datar yang menempel di dinding di seberang sana.
“Mengapa mereka semua memakai topi besar semacam itu, menurutmu
gimana? Aku punya teori”.
“shussh”.
Cara
orang ini hidup memporakporandakan pikiran kecilku. Mal, kependekan
dari Malcolm, tinggal di sebuah tenpat di pantai yang sebagian besar
banguanannya adalah baja dan kaca berlantai tiga. Itu menakjubkan.
Tidak terlalu besar seperti rumah yang di perbukitan, tapi juga tetap
menakjubkan. Ayahku akan terpesona karena konsep minimalisnya,
gari-garis yang tegas atau semacamnya. Aku hanya bersyukur mempunyai
seorang teman ketika aku membutuhkan.
Rumah Mal
jelas sarang kejahatan bagi bujangan. Aku memiliki gagasan yang
kurang jelas tentang membuat makan siang untuk berterima kasih
padanya karena telah membawaku kesini, tapi tidak ada satupun bahan
makanan dalam rumah. Bir memenuhi lemari es dan ada Vodka di
freezer. Oh tidak, rupanya ada sekantong jeruk yang digunakan
sebagai irisan saat meminum vodka. Dia mengesampingkan untuk tidak
menyentuh itu. Mesin kopi super licinnya bagaimanapun, membuat
semuanya tampak benar. Dia bahkan memiliki kacang yang layak. Aku
memukau dia dengan beberapa gerakan baristaku. Setelah meminum tiga
cangkir dalam kurun waktu satu jam, aku merasa kembali seperti
diriku yang lama. Terencana dan berkafein.
Mal
memesan Piza dan kami menonton tv hingga tengah malam. Kebanyakan
dia mendapatkan kesenangannya dengan mengolok-olok seleraku atas
segalanya ; film, musik, dan banyak lagi. Setidaknya dia
melakukannya dengan baik -dan alami. Kami tidak bisa pergi keluar
karena para fotografer menunggu di pantai. Aku merasa bersalah
karena itu tapi dia hanya mengedikkan bahu.
“gimana
dengan lagu ini?” dia bertanya, “Kau menyukai ini?”
Miranda
Lambert melangkah di layar dengan gaun keren tahun 50-an dan aku
menyeringai. “Miranda adalah ratunya”.
“Aku
pernah bertemu dia”.
Aku duduk
tegak. “serius?”.
Mal
terkikik lebih kencang. “Kau terkesan karena aku telah bertemu
Miranda Lambert tetapi kau bahkan ga tau siapa aku. Sejujurnya
womern, kau sangat keras untuk egoku”.
“aku
melihat plakat emas dan platinum di koridor, sobat. Jadi ku rasa lo
bisa mengatasinya”.
Dia
mendengus.
“kau
tau, kau mengingatkan ku akan kakak laki-lakiku”. Aku hampir bisa
menenggak tutup botol yang dia lemparkan padaku. Totop botol itu
memantul di dahiku. “untuk apa itu tadi?”.
“Tidakkah
kau bisa berpura-pura memujaku”.
“Tidak,
Maaf”.
Dengan
tidak adanya penghormatan akan kecintaanku terhadap Lambert,Mal mulai
memindah-mindah chanel. Home shopping, sepak bola, gone with the
wind , dan aku. Aku di televisi.
“Tunggu”,
kataku.
Dia
menggeram. “bukan ide yang bagus”.
Pertama
parade foto waktu aku ber sekolah, diikuti dengan aku dan Lauren di
pesta prom senior kami. Mereka bahkan memiliki reporter yang berdiri
di depan jalan Rubby's, menjabarkan tentang hidupku yang telah di
angkat ke status yang luar biasa menjadi istri David. Dan kemudian
ada tentang David sendiri di beberapa konser, gitar di tangannya dan
dia bernyanyi sebagai backup. Liriknya tipikal tentang
wanitaku-kejam. “she is my one, and only, she got me on my
knees....” aku penasaran apakah lagu ini dia tulis untukku. Jika
begitu, kemungkinannya adalah mereka sangat kecewa. “sial”, aku
memeluk erat bantal di dadaku.
Mal
membungkuk dan menepuk-nepuk rambutku. “David adalah favorit,
sayang. Dia tampan, memainkan gitar, dan menulis lagu. Para gadis
pingsan saat dia lewat. Terima itu dengan kau menjadi pengantin muda
dan kau mendapat berita seminggu penuh”.
“aku
dua puluh satu tahun “.
“dan
dia dua puluh enam tahun. Itu perbedaan yang cukup jika mereka
memamerkannya dengan tepat”. Mal menghela napas. “Hadapi itu,
child bride. Kau menikah di Vegas dinikahkan oleh peniru Elvis ke
salah satu putra favorit rock n roll. Dan itu pasti selalu
menimbulkan badai sialan. Mengingat juga ada bebarapa omong kosong
tentan band ini akhir-akhir ini.... tentang jimmy yang berpesta
seperti tahun 1999 dan David yang kehilangan sihir musiknya. Well,
kau sudah mendapat gambarannya. Dan minggu depan orang akan
melakukan hal yang aneh, dan berita akan beralih darimu”.
“Kurasa
begitu”.
“aku
tau begitu. Orang-orang selalu mengacau dengan konstan. Itu hal
yang luar biasa”. Dia duduk kembali dengan tangan di belakang
kepalanya. “ ayolah, senyumlah untuk paman Mal. Aku tau kamu
mau”.
Aku
tersenyum dengan setengah hati.
“itu
senyum bullshitt dan aku malu denganmu. Kau tak akan bisa menipu
semua orang dengan begitu. Ulangi lagi”.
Aku
mencoba lebih keras, tersenyum hingga pipiku sakit.
“Sial.
Kau malah keliatan seperti sedang kesakitan”.
Gedoran
dipintu mengintrupsi kegembiraan kami.
Mal
mengangkat alisnya ke arahku. “aku bertanya-tanya berapa lama dia
akan datang”.
“Apa?”
aku membuntutinya ke pintu depan, bersembunyi di balik pembatas
berjaga-jaga kalau ada lebih banyak tekanan.
Dia
membuka pintu dan David menerobos masuk, wajahnya tegang dan penuh
amarah. “Dasar tai. Sebaiknya lo ga menyentuh dia. Dimana dia?”.
“si
Child bride sedang sibuk”,Mal memiringkan kepalanya, memandang
David dengan dingin. “Kenapa lo peduli?”.
“Ga
usah mulai sama gue. Dimana dia?”'
diam-diam
Mal menutup pintu, menghadap temannya. Aku ragu-ragu, menununggu di
belakang. Baiklah, jadi aku menyelinap seperti pengecut. Terserah.
Mal
menyolangkan tangannya. “lo ninggalin dia buat menghadapi Adrian
dan tiga pengacaranya sendirian. Lo, temen gue, yang jelas adalah
bajingan dalam skenario khusus ini”.
“gue
ga tau klo Adrian bakal menemuinya dengan semua itu”.
“Lo ga
mau tau”, kata Mal. “bohonglah ke semua orang di luaran sana,
Dave. Tapi jangan gue. Dan yang jelas ga ke diri lo sialan”.
“menyingkir”.
“lo
butuh petuah hidup yang serius , kawan”.
“siapa
lo, Oprah”.
Tertawa
sampai terbatuk, Mal terpuruk ke dinding. “Hell, Yeah. Segera aku
akan memabagikan mobil, jadi jangan ganti chanel”.
“apa
yang dia katakan?”.
“siapa,
Oprah?”
David
merengut padanya. Dia bahkan tidak memperhatikanku sedang
memata-matai. Sungguh disayangkan, bahkan David yang cemberut
adalah sesuatu yang langka. Dia melakukan banyak hal padaku.
Hal-hal rumit. Jantungku terjerembab di dadaku. Kemarahan dan
emosi dalam suaranya tidak boleh menjadi perhatian bagiku. Itu
tidak masuk akal, tidak setelah semalam atau pagi ini. Aku harus
memproyeksikannya dan menelannya,bahwa aku bahkan ingin dia peduli.
Kepalaku tidak masuk akal. Menjauh dari pria ini adalah pilihan
teraman dari semua yang ada.
“Dave
dia sangat sedih dia bahkan menghantam tonjokan padaku”.
“Bullshit”.
“aku
tidak bercanda. Dia bahkan hampir berderai air mata ketika aku
menemukan dia”. Kata Mal.
Aku
menghantamkan dahiku dalam keheningan di dinding. Kenapa sich Mal
harus ngomongin itu?
Suamiku
menundukkan kepalanya. “aku tidak bermaksud untuk ini terjadi”.
“tampakanya
kau tidak bermaksud untuk semua kekacauan yang terjadi” Mal
menggelengkan dan memiringkan kepalanya. “apa kau bahkan bermaksud
menikahi dia, kawan? Serius?”.
Wajah
David kacau, alisnya membuat kerutan seperti James Dean lagi. “aku
tak tau lagi, okay? Fuck, aku pergi ke Vegas karena aku muak dengan
semua ini dan aku bertemu dia. Dia berbeda. Dia tampak berbeda
malam itu. Aku hanya... aku ingin sesuatu di luar dari semua
ketololan sialan itu untuk perubahan”.
“Kasian
Davey. Apakah jadi tuhan rock sudah terlalu tua?”.
“dimana
dia?”
“aku
merasakan kesedihanmu, bro. Sungguh, beneran. Maksudku semua yang
kau inginkan adalah gadis yang tak mau mencium bokongmu dan juga
gadis yang membuatmu jengkel dengan alasan yang sama. Ini rumit,
bukan”
“Fuck
you. Ga usah di bahas lagi , Mal. Ini udah kelar”. Suamiku
menghela napas. “bagaimanapun juga dia yang menginginkan
perceraian ini. Kenapa kau tidak memberinya gelar kehormatan, huh?”.
Dengan
napas dramatis. Mal melambaikan tangannya. “karena dia
benar-benar sibuk bersembunyi di pojokan, menguping. Aku tak bisa
mengganggunya sekarang”.
Tubuh
David terdiam dan mata birunya menemukanku. “Evelyn”.
Hah.
Terhempas.
Aku
berjalan menjauh dari dinding dan mencoba menampilkan wajah bahagia.
Tapi tak berhasil. “Hi”.
“Dia
mengatakan kalimat itu dengan sangat baik”, Mal berbalik ke arahku
dan mengedip. “jadi kau benar-benar meminta perceraian ke pada
yang mulia David Ferris?”.
“dia
memuntahiku ketika aku mengatakan padanya kami telah menikah”.
Suamiku mengadu.
“Apa?”
Mal larut dalam tawa, air mata menetes dari matanya. “apakah kau
serius? Sialan, ini fantastis. Oh kawan, kuharap aku ada disana”.
Aku
memberi David apa yang aku harapakan sebagai tatapan paling kejam di
semua ruang dan waktu. Dia balas menatap, tidak terkesan.
“aku
muntah di lantai”, aku mengklarifikasi. “aku tidak memuntahi
dia”.
“waktu
itu”. Kata David.
“Please
lanjutkan”. Kata Mal, tertawa lebih keras dibanding sebelumnya.
“ini semakin lama semakin baik”.
David
tidak melanjutkan.Terima kasih tuhan.
“sungguh,
aku sangat menyukai istrimu, man. Dia luar biasa. Bolehkah dia
untukku?”
tatapan
yang aku dapat dari David jauh dari tatapan kasih sayang. Dengan
garis diantara alisnya, itu lebih terlihat kesal. Aku meniupkan dia
ciuman. Dia memalingkan muka, tangannya mengepal nyaris seperti
menahan diri untuk tidak mencekikku. Perasaan itu sepenuhnya
berbalas.
Ah,
inilah kebahagian pernikahan.
“Kalian
berdua adalah yang terbaik”. Suara berdentang-dentang dari saku
Mal dan dia mengeluarkan ponsel. Apapun yang dilihatnya menghentikan
tawanya seketika. “Kau tau, kau harus membawa dia ke rumahmu,
Dave”.
“kurasa
itu bukan ide yang bagus”. Mulut David tertarik lebar dalam
ekspresi yang benar-benar menyakitkan.
Aku juga
merasa itu bukan ide yang bagus. Syukurlah, aku akan menjalani hidup
tanpa menginjakkan kaki dirumah mengerikan itu lagi. Mungkin saja
jika aku meminta dengan Mal dengan baik dia akan bersedia
mengambilkan barangku. Memaksanya terus menerus tidak menarik, dan
aku sudah mulai kehilangan pilihan.
“Whoa”,
dengan muka menakutkan. Dia mengulurkan ponselnya ke David.
“Sialan”,
David menggumam. Dia menautkan tangannya di belakang lehernya dan
menggosok-gosoknya. Tatapan khawatir yang dia tunjukan padaku dari
balik alis hitamnya membunyikan alarm di kepalaku. Apapun yang ada
di layar itu pastilah sesuatu yang buruk.
Sangat
buruk.
“Apa
itu?” tanyaku.
“Oh,
Kamu, ah.... kau tak perlu khawatir tentang ini”. Tatapan nya
jatuh ke ponsel itu lagi dan dia menyerahkan ke Mal. “tempatku
akan keren, sebenarnya. Kita harus kesana. Menyenangkan. Yeah “.
“Tidak”.
David yang bersikap baik padaku itu pastilah berarti sesuatu itu
sangat lah buruk. Aku mengulurkan tanganku, jari-jariku berkedut
tidak sabar atau tegang atau sedikit dari keduanya. “Perlihatkan
padaku”.
Setelah
anggukan enggan dari David, Mal menyerahkan ponselnya.
Tak ada
yang meragukan apa itu, bahkan di layar kecil. Ada banyak kulit
yang terpapar karena aku telanjang dari pinggang ke bawah. Bokongku
yang telannjang terlihat dari atas dan terpusat didalam segala
kemuliannya yang pucat dan berlekuk. Apakah mereka menggunakan
kamera dengan lensa lebar atau semacamnya? Gaun pestaku telah
diangkat ke atas dan aku berdiri, membungkuk di atas meja sementara
seorang seniman tato berkerja keras memntato bagian belakangku.
Celana dalamku telah di turunkan ke bawah, nyaris menutupi bagian
yang basic. Sialan. Bicara tentang posisi yang menjanjikan.
Mengambil bagian dalam pemotretan porno jelas bukan bagian dari
rencana.
Di ujung
lain dari layar, wajah kami berdekatan dan David tersenyum. Huh.
Jadi seperti itulah tampangnya ketika tersenyum.
Aku
ingat itu, dengungan jarum , dan dia berbicara padaku, memegang
tanganku. “kau berpura-pura menggigit jariku. Dan seniman tato
itu marah karena kita mengacau”.
David
mengusurkan dagunya. “Ya, kau seharusnya tetap diam”.
Aku
mengangguk, mencoba mengingat lebih banyak lagi, tapi tampak kosong.
Oramg-oramg
akan melihat gambar ini. Orang-orang telah melihatnya. Orang yang
aku kenal dan juga orang asing. Seseorang dan setiap orang.
Kepalaku berputar dengan pening sama seperti waktu itu. Hanya saja
alkohol tidak bersalah kali ini.
“Bagaimana
mereka mendapatkannya?” aku bertanya, ragu-ragu dan jantungku
berada di jempol kakiku. Atau mungkin hanya itulah yang tersisa dari
harga diriku yang comapang -camping.
David
menatapku sedih. “Aku tidak tau. Kita berada di ruangan privat.
Ini seharusnya tidak terjadi tetapi orang-orang ditawari banyak uang
untuk hal semacam ini”.
Aku
mengangguk dan menyerahkan ponsel kembali ke Mal. Tanganku bergetar.
“beiklah. Yah....”.
Mereka
berdua hanya menatapku , wajah tegang, menunggu ku menangis atau
semacamnya. Tidak akan terjadi.
“Tak
apa”. Aku melakukan hal terbaik untuk mempercayai kata-kataku.
“Tentu
saja” kata Mal.
David
memasukan tangannya ke sakunya. “bahkan itu bukan gambar yang
jelas”.
“Tidak,
benar”. Aku setuju. Rasa iba di matanya lebih dari yang bisa aku
tanggung. “permisi sebentar”.
Untungnya,
kamar mandi terdekat hanya berjarak sedikit saja. Aku mengunci pintu
dan duduk di tepi jacuzzi, berusaha memperlambat napasku, berusaha
tenang. Tak ada yang bisa aku lakukan. Foto itu sudah ada di luar
sana. Ini bukanlah kematian ataupun putusan. Itu adalah gambaran
tolol diriku yang berpose mengundang yang menunjukan lebih banyak
kulit daripada yang aku kehendaki, tapi itu memang begitu. Masalah
besar. Terima dan lanjutkan. Terlepas dari kenyataan bahwa semua
orang yang aku kenal kemungkinan akan melihatnya. Hal-hal buruk
telah terjadi dalam sejarah dunia. Aku hanya perlu menetapkannya
dalam konteks dan tetap tenang.
“Ev?”
David mengetuk pintu dengan ringan. “Apakah kau baik-baik
saja”.
“Yep”.
Tidak. Tidak begitu baik.
“ijinkan
aku masuk?”
aku
menatap pintu dengan tatapan kesakitan,
“Please”.
Perlahan,
aku berdiri dan menjentikan kunci. David meringsek masuk dan
menutup pintu di belakangnya. Tak ada kuncitan ekor kuda kali ini.
Rambut panjangnya terurai, membingkai wajahnya. Dia memiliki tiga
anting emas di telingannya bermain cilukba dibelakang rambutnya.
Aku menatap antingnya karena aku tak sanggup menatap matanya. Aku
tidak akan menangis. Sialan apa coba yang salah dengan mataku
akhir-akhir ini? Membiarkan dia masuk adalah sebuah ketololan.
Dengan
cemberutan yang dalam dia menatap ke bawah ke arahku. “maafkan
aku”.
“Ini
bukan salahmu”.
“Yeah,
ini salahku. Harusnya aku lebih baik lagi dalam menjagamu”.
“Tidak,
David”, aku menelan dengan susah payah. “kita berdua mabuk.
Tuhan , ini begitu mengerikan, amat sangatr memalukan”.
Dia hanya
menatapku.
“Maaf”.
“Hey,
kau diizinkan untuk bersedih. Ini adalah momen pribadi.
seharusnyaTak ada apapun diluar sana.
“Tidak”
aku setuju. “aku.... sebenarnya, aku ingin sendirian beberapa
menit”.
Dia
membuat suara menggeram dan tiba-tiba lengannya sudah memelukku, dan
dia menarikku menempel padanya. Dia menangkapku tanpa perlindungan
dan aku terhuyung, hidungku menabrak dadanya. Ini sakit. Tapi dia
beraroma enak. Bersih, lelaki dan wangi. Familiar. Beberapa bagian
diriku mengingat bahwa aku pernah sedekat ini dengannya dan ini
menenangkan. Sesuatu dalam pikiranku berkata 'aman'. Tapi aku tak
bisa mengingat bagaimana dan mengapa.
Sebuah
tangan menepel di atas punggungku.
“maaf”
katanya. “aku sungguh minta maaf”.
Kebaikannya
terlalu banyak. Air mata tolol merembes. “aku bahkan sulit untuk
memperlihatkan bokongku ke orang-orang dan sekaramg malah sudah ada
di seluruh internet”.
Dia
menyandarkan kepalanya di atas kepalaku,meranggkul erat saat aku
merogoh masuk ke dalam kaosnya. Memiliki sesorang untuk dijadikan
pegangan. Aku akan baik-baik saja. Jauh di lubuk hatiku, aku tau
itu akan terjadi. Tapi saat ini aku tak bisa melihat jalanku dengan
jelas. Berdiri disana dengan lengannya di tubuhku terasa benar.
Aku tidak
tau kapan kami mulai berayun. David mengayunkan dari sisi ke sisi
seolah kami sedang menari dengan lagu yang lambat. Godaan yang luar
biasa untukku untuk tetap seperti ini dengan wajahku menekan bajunya
itu adalah yang membuatku melangkah mundur, aku manarik diriku.
Tangannya melekat ringan di pinggulku, jkoneksi yang tidak sedikitpun
putus.
“Thanks”.
“tak
apa”, di bagian depan koasnya terdapat cetakan lembab, bakasku.
“bajumu
basah semua”.
Dia
mengangkat bahu.
Aku tipe
jelek sangat menangis. Dan itu adalah anugrahku. Cermin
menegaskannya, mata semerah mata setan dan pipi bakpau merah jambu
yang memerah. Dengan senyum canggung aku melangkah menjauh darinya
dan tangannya jatuh kembali ke sisi tubuhnya. Aku membasuh wajahku
dengan air dan mengeringkannya dengan handuk sementara dia berdiri
diam, mengerutkan kening.
“ayo
kita pergi berkendara”. Katanya.
“Sungguh?”
aku memberinya tatapan ragu . David dan aku? Mengingat situasi
pernikahan dan perjumpaan kami sebelumnya , tampaknya itu bukanlah
rencana yang bijaksana.
“Ya”,
dia menggosok-gosokkan telapak tangannya, tampak bersemangat. “hanya
kau dan aku. Kita akan keluar dari sini untuk sementara waktu”.
“David,
seperti yang kau katakan diluar sana, kurasa itu bukan ide yang
bagus”.
“Kamu
ingin tinggal di LA?” Dia mendengus.
“Dengar,
kau benar-benar manis sejak melangkah dari pintu itu. Yah, selain
bagian menceritakan pada Mal bahwa aku memuntahimu. Itu tidak
berguna. Tapi dalam dua puluh empat jam sebelumnya, kau mencampakkan
ku sendirian di dalam sebuah ruangan, menuduhku mencoba untuk merayu
saudaramu dan menyodorkan sekumpulan pengacaramu padaku”.
Dia diam
saja.
“bukannya
juga kau yang pergi dengan penggemarmu bagian dari masalahku. Tentu
saja”.
Dia
berbalik, dan melangkah ke ujung lain kamar mandi, gerakannya
kencang, marah. Walaupun kamar mandi ini ukurannya lima kali lebih
besar dari sebelumnya, ini tetap saja tidak menyisahkan cukup banyak
ruang untuk pertunjukan seperti ini. Dan dia berada diantaraku dan
pintu. Karena keluar tiba-tiba tampaknya adalah gerakan yang pintar.
“aku
hanya meminta pada mereka untuk mengatur beberapa dokumen”,
katanya.
“dan
mereka melakukannya”. Aku meletakkan tanganku di pinggulku,
berdiri tegak. “aku tak menginginkan uangmu”.
“aku
mendengarmya”. Wajahnya benar-benar kosong. Pernyataan ku tidak
menimbulkan rasa tidak percaya ataupun wajah mengejek yang cocok
untuk penggangu. Beruntung baginya. Aku yakin dia tidak percaya,
tapi setidaknya dia mau berpura-pura. “mereka sedang menyusun
dokumen baru”.
“bagus”
a ku menatapnya. “kau tak perlu membayarku. Jangan membuat asumsi
seperti itu. Jika kau ingin tau sesuatu, tanyakan. Dan aku tak akan
pernah menjual ceritamu pada pers. Aku tak akan melakukan itu”.
“Okay”,
dia merosot di dinding, dan menyandarkan kepalanya untuk tatapan
kosong. “Maaf”, katanya pada langit-langit. Aku yakin tukang
plaster sangat menghargainya.
Ketika
aku tidak bereaksi, tatapannya akhirnya beralih padaku. Itu harusnya
salah atau tidak bermoral, untuk terlihat sangat tampan. Orang
normal tidak akan bertahan. Jantungku menyelam setiap kali aku
melihatnya. Bukan, menyelam tidak bisa menggambarkan itu. Jantungku
tenggelam.
Dimana
Lauren yang akan memberitahuku bahwa aku melodramatis ketika aku
membutuhkan dia?
“aku
minta maaf, Ev” ulangnya “aku tau dua puluh empat jam terakhir
adalah omong kosong. Menawarkan keluar dari sini adalah caraku untuk
membuat segalanya lebih baik”.
“Terima
kasih”kataku. “dan untuk datang kesini untuk mengecekku”.
“Tidak
masalah”.dia menatapku, matanya tanpa perlindungan untuk sebentar.
Dan kejujuran dalam pandangannnya mengubah banyak hal untukku,kilatan
singkat sesuatu yang lebih. Kesedihan atau kesepian, aku tak tau.
Semacam kelelahan ada disana dan menghilang sebelum aku bisa
mengerti. Tapi itu meninggalkan jejak.ada sesuatu yang lebih besar
selain wajah tampan dan nama besar. Aku perlu mengingat itu dan
tidak membuat asumsi sendiri.
“kau
benar-banar ingin pergi?” tanyaku “sungguh?”.
Matanya
cerah karena senang. “kenapa tidak?”.
Aku
memberinya senyum hati-hati.
“Kita
bisa membicarakan apapun yang kita butuhkan, hanya kau dan aku. Aku
perlu melakukan beberapa telepon kemudian kita akan pergi, oke?”
“Terima
kasih. Dengan senang hati”.
Dengan
mengangguk , dia membuka pintu dan melangkah keluar. Dia dan Mal
berbicara diam-diam tentang sesuatu di ruang duduk. Aku mengambil
kesempatan untuk mencuci muka sekali lagi dan menyisir rambutku untuk
keberuntungan.saatnya aku mengambil kendali. Sebenarnya, itu sudah
terlambat. Apa yang telah aku lakukan, terpental dari satu bencana
ke bencana berikutnya? Itu bukanlah diriku. Aku suka memegang
kendali, memiliki rencana. Saat nya berhenti untuk mengkhawatirkan
apa yang tidak bisa aku ubah dan mengambil tindakan tegas dari apa
yang aku bisa. Aku memiliki uang yang di tabung. Suatu saat mobil
malangku akan mati dan aku harus merencanakannya. Karena sekali
musim dingin tiba, dan segalanya menjadi dingin, abu-abu dan vasah,
berjalan tidak akan terlalu menari. Pemikiran untuk mengunakan
tabunganku tidak membuatku puas dengan kegembiraaan, tapi hanyalah
penanggulangan bencana dan semua itu.
Pengacara
David akan menyusun dokumen minus uang dan aku akan menandtanganinya.
Tidak ada gunanya mengkhawatirkan tentang hal itu. Bagaimanapun,
keluar dari mata publik selama beberapa minggu adalah diluar
kemampuanku. Aku hanya perlu berhenti dan berpikir daripada
bereaksi. Aku adalah gadis dewasa dan aku bisa mengurus diriku
sendiri. Aku akan pergi untuk berkendara bersamanya, memilah-milah
hal dasar, dan pergi, pertama -tama adalah pergi liburan
sembunyi-sembunyi lalu kembali ke kehidupanku yang apik dan teratur
tanpa intervensi bintang Rock.
Benar.
“Beri
aku kunci Jeep”, kata David, berhadapan dengan Mal di ruang duduk.
Mal
meringis. “aku bercanda tentang memberikan mobil”.
“Ayolah.
Berhentilah mengomel. Aku mengendarai motor dan aku tidak punya
helm untuknya”.
“baiklah”
dengan wajah masam Mal menjatuhkan kunci mobilnya ke tangan David
yang terulur. “Tapi hanya karena aku menyukai istrimu. Jangan
sampai tergores, kau dengar”.
“Ya,ya”.
David berbalik dan melihatku. Sebuah senyuman meringkuk di bibirnya.
Kecuali
pada hari pertama di lantai kamar mandi, aku tak pernah melihatnya
tersenyum, bahkan tak pernah melihat yang mendekati senyuman.
Jejak senyum itu membuatku semangat dari dalam. Lututku bergetar.
Ini tak mungkin normal. Seharusnya aku tak merasa hangat dan bahagia
hanya karena dia. Aku tak boleh memiliki perasaan apapun untuknya
sama sekali. Tidak jika aku ingin keluar dari sini dalam keadaan
utuh.
“Terima
kasih sudah menemaniku hari ini, Mal” kataku.
“kehormatan
ini milikku”. Dia tersenyum. “Yakin kau ingin pergi dengannnya,
Child bride? Si kotoran kerbau yang membuatmu menangis.
Akulah yang membuatmu tertawa”.
Senyum
David menghilang dan dia melangkah ke sisiku. Tangannya menempel
dengan ringan di panggkal tulang belakangku, hangat bahkan melewati
lapisan pakainku. “Kami keluar dari sini”.
Mal
menyeringai dan mengedipkan mata padaku.
“Kemana
kita akan pergi?” aku bertanya pada David.
“Apakah
itu penting? Ayo kita berkendara saja”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar