Balok kayu dan
bebatuan muncul dari balik pepohonan, bertengger di tepi jurang.
Tempat itu menakjubkan dengan tingkatan yang berbeda dari rumah yang
di LA. Dibawah, lautan sibuk dengan usahanya menjadi spektakuler.
David keluar dari
mobil dan berjalan ke rumah, mengotak atik satu set kunci dari
sakunya. Selanjutnya, dia membuka pintu depan, lalu berhenti untuk
memencet-mencet kode keamanan.
Kau kemari?”
Teriaknya.
Aku berlama-lama di
samping mobil, memandang rumah megah itu. Dia dan aku sendirian. Di
dalam sana. Hmmm, Ombak menghantam bebatuan di bawah sana. Aku
bersumpah bisa mendengar iringan orkestra yang sayup-sayup dari
kejauhan. Tempat ini jelas penuh dengan atmosfir. Dan suasana ini
adalah romansa murni.
“ada masalah?”
David kembali ke jalan berbatu ke arahku.
“Tidak ada.... aku
hanya”.
“Bagus”, Dia
tidak berhenti. Aku tidak tau apa yang terjadi hingga aku merasakan
diriku menggantung dari atas ke bawah diatas bahunya dengan
panggulan seperti petugas pemadam kebakaran.
“Sialan. David”.
“Relax”.
“Kau akan
menjatuhkanku!”.
“Aku tidak akan
menjatuhkanmu. Berhenti menggeliat”, katanya, lengannya menekan
bagian belakang kakiku. “ berikan kepercayaan padaku”.
“apa yang sedang
kau lakukan?” aku mencengkaram tangannku di atas bokong celana
jeans nya.
“Ini cara
tradisional untuk membawa pengantin melewati ambang pintu”.
“Tidak seperti
ini”.
Dia menepuk sebelah
bokongku, dimana namanya tertulis disana. “ kenapa juga kita
harus memulai dengan cara tradisional sekarang, huh?”.
“kupikir kita cuma
teman”.
“ini bersahabat.
Dan kau juga harus berhenti merasakan bokongku, kurasa, atau aku akan
mendapat pemahaman yang salah tentang itu. Khususnya setelah kecupan
di mobil”.
“aku tidak
merasakan bokongmu”, aku mengoceh dan berhenti menggunakan
bokongnya sebagai pegangan. Seakan ini salahku posisi ini membuatku
tidak punya pilihan lain selaim berpegangan pada pantatnya yang
padat.
“Please, kau di
seluruh tubuhku. Ini menjijikan”.
Aku tertawa meskipun
itu untuk diriku sendiri. “kau menempatkanku di atas bahumu,
idiot. Tentu saja aku diseluruh tubuhmu”.
Menaiki tangga yang
kami tempuh, lalu ke teras kayu yang luas dan masuk ke dalam rumah.
Lantai kayu yang keras dengan warna coklat yang pekat serta
kotak-kotak pindahan, banyak dan amat banyak kotak-kotak pindaham.
Aku tidak bisa melihat yang lain lagi.
“ini bisa jadi
masalah”, katanya.
“ kenapa?”
tanya ku, masih tergantung dari atas ke bawah, rambutku menutupi
pandanganku.
“Berpegangan”.
Dengan hati-hati, dia memberdirikanku, menempatkan kakiku di lantai.
Seluruh darah bergegas turun dari kepalaku dan aku terhuyung. Dia
meraih sikuku, dan memelukku tegak.
“oke?”
tanyannya.
“Ya. Ada
masalah?”.
“kupikir akan ada
lebih banyak perabot?”.
“kamu belumpernah
kesini sebelumnya?”.
“aku sibuk”.
Selain kotak dan ada
lebih banyak kotak lagi. Mereka ada dimana-mana. Kami berdiri di
ruang tengah yang besar dengan perapian batu besar di seberang
dinding. Kalian bisa memanggang sapi utuh disana jika kalian sangat
ingin. Tangga melingkar mengarah ke lantai atas dan satu lagi
mengarah ke bawah yang satu ini. Ruang makan dan dapur terbuka di
sebalah ruangan ini. Tempat ini terdiri dari lantai dan
langit-langit kaca, garis-garis batang kayu yang rapih, atau bebatuan
abu-abu. Perpaduan sempurna antara teknik desain lama dan baru. Ini
menakjubkan. Tapi tampaknya semua tempat yang dia tempati selalu
menakjubkan..
aku bertanya-tanya
apa yang akan dia lakukan di dalam apartemen kecil dan kumal milikku
dan Lauren. Pikiran konyol. Seakan dia pernah melihatnya saja.
“Setidaknya ada
kulkas”. Dia membuka pintu stainles yang besar . Setiap inchi
dari ruangnya terisi makanan dan camilan. “Luar biasa”.
“siapa “Mereka”?”.
“Ah, orang yang
merawat tempat ini untukku. Temanku. Mereka juga telah merawat
tempat ini sejak pemilik yang terdahulu juga. Aku menelpon mereka,
meminta mereka untuk menyiapkan beberapa hal untuk kita”. Dia
mengambil corona dan membukanya. “bersulang”.
Aku tersenyum,
bingung. “untuk sarapan?”.
“aku sudah terjaga
selama dua hari. Aku ingin bir dan aku ingin tidur. Man, kuharap
mereka berpikir untuk menaruh tempat tidur”. Dengan bir di
tangan, dia kembali ke ruang duduk dan menaiki tangga. Aku
mengikutinya, penasaran.
Dia mendorong
pintu kamar satu demi satu. Ada empat semuanya dan masing-masing
memiliki kamar mandi sendiri, karena orang keren , dan kaya tidak
berbagi. Di pintu terakhir di ujung aula, dia berhenti dan merosot
lega. “Terimakasih untuk itu”.
Sebuah tempat tidur
king size dengan seprei putih bersih menunggu di dalam. Dan ada
beberapa kotak lagi.
“ada apa dengan
semua kotak-kotak ini?” tanyaku. “apakah mereka hanya
meletakkan satu tempat tidur?”.
“terkadang aku
membeli beberapa barang saat aku berpergian. Terkadang orang-oramg
memberiku beberapa barang. Aku baru saja mengirimkannya kesini
selama beberapa tahun terakhir. Berkelilinglah jika kau mau. Dan
Ya, hanya ada satu tempat tidur”. Dia meneguk bir lagi. “kau
berpikir aku terbuat dari uang?”.
Aku terengah-engah
karena kebanyakan tertawa. “Kata-kata dari seorang pria yang
memaksa Cartier buka sehingga aku bisa membeli cincin”.
“Kamu ingat itu?”
Dia tersenyum di sekitar botol bir.
“Tidak, aku hanya
berasumsi tentang waktu pada malam itu”. Aku berjalan ke dinding
jendela. Pemandangan yang luar biasa.
“Kau mencoba
memilih sesuatu yang menyebalkan. Aku tak percaya”. Dia
menatapku, tapi pandangannya menjauh.
“Aku melemparkan
cincin itu ke para pengacara”.
Dia tersentak dan
menatapi sepatunya. “Ya, aku tau”.
“Maafkan aku.
Mereka membuatku sangat marah”.
“Pengacara
melakukan itu”. Dia meneguk birnya lagi. “Mal bilang kau
mengayunkan pukulan padanya”.
“Tidak kena”.
“Mungkin itu yang
terbaik. Dia idiot tapi dia bermaksud baik”.
“Ya, dia sangat
baik padaku”. Menyilangkan lenganku aku memeriksa sepanjang
ranjangnya, penasaran akan kamar mandinya. Jacuzzi milik Mal aku
meringkuk malu. Tempat ini sungguh luar biasa besar. lagi=lagi
perasaan bahwa aku tidak seharusnya disini, bahwa tak ada satu pun
yang pas dengan dekorasinya, menghantamku dengan keras.
“Itu sebuh
kerutan yang besar, kawan”, katanya.
Aku mencoba
tersenyum. “Aku masih mencoba mecari tau. Maksudku, apa yang
membuat kita mengambil resiko di Vegas? Karena dirimu tidak bahagia?
Dan selain Mal, dirimu di kelilingi bajingan?”.
“Persetan”, dia
membiarkan kepalanya menengadah ke belakang. “apakah kita harus
berbicara tentang malam itu?”.
“aku hanya mencoba
memahami”.
“bukan”.
Katanya “Bukan itu, oke?”.
“Lalu apa?”.
“kita berada di
Vegas,EV. Hal-hal tak terduga terjadi”.
Aku menutup mulut.
“aku tidak
bermaksud....” Dia mengusap tangan ke wajahnya. “Sialan,
dengar, jangan berpikir bahwa mabuk dan berpesta dan itulah
satu-satunya alasan terjadinya semua ini. Mengapa kita begini. Aku
tak ingin kau berpikir seperti itu”.
Aku tertegun. Itu
satu-satunya alasan yang masuk akal. “Tapi itulah yang aku
pikirkan. Dan sungguh itulah yang aku pikirkan. Itu satu-satunya
alasan yang terasa cocok di kepalaku. Ketika gadis sepertiku
terbanun dan sudah menikah dengan pria sepertimu, apalagi menurutmu
yang akan dia pikirkan?Tuhan, David, lihat dirimu. Kau tampan, kaya,
sukses. Kakakmu benar, ini tak masuk akal”.
Dia menghadapku,
wajahnya tegang. “Jangan lakukan itu. Jangan merendahkan dirimu
seperti itu”.
Aku hanya mendesah.
“Aku serius.
Jangan berani-beraninya kau memikirkan apa yang bajingan itu katakan,
menegrti? Kau tidaklah tidak berarti”.
“Lalu beri aku
penjelasan. Katakan padaku seperti apa diantara kita malam itu”.
Dia membuka
mulutnya, kemudian secepat nya menutupnya kembali. “Nah, aku tak
ingin mengeruk semuanya, kau tau, air di bawah jembatan atau apapun.
Aku hanya tak ingin kau berpikir bahwa semuanya yang terjadi karena
alkohol atau apapun, itu saja. Sejujurnya, saat itu kau tidak
terlihat semabuk itu”.
“David, kau
menghidar. Ayolah. Ini tidak adil bahwa kau mengingat dan aku
tidak.
“Tidak”.
Katanya, dengan suara yang kasar, dingin, dengan cara yang belum
pernah aku dengar. Dia menjulang di atasku, rahannga mengetat.
“Tidak adil bahwa aku ingat dan kau tidak, Evelyn”.
Aku tak tau apa yang
harus ku katakan..
“Aku keluar”,
kata-katanya benar, dia menerjang keluar. Suara langkah yang berat
di sepanjang koridor dan menuruni tangga. Aku berdiri menatap dia.
**
aku memberi waktu
untuk dia menenangkan dia sebelum menyusulnya ke pantai. Cahaya pagi
sudah meninggi, langit biru yang bersih terpapar. Itu sangat indah.
Udara laut yang asin membersihkan pikiranku sejenak. Kata-kata
David menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada yang telah
terjawab. Menyelesaikan puzzle tentang malam itu memenuhi
pikiranku. Aku mengambil dua kesimpulan. Dan keduanya membuatku
khawatir. Pertama, malam di Vegas special untuknya. Aku yang
mengorek-orek dan meremehkan membuat dia kesal. Yang kedua adalah,
aku merasa, dia tidak terlalu mabuk. Ini terdengar seakan dia tau
dengan benar akan apa yang dia lakukan. Yang mana dalam kasus ini,
bagaimana dia merasakan keesokan harinya? Aku telah menolak dia
dan pernikahan kami tak terkendali. Dia pasti sangat sakit hati,
terhina.
Ada alasan yang
bagus untuk prilakuku. Namun, tetatp saja, sangat tidak bijaksana.
Aku tak menhenal David saat itu. Tapi aku akan memulainya sekarang.
Dan semakin sering aku berbicara dengannya, semakun aku menyukainya.
David duduk di batu
dengan bir di tangan, menatap ke laut. Angin laut yang dingin
menerbangkan rambut panjangnya. Kain kaosnya di tarik ketat ke
punggungnya yang lebar. Lututnya tertekuk dengan lengan yang memeluk
lututnya.. itu membuat dia terlihat lebih muda dari seharusnya,
terlihat rapuh.
“Hai”. Kataku,
berjongkok disampingnya.
“Hey”,Matanya
memincing ke arah matahari, dia menatapku, wajahnya terlindung.
“Aku minta maaf
karena terlalu mendorongmu”.
Dia mengangguk,
balas menatap air. “Tak apa”.
“Aku tak bermaksud
membuatmu kesal”.
“Jangan
khawatirkan tentang itu”.
“Apakah kita masih
berteman?”.
“Dia terengah.
“Tentu”.
Aku duduk
disampingnya, mencoba mencari tau apa yang harus di katakan
selanjutnya, apa yang akan membuat hal-hal menjadi benar diantara
kami. Tak ada yang bisa aku katakan untuk memperbaiki tentang Vegas.
Aku butuh waktu dengannya. Jam yang berdenting tentang dokumen
pembatalan berdenting dengan lebih keras setiap menitnya. Itu
membuatku takut, memikirkan waktu kami akan terpotong. Semuanya
akan berakhir dan aku tak bisa melihat atau berbicara dengannya lagi.
Bahwa aku tak bisa memecahkan teka-teki antara kami. Kulitku
kedingin karena sesuatu yang bukan hanya sekedar angin.
“Sialan. Kau
kedinginan”. Melingkarkan lengan di bahuku, menarikku lebih dekat
ke arahnya.
Dan aku semakin
mendekat, dengan gembira. “Terima kasih”.\
Dia meletakkan botol
bir, mengalungkan kedua tangannya di tubuhku. “mungkin seharusnya
kita kedalam”.
“sebentar lagi”.
Jempolku mengusap jariku, gelisah. “Terima kasih telah membawaku
kesini. Ini tempat yang indah”.
“Mm”.
“David, sungguh,
aku sangat menyesal”.
“Hei”, dia
meletakan jari di bawah daguku, mengangkatnya. Kemarahan dan sakit
hati itu hilang, digantikan kebaikannya. Dia sekedar memberiku
gerakan sedikit bahunya. “biarkan saja”.
Idenya benar-benar
membuatku panik. Aku tak ingin melepaskannya. Kenyataan itu
mengejutkan. Aku menatapnya, membiarkan nya meresap. “aku tidak
mau”.
Dia berkedip.
“Baiklah. Kau ingin menebusnya untukku?”.
Aku ragu kami
membicarakan hal yang sama, tapi aku mengangguk juga.
“aku punya ide”.
“Katakan”.
“berbagai hal
berlarian kecil di kepalamu, bukan?”.
“kurasa”.
Kataku.
“jadi kalau aku
menciummu, mungkin kau akan ingat apa yang kita suka saat bersama”.
Aku berhenti
bernapas. “kau ingin menciumku?”
“Kau tak ingin aku
menciummu?”.
“Bukan”, kataku
dengan cepat. “aku tak apa dengan dirimu yang menciumku”.
Dia sedikit kembali
tersenyum. “sungguh sangat murah hati”.
“dan ciuman ini
untuk tujuan penelitian yang bersifat ilmu pengetahuan.
“Yep. Kau sangat
ingin tau tentang apa yang terjadi malam itu dan aku sungguh tak
ingin membicarakannya. Jadi, aku menyadari, lebih mudah untuk
semuanya jika kau mungkin bisa mengingatnya sendiri”.
“itu masuk akal”.
“luar biasa”.
“sampai sejauh apa
kita malam itu?'.
Tatapannya menuju ke
leher tanktopku dan lekukan payudaraku. “base kedua”.
Masih berpakaian?”
“lepas. Kita
berdua topless. Berpelukan dengan bagian atas telanjang”, dia
mengamatiku saat aku menyerap informasi itu, wajahnya dekat denganku.
“bra?”.
“tentusaja
tidak””.
“Oh”, aku
menjilay bibirku, kesulitan bernapas. “jadi, kau pikir kita harus
melakukan ini?”.
“kau terlalu
berlebihan memikirkan ini”.
“Maaf”.
“dan berhenti
meminta maaf”.
Mulutku terbuka
untuk mengulang kalimat itu lagi, tapi aku lalu menutupnya.
“tak apa. Kau akan
memahami itu”.
Otakku tergaguk dan
aku menatap mulutnya. Dia memiliki mulut yang paling indah, dengan
bibir penuh yang sedikit ditarik di tepinya. Menakjubkan.
“katakan apa yang
kau pikirkan?” katanya.
“kau bilang jangan
berpikir. Dan sejujurnya, aku tidak memikirkan apapun”.
“Bagus”,
katanya, bahkan lebih mendekat. “itu bagus”.
Bibirnya meneyntuh
bibirku, membuatku tertarik. Lembut tapi tegas, tanpa ragu-ragu.
Giginya bergerak dengan bibir bawahku. Lalu dia menghisap bibir
bawahku. Dia tak mencium seperti bocah laki-laki yang ku kenal,
meskipun aku tak bisa mendefinisikan perbedaanya. Ini hanya lebih
baik dan....lebih banyak. Jauh lebih banyak. Mulutnya menekan
lidahku, dan lidahnya masuk ke mulutku, menggosok-gosok bibirku.
Tuham, dia terasa nikmat. Jemarinya meluncur ke rambutku seoalah dia
selalu ingin. Dia menciumku sampai aku tak bisa mengingat apapun
sebelumnya. Seakan tak ada yang penting. Tangannya menyelinap di
leherku, memegangiku tetap di tempat. Ciuaman ini terus berlanjut.
Dia membuatku bercahaya dari kepala hingga ke ujung kaki. Aku tak
pernah menginginkan ini untuk berakhir.
Dia menciumku hingga
kepalaku pening dan berpegangan untuk sebuah kehidupan. Kemudian
dia menarik diri, dan menempelkan dahinya di atas dahiku sekali lagi.
“kenapa kau
berhenti?” tanyaku ketika aku sudah bisa merangkai kalimat yang
koheren. Tanganku menarik dia, mencoba membawanya kembali ke
mulutku.
“Shh. Relax”,
dia menghirup napas dalam. “apakah kau mengingat sesuatu? Sesuatu
yang familiar untukmu?”.
Ciuman ku membuat
pikiranku menjadi kosong. Sialan. “Tidak. Kurasa tidak”.
“itu sangat
disayangkan”. Sebuah gundukan muncul diatas alisnya. Titik gelap
dibawah amta birunya yang indah sepertinya menggelap. Aku akan
mengecewakannya lagi. Hatiku mencelos.
“Kau terlihat
lelah”, kataku.
“Ya, mungkin sudah
waktunya menutup mata”. Dia menanamkan ciuman cepat di dahiku.
Apakah itu ciuman seorang teman atau lebih? Aku tak tau. Mungkin itu
juga untuk tujuan ilmiah.
“Kita sudah
mencobanya, bukan?” katanya.
“ya. Kita telah
mencobanya”.
Dia bangkit berdiri,
mengambil botol bir nya. Tanpa dia yang menghangatkanku angin
berhembus langsung ke arahku, mengguncang tulangku. Itu adalah
ciuman yang benar-benar mengguncangku. Itu telah menghancurkan
pikiranku yang baik-baik. Memikirkan, aku melakukan ciuman seperti
itu dan melupakannya. Aku butuh transpalantasi otak secepatnya.
“apa kau tak
keberatan jika aku ikut denganmu?” tanyaku.
“tidak sama
sekali”. Dia mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri.
Bersama, kami
berjalan kembali ke rumah, menaiki tangga menuju kamar tidur utama.
Aku melepaskan sepatu ku saat David pun sedang melepas alas kakinya.
Kami berbaring di atas kasur, tanpa saling menyentuh. Kami berdua
menatap langit-langit seakan mereka bisa memberikan jawaban.
Aku tetap diam.
Selama sekian menit. Pikiranku nyalang dan menggumam padaku.
“kurasa aku sedikit tau lebih banyak kenapa kita berakhir dengan
menikah”.
“iyakah?” dia
menengokkan wajahnya untuk menghadapku.
“Ya” aku tak
pernah dicium seperti itu sebelumnya. “aku mengerti”.
“kemarilah”.
Lengan yang kuat melingkari pinggangku, menyeretku ke tengah tempat
tidur.
“David”, aku
meraihnya dengan senyum gugup. Lebih dari siap untuk lebih banyak
ciuman. Lebih banyak darinya.
“berbaringlah “
ujarnya, tangannya memutarku hingga dia bervaring di belakangku.
Satu lengan menyelip di bawah leherku dan yang lainnya di atas
pinggangku, menarikku lebih dekat dengannya. Pinggulnya tepat di
bokongku.
“apa yang sedang
kita lakukan?” tanyaku bingung.
“bercumbu. Kita
melakukan itu selama beberapa saat. Sampai kamu merasa mual”.
“Kita bercumbu?”.
“Yep” katanya.
“tahap kedua untuk pemulihan ingatan, bercumbu. Sekarang
tidurlah”.
“aku baru saja
terbangun sejam yang lalu”.
Dia menekan wajahnya
ke rambutku dan bahkan meletakkan kakinya melintang di atas kakiku
dengan pengaturan yang baik. “kurang beruntung. Aku lelah dan aku
ingin bercumbu. Denganmu. Dan setau ku, kau berhutang padaku.
Jadi kita bercumbu”.
“mengerti”.
Nafas nya hangat di
sisi leherku, membuatku merinding.
“Santai. Kau
tegang sekali”, lengannya menegang di tubuhku.
Setelah beberapa
saat, aku meraih tangan kirinya, menjalarkan bantalan jariku di
bulu-bulu halus tangannya. Menggunakannya sebagai mainan untuk
kegelisahanku. Ujung-ujung jarinya keras. Ada kapalan di bawah ibu
jarinya dan satu lagi di bagian bawah jari-jarinya dimana mereka
bergabung dengan telapak tangannya. Dia jelas menghabiskan banyak
waktu dengan memegang gitar. Dibagian belakang jari-jarinya,
terdapat tato kata “free”. Di tangan kananya ada kata “live”.
Aku tak bisa
berhenti bertanya-tanya apakah pernikahan akan melatnggar kebebasan
itu. Sebauh tanda ala jepang dan naga berbelit melingkar di
lengannya, warna dan detailnya sangat menakjubkan.
“beritahu aku
tentang jurusan kuliahmu?” katanya. “kau kuliah arsitektur ,
bukan?”.
“Ya”, kataku,
terkejut karena dia tau. Tampaknya aku memberitahunya saat di Vegas.
“sama seperti ayahku”.
Dia menautkan jari
jarinya dengan jari-jariku, memberikan sihir pada kegelisahanku.
“apa kau selalu
ingin memainkan gitar”, tanyaku, mencoba untuk tidak terlalu
teralih dari cara dia memelukku.
“Yeah, musik
adalah satu-satunya hal yang masuk akal untukku. Tak terpikirkan
untuk melakukan yang lain”.
“Huh” , pasti
menyenangkan, memlakukan sesuatu yang memang passion. Aku menyukai
gagasan menjadi seorang arsitek. Banyak permainan masa kecilku yang
melibatkan balok-balok dan menggambar. Tapi aku tak merasa terdorong
untuk melakukannya, tepatnya. “aku sama sekali tak tau nada”.
“itu menjelaskan
banyak”, dia tergelak.
“bersikap baiklah.
Aku juga tak pernah bagus dalam olahraga. Aku suka menggambar,
membaca dan menonton film. Dan aku suka berpergian, bukan berarti
aku telah melakukan banyak hal”.
“Yeah?”
“Mm”.
Dia bergeser di
belakangku, merasa nyaman. “Ketika aku melakukan perjalanan itu
semua selalu tentang show. Tidak menyisahkan banyak waktu untuk
melihat-lihat”.
“Kasihan”.
“Dan ku akui
terkadang aku merasa kesakitan. Kadang-kadang itu menjadi buruk.
Selalu ada tekanan pada kami, dan aku tak selalu bisa melakukan apa
yang aku inginkan. Sebenarnya, aku siap untuk memperlambat
segalanya, lebih banyak tinggal di rumah”.
Aku tak berkata
apapun, memutar kata-katanya dalam pikiranku.
“aku menjadi
terlalu tua untuk pesta-pesta setelah beberapa saat. Orang-orang di
sekeliling disetiap waktu ku”.
“aku berani
bertaruh” Namun , kembali ke LA dia masih memiliki para Groupie
yang menempel padanya dan membujuknya dengan segala rayu. Jelas
bagian dari gaya hidupnya yang itu masih menarik. Bagian yang aku
tak yakin aku bisa bersaing bahkan jika aku mau, “Apakah kau tidak
melewatkan beberapa dari itu”.
“Sejujurnya, itu
semua sudah berakhir dalam waktu yang lama, aku tak tau”.
“well, kau
memiliki rumah yang keren untuk di tinggali”.
“Hmm”, dia diam
selama beberapa saat. “Ev?”.
“Yeah?”.
“jadi arsitek
adalah idemu atau ayahmu ?”.
“aku tak ingat”
aku ku. “kami selalu memperbicangkan itu. Kakakku tak pernah
tertarik untuk mengambil alih. Dia selalu terlibat perklahian dan
bolos”.
“kau bilang kau
juga mengalami waktu yang sulit saat di sekolah”.
“bukankah setiap
orang juga?” aku menggeliat, berbalik agar aku bisa melihat
wajahnya. “aku biasanya tak membicarakan itu dengan orang lain”.
“Kita
membicarakannya. Kau berkata bahwa kau diejek karena ukuran tubuhmu.
Aku berpikir itulah yang membuatmu terlibat dengan teman-temanku.
Faktanya mereka menggertak gadis itu seperti segerombolan anak
sekolah sialan”.
“kurasa itu yang
akan mereka lakukan”. Mengganggu bukanlah subjek yang kusuka untuk
dibicarakan. Terlali mudah, itu mengembalikan segala perasaaan
mengerikan yang berhubungan dengan itu. Namun pelukan David tak
ingin membiarkan itu lolos. “sebagian besar guru hanya
mengabaikannya. Seakan itu adalah kerumitan ekstra yang tidak di
perlukan. Tapi tidak untuk guru yang satu ini, Ms Hall. Dia
membelaku ketika mereka mulai mengejekku atau salah satu anak lain
yang dia temui. Dia sangat hebat”.
“dia terdengar
hebat. Tapi kau tidak benar-benar menjawab pertanyaanku. Apakah kau
ingin menjadi seorang arsitek?”
“Well, itu adalah
apa yang telah aku rencanakan untuk aku lakukan, dan aku, ah, aku
menyukai ide merancang rumah seseorang. Aku tak tau menjadi arsitek
adalah panggilan hidupku, seperti musik untukmu, tapi kupikir aku
bisa bagus di situ”.
“Aku tidak
meragukan itu, sayang”, ujarnya, suaranya lembut namun pasti.
Aku berusaha untuk
tidak membiarkan ucapan kasih sayang ity memporak -porandakanku di
kasur. Kelembutan adalah kuncinya. Aku telah melukainya di Vegas.
Jika aku bersungguh-sungguh tentang ini, tentang menginginkan dia
untuk memberi kita berdua kesempatan, aku harus hati-hati.
Memberinya ingatan yang baik untuk mengganti yang buruk. Ingatan
yang kami berdua bisa bagi kali ini.
“Ev, apa yang
ingin kau lakukan dengan hidupmu?”.
Aku terdiam.
Setelah memberikan tanggapan standar, pemikiran ekstra di perlukan.
Rencana itu sudah ada disana sejak lama dan aku tidak berani
mempertanyakannya. Itu aman dan nyaman untuk ada disana. Tapi David
menginginkan lebih dan aku ingin memberikannya. Mungkin inilah
alasan mengapa aku memberitahunya rahasiaku di Vegas. Sesuatu tentang
pria ini menenggelamkanku dan aku tak ingin melawan. “sejujurnya ,
aku tak tau”.
“tak apa, kau
tau”. Pandangannya beralih padaku. “Kau baru dua puluh satu
tahun”.
“Tapi aku
seharusnya sudah dewasa sekarang, mengambil tanggung jawab untuk
diriku sendiri. Aku seharusnya tau tentang hal ini”.
“kau telah tinggal
dengan temanmu selama beberapa tahun, bukan? Membayar semua
tagihanmu dan masuk kuliah dan semua nya?”
“Ya”.
“jadi bagian
mananya kau tidak bertanggung jawab pada dirimu sendiri?” dia
menyelipkan rambut hitam panjangnya ke belakang telinga,
menyingkirkannya dari wajahnya. “jadi kau mulai masuk ke dalam
arsitektur dan lihat kemana itu membawamu”.
“kau membuatnya
terdengar sederhana”.
“Ya. Kau mending
memilih tetap disitu atau mencoba sesuatu yang lain, lihat bagaimana
itu akan berhasil untukmu. Ini hidupmu. Panggilanmu”.
“apa kau hanya
memainkan gitar??” tanyaku, ingin tau lebih banyak tentang dia.
Ingin topik perbincangan ini beralih dariku. Simpul ketegangan dalam
diriku tidak menyenangkan.
“Tidak” senyum
tersungging di sudut mulutnya- dia tau persis apa yang aku
bicarakan. “Bass dan drum juga. Tentu saja”.
“Tentu saja?”.
“siapapun yang
bisa bermain gitar pasti bisa bermain bass jika mereka mau
memikirkannya. Dan seseorang yang bisa memainkan dua stick dalam
satu waktu bisa bermain drum. Pastiakan untuk memberitahu Mal ,
lain kali ketika kau bertemu dengannya, yeah? Dia akan marag-marah”.
“Mengerti”.
“dan aku
bernyanyi”.
“bernyanyi?”
tanyaku, semakin bersemagat. “maukah kau menyanyikan sesuatu
untukku? Please?”.
Dia membuat suara
yang tidak komunikatif.
“apakah kau
bernyanyi untukku malam itu?”.
Dia memberiku senyum
menyesal. “ya, aku melakukannya”.
“jadi mungkin itu
akan mengembalikan ingatan”.
“kamu akan
menggunakan itu sekarang , bukan? Kapanpun kau menginginkan sesuatu.
Kau akan melemparkan padaku”.
“Hei, kau yang
memulainya. Kau ingin menciumku untuk tujuan ilmiah”.
“itu untuk tujuan
ilmiah. Ciuaman antar teman karena alasan murni logika”.
“itu ciuman yang
sangat friendly, David”.
Senyum malas
menghiasi wajahnya. “yeah”.
“tolong nyanyikan
sesuatu untukku?”
“Oke”, dia
mendengus. “berbaliklah. Kita ada di posisi bercumbu untuk ini”.
Aku meringkuk di
belakangnya dan dia beringsut lebih dekat. Bergelung bersama David
adalah sesuatu yang luar biasa. Aku tak bisa membayangkan sesuatu
yang lebih baik. Sayang nya dia tetap dengan alasan ilmiah. Bukan
berarti aku bisa menyalahkannya. Jika aku adalah dia, aku akan
mewaspadai diriku sendiri.
Suaranya membelaiku,
dalam, serak dengan cara yang terbaik saat menyanyikan balada.
If got this
feeling comes and goes
ten broken
fingers and one broken nose
Dark water very
cold.
I know i'll make
it home.
This sorry sun
has burned the sky.
She's out of
touch and she's very high.
Her bed was made
of stone.
I know i'll break
her throne.
This aching bones
won't hold me up.
My swollen shoes
they have had enough.
These smokestacks
burn them down.
This ocean let it
drown
ketika
dia selesai aku diam. Dia mengguncangku, mungkin mengecekku apakah
aku masih hidup atau tidak. Aku menggoyangkan lengannya sebagai
balasan, tidak berbalik, sehingga dia tidak bisa melihat air mataku
di mataku. Kombinasi dari suaranya dan suasana ballad telah
mempengaruhiku. Aku selalu mempermalukan diriku di depannya,
menangis atau muntah. Kenapa dia mengingikan sesuatu denganku, aku
tak mengerti.
“terima
kasih”, kataku.
“kapanpun”.
Aku
berbaring disana, mencoba menguraikan liriknya. Apa arti dari dia
memilih lagu itu untuk dinyanyikan untukku. “apa judulnya?”.
“Homesick.
Aku menulisnya di album terakhir”. Dia bangun dengan satu
siku,membungkuk untuk memeriksa wajahku. “sialan, aku membuatmu
sedih. Maafkan aku”.
“Tidak.
Itu indah. Suaramu luar biasa”.
Dia
mengerutkan kening, tetapi berbaring kembali, menempelkan dadanya
pada punggungku. “aku akan menyanyikan sesuatu yang bahagia lain
waktu”.
“jika
kau tak keberatan”, aku menekankan bibirku ke punggung tangannya,
ke pembuluh darah yang melintas, dan mengusap rambut gelapnya.
“David?”.
“Hmm?”.
“kenapa
kau tidak bernyanyi di band? Kau memiliki suara yang bagus”.
“aku
sebagai back-up. Jimmy menyukai sorot lampu. Itu lebih ke hal-hal
kesuakaannya”. Jarinya mengait di jariku. “dia tidak selalu
sebajingan sekarang. Aku minta maaf karena dia mengganggumu waktu di
LA. Aku bisa saja membunuhnya karena mengatakan kata-kata kasar
itu”.
“Tak
masalah”.
“Tidak,
bukan, dari wajahnya. Dia tak tau apa yang dibicarakannya”.
Jempolnya bergerak dengan gelisah di tanganku. “Kau cantik. Kau
tak perlu mengubah apapun”.
Aku
tak tau harus berkata apa pada awalnya. Jimmy mengatakan berbagai
hal yang mengerikan dan itu tetap teringat olehku. Lucu bagaimana
hal buruk selalu terjadi.
“Aku
memuntahi dan menangis di dirimu. Kau sungguh tak masalah tentang
itu?” aku bercanda, akhirnya.
“Ya”,
katanya dengan sederhana. “aku menyukai dirimu apa adanya,
melontarkan omong kosong apapun yang terlintas di pikiranmu. Tidak
mencoba untuk mempermainkanku, atau memanfaatkanku. Kau
hanya......bersmaku. Aku menyukaimu”.
Aku
berbaring disana tanpa suara sejenak, tercengang. “Terima kasih”.
“Sama-sama.
Kapanpun , Evelyn. Kapanpun”.
“aku
menyukaimu juga”.
Bibirnya
menyentuh bagian belakang leherku, rasa menggigil melesat di kulitku.
“benarkah?”.
“iya.
Sangat suka”.
“Terima
kasih, sayang”.
Butuh
waktu lama hingga napasnya terartur. Anggota tubuhnya bertambah berat
dan dia diam, tertidur di punggungku. Kakiku kaku karena terkunci
dan tertimpa tapi tidak apa. Aku belum pernah tidur dengan siapapun
sebelumnya, selain karena episode pembagian tempat tidur dengan
Lauren. Rupanya, tidurlah yang akan aku lakukan hari ini.
Sejujurnya,
rasanya enak, berbaring di sampingnya.
Rasanya
benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar