Minggu, 08 April 2018

Lick Chapter 7B

Balok kayu dan bebatuan muncul dari balik pepohonan, bertengger di tepi jurang. Tempat itu menakjubkan dengan tingkatan yang berbeda dari rumah yang di LA. Dibawah, lautan sibuk dengan usahanya menjadi spektakuler.
David keluar dari mobil dan berjalan ke rumah, mengotak atik satu set kunci dari sakunya. Selanjutnya, dia membuka pintu depan, lalu berhenti untuk memencet-mencet kode keamanan.
Kau kemari?” Teriaknya.
Aku berlama-lama di samping mobil, memandang rumah megah itu. Dia dan aku sendirian. Di dalam sana. Hmmm, Ombak menghantam bebatuan di bawah sana. Aku bersumpah bisa mendengar iringan orkestra yang sayup-sayup dari kejauhan. Tempat ini jelas penuh dengan atmosfir. Dan suasana ini adalah romansa murni.
“ada masalah?” David kembali ke jalan berbatu ke arahku.
“Tidak ada.... aku hanya”.
“Bagus”, Dia tidak berhenti. Aku tidak tau apa yang terjadi hingga aku merasakan diriku menggantung dari atas ke bawah diatas bahunya dengan panggulan seperti petugas pemadam kebakaran.
“Sialan. David”.
“Relax”.
“Kau akan menjatuhkanku!”.
“Aku tidak akan menjatuhkanmu. Berhenti menggeliat”, katanya, lengannya menekan bagian belakang kakiku. “ berikan kepercayaan padaku”.
“apa yang sedang kau lakukan?” aku mencengkaram tangannku di atas bokong celana jeans nya.
“Ini cara tradisional untuk membawa pengantin melewati ambang pintu”.
“Tidak seperti ini”.
Dia menepuk sebelah bokongku, dimana namanya tertulis disana. “ kenapa juga kita harus memulai dengan cara tradisional sekarang, huh?”.
“kupikir kita cuma teman”.
“ini bersahabat. Dan kau juga harus berhenti merasakan bokongku, kurasa, atau aku akan mendapat pemahaman yang salah tentang itu. Khususnya setelah kecupan di mobil”.
“aku tidak merasakan bokongmu”, aku mengoceh dan berhenti menggunakan bokongnya sebagai pegangan. Seakan ini salahku posisi ini membuatku tidak punya pilihan lain selaim berpegangan pada pantatnya yang padat.
“Please, kau di seluruh tubuhku. Ini menjijikan”.
Aku tertawa meskipun itu untuk diriku sendiri. “kau menempatkanku di atas bahumu, idiot. Tentu saja aku diseluruh tubuhmu”.
Menaiki tangga yang kami tempuh, lalu ke teras kayu yang luas dan masuk ke dalam rumah. Lantai kayu yang keras dengan warna coklat yang pekat serta kotak-kotak pindahan, banyak dan amat banyak kotak-kotak pindaham. Aku tidak bisa melihat yang lain lagi.
“ini bisa jadi masalah”, katanya.
“ kenapa?” tanya ku, masih tergantung dari atas ke bawah, rambutku menutupi pandanganku.
“Berpegangan”. Dengan hati-hati, dia memberdirikanku, menempatkan kakiku di lantai. Seluruh darah bergegas turun dari kepalaku dan aku terhuyung. Dia meraih sikuku, dan memelukku tegak.
“oke?” tanyannya.
“Ya. Ada masalah?”.
“kupikir akan ada lebih banyak perabot?”.
“kamu belumpernah kesini sebelumnya?”.
“aku sibuk”.
Selain kotak dan ada lebih banyak kotak lagi. Mereka ada dimana-mana. Kami berdiri di ruang tengah yang besar dengan perapian batu besar di seberang dinding. Kalian bisa memanggang sapi utuh disana jika kalian sangat ingin. Tangga melingkar mengarah ke lantai atas dan satu lagi mengarah ke bawah yang satu ini. Ruang makan dan dapur terbuka di sebalah ruangan ini. Tempat ini terdiri dari lantai dan langit-langit kaca, garis-garis batang kayu yang rapih, atau bebatuan abu-abu. Perpaduan sempurna antara teknik desain lama dan baru. Ini menakjubkan. Tapi tampaknya semua tempat yang dia tempati selalu menakjubkan..
aku bertanya-tanya apa yang akan dia lakukan di dalam apartemen kecil dan kumal milikku dan Lauren. Pikiran konyol. Seakan dia pernah melihatnya saja.
“Setidaknya ada kulkas”. Dia membuka pintu stainles yang besar . Setiap inchi dari ruangnya terisi makanan dan camilan. “Luar biasa”.
“siapa “Mereka”?”.
“Ah, orang yang merawat tempat ini untukku. Temanku. Mereka juga telah merawat tempat ini sejak pemilik yang terdahulu juga. Aku menelpon mereka, meminta mereka untuk menyiapkan beberapa hal untuk kita”. Dia mengambil corona dan membukanya. “bersulang”.
Aku tersenyum, bingung. “untuk sarapan?”.
“aku sudah terjaga selama dua hari. Aku ingin bir dan aku ingin tidur. Man, kuharap mereka berpikir untuk menaruh tempat tidur”. Dengan bir di tangan, dia kembali ke ruang duduk dan menaiki tangga. Aku mengikutinya, penasaran.
Dia mendorong pintu kamar satu demi satu. Ada empat semuanya dan masing-masing memiliki kamar mandi sendiri, karena orang keren , dan kaya tidak berbagi. Di pintu terakhir di ujung aula, dia berhenti dan merosot lega. “Terimakasih untuk itu”.
Sebuah tempat tidur king size dengan seprei putih bersih menunggu di dalam. Dan ada beberapa kotak lagi.
“ada apa dengan semua kotak-kotak ini?” tanyaku. “apakah mereka hanya meletakkan satu tempat tidur?”.
“terkadang aku membeli beberapa barang saat aku berpergian. Terkadang orang-oramg memberiku beberapa barang. Aku baru saja mengirimkannya kesini selama beberapa tahun terakhir. Berkelilinglah jika kau mau. Dan Ya, hanya ada satu tempat tidur”. Dia meneguk bir lagi. “kau berpikir aku terbuat dari uang?”.
Aku terengah-engah karena kebanyakan tertawa. “Kata-kata dari seorang pria yang memaksa Cartier buka sehingga aku bisa membeli cincin”.
“Kamu ingat itu?” Dia tersenyum di sekitar botol bir.
“Tidak, aku hanya berasumsi tentang waktu pada malam itu”. Aku berjalan ke dinding jendela. Pemandangan yang luar biasa.
“Kau mencoba memilih sesuatu yang menyebalkan. Aku tak percaya”. Dia menatapku, tapi pandangannya menjauh.
“Aku melemparkan cincin itu ke para pengacara”.
Dia tersentak dan menatapi sepatunya. “Ya, aku tau”.
“Maafkan aku. Mereka membuatku sangat marah”.
“Pengacara melakukan itu”. Dia meneguk birnya lagi. “Mal bilang kau mengayunkan pukulan padanya”.
“Tidak kena”.
“Mungkin itu yang terbaik. Dia idiot tapi dia bermaksud baik”.
“Ya, dia sangat baik padaku”. Menyilangkan lenganku aku memeriksa sepanjang ranjangnya, penasaran akan kamar mandinya. Jacuzzi milik Mal aku meringkuk malu. Tempat ini sungguh luar biasa besar. lagi=lagi perasaan bahwa aku tidak seharusnya disini, bahwa tak ada satu pun yang pas dengan dekorasinya, menghantamku dengan keras.
“Itu sebuh kerutan yang besar, kawan”, katanya.
Aku mencoba tersenyum. “Aku masih mencoba mecari tau. Maksudku, apa yang membuat kita mengambil resiko di Vegas? Karena dirimu tidak bahagia? Dan selain Mal, dirimu di kelilingi bajingan?”.
“Persetan”, dia membiarkan kepalanya menengadah ke belakang. “apakah kita harus berbicara tentang malam itu?”.
“aku hanya mencoba memahami”.
“bukan”. Katanya “Bukan itu, oke?”.
“Lalu apa?”.
“kita berada di Vegas,EV. Hal-hal tak terduga terjadi”.
Aku menutup mulut.
“aku tidak bermaksud....” Dia mengusap tangan ke wajahnya. “Sialan, dengar, jangan berpikir bahwa mabuk dan berpesta dan itulah satu-satunya alasan terjadinya semua ini. Mengapa kita begini. Aku tak ingin kau berpikir seperti itu”.
Aku tertegun. Itu satu-satunya alasan yang masuk akal. “Tapi itulah yang aku pikirkan. Dan sungguh itulah yang aku pikirkan. Itu satu-satunya alasan yang terasa cocok di kepalaku. Ketika gadis sepertiku terbanun dan sudah menikah dengan pria sepertimu, apalagi menurutmu yang akan dia pikirkan?Tuhan, David, lihat dirimu. Kau tampan, kaya, sukses. Kakakmu benar, ini tak masuk akal”.
Dia menghadapku, wajahnya tegang. “Jangan lakukan itu. Jangan merendahkan dirimu seperti itu”.
Aku hanya mendesah.
“Aku serius. Jangan berani-beraninya kau memikirkan apa yang bajingan itu katakan, menegrti? Kau tidaklah tidak berarti”.
“Lalu beri aku penjelasan. Katakan padaku seperti apa diantara kita malam itu”.
Dia membuka mulutnya, kemudian secepat nya menutupnya kembali. “Nah, aku tak ingin mengeruk semuanya, kau tau, air di bawah jembatan atau apapun. Aku hanya tak ingin kau berpikir bahwa semuanya yang terjadi karena alkohol atau apapun, itu saja. Sejujurnya, saat itu kau tidak terlihat semabuk itu”.
“David, kau menghidar. Ayolah. Ini tidak adil bahwa kau mengingat dan aku tidak.
“Tidak”. Katanya, dengan suara yang kasar, dingin, dengan cara yang belum pernah aku dengar. Dia menjulang di atasku, rahannga mengetat. “Tidak adil bahwa aku ingat dan kau tidak, Evelyn”.
Aku tak tau apa yang harus ku katakan..
“Aku keluar”, kata-katanya benar, dia menerjang keluar. Suara langkah yang berat di sepanjang koridor dan menuruni tangga. Aku berdiri menatap dia.

**
aku memberi waktu untuk dia menenangkan dia sebelum menyusulnya ke pantai. Cahaya pagi sudah meninggi, langit biru yang bersih terpapar. Itu sangat indah. Udara laut yang asin membersihkan pikiranku sejenak. Kata-kata David menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada yang telah terjawab. Menyelesaikan puzzle tentang malam itu memenuhi pikiranku. Aku mengambil dua kesimpulan. Dan keduanya membuatku khawatir. Pertama, malam di Vegas special untuknya. Aku yang mengorek-orek dan meremehkan membuat dia kesal. Yang kedua adalah, aku merasa, dia tidak terlalu mabuk. Ini terdengar seakan dia tau dengan benar akan apa yang dia lakukan. Yang mana dalam kasus ini, bagaimana dia merasakan keesokan harinya? Aku telah menolak dia dan pernikahan kami tak terkendali. Dia pasti sangat sakit hati, terhina.
Ada alasan yang bagus untuk prilakuku. Namun, tetatp saja, sangat tidak bijaksana. Aku tak menhenal David saat itu. Tapi aku akan memulainya sekarang. Dan semakin sering aku berbicara dengannya, semakun aku menyukainya.
David duduk di batu dengan bir di tangan, menatap ke laut. Angin laut yang dingin menerbangkan rambut panjangnya. Kain kaosnya di tarik ketat ke punggungnya yang lebar. Lututnya tertekuk dengan lengan yang memeluk lututnya.. itu membuat dia terlihat lebih muda dari seharusnya, terlihat rapuh.
“Hai”. Kataku, berjongkok disampingnya.
“Hey”,Matanya memincing ke arah matahari, dia menatapku, wajahnya terlindung.
“Aku minta maaf karena terlalu mendorongmu”.
Dia mengangguk, balas menatap air. “Tak apa”.
“Aku tak bermaksud membuatmu kesal”.
“Jangan khawatirkan tentang itu”.
“Apakah kita masih berteman?”.
“Dia terengah. “Tentu”.
Aku duduk disampingnya, mencoba mencari tau apa yang harus di katakan selanjutnya, apa yang akan membuat hal-hal menjadi benar diantara kami. Tak ada yang bisa aku katakan untuk memperbaiki tentang Vegas. Aku butuh waktu dengannya. Jam yang berdenting tentang dokumen pembatalan berdenting dengan lebih keras setiap menitnya. Itu membuatku takut, memikirkan waktu kami akan terpotong. Semuanya akan berakhir dan aku tak bisa melihat atau berbicara dengannya lagi. Bahwa aku tak bisa memecahkan teka-teki antara kami. Kulitku kedingin karena sesuatu yang bukan hanya sekedar angin.
“Sialan. Kau kedinginan”. Melingkarkan lengan di bahuku, menarikku lebih dekat ke arahnya.
Dan aku semakin mendekat, dengan gembira. “Terima kasih”.\
Dia meletakkan botol bir, mengalungkan kedua tangannya di tubuhku. “mungkin seharusnya kita kedalam”.
“sebentar lagi”. Jempolku mengusap jariku, gelisah. “Terima kasih telah membawaku kesini. Ini tempat yang indah”.
“Mm”.
“David, sungguh, aku sangat menyesal”.
“Hei”, dia meletakan jari di bawah daguku, mengangkatnya. Kemarahan dan sakit hati itu hilang, digantikan kebaikannya. Dia sekedar memberiku gerakan sedikit bahunya. “biarkan saja”.
Idenya benar-benar membuatku panik. Aku tak ingin melepaskannya. Kenyataan itu mengejutkan. Aku menatapnya, membiarkan nya meresap. “aku tidak mau”.
Dia berkedip. “Baiklah. Kau ingin menebusnya untukku?”.
Aku ragu kami membicarakan hal yang sama, tapi aku mengangguk juga.
“aku punya ide”.
“Katakan”.
“berbagai hal berlarian kecil di kepalamu, bukan?”.
“kurasa”. Kataku.
“jadi kalau aku menciummu, mungkin kau akan ingat apa yang kita suka saat bersama”.
Aku berhenti bernapas. “kau ingin menciumku?”
“Kau tak ingin aku menciummu?”.
“Bukan”, kataku dengan cepat. “aku tak apa dengan dirimu yang menciumku”.
Dia sedikit kembali tersenyum. “sungguh sangat murah hati”.
“dan ciuman ini untuk tujuan penelitian yang bersifat ilmu pengetahuan.
“Yep. Kau sangat ingin tau tentang apa yang terjadi malam itu dan aku sungguh tak ingin membicarakannya. Jadi, aku menyadari, lebih mudah untuk semuanya jika kau mungkin bisa mengingatnya sendiri”.
“itu masuk akal”.
“luar biasa”.
“sampai sejauh apa kita malam itu?'.
Tatapannya menuju ke leher tanktopku dan lekukan payudaraku. “base kedua”.
Masih berpakaian?”
“lepas. Kita berdua topless. Berpelukan dengan bagian atas telanjang”, dia mengamatiku saat aku menyerap informasi itu, wajahnya dekat denganku.
“bra?”.
“tentusaja tidak””.
“Oh”, aku menjilay bibirku, kesulitan bernapas. “jadi, kau pikir kita harus melakukan ini?”.
“kau terlalu berlebihan memikirkan ini”.
“Maaf”.
“dan berhenti meminta maaf”.
Mulutku terbuka untuk mengulang kalimat itu lagi, tapi aku lalu menutupnya.
“tak apa. Kau akan memahami itu”.
Otakku tergaguk dan aku menatap mulutnya. Dia memiliki mulut yang paling indah, dengan bibir penuh yang sedikit ditarik di tepinya. Menakjubkan.
“katakan apa yang kau pikirkan?” katanya.
“kau bilang jangan berpikir. Dan sejujurnya, aku tidak memikirkan apapun”.
“Bagus”, katanya, bahkan lebih mendekat. “itu bagus”.
Bibirnya meneyntuh bibirku, membuatku tertarik. Lembut tapi tegas, tanpa ragu-ragu. Giginya bergerak dengan bibir bawahku. Lalu dia menghisap bibir bawahku. Dia tak mencium seperti bocah laki-laki yang ku kenal, meskipun aku tak bisa mendefinisikan perbedaanya. Ini hanya lebih baik dan....lebih banyak. Jauh lebih banyak. Mulutnya menekan lidahku, dan lidahnya masuk ke mulutku, menggosok-gosok bibirku. Tuham, dia terasa nikmat. Jemarinya meluncur ke rambutku seoalah dia selalu ingin. Dia menciumku sampai aku tak bisa mengingat apapun sebelumnya. Seakan tak ada yang penting. Tangannya menyelinap di leherku, memegangiku tetap di tempat. Ciuaman ini terus berlanjut. Dia membuatku bercahaya dari kepala hingga ke ujung kaki. Aku tak pernah menginginkan ini untuk berakhir.
Dia menciumku hingga kepalaku pening dan berpegangan untuk sebuah kehidupan. Kemudian dia menarik diri, dan menempelkan dahinya di atas dahiku sekali lagi.
“kenapa kau berhenti?” tanyaku ketika aku sudah bisa merangkai kalimat yang koheren. Tanganku menarik dia, mencoba membawanya kembali ke mulutku.
“Shh. Relax”, dia menghirup napas dalam. “apakah kau mengingat sesuatu? Sesuatu yang familiar untukmu?”.
Ciuman ku membuat pikiranku menjadi kosong. Sialan. “Tidak. Kurasa tidak”.
“itu sangat disayangkan”. Sebuah gundukan muncul diatas alisnya. Titik gelap dibawah amta birunya yang indah sepertinya menggelap. Aku akan mengecewakannya lagi. Hatiku mencelos.
“Kau terlihat lelah”, kataku.
“Ya, mungkin sudah waktunya menutup mata”. Dia menanamkan ciuman cepat di dahiku. Apakah itu ciuman seorang teman atau lebih? Aku tak tau. Mungkin itu juga untuk tujuan ilmiah.
“Kita sudah mencobanya, bukan?” katanya.
“ya. Kita telah mencobanya”.
Dia bangkit berdiri, mengambil botol bir nya. Tanpa dia yang menghangatkanku angin berhembus langsung ke arahku, mengguncang tulangku. Itu adalah ciuman yang benar-benar mengguncangku. Itu telah menghancurkan pikiranku yang baik-baik. Memikirkan, aku melakukan ciuman seperti itu dan melupakannya. Aku butuh transpalantasi otak secepatnya.
“apa kau tak keberatan jika aku ikut denganmu?” tanyaku.
“tidak sama sekali”. Dia mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri.
Bersama, kami berjalan kembali ke rumah, menaiki tangga menuju kamar tidur utama. Aku melepaskan sepatu ku saat David pun sedang melepas alas kakinya. Kami berbaring di atas kasur, tanpa saling menyentuh. Kami berdua menatap langit-langit seakan mereka bisa memberikan jawaban.
Aku tetap diam. Selama sekian menit. Pikiranku nyalang dan menggumam padaku. “kurasa aku sedikit tau lebih banyak kenapa kita berakhir dengan menikah”.
“iyakah?” dia menengokkan wajahnya untuk menghadapku.
“Ya” aku tak pernah dicium seperti itu sebelumnya. “aku mengerti”.
“kemarilah”. Lengan yang kuat melingkari pinggangku, menyeretku ke tengah tempat tidur.
“David”, aku meraihnya dengan senyum gugup. Lebih dari siap untuk lebih banyak ciuman. Lebih banyak darinya.
“berbaringlah “ ujarnya, tangannya memutarku hingga dia bervaring di belakangku. Satu lengan menyelip di bawah leherku dan yang lainnya di atas pinggangku, menarikku lebih dekat dengannya. Pinggulnya tepat di bokongku.
“apa yang sedang kita lakukan?” tanyaku bingung.
“bercumbu. Kita melakukan itu selama beberapa saat. Sampai kamu merasa mual”.
“Kita bercumbu?”.
“Yep” katanya. “tahap kedua untuk pemulihan ingatan, bercumbu. Sekarang tidurlah”.
“aku baru saja terbangun sejam yang lalu”.
Dia menekan wajahnya ke rambutku dan bahkan meletakkan kakinya melintang di atas kakiku dengan pengaturan yang baik. “kurang beruntung. Aku lelah dan aku ingin bercumbu. Denganmu. Dan setau ku, kau berhutang padaku. Jadi kita bercumbu”.
“mengerti”.
Nafas nya hangat di sisi leherku, membuatku merinding.
“Santai. Kau tegang sekali”, lengannya menegang di tubuhku.
Setelah beberapa saat, aku meraih tangan kirinya, menjalarkan bantalan jariku di bulu-bulu halus tangannya. Menggunakannya sebagai mainan untuk kegelisahanku. Ujung-ujung jarinya keras. Ada kapalan di bawah ibu jarinya dan satu lagi di bagian bawah jari-jarinya dimana mereka bergabung dengan telapak tangannya. Dia jelas menghabiskan banyak waktu dengan memegang gitar. Dibagian belakang jari-jarinya, terdapat tato kata “free”. Di tangan kananya ada kata “live”.
Aku tak bisa berhenti bertanya-tanya apakah pernikahan akan melatnggar kebebasan itu. Sebauh tanda ala jepang dan naga berbelit melingkar di lengannya, warna dan detailnya sangat menakjubkan.
“beritahu aku tentang jurusan kuliahmu?” katanya. “kau kuliah arsitektur , bukan?”.
“Ya”, kataku, terkejut karena dia tau. Tampaknya aku memberitahunya saat di Vegas. “sama seperti ayahku”.
Dia menautkan jari jarinya dengan jari-jariku, memberikan sihir pada kegelisahanku.
“apa kau selalu ingin memainkan gitar”, tanyaku, mencoba untuk tidak terlalu teralih dari cara dia memelukku.
“Yeah, musik adalah satu-satunya hal yang masuk akal untukku. Tak terpikirkan untuk melakukan yang lain”.
“Huh” , pasti menyenangkan, memlakukan sesuatu yang memang passion. Aku menyukai gagasan menjadi seorang arsitek. Banyak permainan masa kecilku yang melibatkan balok-balok dan menggambar. Tapi aku tak merasa terdorong untuk melakukannya, tepatnya. “aku sama sekali tak tau nada”.
“itu menjelaskan banyak”, dia tergelak.
“bersikap baiklah. Aku juga tak pernah bagus dalam olahraga. Aku suka menggambar, membaca dan menonton film. Dan aku suka berpergian, bukan berarti aku telah melakukan banyak hal”.
“Yeah?”
“Mm”.
Dia bergeser di belakangku, merasa nyaman. “Ketika aku melakukan perjalanan itu semua selalu tentang show. Tidak menyisahkan banyak waktu untuk melihat-lihat”.
“Kasihan”.
“Dan ku akui terkadang aku merasa kesakitan. Kadang-kadang itu menjadi buruk. Selalu ada tekanan pada kami, dan aku tak selalu bisa melakukan apa yang aku inginkan. Sebenarnya, aku siap untuk memperlambat segalanya, lebih banyak tinggal di rumah”.
Aku tak berkata apapun, memutar kata-katanya dalam pikiranku.
“aku menjadi terlalu tua untuk pesta-pesta setelah beberapa saat. Orang-orang di sekeliling disetiap waktu ku”.
“aku berani bertaruh” Namun , kembali ke LA dia masih memiliki para Groupie yang menempel padanya dan membujuknya dengan segala rayu. Jelas bagian dari gaya hidupnya yang itu masih menarik. Bagian yang aku tak yakin aku bisa bersaing bahkan jika aku mau, “Apakah kau tidak melewatkan beberapa dari itu”.
“Sejujurnya, itu semua sudah berakhir dalam waktu yang lama, aku tak tau”.
“well, kau memiliki rumah yang keren untuk di tinggali”.
“Hmm”, dia diam selama beberapa saat. “Ev?”.
“Yeah?”.
“jadi arsitek adalah idemu atau ayahmu ?”.
“aku tak ingat” aku ku. “kami selalu memperbicangkan itu. Kakakku tak pernah tertarik untuk mengambil alih. Dia selalu terlibat perklahian dan bolos”.
“kau bilang kau juga mengalami waktu yang sulit saat di sekolah”.
“bukankah setiap orang juga?” aku menggeliat, berbalik agar aku bisa melihat wajahnya. “aku biasanya tak membicarakan itu dengan orang lain”.
“Kita membicarakannya. Kau berkata bahwa kau diejek karena ukuran tubuhmu. Aku berpikir itulah yang membuatmu terlibat dengan teman-temanku. Faktanya mereka menggertak gadis itu seperti segerombolan anak sekolah sialan”.
“kurasa itu yang akan mereka lakukan”. Mengganggu bukanlah subjek yang kusuka untuk dibicarakan. Terlali mudah, itu mengembalikan segala perasaaan mengerikan yang berhubungan dengan itu. Namun pelukan David tak ingin membiarkan itu lolos. “sebagian besar guru hanya mengabaikannya. Seakan itu adalah kerumitan ekstra yang tidak di perlukan. Tapi tidak untuk guru yang satu ini, Ms Hall. Dia membelaku ketika mereka mulai mengejekku atau salah satu anak lain yang dia temui. Dia sangat hebat”.
“dia terdengar hebat. Tapi kau tidak benar-benar menjawab pertanyaanku. Apakah kau ingin menjadi seorang arsitek?”
“Well, itu adalah apa yang telah aku rencanakan untuk aku lakukan, dan aku, ah, aku menyukai ide merancang rumah seseorang. Aku tak tau menjadi arsitek adalah panggilan hidupku, seperti musik untukmu, tapi kupikir aku bisa bagus di situ”.
“Aku tidak meragukan itu, sayang”, ujarnya, suaranya lembut namun pasti.
Aku berusaha untuk tidak membiarkan ucapan kasih sayang ity memporak -porandakanku di kasur. Kelembutan adalah kuncinya. Aku telah melukainya di Vegas. Jika aku bersungguh-sungguh tentang ini, tentang menginginkan dia untuk memberi kita berdua kesempatan, aku harus hati-hati. Memberinya ingatan yang baik untuk mengganti yang buruk. Ingatan yang kami berdua bisa bagi kali ini.
“Ev, apa yang ingin kau lakukan dengan hidupmu?”.
Aku terdiam. Setelah memberikan tanggapan standar, pemikiran ekstra di perlukan. Rencana itu sudah ada disana sejak lama dan aku tidak berani mempertanyakannya. Itu aman dan nyaman untuk ada disana. Tapi David menginginkan lebih dan aku ingin memberikannya. Mungkin inilah alasan mengapa aku memberitahunya rahasiaku di Vegas. Sesuatu tentang pria ini menenggelamkanku dan aku tak ingin melawan. “sejujurnya , aku tak tau”.
“tak apa, kau tau”. Pandangannya beralih padaku. “Kau baru dua puluh satu tahun”.
“Tapi aku seharusnya sudah dewasa sekarang, mengambil tanggung jawab untuk diriku sendiri. Aku seharusnya tau tentang hal ini”.
“kau telah tinggal dengan temanmu selama beberapa tahun, bukan? Membayar semua tagihanmu dan masuk kuliah dan semua nya?”
“Ya”.
“jadi bagian mananya kau tidak bertanggung jawab pada dirimu sendiri?” dia menyelipkan rambut hitam panjangnya ke belakang telinga, menyingkirkannya dari wajahnya. “jadi kau mulai masuk ke dalam arsitektur dan lihat kemana itu membawamu”.
“kau membuatnya terdengar sederhana”.
“Ya. Kau mending memilih tetap disitu atau mencoba sesuatu yang lain, lihat bagaimana itu akan berhasil untukmu. Ini hidupmu. Panggilanmu”.
“apa kau hanya memainkan gitar??” tanyaku, ingin tau lebih banyak tentang dia. Ingin topik perbincangan ini beralih dariku. Simpul ketegangan dalam diriku tidak menyenangkan.
“Tidak” senyum tersungging di sudut mulutnya- dia tau persis apa yang aku bicarakan. “Bass dan drum juga. Tentu saja”.
“Tentu saja?”.
“siapapun yang bisa bermain gitar pasti bisa bermain bass jika mereka mau memikirkannya. Dan seseorang yang bisa memainkan dua stick dalam satu waktu bisa bermain drum. Pastiakan untuk memberitahu Mal , lain kali ketika kau bertemu dengannya, yeah? Dia akan marag-marah”.
“Mengerti”.
“dan aku bernyanyi”.
“bernyanyi?” tanyaku, semakin bersemagat. “maukah kau menyanyikan sesuatu untukku? Please?”.
Dia membuat suara yang tidak komunikatif.
“apakah kau bernyanyi untukku malam itu?”.
Dia memberiku senyum menyesal. “ya, aku melakukannya”.
“jadi mungkin itu akan mengembalikan ingatan”.
“kamu akan menggunakan itu sekarang , bukan? Kapanpun kau menginginkan sesuatu. Kau akan melemparkan padaku”.
“Hei, kau yang memulainya. Kau ingin menciumku untuk tujuan ilmiah”.
“itu untuk tujuan ilmiah. Ciuaman antar teman karena alasan murni logika”.
“itu ciuman yang sangat friendly, David”.
Senyum malas menghiasi wajahnya. “yeah”.
“tolong nyanyikan sesuatu untukku?”
“Oke”, dia mendengus. “berbaliklah. Kita ada di posisi bercumbu untuk ini”.
Aku meringkuk di belakangnya dan dia beringsut lebih dekat. Bergelung bersama David adalah sesuatu yang luar biasa. Aku tak bisa membayangkan sesuatu yang lebih baik. Sayang nya dia tetap dengan alasan ilmiah. Bukan berarti aku bisa menyalahkannya. Jika aku adalah dia, aku akan mewaspadai diriku sendiri.
Suaranya membelaiku, dalam, serak dengan cara yang terbaik saat menyanyikan balada.
If got this feeling comes and goes
ten broken fingers and one broken nose
Dark water very cold.
I know i'll make it home.
This sorry sun has burned the sky.
She's out of touch and she's very high.
Her bed was made of stone.
I know i'll break her throne.
This aching bones won't hold me up.
My swollen shoes they have had enough.
These smokestacks burn them down.
This ocean let it drown
ketika dia selesai aku diam. Dia mengguncangku, mungkin mengecekku apakah aku masih hidup atau tidak. Aku menggoyangkan lengannya sebagai balasan, tidak berbalik, sehingga dia tidak bisa melihat air mataku di mataku. Kombinasi dari suaranya dan suasana ballad telah mempengaruhiku. Aku selalu mempermalukan diriku di depannya, menangis atau muntah. Kenapa dia mengingikan sesuatu denganku, aku tak mengerti.
“terima kasih”, kataku.
“kapanpun”.
Aku berbaring disana, mencoba menguraikan liriknya. Apa arti dari dia memilih lagu itu untuk dinyanyikan untukku. “apa judulnya?”.
“Homesick. Aku menulisnya di album terakhir”. Dia bangun dengan satu siku,membungkuk untuk memeriksa wajahku. “sialan, aku membuatmu sedih. Maafkan aku”.
“Tidak. Itu indah. Suaramu luar biasa”.
Dia mengerutkan kening, tetapi berbaring kembali, menempelkan dadanya pada punggungku. “aku akan menyanyikan sesuatu yang bahagia lain waktu”.
“jika kau tak keberatan”, aku menekankan bibirku ke punggung tangannya, ke pembuluh darah yang melintas, dan mengusap rambut gelapnya. “David?”.
“Hmm?”.
“kenapa kau tidak bernyanyi di band? Kau memiliki suara yang bagus”.
“aku sebagai back-up. Jimmy menyukai sorot lampu. Itu lebih ke hal-hal kesuakaannya”. Jarinya mengait di jariku. “dia tidak selalu sebajingan sekarang. Aku minta maaf karena dia mengganggumu waktu di LA. Aku bisa saja membunuhnya karena mengatakan kata-kata kasar itu”.
“Tak masalah”.
“Tidak, bukan, dari wajahnya. Dia tak tau apa yang dibicarakannya”. Jempolnya bergerak dengan gelisah di tanganku. “Kau cantik. Kau tak perlu mengubah apapun”.
Aku tak tau harus berkata apa pada awalnya. Jimmy mengatakan berbagai hal yang mengerikan dan itu tetap teringat olehku. Lucu bagaimana hal buruk selalu terjadi.
“Aku memuntahi dan menangis di dirimu. Kau sungguh tak masalah tentang itu?” aku bercanda, akhirnya.
“Ya”, katanya dengan sederhana. “aku menyukai dirimu apa adanya, melontarkan omong kosong apapun yang terlintas di pikiranmu. Tidak mencoba untuk mempermainkanku, atau memanfaatkanku. Kau hanya......bersmaku. Aku menyukaimu”.
Aku berbaring disana tanpa suara sejenak, tercengang. “Terima kasih”.
“Sama-sama. Kapanpun , Evelyn. Kapanpun”.
“aku menyukaimu juga”.
Bibirnya menyentuh bagian belakang leherku, rasa menggigil melesat di kulitku. “benarkah?”.
“iya. Sangat suka”.
“Terima kasih, sayang”.
Butuh waktu lama hingga napasnya terartur. Anggota tubuhnya bertambah berat dan dia diam, tertidur di punggungku. Kakiku kaku karena terkunci dan tertimpa tapi tidak apa. Aku belum pernah tidur dengan siapapun sebelumnya, selain karena episode pembagian tempat tidur dengan Lauren. Rupanya, tidurlah yang akan aku lakukan hari ini.
Sejujurnya, rasanya enak, berbaring di sampingnya.
Rasanya benar.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

STUCK UP SUIT Chapter 8

GRAHAM AKU TIDAK MENDENGAR KABAR NYA SEPANJANG HARI di hari sabtu, dan tidak seperti yang aku harapkan juga. Soraya Venedetta san...