Sabtu, 03 Maret 2018

LICK CHAPTER DUA

Lauren duduk di sampingku, menscroll iphone ku. “Aku ga ngerti kenapa selera musikmu bisa jadi jelek banget. Kita udah temenan bertahun-tahun. Apakah aku ga ngajarin apa-apa?”.
“Buat nggak minum Tequila”.
Dia memutar matanya.
Diatas kepala kami lampu tanda kenakan sabuk pengaman menyala. Suara sopan menyarankan pada kami untuk menegakkan sandaran kursi karena kami akan segera mendarat dalam beberapa menit. Aku menelan ampas kopi sialan dengan berjengit. Faktanya adalah, sebanyak apapun kafein tak akan bisa membantuku hari ini. Yang berkualitaspun tak akan bisa.
“Aku sangat amat serius”. Kataku. “aku juga tak akan pernah menjejakkan kakiku lagi ke Nevada tak akan pernah selama aku hidup”.
“Nah kalo sekarang itu lebai”.
“Tidak sejengkalpun, Lady”.
Lauren terhuyung-huyung kembali ke Motel pas dua jam sebelum jadwal penerbangan kami. Aku menghabiskan waktu untuk mengatur ulang packing ku di tas kecil lagi dan lagi dengan tujuan untuk mendapatkan kehidupanku kembali ke dalam beberapa kemiripan yang ditentukan. Sungguh menyenangkan melihat Lauren tersenyum, walaupun perjalanan ke airport terasa seperti balapan. Tampaknya dia dan si cute waiter yang dia temui kemungkinan akan tetap saling memberui kabar. Lauren selalu hebat dengan pria, sementara aku lebih dekat kaitannya dengan wallflower – di kebun yang standar. Usahaku untuk bersegama di Vegas ditujukan untuk keluar dari kebiasan itu. Terlalu muluk untuk sebuah ide.
Lauren kuliah ekonomi dan dia mengagumkan, Luar dalam Aku lebih seperti terlalu gemuk. Itu lah mengapa aku membuat kebiasaan berjalan di setiap tempat yang aku bisa di Portland dan mencoba untuk tidak mencicipi isi kotak kue di kafe tempat aku berkerja. Itu membuat semuanya tetap terkendali, lingkar pinggangku. Meski Mom masih suka memberi ceramah tentang hal itu karena Tuhan melarangku menuangkan gula ke kopiku. Pahaku pasti akan meledak atau semacamnya.
Lauren memiliki tiga kakak laki-laki dan dia tau apa yang harus di obrolkan bersama pria. Tak ada yang bisa mengintimidasi dia. Gadis ini mengeluarkan pesona. Aku memiliki satu kakak laki-laki tapi kami tidak lagi berinteraksi diluar liburan keluarga. Tidak sejak dia keluar dari rumah empat tahun yang lalu hanya dengan meninggalkan sebuah note. Nathan memiliki tempramen dan anugrah untuk selalu masuk dalam masalah. Dia sudah jadi cowok nakal sejak di SMA, selalu terlibat perkelahian dan bolos kelas. Kurasa Menyalahkan kesialanku dengan para pria dalam hubungan tidak eksistenku dengan kakakku adalah kesalahan. Aku bisa saja memiliki kekurangan dengan lawan jenis. Kebanyakan.
“Dengerin ini”. Lauren menyambungkan earphone ke ponselnya dan petikan gitar listrik meledak di temgkorakku. Rasa sakit nya sempurna. Sakit kepalaku menderu kembali, ke khidupan yang mengerikan. Tak ada yang tersisa di otakku selain bubur merah darah. Untuk kali ini aku yakin.
Aku menarik earphone. “Jangan, Please”.
“Tapi ini Stage Dive”.
“Dan mereka sangat bagus. Tapi, kau tau, mungkin lain kali”.
“Terkadang aku khawatir padamu. Aku cuma ingin kau tau tentang itu”.
“Tak ada yang salah dengan musik Country yang dimainkan dengan lambat”.
Lauren mendengus dan menepuk rambutnya pendek dan hitam. “Tak ada yang benar dengan musik Country yang dimainkan dalam volume berapa pun. Jadi apa yang kamu dapetin semalam? Selain menghabiskan waktu dengan mabuk berat?”
“Sebenarnya, itu adalah rangkuman dari segalanya”. Semakin sedikit aku bicara maka akan semakin baik. Bagaimana aku bisa menjelaskannya? Meski begitu, rasa bersalah menyelinap dalam diriku dan aku menggeliat di tempat duduk ku. Tato itu berdenyut sebagai protes.
Aku tidak memberitahu Lauren tentang rencana mendapatkan sex yang menakjubkan semalaman. Dia pasti ingin membantu. Jujur saja, sex tmenuritku bukan seperti hal yang seharusnya kau bantu. Terlepas dari apa yang dibutuhkan oleh pasangan seksual , tentu saja. Bantuan Lauren akan melibatkan diriku untuk mencari setiap pria hot dengan imbalan aku yang akan langsung mengangkang.
Aku menyayangi Lauren dan kesetiannya tak perlu di pertanyakan, tapi dia tidak memiliki tulang yang halus di tubuhnya. Dia telah meninju seorang gadis di kelas lima karena gadis itu mengejek berat badanku dan sejak itu kami berteman. Dengan Lauren, kau akan selalu tau persis dimana dirimu berdiri. Sesuatu yang aku hargai sebagian besar waktu, cuma bukan saat sebuah kebijaksanaan diminta.
Dan untungnya, perutku yang mual bertahan di pendaratan yang sbergelombang. Begitu roda-roda pesawat menabrak aspal, aku mendesah lega. Aku kembali ke kampung halamanku. Oregon yang indah, Portland ku tersayang, tak akan pernah lagi aku menyimpang. Dengan pegunungan di kejauhan, dan deretan pepohonan di kota, Portland adalah sebuah keindahan. Membatasi diriku hanya untuk tinggal di satu kota mungkin berlebihan. Tapi sungguh menyenangkan kembali ke rumah. Aku memiliki kerja magang yang penting yang akan dimulai minggu depan yang telah ayah usahakan untuk aku dapatkan. Dan juga satu kelas di semester berikutnya yang telah aku rencanakan.
Segalanya akan baik-baik saja. Aku sudah mendapatkan pelajaranku. Normalnya, aku tidak minum lebih dari tiga gelas. Tiga gelas itu sudah bagus. Tiga gelas membuatku bahagia tanpa harus membaut wajahku masuk ke dalam bencana. Tak akan lagi aku melewati batas. Aku telah kembali menjadi orang yang terorganisir, membosankan. Petualangan itu tidak keren dan aku sudah selesai dengan itu semua.
Kami berdiri dan mengambil tas kami dari kabin di atas. Orang-orang mendorong ke depan, terburu-buru untuk keluar. Pramugari memberi kami senyum yang telah terlatih saat kami melewati pintu keluar dan keluar menuju jembatan penghubung. Kemudian datang petugas keamanan dan kami menumpahkan semuanya dalam klaim bagasi. Untungnya, itu hanya ransel, jadi tidak perlu menunggu lama. Aku sudah tak tahan untuk pulang ke rumah.
Aku mendengar jeritan di depan dan cahaya berkelip. Ada orang terkenal pasti berada di pesawat. Orang-orang di depan kami melihat ke belakang dan menatap. Aku melihat kebelakang juga tapi tidak melihat wajah yang tidak familiar.
“Apa yang sedang terjadi?” Lauren bertanya, mengamati kerumunan orang.
“Aku tak tau” kataku sambil berdiri menjinjit, merasa sangat penasaran dengan keramaian itu.
Lalu aku mendengarnya, namaku di panggil berulang-ulang. Mulut lauren mengerut karena terkejut. Mulutku sendiri menganga.
“Kapan bayinya lahir?”
“Evelyn, apakah David bersamamu?”
“Akan kah akan ada pesta pernikahan lagi?”
“Kapan kau akan pindah ke LA?”
“Apakah David datang untuk menemui orang tua mu?”
“Evelyn, apakah ini akhir dari Stage Dive?”
“Benarkah kalian punya tato nama satu sama lain?”
“Sudah berapa lama kau dan David saling kenal?”
“Apa pendapatmu tentang tuduhan bahwa kau telah menghancurkan Band ini?”
namaku dan dia berulang-ulang, dicampur dengan rentetan pertanyaan tak berujung. Semua tergabung dalam satu kekacauan. Dinding suara yang nyaris tak bisa aku pahami. Aku berdiri menganga tak percaya saat flash membutakanku dan orang-orang menekannya. Jantungku berdegup kencang. Aku tak pernah ahli dengan banyak orang dan tak ada jalan keluar yang bisa aku lihat.
Lauren tersadar lebih dahulu.
Dia memakainkan kaca mata hitamnya ke wajahku dan menarik tanganku. Dengan menggunakan sikunya yang bebas, dia menyeretku melewati kerumunan. Dunia menjadi kabur, terlindung dalam lensanya. Aku beruntung tidak jatuh dengan pantatku. Kami berlari melewati bandara yang sibuk dan menuju taksi yang menunggu, melompati antrean. Orang-orang mulai berteriak. Kami mengabaikan mereka.
Paparazi sudah mulai dekat.
Paparazi keparat. Ini akan tampak tidak nyata jika saja tidak terlihat begitu runyam dan tepat di wajahku.
Lauren mendorongku ke kursi belakang taksi. Aku bergegas masuk dan merosot ke bawah, melakukan segala yang terbaik untuk bersembunyi. Seandainya saja aku bisa lenyap tanpa jejak.
“Jalan! Cepat!” Teriak Lauren pada si sopir.
Pengemudi melaju tanpa kata-kata. Secepat kilat keluar dari tempat ini, membuat kami merosot di kursi vinil yang retak. Dahiku memantul di belakang kursi penumpang (untungnya empuk). Lauren menarik sabuk pengaman ke arahku dan memasukkannya ke dalam gesper. Tanganku sepertinya tidak berkerja. Segalanya melonjak dan gelisah.
“Bicaralah padaku”, Kata Lauren.
“Ah....” tak sepatah katapun terucap. Aku mendorong kacamatanya ke atas kepalaku dan menerawang. Rusukku sakit dan jantungku masih berdetak sangat kencang.
“Ev?” dengan senyuman kecil Lauren menyenggol lututku. “Apakah kamu kebetulan menikah ketika kami pergi?”
“Aku... yeah. Aku, ya aku. Ku rasa”.
“Wow”.
Dan kemudian segalanya menyembur keluar. “Oh Tuhan Lauren. Aku sangat mengacau dan aku bahkan tak mengingatnya sama sekali. Aku terbangun dan dia ada disana dan kemudian dia sangat kesal padaku dan aku bahkan tidak menyalahkan dia. Aku tak tau gimana caranya memberitahumu. Aku hanya ingin berpura-pura tak pernah terjadi apapun”.
“Kurasa itu tak akan berhasil sekarang”.
“Tidak”.
“Okay. Tak masalah. Jadi kau sudah menikah”. Lauren mengangguk, wajahnya amat sangat kalem. Tak ada kemarahan, tidak ada penghakiman. Aku merasa bersalah tidak menceritakan padanya. Kami berbagi segalanya.
“Aku minta maaf”, kataku. “aku seharusnya memberitahumu”.
“Ya, seharusnya. Tapi tak masalah”. Dia meluruskan roknya seakan kita sedang duduk-duduk minum teh. “Jadi, siapa yang telah kau nikahi?”.
“D-David. Namanya David”.
“David Farris, mungkin?”.
Nama itu terdengar familier. “Mungkin?”.
“Kita akan menuju kemana?”, tanya si supir taksi, dan tanpa mengalaihkan matanya dari jalanan. Dia menyalip keluar masuk dengan kecepatan supranatural. Jika aku bisa merasakan sesuatu, kemungkinan sekarang aku ketakutan dan mual lagi. Teror buta. Tapi aku tak bisa merasakan apapun.
“Ev?” Lauren berputar arah dari kursinya, memeriksa mobil-mobil di belakang kami. “Kita belum kehilangan jejak mereka. Kemana kamu mau kita pergi?”.
“Rumah”, kataku, tempat aman pertama yang aku pikirkan. “Rumah orang tua ku maksudku”.
“Pilihan yang bagus. Mereka punya pagar”. Tanpa menjeda napas, Lauren mengocehkan alamat ke si supir taksi. Dia mengerutkan kening dan mendorong kacamata kembali ke wajahku. “Tetap kenakan”.
Aku tertawa terbahak-bahak saat dunia di luar berubah menjadi noda. “Kau benar-benar berpikir ini akan membantu, sekarang?”.
“Tidak”, sambil meyelipkan rambutnya yang panjang. “Tapi orang-orang dalam situasi ini selalu mengenakan kacamata hitam. Percayalah padaku.
“Kau terlalu banyak nonton tv “ aku memejamkan mata. Kacamata hitam itu tak membantu rasa mabukku. Tidak juga selebihnya. Semuanya adalah kesalahan sialanku. “aku minta maaf aku tidak mengatakan apapun. Aku tidak bermaksud untuk menikah. Aku bahkan tak ingat tentang yang telah terjadi. Ini seperti......”.
Gugusan kesialan”.
“Yah kata-kata itu mewakili”.
Lauren mendengus dan mengistirahatkan kepalanya di bahuku. “Kau benar. Kau tidak seharusnya minum Tequila lagi”.
“Tidak akan”. Aku setuju.
“bisakah kau meniolongku?” dia bertanya.
“Mm?”.
“Jangan hancurkan band favoritku”.
“Ohmygod”. Aku mendorong kacamata hitam ke atas . Sangat cemberut hingga membuat keplaku berdenyut. “Gitaris. Dia seorang gitaris. Dari situlah aku mengenalnya”.
“Ya. Dia gitaris dari Stage Dive. Mudah dikenali”.
Si David Ferris. Dia ada di dinding kamar tidur Lauren selama bertahun-tahun. Memang, dia adalah orang terakhir yang aku harapkan ketika bangun tidur. Tapi sialan bagaimana bisa aku tidak mengenalinya? “Itulah kenapa dia bisa membayar cincin?”.
“Cincin apa?”.
Sambil meringkuk di kursi, aku menarik cincin raksasa dari saku celana jeansku, dan menepis benang dan bulu yang menyangkut. Berlian nya berkilauan di tengah hari.
Lauren mulai gemetaran di sampingku, tawa terbahak-bahak lepas dari bibirnya. “Mother of God. Ini besaaaaaar”.
“Aku tau”.
“Oh tidak, sungguh”.
“Aku tau”.
“Sialan, aku. Kurasa aku akan mengompol”. Dia menjerit, mengipasi wajahnya dan melompat naik turun di kursi mobil. “Lihat itu!”.
“Lauren, berhentilah. Kita berdua tidak boleh sama-sama panik. Ini tak akan berhasil”.
“Benar. Maaf “. dia berdeham, tampak berusaha mengendalikan dirinya sendiri. “Berapa harganya?”.
“Aku benar-benar tak ingin menebaknya”.
“Ini. Sangat. Gila”.
Kami berdua menatap cincinku dalam keheningan.
Tiba-tiba Lauren mulai melompat-lompat di kursinya lagi seperti anak-anak yang mengendarai sugar high. “aku tau. Ayo kita jual, lalu kita backpacking ke eropa. Sial. Kita bahkan mengitari globe beberapa kali. Bayangkan itu”.
“Tidak bisa,” kataku, sama tergodanya seperti kedengarannya. “aku harus mengembalikannya entah bagaimana. Aku tak bisa menyimpan ini”.
“Sayang sekali”, dia menyeringai. “jadi selamat kau sudah menikah denga Rock Star”.
Aku menyelipkan cincin kembali ke sakuku. “Terima kasih. Jadi apa yang harus aku lakukan?”. “Sejujurnya aku tak tau”. Dia menggelengkan kepalanya kepadaku, matanya dipenuhi keheranan. “kau telah melampui semua harapanku. Aku ingin kau sedikit menggeraikan rambutmu. Nikmati hidup dan berikan manusia lain kesempatan. Tapi ini adalah tingkat kegilaan baru yang pernah kau hadapi. Apakah kau benar-benar memiliki tato?”.
“Ya”.
“tato namanya?”
Aku mendesah dan mengangguk.
“Dimana, bisakah aku bertanya?”
aku memejamkan mata dengan erat. “bokong kiriku”.
Lauren kehilangan kendali, dia tertawa terbahak bahak hingga air mata mengalir di wajahnya.
Sempurna.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

STUCK UP SUIT Chapter 8

GRAHAM AKU TIDAK MENDENGAR KABAR NYA SEPANJANG HARI di hari sabtu, dan tidak seperti yang aku harapkan juga. Soraya Venedetta san...