Selasa, 27 Februari 2018

Final Chapter Bound by Honor

Mandi adalah sebuah perjuangan. Aku harus menutupi perbanku dengan pembungkus tahan air, yang merupakan kerumitan utama, tapi rasa air hangat yang membasuh darah dan keringat tidak sia-sia. Gianna, Lily dan Fabi telah pulang kurang dari sejam yang lalu. Ayah memaksa mereka pulang. Bukan berarti mereka jauh lebih aman di Chicago. Bravta juga sudah mendekat ke Outfit. Minimal, aku bisa bersama mereka sedikit lebih lama dari yang direncanakan. Mereka teus-terusan membuatku terhibur saat aku terbaring di tempat tidur dan Luca sedang mengurus segalanya. Sebagai seorang Capo dia tidak bisa membebani anak buahnya. Dia harus menunjukan pada mreka dia memiliki rencana tindakan.
Aku sudah merasa jauh lebih baik. Mungkin itu efek obat penghilang rasa sakit yang aku dapatkan dua jam yang lalu. Aku melangkah keluar dari kamar mandi dan dengan canggung mengenakan celana dalamku. Aku tak bisa menggerakan kedua lenganku, tapi Doc berkata aku harus menggerakan tangan kiriku sesedikit mungkin. Mengenakan baju tidur terbukti lebih sulit. Aku berhasil menyelipkan satu tali pada bahuku yang terluka saat aku melangkah kembali ke kamar tidur dimana aku menemukan Luca sedang duduk diatas tempat tidur. Dia segera bangun.
“Sudah selesai urusannya?”
dia mengangguk. Dia mendekatiku, dan memasangkan tali kedua di tempatnya, lalu dia menuntunku ke tempat tidur, dan menyuruhku duduk. Kami belum sempat berbicara berdua sejak percakapan kami yang pertama dan aku kemudian terlalu lemas karena morfin.
“Aku baik-baik saja” kataku lagi karena dia terlihat butuh untuk mendengar itu. Dia tidak mengatakan apapun dalam waktu yang lama sebelum akhirnya dia berlutut di depanku dan menekan wajahnya di perutku. “Aku bisa saja kehilangan dirimu dua hari yang lalu”.
Aku bergidik. “Tapi nyatanya tidak”.
Dia melirik ke atas. “Kenapa kau melakukan itu? Kenapa kau menghadang peluru untukku?”.
“Apa kau sungguh tidak tau mengapa?” aku berbisik.
Dia menjadi sangat kaku, tapi dia tidak mengatakan apapun.
“Aku mencintaimu, Luca”. Aku tau mengungkapkannya adalah sebuah resiko, tapi aku sudah berpikir bahwa aku akan mati dua hari yang lalu, jadi ini bukanlah apa-apa.
Luca mengangkat wajahnya ke wajahku dan menangkup pipiku. “Kau mencintaiku”. Dia berkata seakan aku telah mengatakan bahwa langit berwarna hijau, atau mengatakan bahwa matahari mengitari bumi atau bahwa api rasanya dingin saat di sentuh. Seakan yang aku katakan tidak masuk akal, seakan aku tidak cocok pada pandangannya akan dunia. “Kau tidak seharusnya mencintaiku, Aria. Aku bukanlah seseorang yang patut untuk dicintai. Orang-orang takut padaku,mereka membenciku, mereka menghormatiku, mereka mengagumiku, tapi mereka tidak mencintaiku. Aku seorang pembunuh. Aku ahli dalam membunuh. Lebih baik dari hal lainnya, dan aku tidak meragukan itu. Sialan, terkadang aku bahkan menikmatinya, inikah pria yang ingin kau cintai?”.
“Ini tidak ada hubungannya dengan keinginan,Luca. Ini tidak seperti aku punya pilihan untuk berhenti mencintaimu”.
Dia mengangguk, seakan telah banyak penjelasan. “Dan kau benci karena kau mencintaiku. Aku ingat kau pernah mengatakan itu sebelumnya”.
“tidak, tidak lagi. Aku tau kau bukan pria yang baik. Aku selalu tau itu, dan aku tak peduli. Aku tau aku seharusnya peduli. Aku tau aku seharusnya terbaring nyalang di malam hari membenci diriku sendiri karena tidak masalah dengan suamiku yang menjadi bos salah satu organisasi kejahatan paling brutal dan mematikan di Amerika. Tapi itu tidak kulakukan. Jadi bagaimana aku menurutmu?” aku berhenti, menatap ke tanganku, tangan yang telah menggenggam senjata dua hari yang lalu, jari yang telah menarik pelatuk tanpa ragu, tanpa berjedut ataupun gemetar. “dan aku telah membunuh seorang pria dan aku tidak menyesal. Tidak sedikitpun. Aku akan melakukan itu lagi”. Aku memandang sekilas ke Luca. “Jadi itu membuatku jadi apa, Luca? Aku pembunuh sepertimu”.
“Kau melakukan apa yang harus kau lakukan. Dia layak mati”.
“Tak ada salah satu diantara kita yang tidak layak mati. Kita mungkin lebih layak mati dibanding orang kebanyakan”.
“Kau orang baik, Aria. Kau tidak bersalah, aku memaksamu melakukan ini”.
“Tidak Luca. Aku terlahir di dunia ini. Dan aku memilih tinggal di dunia ini”. Kata- kata pada pesta pernikahanku muncul dalam benakku. “Terlahir di dunia kita berarti terlahir dengan darah di tanganmu. Dan setiap napas yang kita ambil, dosa terukir lebih dalam ke dalam kulit kita”.
“Kau tidak memiliki pilihan. Tak ada jalan keluar dari dunia kita. Kau bahkan tak memiliki pilihan saat menikahiku. Jika kau membiarkan peluru membunuhku, setidaknya kau akan terbebas dari pernikahan ini”.
“Ada beberapa hal baik dalam dunia kita, Luca, dan jika kau menemukan ,kau berpegang teguh dengan semua kekutanmu. Kau adalah salah satu hal baik dalam kehidupanku”.
“Aku bukan orang baik”, kata Luca hampir putus asa.
“Kau bukan orang yang baik, bukan. Tapi kau baik untukku. Aku merasa aman dalam pelukanmu. Aku tidak tau mengapa, tidak tau mengapa aku mencintaimu, tapi aku tetap mencintaimu, dan itu tak akan berubah”.
Luca memejamkan mata, tampak hampir putus asa. “Cinta adalah resiko di dunia kita, dan Kelamahan yang tak bisa di tanggung seorang Capo”.
“Aku tau”. Kataku bahkan saat tenggorokanku tercekat.
Mata Luca mendadak terbuka, galak, dan berkobar karena emosi. “tapi aku tak peduli karena mencintaimu adalah satu-satunya hal suci dalam hidupku”.
Air mata bersimbah dimataku. “Kau mencintaiku?”.
“Ya, walaupun seharusnya tidak. Jika musuh-musuhku tau betapa berartinya dirimu untukku, mereka akan melakukan apapun untuk menyakitimu, untuk melukaiku melalui dirimu, untuk mengontrolku dengan mengancam dirimu. Bravta akan mencoba lagi, dan yang lainnya juga. Ketika aku menjadi anggota mafia, aku bersumpah untuk mengedepankan Familia, dan aku memperkuat sumpah ku ketika aku menjadi Capo dei Capi meskipun aku tau aku berbohong. Pilihan utamaku seharusnya selalu Familia”.
Aku menahan napas, tak mampu mengucapkans epatah katapun. Tatapan yang dia berikan apdaku hampir membuaku hancur lebur.
“Tapi aku adalah pilihan utamaku, Aria. Aku akan membakar dunia jika perlu. Aku akan membunuh dan melukai, memeras. Aku akan melakukan apapun untukmu. Mungkin cinta adalah sebuah resiko, tapi ini dalah resiko yang sukarela aku ambil seperti yang telah kau katakan, ini bukanlah sebuah pilihan. Aku tak pernah berpikir aku akan begini, tak pernah berpikir aku bisa mencintai seseorang seperti itu tapi aku telah jatuh cinta padamu. Aku melawannya. Dan ini adalah pertarungan pertama yang tak mengapa jika aku kalah”.
Aku memeluknya erat-erat, menangis, lalu merintih karena nyeri di pangkal bahuku. Luca menarik diri. Kau butuh istirahat. Tubuhmu butuh penyembuhan”. Dia menyuruhku berbaring tapi aku memegangi lengannya. “aku tak ingin istirahat. Aku ingin bercinta denganmu”.
Luca tampak sedih. “Aku akan menyakitimu. Jahitannmu bisa robek”.
Aku mengangsurkan tanganku dari dadanya , perutnya yang kencang sapai aku mengelus tonjolan di boxernya. “Dia setuju denganku”.
“Dia selalu setuju, tapi dia bukanlah suara yang masuk akal, percayalah padaku”.
Aku terkikik, lalu mengernyit saat rasa sakit meluncur turun dari lenganku.
“kumohon”, bisikku. “Aku ingin bercinta denganmu. Sudah lama aku menginginkan ini”.
“Aku selalu bercinta denganmu , Aria”.
Aku menelan ludah, dan mulai membelai ereksi Luca melalui kain tipis. Dia tidak menarik diri. “Apa kau tidak menginginkan ini”.
“Tentu saja aku menginginkannya. Kita hampir kehilangan satu sama lain. Tak ada yang kuinginkan selain berada sedekat mungkin denganmu”.
“Bercintalah denganku lambat dan lembut”.
“Lambat dan lembut”. Luca berkata dengan suara pelan dan aku tau aku telah mendapatkan dia. Dia turun ke bawah ke ujung tempat tidur dan mulai memijat kakiku dan betisku. Aku membuka kakiku lebar. Baju tidurku tertarik ke atas, menampakkan celana dalam putihku di hadapan Luca. Matanya menjelajah ke atas dan aku tau dia bisa melihat betapa aku menginginkan dan membutuhkan ini. Luca menggeram di atas tungkaiku, kemudia menjalarkan jarinya naik ke kakiku, hanya mengusap sekilas sampai dia mengusap bagian tengahku dengan ujung jarinya. Celana dalamku menempel di intiku yang licin dan panas. “Kau membuat lambat dan lembut sulit untukku. Jika kau tidak terluka aku akan mengubur diriku di dalam dirimu dan membuatmu menjeritkan namaku”.
“Jika aku tidak terluka, aku ingin kau melakukanya”.
Luca menjentikan lidahnya di pergelangan kakiku, lalu dengan lembut menghisap kulitku ke mulutnya. “Milikku”.
Kemudian dia memenuhi betis dan pahaku dengan kecupan, mengucapkan kata “Milikku” berulang-ulang saat bergerak ke arahku. Dia menurunkan celana dalamku, lalu duduk diantara kakiku dan mencium bibir luar vaginaku. “milikku” dia berbisik di atas daging lembabku. Aku melengkung dan langsung tersentak kesakitan.
“Aku ingin kau rilex sepenuhnya. Tidak menegangkan otot-ototmu, atau bahumu akan sakit”, katanya, bibirnya menggesek ku saat dia berbicara dan membuatu basah karena gairah.
“Aku selalu tegang ketika aku klimaks”. Kataku menggoda. “Dan sungguh aku ingin benar-benar orgasme”.
“Kau akan mendapatkannya, tapi tanpa menegang”.
Aku tidak mengatakan bahwa kurasa itu tidak mungkin. Luca mungkin bisa melihat dari wajahku dan ekspresinya mengatakan bahwa dia menerima tantangan itu.
Seharusnya aku lebih sering menantangnya. Dia mulai menyenangkanku dengansentuhan selembut sutra dan mencium dan menjilat yang membuat telapak kakiku melengkung akan kebutuhan. Otot-ototku mengendur dan pikiranku melayang menjadi kepompong kenikmatan. Lenguhanku yang pelan dan suara mulut Luca di selangkanganku bercampur dengan keheningan ruangan. Sebuah simpul perlahan terbentuk jauh di lubuk hatiku, dan tiap gesekan lidah Luca mengencangkannya dan kemudian dengan kenikmatan perlahan simpulnya terurai dan orgasmeku mengalir seperti madu, dan aku melepaskan napas panjang saat Luca tetap menjaga Orgasme mengalir seakan selamanya dengan sentuhan seringan bulu. Aku melihatanya bangkit melalui kabut yang tak ada hubungannya dengan obat penghilang rasa sakit. Dia melepaskan boxernya saat aku berbaring seperti tumpukan tanpa tulang di tempat tidur. Tubuhku bersenandung seakan-akan setiap sel telah diresapi dengan kenikmatan yang manis. Dia membentang di atasku, ujungnya di pintu masukku. Lalu dia menyelinapa ke dalam diriku dengan sangat pelan, meregangkan tubuhku. Aku menghembuskan napas panjang saat dia benar-benar mengisi tubuhku.
“Milikku”, dia berkata dengan pelan.
Aku menatap matanya saat dia menarik sedikit demi sedikit sampai hanya ujungnya yang ada di dalam diriku sebelum meluncur masuk. “Milikmu”, bisikku.
Jalan yang membentang di depan kami , adalah kegelapan, kehidupan yang penuh darah dan kematian dan mara bahaya,sebuah masa depan yang selalu mengawasi dibelakangku, dengan mengetahui bahwa setiap hari bisa menjadi hari terakhir Luca, ketakutan suatu hari harus melihat Luca mendapatkan tembakan mematikan. Tapi inilah dunia ku dan Luca adalah pria ku, dan aku akan menjalani takdir ini dengan dia hingga akhir yang pahit.
Saat dia bercinta denganku, aku menyentuh tato diatas jantungnya, merasakan jantungnya berdetak dibawah telapak tanganku. Aku tersenyum. “Milikku”.
“Selalu”. Kata Luca.

Minggu, 25 Februari 2018

Bound by Honor Chapter Tujuh Belas

Awan tebal menggantung di Langit New York, tetapi hujan tidak turun. Ini cocok untuk kesempatan kali ini. Untuk pemakaman Salvatore Vittielo, elit New York, Familia serta anggota terpenting dari Chicago telah berkumpul di pemakaman. Pemakaman di sekelilingnya telah di tutup dan sebagian besar anggota New York berjaga untuk memastikan The Bravta tidak mengganggu pemakaman tersebut. Pertemuan anggota terpenting New York dan Chicago saat ini merupakan sebuah resiko, tapi menghormati Capo dei Capi lebih penting.
Luca berdiri tegak dan tabah disamping makam ayahnya. Dia sekarang adalah Capo dei Capi baru dan dia tidak bisa menunjukan sedikit kelemahan apapun, bahkan setelah kematian ayahnya. Luca dan ayahnya tidak terlalu dekat dengan ayahnya dalam pengertian tradisional, tapi kehilangan orang tua mu, tak peduli sekejam dan sedingin apapun orang tuamu, selalu menciptakan lubang dalam dirimu. Bisa kukatakan banyak pria yang lebih tua di Familia menatap Luca dengan tatapan penuh perhitungan di mata mereka.
Luca tidak menunjukan indikasi apapun bahwa dia menyadari tapi tentu saja itu hanya sebual peran. Jadi segera setelah dia mendapatkan kekuasaannya adalah saat yang paling berbahaya. Aku tidak mengenal Salvatore Vittielo dengan baik dan aku tidak menyesal. Untukku pemakamannya hanya berarti satu hal; aku memiliki kesempatan untuk bertemu keluarga ku lagi.
Gianna, Fabi dan Lily berdiri bersama ayah dan ibu diantara para tamu dari Chicago Outfit. Mereka tiba pagi ini dan aku tidak sabar untuk meluangkan waktu bersama mereka. Setiap tamu menjabat tangan Luca, menepuk bahunya, mengucapkan beberapa kata penghiburan, kebanyakan dari mereka berbohong. Berapa banyak dari orang-orang ini yang menunggu kesempatan untuk merampas kekuasaan dari tangan Luca?
Ketika sampai pada giliran ayahku, aku harus menahan diriku untuk tidak menyerangnya karena menyetujui pernikahan antara Gianna dan Matteo. Sebagai gantinya aku menggertakan gigiku dan memberi senyum dingin. Gianna dengan tajam menghindari mata Matteo. Dia sudah kehilangan beberapa berat badan dan membuatku sedih karena melihat dia tanpa harapan.
Aku senang pemakaman telah selesai. Orang-orang itu mengadakan pertemuan yang telah dijadwalkan pada malam hari untuk membahas meningkatnya serangan orang-orang Rusia. Di dunia kami tidak ada waktu untuk meratapi kematian berlarut-larut. Chicago dan New York perlu menemukan cara untuk menghentikan Bravta sebelum Capo kehilangan nyawanya. Dan itu akan menjadi Luca, atau Dante Cavallaro.
**
Luca menginginkanku keluar dari New York, jadi dia mengirimku ke Vittielo Mansion di Hamptons. Gianna, Fabi dan Lily diijinkan untuk menemaniku semalam sebelum mereka harus pulang ke Chicago besok sore. Aku memiliki firasat ayah berharap mengatakan beberapa alasan masuk akal pada Gianna tentang kesepakatan pernikahannya dengan Matteo. Pesta pertunangan telah direncanakan pada awal November, jadi Gianna tidak punya waktu lama untuk menyesuaikan diri. Ibu tinggal bersama Ayah di Manhattan, tapi mereka mengirim Umberto bersama kami. Dia , Cesare dan Romero harus menjaga kami tetap aman.
Kami tiba di Mansion sekitar jam makan malam dan staf sudah menyiapkan makan malam untuk kami. Hatiku membuncah dengan bahagia saat Gianna, Lily , Fabi dan aku duduk bersama di meja makan yang panjang, tapi agak hening, karena ketiga pengawal kami membicarakan ancaman Rusia dengan suara sunyi, dan oleh Gianna yang menolak makan lebih dari dua gigitan. Aku tidak ingin membicarakan pertunangannya dengan Matteo dengan semua orang ada disana. Kemudian saat mereka tidur, Gianna dan aku punya cukup waktu untuk itu.
Fabi adalah satu-satunya yang menghidupkan percakapan di sisi meja kami saat dia memberitahuku dengan penuh semangat tentang koleksi pisau yang diberikan ayah untuknya. Lily sibuk diam-diam mengagumi dengan Tatapan kagum ke Romero yang sama sekali tidak menyadari tatapan kagumnya.
Setelah makan malam, kami pindah ke Loggia yang menghadap ke laut. Langit malam disini berkelip dengan bintang-bintang. Di New york kau akan jarang sekali melihatnya. Cesare telah pergi untuk melakukan apa yang mungkin dia lakukan, mungkin memeriksa sistem keamanan, dan Umberto serta Romero telah menetap di ruang tamu; darisana mereka bisa tetap mengawasi kami tanpa harus mendengar percakapan kami. Faby berbaring meringkuk disamping Lily, tertidur lelap, saat dia mengetik di ponselnya saat sesekali dia melirik Romero.
“Apa kau ingin berbicara?” aku berbisik ke Gianna yang duduk disampingku, kedua kakinya di tekan ke dadanya. Dia menggelengkan kepalanya. Rasanya seolah ada keretakan diantara kami sejak dia mendapat berita akan pertunangannya dan aku tidak tau mengapa. “Gianna, Please”.
“Tak ada yang bisa dibicarakan”.
“Mungkin itu tak seburuk yang kau pikirkan”. Dia menatapku tak percaya tapi aku terus berbicara. “Ketika aku tau aku harus menikah dengan Luca, aku sangat ketakutan, tapi aku harus menyesuaikan diri dengan Luca. Luca dan aku berjalan jauh lebih baik dari yang aku pikirkan”.
Gianna melotot. “Aku tidak seperti dirimu, Aria. Kau ingin menyenangkannya, melakukan apapun yang dia katakan. Aku tidak seperti itu. Aku tidak akan tunduk pada siapapun”.
Aku tersentak. Gianna tak pernah mengecamku seperti itu.
Dia melompat berdiri. Aku mencoba menangkap lengannya tapi dia mengguncangku. “Tinggalkan aku sendiri. Aku tidak ingin berbicara denganmu sekarang”. Dia berbalik dan bergegas menuju pantai. Aku berdiri, tidak yakin apakah harus mengikutinya, tapi aku tau dia tidak akan mendengarkanku saat dia sedang seperti itu. Umberto melangkah keluar. Aku mengangkat tangan. “Jangan, beri waktu beberapa menit untuk dia menenangkan diri. Dia sedang kesal”.
Umberto mengangguk, lalu matanya melesat ke Fabi. “Saya harus membawanya ke tempat tidur”.
Aku sudah akan mengangguk saat alarm- yang memekakan telinga memecah keheningan, tapi alarm berhenti beberapa menit kemudian. Mata Fabi melebar saat dia berpegangan erat pada Lily, keduanya menatap ka arahku seolah aku tau apa yang sedang terjadi. Romero bergegas ke arah kami, dua senjata ditarik, , ketika sebuah titik merah nampak di kening Umberto. Aku menjerit tapi itu sudah terlalu terlambat. Ada tembakan dan kepala Umberto terpental ke belakang, darah memercik ke segala penjuru. Lily mulai menjerit, dan aku masih tidak bisa bergerak. Aku menatp ke mata Umberto yang tewas. Seorang pria yang aku kenal sepanjang hidupku.
Romero melemparkan diri ke arahku, dan kami mendarat di lantai saat peluru kedua menghantam pintu kaca, membuat pecahannya berhamburan.
“Apa yang terjadi?” teriakku, kepanikan mengguncang tubuhku.
“The Bravta”, hanya itu yang Romero katakan saat dia menggiring kami melewati ruang tamu. Aku berjuang melawan dia. Lily dan Fabi meringgkuk di samping kursi santai, masih di area tembak si sniper. “Selamatkan mereka!”.
Tapi Romero mengabaikan perintahku dan dia terlalu kuat untukku. Dia mendorongku ke dinding di dalam ruang tamu, cengkramannya menggigit kulitku, matanya tajam dan liar. “Tetaplah disini jangan bergerak”.
“Lily dan Fabi”, aku tersentak.
Dia mengangguk, lalu merunduk dan bergegas kembali ke luar. Aku gemetar. Romero kembali bersam,a saudara ku, yang berpegangan padanya dengan putus asa. Aku memeluk mereka dengan erat-erat saat mereka berbaring disampingku. Dan kemudian dunia ku oleng.
“Gianna”, Bisikku.
Romero tidak mendengarku. Dia berteriak ke teleponnya. “Dimana? Berapa banyak?” wajahnya pucat. “Persetan”, dia betpaling padaku dan ekspresinya membuat perutku mencelos. “Rusia ada di property itu. Terlalu banyak untuk kita. Aku akan membawamu ke panic room di basement dan kita akan menunggu disana sampai bantuan tiba”.
Dia menggenggam lenganku tapi aku menariknya. “Bawa Lily dan Fabi kesana. Aku harus memperingatkan Gianna”.
“Kau adalah tanggung jawabku”. Romero mendesis. Disuatu tempat , kaca pecah berhamburan. Dan suara tembakan berdentang.
“Aku tidak peduli. Aku tak akan ikut denganmu, dan kau akan menuruti apa yang aku katakan. Bawa mereka ke panik room. Jika sesuatu terjadi pada Lily dan Fabi aku akan bunuh diri dan tak satupun kekuatan di dunia ini baik dirimu ataupun Luca yang bisa mengubahnya. Aku ingin kau melindungi mereka. Jaga mereka tetap aman.. itu satu-satunya yang penting untukku”.
“Kau harus ikut dengan kami”.
Aku menggelengkan kepala. “Aku harus menemukan Gianna”.
“Luca akan segera datang”.
Aku tau itu tidak benar. “Pergi, Sekarang!”.
Kami saling menatap, akhirnya dia berpaling ke adik-adikku. “ Tetaplah merunduk dan ikuti perintahku”.
Suara pria menjerit kan sesuatu dalam bahasa Rusia, dan lebih banyak tembakan di tembakkan. Cesare tak akan mampu menahan mereka lebih lama lagi jika jumlah suara menjadi indikasi.
Romero mendorong pistol ke rahku. Dan aku mengambilnya, lalu merunduk dan berlari keluar. Darah Umberto memnuhi ubin batu tapi aku tidak melihat ke mayatnya. Aku bergegas menuruni undakan menuju ke teluk saat melihat getaran di ponselku. Aku menariknya keluar dan menempelkan ke telingaku saat aku mengamati pantai untuk mencari Gianna.
“Aria?” suara khawatir Luca terdengar. “Apa kau aman?”.
“Mereka membunuh Umberto”, adalah hal yang pertama keluar dari mulutku.
“Dimana dirimu?”.
“Mencari Gianna”.
“Aria, dimana Romero? Kenapa dia tidak membawamu ke Panic Room?”.
“Aku harus menemukan Gianna”.
“Aria”, Luca terdengar putus asa. “The Bravta menginginkan dirimu. Masuklah ke Panic Room. Aku sedang di Helicopter. Aku akan ada disana dalam dua puluh menit. Aku sudah di perjalanan”. Luca membutuhkan lebih dari dua puluh menit bahkan dengan helicopter dan dia tidak bisa membawa sebanyak mungkin anak buahnya, jadi tidak ada yang bisa mengatakan berapa lama waktu yang dibutuhkannya untuk berjuang masuk ke dalam mansion. Ada kemungkinan dia akan gagal.
Gianna berlari ke arahku, matanya melebar.
“Aku tidak bisa berbicara lagi,” bisikku.
“Aria-”.
“Apa yang terjadi?” tanya Gianna saat dia terhuyung-huyung menghampiriku.
“Bravta”. Aku menariknya ke dermaga tempat perahu itu berlabuh. Akan lebih aman bersembunyi disana dibanding masuk ke dalam dan mencari Panic Room. Papan dermaga menggerang dibawag berat badan kami saat kami berjalan menuju kapal. Tapi kemudian jeritan Lily menembus malam dan aku membeku. Gianna dan aku saling pandang. Tanpa sepatah katapun, kami berbalik dan bergegas ek dalam rumah.
Jantungku berdegup kencang di dadaku saat kami tiba di loggia. Ruang tamu sepi. Aku berlutut disamping Umberto dan mengambil pisaunya walaupun aku gemetaran. Aku menyerahkan satu pada Gianna dan memasukan pisau lipat ke kantong belakangku.
“Ayo” aku berbisik. Aku bahkan tak tau apa yang akan aku dan Gianna lakukan saat kami masuk ke dalam. Aku pernah menembak sekali dan aku pernah mengendalikan pisau hanya waktu aku berlatih tanding dengan Luca , dan itu bukan pertanda baik untuk melawan mafia Rusia. Tapi aku tau aku tak akan bisa hidup dengan diriku sendiri jika aku sampai kehilangan Lily dan Fabi.
Gianna dan aku merangkak masuk. Hari sudah gelap. Seseorang pasti mematikan lampu di seluruh rumah. Aku menahan napasku tapi ini sungguh keheningan yang menakutkan. Aku mendekato pintu yang mengarah ke lobbi saat sebuah lengan terangkat dan melingkari pinggangku. Aku berseru, berjuang, mencoba memirinhkan pistol ke arah penyerangku, tapi dia memutar pergelangan tanganku. Rasa sakit melanda pergelangan tanganku dan pistol terjatuh dari jariku. Gianna terkesiap di belakangku. Aku menendang. Sebuah suara yang dalam menggeram dibelakang ku dalam bahasa Rusia. Ya Tuhan. Kakiku menghantam tulang keringnya. Dia mendorongku menjauh dan sebelum aku bisa menggapai keseimbanganku dia meninju bibirku. Penglihatanku menjadi gelap dan aku berlutut saat darah memenuhi mulutku dan menetes di daguku, rasa asin yang hangat membuat empedu naik ke tenggorokanku.
Jari -jari menjambak rambutku dan aku terhimpit di kakiku, menangis karena sakit di kulit kepalaku. Penyerangku tidak peduli dan dia menyeretklu ke lobi dengan menarik rambutku. Aku bisa melihat Gianna di pelukan pria jangkung lainnya. Dia pingsan, memar telah terbentuk di dahinya.
Aku di lemparkan ke lantai di depan kaki berpakaian jeans dan dengan cepat aku menatap ke arah wajah bopeng dan mata biru dingin. “Siapa namamu, pelacur?” tanyanya dengan bahasa inggir beraksen berat. Tidakkah dia mengenaliku? Aku tampak nya terlihat berbeda dengan darah di wajahku. Aku menatapnya dengan sikap menantang. Dia menendang perutku dan aku terjungkal, terengah-engah. “Siapa namamu?”.
Mataku terarah ke tubuh disebelah kananku. Cesare. Dia membuat suara berdeguk, mencengkram luka berdarah di perutnya. Aku tidak melihat Lily, Fabi ataupun Romero dimanapun dan aku berharap mereka berhasil sampai di panik room. Paling tidak, mereka akan bertahan.
Sebuah tangan mencengkram daguku dan merenggut kepalaku. “Maukah kau memberitahuku namamu atau aku harus membuat Igor menyakiti dia?” dia mengangguk ke arah Gianna yang terbaring disisinya di lantai marmer, berkedip linglung.
“Aria”, kataku pelan.
“Seperti Aria Vittielo?” seorang bertanya dengan senyuman kejam.
Aku mengangguk. Tak ada gunanya menyangkal hal itu. Dia mengatakan sesuatu dalam bahasa Rusia dan orang-orang itu terbahak-bahak. Kulitku merinding karena cara mereka menatapku.
“Dimana yang lainnya? bayanganmu dan para anak-anak?”.
Membutuhkan waktu beberapa menit untuk menyadari akan siapa yang dia maksud dengan bayangan. “Aku tidak tau”. Kataku .
Igor menedang Gianna. Dan dia menjerit. Matanya menatapku dan aku bisa melihat dia tidak ingin aku mengatakan apapun, tapi bagaimana aku bisa tahan melihat mereka menyakitinya?
Suara-suara serta tembakan mendekat dari arah luar. Pemimpin rusia menarikku dan menarik punggungku ke dadanya sebelum menekan pisau di tenggorokanku.
Rasa takut melumpuhkan tubuhku saat aku mendengar suara pertempuran. Aku diseret mundur mendekati ruang tamu. Igor menarik Gianna dengan menarik rambutnya. Gianna tampaknya tak mampu berdiri. Seorang mafia rusia terlempar kebelakang saat peluru menembus tenggorokannya. “Kami menangkap istrimu , Vittielo. Jika kau ingin melihatnya tetap utuh sebaiknya kau berhenti menyerang dan jatuhkan senjatamu”.
Luca masuk, pistol di masing-masing tangan. Matteo ada di belakangnya.
“Jadi, ini istrimu , Vittielo?” kata pria itu, napas panasnya di leherku. Aku menggeliat di dekapannya tapi dia memelukku erat-erat. Pisau itu mengiris kulitku dan aku menjadi diam.
Wajah Luca adalah sebuah topeng penuh kemarahan saat dia menatap penyanderaku. Mateo memutar-mutar pisau di tangannya berkali-kali, matanya berkedip ke arah Gianna yang gemetar di lantai. Cesare berhenti berdeguk. Malam ini bisa berakhir dengan kami yang tenggelam dalam darah kami sendiri.
“Lepaskan dia, Vitali”. Luca menggeram.
Vitali meraih tenggorokanku. “Kurasa tidak”.
Aku hampir tidak bisa bernapas dalam pelukannya, tapi yang kupikirkan hanyalah aku bisa kehilangan semua orang yang aku cintai malam ini. Aku tak tahan menyaksikan semua orang mati.
“Kau mengambil sesuatu yang menjadi milik kami, Vittielo, dan sekarang aku memiliki sesuatu yang menjadi milikmu”. Vitali menjilat pipiku dan aku hampir muntah. “Aku ingin tau dimana tempatnya”.
Luca melangkah maju, lalu membeku saat Vitali mengangkat pisau ke tenggorokanku lagi. “Jatuhkan senjatamu atau aku akan memotong tenggorokannya”.
Vitali tolol saat mengira Luca akan melakukan itu, tapi kemudian aku menyaksikan dengan ngeri saat Luca menjatuhkan senapannya ke lantai.
“Istrimu rasanya nikmat. Aku ingin tau apakah dia terasa nikmat dimanapun”. Dia membalik tubuhku sehingga aku menghadapnya. Napasnya yang berbau busuk menusuk wajahku. Dari sudut mataku, aku bisa melihat Luca mengawasiku, tapi aku berharap dia bisa berpaling. Aku tak ingin dia melihat ini. Bibir Vitali mendekat. Aku yakin aku akan muntah.
Aku mencoba menghindar ke belakang tapi dia tertawa terbahak-bahak dan mencengkram pinggulku tapi aku hampir tidak menyadarinya, karena pergerakanku, pisau lipat menusuk pantatku. Saat Vitali menjilati daguku, aku menyelipkan tanganku ke kantong belakangku, menarik pisau keluar, melepaskan pisau itu, dan menghujamkannya ke pahanya.
Dia berteriak, terhuyung mundur dan peperangan pecah. Luca praktis terbang melintasi ruangan dan menarikku ke arahnya saat dia menggorok tenggorokan Vitali dari arah telinga satu ke telinga satunya. Kepala pria itu miring kebelakang, dan darah menyembur keluar, lalu dia terjungkal. Peluru merobek udara, dan terjerat. Lantai licin karena darah dan hanya lengan Luca yang memegang lenganku yang menahanku tetap tegak. Dia mungkin telah menjatuhkan pisaunya di satu titik karena dia sedang menembak peluru demi peluru keluar dari pistol hitam ramping dengan peredam. Aku mengambil pistol yang berada di genangan darah. Terasa licin ditanganku tapi bobotnya terasa ringan. Tiba-tiba Romero juga ada disana. Mataku mencoba menemukan Gianna tapi dia telah pergi dari lantai tempatnya tadi.
Luca menembak musuh yang lain lagi dan dia meraih ke bawah untuk mengambil pistol dari pria yang mati saat senjatanya kehabisan peluru, ketika salah satu mafia Rusia di arah kanan kami mengacungkan pistol ke Luca. Aku menjerit untuk memberi peringatan dan pada saat yang sama terseok-seok maju dan mengarahkan senjataku ke orang itu dan melepaskan tembakan. Aku bahkan tidak memikirkan apapun. Aku telah bersumpah pada diriku sendiri bahwa aku tidak akan melihat orang yang aku cintai meninggal malam ini bahkan kalaupun aku harus mati duluan.
Peluru menghantam bahuku dan dunia ku meledak dalam sakit. Tembakanku mengenai kepala pria itu dan dia jatuh mati ke tanah. Luca menarikku ke sisinya, tapi pandanganku menggelap.
Saat aku tersadar lagi, Luca memelukku erat-erat. Terdengar hening di sekitar kami kecuali suara seseorang yang merintih. Butuh beberapa saat bagiku untuk menyadari bahwa itu adalah rintihanku sendiri dan kemudian rasa sakit itu menyelimuti diriku dan aku berharap aku tidak sadar tapi aku perlu tau apakah semua orang baik-baik saja. “Kau baik-baik saja?” kataku dengan suara serak.
Luca gemetar dihadapanku. “Ya” dia menggerutu. “Tapi dirimu tidak”. Dia menekan bahuku. Dan mungkin itu menjelaskan darimana asal rasa skitnya. Bagian depan dan belakang kemejaku licin dengan cairan hangat.
“Bagaimana dengan Gianna, Lily dan Fabi?” aku berbisik bahkan saat kegelapan ingin mengklaimku lagi.
“Baik-baik saja” seru Gianna dari suatu tempat. Dia terdengar jauh atau mungkin itu hanyalah imajinasiku. Luca mengayunkan tangannya ke bawah tubuhku dan berdiri. Aku menangis kesakitan, air mata jebol dari mataku. Lobi penuh sesak dengan orang-orang kami.
“Aku akan mengantarmu ke Rumah sakit”, kata Luca.
“Luca”, Matteo berkata penuh dengan peringatan. “Biarkan Doc menanganinya. Dia telah mengurus bisnis kita selama bertahun-tahun”.
“Tidak”, Luca membentak. “Aria butuh perawatan yang layak. Dia kehilangan terlalu banyak darah”. Aku bisa melihat beberapa anak buah Luca menoleh ke arah yang lain sebelum mereka berpura-pura sibuk. Luca adalah Capo mereka. Dia tidak boleh menunjukan kelemahan, bahkan padaku.
“Aku bisa melakukan transfusi darah”. Terdengar suara yang dalam dan menenangkan. Doc. Umurnya lebih dari enam puluh tahun dengan rambut seputih salju dan wajah yang baik hati.
Cengkraman Luca padaku mengencang. Aku mencengkram lengannya. “Tak apa-apa Luca. Biarkan dia mengurusku. Aku tak ingin kau membawaku ke rumah sakit. Itu terlalu berbahaya”.
Mata Luca menunjukan keraguan, lalu perlahan dia mengangguk. “Ikuti aku!” dia membawaku ke tangga, tapi aku kehilangan kesadaran lagi.

**
aku terbangun di tempat tidur empuk, merasa babak belur dan berkabut. Mataku perlahan terbuka. Gianna berbaring di sampingku, tidur. Di luar terlihat terang, jadi mungkin beberapa jam telah terlewat. Aku memar besar di keningnya, tapi seharusnya aku terlihat lebih parah. Kami sendirian dan kekecewaan memenuhi ku. Aku mencoba duduk dan mendapat ganjaran nyeri di pundakku. Melirik ke bawah aku menemukan lengan dan bahu atasku terbungkus perban.
Gianna menggeliat, dan dia memberiku semyum lega. “Kau sudah bangun”.
“Yeah”, aku berbisik. Mulutku terasa seakan dipenuhi kapas.
“Luca , telah menjaga tempat tidurmu hampir sepanajang malam, tapi Matteo memaksa nya keluar dan membantu Matteo dengan mafia Rusia yang mereka tangkap”.
“Mereka menangkap beberapa?”
“Yeah, mereka mencoba mengambil informasi dari mereka”.
Bibirku berjengit, tapi aku tak bisa merasa kasihan pada mereka. “Bagaimana kabarmu?”.
“Lebih baik dibanding dirimu”. Kata Gianna, kemudian dia memejamkan matanya. “Aku minta maaf karena membentakmu kemarin. Aku akan membenci diriku selamanya jika itu adalah hal terakhir yang aku katakan padamu”.
Aku menggelengkan kepalaku. “Tak apa”.
Dia melompat turun dari tempat tidur. “aku sebaiknya memberitahu Luca bahwa kau telah bangun atau dia akan mencabut kepalaku”.
Dia menghilang, dan beberapa menit kemudian , Luca melangkah masuk. Dia berdiri di ambang pintu, ekspresinya tidak terbaca saat dia membiarkan pandangannya mengembara di atasku. Lalu dia melangkah ke tempat tidur dan mencium keningku. “Kau butuh Morfin?”.
Bahuku serasa seperti dibakar. “Yeah”.
Luca berbalik ke arah meja disamping tempat tidur dan mengambil jarum suntik. Dia meraih lenganku dan menyuntikkan jarum di lekukan lenganku. Ketika dia telah selesai, dia melemparkan jarum suntik ke kotak sampah tapi tidak melepaskan tanganku. Aku mengaitkan jariku. “Apakah kita telah kehilangan seseorang?”.
“Beberapa. Cesare dan beberapa prajurit”. Dia berkata, kemudian terdiam. “Dan Umberto”.
“Aku tau. Aku melihat dia di tembak”. Perutku bergejolak hebat. Masih terasa tidak nyata. Aku harus menulis surat pada istri Umberto, tapi aku butuh pikiran yang waras untuk itu.
“Apa yang dimaksud oleh Vitali ketika dia berkata kau mengambil sesuatu yang menjadi miliknya”.
Bibir Luca menipis. “ kami menggagalkan salah satu pengiriman Narkoba mereka. Tapi itu tidaklah penting sekarang”.
“Lalu apa yang penting?”.
“Bahwa aku hampir kehilangan dirimu. Diriku yang melihatmu tertembak”, kata Luca dengan suara aneh, tapi ekspresinya tidak menunjukan apapun. “Kau beruntung peluru itu hanya mengenai bahu mu. Doc mengatakan itu akan sembuh total dan kau akan bisa menggunakan lenganmu seperti sediakala”.
Aku mencoba tersenyum, tapi morfin membuatku mengantuk. Aku berkedip, berusaha tetap terjaga, Luca membungkuk. “Jangan lakukan itu lagi”.
“Apa?” aku menarik napas.
“Menghadang peluru untukku”.




Kamis, 22 Februari 2018

Bound by Honor Chapter 16

Aku memutar dan berbalik, tidak bisa tidur. Aku tidak terbiasa tidur sendirian di tempat tidur. Meskipun, aku dan Luca sudah tiga hari tidak saling berbicara sejak pertengkaran terakhir kami dan tidak melakukan sex, kami selalu berakhir dengan saling berpelukan sepanjang malam. Tentu saja, pada saat kami bangun kami saling menjauh. Aku rindu akan kedekatan Luca. Aku rindu mengobrol dengannya, merindukan ciumannya, sentuhannya, lidahnya yang panas di antara kakiku. Aku mendesah saat aku menjadi basah. Aku tidak mau menyerah. Seberapa lama sich Luca bisa bertahan tanpa sex?
Bagaimana jika dia bisa? Bagaimana jika dia meniduri Grace lagi? Grace seharusnya ada di inggris tapi siapa yang tau itu benar atau tidak. Atau mungkin Luca menemukan wanita baru untuk di tiduri. Mataku mengarah ke jam. Ini sudah hampir jam dua pagi. Beban yang berat menimpa dadaku. Apakah Luca menyerah dengan pernikahan kami dengan mudahnya?
Kenapa tidak? Dia telah mendapatkan apa yang dia inginkan. Dia sudah mengklaim tubuhku. Dan aku bukanlah satu-satunya orang yang bisa memberi apa yang dia inginkan.
Suara gedoran terdengar di lantai bawah, diikuti dengan suara yang dalam. Romero salah satunya, dan yang satu lagi adalah Luca. Aku turun dari tempat tidur dan dengan terburu-buru berlari keluar hanya dengan gaun tidurku. Aku membeku di anak tangga. Lampu mati tapi bulan dan gedung pencakar langit di sekitarnya cukup terang bagiku untuk melihat apa yang sedang terjadi. Luca mencekik Romero. Aku mundur selangkah lagi dan mata Luca membidik ke arah ku, marah dan liar. Monster itu kembali. Lengannya tertutup darah. Romero berhenti berjuang saat menyadari Luca terlalu kuat.
“Aku tak akan mengkhianati Familia,” Romero tercekik, kemudian terbatuk-batuk. “Aku loyal. Aku rela mati untukmu. Jika aku seorang pengkhianat, Aria tidak akan ada disini, aman, dan tak tergores. Dia akan ada di tangan Bravta”.
Luca mengendurkan pegangannya dan Romero jatuh berlutut, napasnya terengah-engah. Aku melangkah turun menuruni anak tangga yang tersisa, mengabaikan gelengan Kepala Romero padaku. Apa yang sedang terjadi? Luca tak pernah sekacau ini.
“Keluar sekarang” dia membentak Romero. Ketika Romero tidak bergerak, Luca mencengkram kerah bajunya dan melemparnya ke lift. Sebelum pintu lift menutup, tatapan khawatir Romero terarah padaku. Luca memencet kode pada panel di samping lift untuk menonaktifkan lift dan menghentikan orang untuk masuk ke apartemen kami, kemudian dia berbalik ke arahku. Tidak hanya lengannya tapi juga kemejanya di penuhi dengan darah. Aku tidak melihat satu pun lubang peluru di baju ataupun celananya.
“Apa kau baik-baik saja?” kataku, bahkan bisikanku pun terdengar terlalu keras di keheningan ini.
Aku mendekati Luca dengan perlahan saat matanya mengikuti gerakanku seperti harimau yang mengamati antelope. Kilasan asing kegembiraan memenuhi diriku. Terlepas dari yang aku saksikan, aku tau Luca tidak akan benar-benar menyakitiku. Ketika aku hampir sampai padanya, Luca berjalan menghampiriku dan menjatuhkan bibirnya ke bibirku. Aku tersentak dan dia menusukkan lidahnya ke mulutku. Tangannya merobek baju tidurku, metrobeknya dari tubuhku. Ketika bajuku jatuh ke lantai, dia menarik celana dalam berendaku. Tatapan lapar nya menjelajah ke tubuhku,lalu dia menarikku dengan kasar ke arahnya dan menggigit tenggorokanku, lalu putingku. Aku tersentak kesakitan dan bergairah. Seharusnya aku lari seperti yang Luca katakan padaku sejak lama, tapi sisi dia yang ini membuatku bergairah, dan gairahku lebih lantang daripada ketakutanku, bahkan ketika Luca mendorongku ke sofa dan membungkukkan ku di sandaran belakang. Tangannya memegangi leherku saat tangannya yang lain meluncur di lipatanku. Dia mendorong dua jarinya dalam diriku dan menemukan bahwa aku basah dan nyeri. Aku menghembuskan napas kasar saat dinding vaginaku mengepal erat di jari-jarinya. Dia menarik jarinya keluar. Aku mendengar dia membuka tali pinggangnya dan menurunkan resletingnya , dan aku gemetar karena ketakutan dan kegembiraan. Luca menggigit pantatku , lalu punggung bawah, dan tulang belikatku sebelum dia memasukan seluruh tubuhnya ke dalam diriku tanpa peringatan.
Aku berteriak, tapi Luca tidak bergeming, dia menempelkan dadanya di punggungku, sementara dia memlukku dengan satu tangan di dadaku, lalu mulai menggempurku dengan keras dan cepat. Aku menggigit bibirku. Rasanya sakit dan juga nikmat. Setiap kali dia mendorong masuk, dia menyentuk sebuat titik dalam diriku yang membuat percikan kenikmatan dalam diriku. Luca mengulurkan tangan,napasnya yang panas menempel di leherku, mengusap jemarinya di atas klitorisku. Aku menangis dan tersentak dan merintih. Aku bisa merasakan ketegangan terbangun. Suara celana Luca dan geraman Luca membuatku tambah bergairah. Jari-jarinya memelintir putingku dengan sangat sakit, dan dia menggigit leherku, dan bintang-bintang bertebaran didepan pandanganku saat aku meledak. Aku menjeritkan nama Luca lagi dan lagi saat aku gemetar setelah orgasme tapi dia tidak melambat. Dia menghujamku dengan keras dan cepat, jarinya menempel di klitorisku tanpa henti saat napasnya mulai terasa berat, kemudian aku datang lagi, hancur menjadi beribu potongan kecil kenikmatan. Kaki lemas tapi Luca menempelkanku ke sandaran dengan tubuhnya. Dengan geraman, dia mencengkram pinggulku, dan dan menghujamku dengan lebih keras. Aku akan memar-memar dan ngilu besok. , tapi aku tidak peduli. Saat dia bergidik menghujamku dan menggigit sisi lain tenggorokanku, aku terpaku lemas di sofa. Terlalu puas dan letih untuk melakukan apapun saat dia keluar di dalam diriku.
Kupikir semuannya telah berakhir, tapi Luca mengangkatku dari sandaran dan menurunkanku ke lantai. Dia mendorong kakiku selebar yang bisa dilakukan. Aku terlalu sensitif dan tidak mungkin orgasme lagi, tapi Mata Luca mematriku dengan intensitasnya. Dia menggenggam pergelangan tanganku dan menganggkat lenganku ke atas kepalaku, lalu dia mengusap dua jari di atas lipatanku, maju mundur, sebelum mengitari jalan masukku dan masuk sedikit demi sedikit. Mataku terbelalak ke atas saat dia jarinya menyetubuhiku dengan amat sangat lambat dan aku mendengar suara tak dikenal keluar dari belakang tenggorokanku. Dia tidak menyentuh klitorisku, hanya menghujamku dengan jari-jarinya dengan ekspresi intens di wajahnya.
“Apakah ini sungguh-sungguh kebohongan?” tanyanya kasar, saat dia meringkukkan jarinya dan membuatku terkesiap dalam kenikmatan. “Katakan padaku, Aria. Katakan padaku kau menikmati ini sama seperti ku”””. Keputus asaan dalam suaranya mengejutkanku.
Dia meringkukkan jemarinya lagi, dan aku merengek. “Ya , Luca. Aku menikmatinya”.
Dia menjentikkan klitorisku dengan ibu jarinya , dan aku melengkung dari lantai, tapi dia menarik ibu jarinya meski ada protes dan tetap menyetubuhiku dengan jari-jarinya. “Jadi kau berbohong? Kenapa?”.
Dia membuatku gila karena kebutuhan. Aku ingin dia menyentuh klitorisku, ingin jarinya bergerak lebih cepat, ingin dia meniduriku. “Ya, aku berbohong!” aku meraih Batangnya. Dia sudah mengeras dan aku ingin membujuknya untuk menyudahi penyiksaannya, tapi dia terlalu kuat dan tak bisa dihentikan.
“Kenapa?” dia menggeram. Dia menghentikan jari nya dan aku ingin berteriak frustasi.
“Aku berbohong karena aku benci bahwa aku mencintaimu, aku benci karena kau bisa melukaiku tanpa harus menggerakan jarimu, karena aku membenci diriku sendiri karena mencintaimu walaupun aku tau kau tidak akan membalasny”. Luca membebaskan pergelangan tanganku, matanya menggelap, dan penuh tanya.
Aku tidak ingin berbicara, aku meraih ereksinya dan memberiakn remasan kuat. “now fuck me”.
Dia memegang kakiku, dan menarikku ke arahnya, kakiku menekan bagian atas bahunya dan dia masuk ke dalamku dengan satu diringan dan aku orgasme di sekitar penisnya, ototku men=remas batangnya dengan sangat kencang hingga dia menggeram. Dia menyetubuhiku lebih keras dan aku mencakar jariku di lantai kayu saat mataku memejam dengan sangat kuat. Aku terpecah dari kenikmatan dan emosi. Punggungku menggosok lantai yang keras , aku pegal dan kakiku mati rasa tapi aku mencapai puncak lagi ketika Luca menghantamkan pelepasanya, dan kemudian aku pingsan.
**
seluruh tubuhku sakit. Aku mengerang saat aku bergerak dan aku menyadari bahwa aku terbaring di tempat tidur kami. Luca pasti sudah membawaku ke lantai atas tadi malam. Mataku terbuka dan mendapati Luca menatapku dengan ekspresi aneh di wajahnya.
“Apa yang telah kulakukan?” dia bertanya dengan suara keras.
Aku mengerutkan kening, lalu menunduk menatap diriku sendiri. Selimut ditarik ke bawah, mengungkapkan tubuhku, dan tindakan semalam. Ada luka memar berbentuk jari di pinggulku dan pergelangan tanganku. Tenggorokan dan bahuku terasa sakit di bagian dimana Luca menandaiku dan paha bagian dalamku merah karena gesekan. Aku tampak berantakan. Aku bangun dan meringis dari rasa sakit yang tajam diantara kakiku. Tapi aku tidak menyesali apapun. Aku tidak selalu ingin menukmati yang kasar, tapi sesekali itu adalah perubahan yang bagus.
“Aria, tolong beritahu aku, Apakah aku....?”.
Aku mencari-cari matanya, mencoba mencari tau apa yang sedang di bicarakannya. Kebencian melintas di wajahnya dan kemudian aku menyadari apa yang sedang di bicarakannya. “Kau tidak ingat?”.
“Aku mengingat sekilas-sekilas. Aku mengingat menahanmu”. Suaranya terperangkap. Dia tidak mneyentuhku. Sebenarnya dia duduk di tepi tempat tidur sejauh mungkin dariku. Dia tampak kelelahan dan hancur. “Kau tidak menyakitiku”.
Matanya mengedip ke arah memar-memar. “Jangan berbohong padaku”.
Aku berlutut dan bergerak ke arahnya bahkan saat dia menegang. “Kau agak kasar dibanding biasanya tapi aku menginginkannya. Aku menikmatinya”.
Luca tidak mengatakan apapun, tapi aku tau dia tidak mempercayaiku.
“Tidak, sungguh Luca”, aku mencium pipinya dan merendahkan suaraku. “Aku klimaks setidaknya empat kali. Aku tak ingat sama sekali. Aku pingsan karena sensasi yang terlalu berlebihan”. Kelegaan membersihkan kegelapan dari mata Luca tapi aku terkejut karena dia tidak meledekku karena komentarku.
“Aku tak mengerti apa yang merasukimu. Kau bahkan menyerang Romero”.
“Ayaku meninggal”.
Aku terkejut. “Apa? Bagaimana?”.
“Semalam. Dia sedang makan malam di restoran kecil di Brooklyn ketika sniper menembakkan peluru ke kepalanya”.
“Bagaimana dengan ibu tirimu?”.
“Dia tidak disana. Ayahku sedang dengan gundiknya. Dia tertembak juga, kemungkinan karena The Bravta berpikir dia adalah istrinya. Seseorang pasti telah membocorkan dimana bisa menemukan ayahku. Hanya beberapa orang yang tau dia pergi kesana. Dia sedang dalam penyamaran. Tak ada seorangpun yang bisa mengenali dia. Dan kemungkinan ada pengkhianat diantara kami.

Senin, 19 Februari 2018

Chapter 15 Bound By Honor

Beberapa minggu telah terlewati. Dan sex menjadi lebih baik tiap kali kami melakukannya. Aku memiliki firasat Luca masih sedikit menahan diri tapi aku tak masalah. Terkadang aku berpikir bahwa mungkin dia membutuhkan cara bercinta yang lembut sebanyak diriku setelah segala hal stress yang dia alami gara-gara The Bravta.
Bercinta? Tak peduli seberapa kuat pun aku mengelak dari perasaanku, aku tau aku mencintai Luca. Mungkin itu sudah alami untuk jatuh cinta kepada seseorang yang kau nikahi, orang yang dengannya kau berbagi keintiman. Aku tak yakin bagaimana bisa aku jatuh cinta pada Luca mengingat tujuan utama ku sebelum pernikahan kami adalah tidak membiarkan dia masuk ke hatiku, dan yang aku tau aku telah membiarkannya masuk. Aku tau apa yang pria seperti Luca pikirkan mengenai cinta. Aku belum memberitahunya tentang perasaanku, walaupun beberapa kali kata-kata itu sudah ada di ujung lidahku saat kami saling berbaring di lengan masing-masing, berkeringat dan terpuaskan karena sex. Aku tau Luca tidak akan membalas kata cinta itu dan aku tak ingin terlihat rapuh seperti itu.
Aku mengamati matahari yang mulai tenggelam di New York dari posisiku di kursi panjang yang ada di teras atap. Romero di dalam, membaca majalah olahraga di sofa. Beberapa kali aku meminta Luca untuk menghentikan kehadiran Romero yang konstan. Tak ada yang akan terjadi padaku di dalam Penthouse kemudian aku mungkin tidak bisa melewati hari. Aku akan merasa lebih kesepian tanpa kehadiran Romero di apartemen, walaupun kami tidak banyak mengobrol. Marianna hanya datang pada sekitar waktu makan siang untuk bersih-bersih dan memasak makan siang dan makan malam, dan Luca pergi sepanjang hari. Aku masih belum bertemu dengan para wanita dari Familia untuk minum kopi. Setelah pengkhianatan Cosima aku sama sekali tidak tertarik untuk bertemu dengan keluarga Luca.
Ponselku bergetar di meja kecil. Aku membukanya, dan melihat nama Gianna muncul di layar. Rasa bahagia meledak di dadaku. Kami baru saja mengobrol pagi tadi, walaupun sangat tidak biasa adikku menelpon lebih dari sekali dalam satu hari, aku tak peduli.
Pada saat aku mendengar suaranya, aku duduk tegak dan jantungku bergemuruh menggila di dadaku.
“Aria” dia berbisik, suaranya tebal karena air mata.
“Gianna, apa yang telah terjadi? Apa yang sedang terjadi? Apa kau terluka?”.
“Ayah memberikanku ke Matteo”.
Aku tidak mengerti, tidak bisa. “ apa yang kau maksud dengan Ayah memberikanmu ke Matteo?” suaraku terperangah dan air mata sudah membakar mataku saat aku mendengat isakan Gianna.
“Salvatore Vittielo berbicara pada Ayah dan memberitahunya bahwa Matteo ingin menikahiku. Dan Ayah setuju!”.
Aku tak bisa bernapas. Aku khawatir Matteo tidak akan melepaskan Gianna karena Kekurang ajaran Gianna pada dia. Dia dalah lelaki yang tak bisa di tolak, tapi bagaimana bisa ayah setuju? “Tidakkah ayah mengatakan alasannya? Aku tidak mengerti. Aku sudah ada di New York. Dia tidak perlu menikahkanmu dengan anggota Familia juga”.
Aku berdiri, aku tak bisa duduk diam lagi. Aku mulai berjalan mondar-mandir di atap, mencoba menenangkan denyut nadiku dengan bernapas pelan.
“Aku tidak tau kenapa. Mungkin ayah ingin membunuhku karena mengatakan apa yang aku pikirkan. Dia tau betapa aku membenci orang-orang kita, dan betapa aku membenci Matteo. Dia ingin melihatku menderita”.
Aku tidak setuju tapi aku tidak yakin Gianna salah. Ayah berpendapat bahwa wanita harus di tempatkan ditempat yang seharusnya, dan cara terbaik untuk melakukannya adalah dengan mengikatkan Gianna dengan pria seperti Matteo. Dibalik senyuman Matteo mengintai seseuatu yang gelap dan amarah, dan kurasa Gianna tidak memikirkan itu ketika memprovokasi dia hingga dia hilang kendali.
“Oh, Gianna. Aku sungguh menyesal. Mungkin aku bisa memberitahyu Luca dan bisa mengubah pikiran Matteo”.
“Aria, Jangan naif. Luca tau selama ini. Dia adalah Kakak Matteo dan calon Capo masa depan. Sesuatu seperti ini tidak diputuskan tanpa keterlibatannya”.
Aku tau dia benar, tapi aku tak mau menerimanya. Mengapa Luca tidak memberitahuku tentang ini? “Kapan mereka membuat keputusan?”.
“Beberapa minggu yang lalu, bahakan sebelum aku datang berkunjung”. Jantungku mengepal. Luca telah tidur denganku, telah membuatku mempercayainya dan tidak mau mengatakan bahwa Adikku telah di jual ke adiknya.
“Aku tak bisa percaya!” bisikku kasar. Romero memperhatikanku dari jendela , sudah bangun dari sofa. “Aku akan membunuhnya. Dia tau betapa aku menyayangimu. Dia tau aku tidak akan mengizinkannya. Aku akan melakukan apapun untuk menghentikan kesepakatan tersebut”.
Gianna terdiam di ujung sana. “Jangan sampai terkena masalah karena aku. Lagian ini sudah terlalu terlambat. New York dan Chicago telah berjabat tangan untuk ini. Keputusan telah di buat, dan Matteo tak akan membiarkanku keluar dari cengkramannya”.
“Aku ingin membantumu tapi aku tidak tau caranya”.
“Aku menyayangimu , Aria. Satu-satunya hal yang menghentikanku untuk tidak mengiris pergelangan tanganku adalah kenyataan bahwa pernikahan ku dengan Matteo berarti aku akan tinggal di New York bersamamu”.
Rasa takut menghancurkan hatiku. “Gianna kau adalah orang paling kuat yang pernah aku kenal. Berjanjilah padaku bahwa kau tidak akan melakukan hal yang bodoh. Jika kau menyakiti dirimu sendiri, aku tak akan bisa hidup dengan diriku sendiri”.
“Kau jauh lebih kuat dariku, Aria. Aku memiliki mulut yang lancang dan keberanian semu, tapi kamu tangguh. Kau menikahi Luca, hidup dengan pria seperti itu. Kurasa aku tidak bisa melakukannya. Aku merasa aku tidak sanggup”.
“kita akan menemukan jalan keluarnya, Gianna”.
Pintu lift terbuka dan Luca melangkah ke apartemen kami. Matanya melesat dari Romero ke diriku alisnya menyatu.
“Dia disini, aku akan menelponmu besok”. Aku menutup telepon saat amarah membakar diriku. Aku tidak berpikir aku bisa membenci Luca lagi, bahkan untuk sesaat, tapi detik ini aku ingin menyakitinya. Aku menyerbu masuk, tanganku mengepalkan tinju saat aku menuju ke Luca. Dia tak menggerakan ototnya, hanya menatapku dengan tatapan tenang. Ketenangan itu memicu amarahku lebih dari apapun. Aku tidak yakin dengan apa yang dia pikir akan aku lakukan, tapi itu bukan sebuah serangan nampak dari reaksinya. Tinjuku memukul-mukul dadanya sekeras yang aku bisa. Rasa terkejut melintas di wajah Luca, tubuhnya meledak dalam ketegangan. Dari sudut mataku, aku melihat Romero melangkah ke arah kami, jelas tidak yakin akan apakah dia harus melakukan sesuatu. Dia adalah pengawalku , tapi Luca adalah bosnya. Tentu saja, Luca tak akan kesulitan menanganiku. Setelah beberapa saat, Luca mencengkaram kedua pergelangan tanganku dengan tangannya. Aku benci dia bisa mengalahkanku dengan begitu cepat. “Aria. Apa-”
Dia tidak menyelesaikan kata-katanya karena aku mengangkat lututku ke atas dan hanya karena refleksnya yang cepat yang menghalangiku mencapai tujuanku. Suara isak tangis Gianna terpatri dalam pikiranku, membuatku kehilangan akal sehat yang kumiliki.
“Keluar”, perintah Luca tajam. Romero pergi tanpa protes. Mata Luca yang membara bertemu dengan mataku tapi aku sudah melewati rasa takut. Aku rela mati untuk Gianna. Aku mencoba tendangan lain dan mengenai selangkangan Luca kali ini. Dia menggeram dan mendorongku ke sofa, kaki ku diapit lututnya dan lengaku terangkat diatas kepalaku. “Demi Tuhan, Aria. Apa yang merasukimu?”.
Aku melotot. “Aku tau tentang Gianna dan Matteo”, aku meludah dan kemudian aku kehilangan semuanya, dan aku mulai menangis, isak tangis yang terengah-engah menyapu tubuhku. Luca melepaskan tangaku dan duduk ke belakng supaya aku bisa menggerakan kakiku. Dia menganngapku seakan aku adalah mahluk yang tidak akan bisa dia mengerti.
“ jadi ini hanya karena itu?” dia terdengar tidak percaya.
“Tentu saja kau tidak akan mengerti karena kau tidak pernah mencintai orang lain selain dirimu sendiri. Kau mungkin tidak bisa mengerti rasanya merasakan menghancurkan hatimu sendiri karena memikirkan orang yang kau cintai terluka. Aku akan rela mati untuk orang yang aku cintai”.
Matanya mengeras dan dingin dan dia berdiri. “Kau benar. Aku tidak mengerti”. Topeng dinginnya telah kembali. Aku sudah tidak melihatnya di arahakan padaku selama beberapa minggu.
Aku mengusap mataku dan berdiri juga. “Mengapa kau tidak memberitahuku? Kau sudah tau selama berminggu-minggu”.
“Karena aku tau kau tidak akan menyukainya”.
Aku menggelengkan kepalaku. “Kau tau aku akan marah padamu dan aku tidak ingin mengacaukan kesempatan untuk meyetubuhiku”. Aku bahkan tidak merona, walaupun aku tidak pernah mengucapkan kata-kata itu.
Luca menjadi kaku. “Tentu saja aku ingin menidurimu. Tapi aku mendapat kesan kau menikmati sesi sialan kita”.
Aku ingin menyakitinya. Dia sangat dingin, tentu saja ini semua tentang mengklaim yang menjadi miliknya, tentang klaimnya atas tubuhku. Dia tidak peduli padaku atau siapapu. “Dan kau khawatir bahwa aku bukanlah aktris yang cukup baik untuk membodohi setiap orang setelah trik kecil yang kita lakukan pada malam pernikahan. Aku bahkan membodhimu”. Aku membiarkan tawa kejamku terlepas. “Aku membuatmu percaya bahwa aku menikmatinya”.
Sesuatu berkedip di mata Luca, sesuatu yang membuat aku ingin mengingat kata-kataku sesaat, tapi kemudian mulutnya twersenyum tipis. “Jangan berbohong padaku. Aku sudah menyetubuhi banyak pelacur untuk tau orgasme saat aku melihatnya”.
Aku tersentak seolah-olah dia memukulku. Apakah dia membandingkanku dengan pelacurnya? Kukatakan hal yang paling jelek yang bisa ku pikirkan. “Beberapa wanita bahkan mengalami orgasme saat diperkosa. Bukan karena menikmatinya. Tapi cara mereka mengatasinya”.
Untuk waktu yang lama Luca tidak mengatakan apapun. Lubang hidungnya melebar dan dadanya terangkat, dan tangannya mengepal. Dia sepertinya ingin membunuhku ditempat. Lalu hal paling menakutkan terjadi,kemarahan menghilang dari wajahnya. Wajahnya menjadi tanpa emosi, matanya mulus , tak tertembus seperti baja. “Adikmu harusnya bahagia karean Matteo menginginkanya. Hanya sedikit pria yang bisa tahan dengan segala omong kosongnya”.
“Oh Tuhan itu alasannya, bukan?” kataku dengan jijik. “itu karena kata-katanya yang mengatakan bahwa Matteo tak akan mendapatkan tubuhnya yang hot saat di hotel. Dia tidak bisa tahan bahwa Gianna imun terhadap pesonanya yang menyeramkan”.
“Seharusnya dia tidak pernah menantang Matteo. Matteo adalah seoarang pemburu. Dia mendapatkan apa yang dia inginkan”. Amsih tanpa secercah emosi, bahkan di dalam suara Luca. Rasanya seperti terbuat dari es.
“Dia mendapatkan apa yang dia inginkan? Ini bukan perburuan namanya jika dia memaksanya menikah melalui tangan ayahku. Itu sebuah kepengecutan”.
“Tidak masalah. Mereka tetep akan menikah”. Dia memunggungiku, seolah-olah dia menyingkirkanku.
Luca tidak mengerti. Dia tidak mengenal Gianna sebaik aku. Dia tidak akan masuk dalam ikatan ini setenang diriku. Aku bergegas menuju lift. “Aria, apa yang kau lakukan?”.
Aku berada di dalam lift sebelum Luca bisa mencapainya dan sedang dalam perjalanan ke lantai bawah. Aku melangkah ke apartemen Matteo. Apartemennya tampaknya cerminan dari apartemen kami, hanya saja itu bukanlah duplex. Matteo duduk di kursi berlengan, mendengarkan musik rap jelek saat melihatku. Dia bangkit, menatapku dengan hati-hati saat dia mendekatiku. “Apa yang kau lakukan disini?”.
Aku menekan telapak tangannku di dadanya saat dia mendekatiku. “Tarik kemabil lamaranmu untuk Gianna. Katakan pada ayahku kau tidak menginginkan dia”.
Matteo tertawa. “Kenapa harus? Aku menginginkan dia. Aku selalu mendapatkan apa yang aku mau. Gianna tidak seharusnya bermain-main dengan pria dewasa”.
Aku kehabisan kesabaran dan menampar pipinya. Tempramen italia ku yang bodoh. Biasanya aku bisa mengendalikannya, setidaknya lebih baik dari adik-adikku, tapi tidak hari ini. Dia mencengkram lenganku, mendorongku kebelakang sehingga tulang belakangku bertumbukan dengan dindin dengan cara yang menyakitkan, dan membuaku terjepit diantara dinding dan tubuh Matteo. Aku tersentak. “Kau beruntung karena kau adalah istri kakakku”.
Lift menyala dan berhenti lalu terbuka. “Lepaskan dia”, geram Luca, melangkah keluar. Matteo segera mundur dan tersenyum dingin.
Luca menghampiriku, matanya mengamati tubuhku sebelum menghampiri adiknya. “Kau tidak akan melakukannya lagi”.
“Kalau begitu ajarkan sopan santun padanya. Aku tidak akan membiarkan dia memukulku lagi”. Ajari sopan santun? Pernikahannya dengan Gianna akan berakhir dengan sebuah malapetaka.
Suara Luca turun satu oktaf. “Kau tidak akan menyentuh istriku lagi, Matteo. Kau adalah adikku dan aku akan menghadang peluru untukmu. Tapi jika kau melakukannya lagi, kau harus mendapat konsekuensi”. Mereka saling berhadapan dan untuk sesaat aku khawatir mereka akan menarik pisau dan saling bertarung. Bukan itu yang aku inginkan. Aku tau betapa Luca sangat peduli pada adikknya, lebih dari dia peduli padaku. Matteo adalah satu-satunya orang yang dipercaya Luca. Untuk beberapa saat aku mengira aku adalah orang itu, tapi kalau memang begitu, hari ini akan berjalan dengan sangat berbeda. Aku tau bahwa dia yang melindungiku adalah sebuah permainan kekuasaan dan bukan tentang emosi. Dengan menyentuhku, Matteo menunjukan ketidaksenangan pada Luca dan tentu saja Luca tidak akan membiarkan hal itu.
“Aku tidak akan memukulmu lagi, Matteo”. Aku mengulurkan tangan, meski kata-kata itu terasa busuk di mulutku. “Seharusnya aku tidak melakukannya”.
Kedua pria itu menatapku kaget. Matteo menenangkan sikapnya. Luca tidak.
“Aku minta maaf jika aku menyakiti atau membuatmu takut”, kata Matteo. Aku tidak tau apakah dia sungguh-sungguh atau tidak. Dia memiliki topeng tanpa emosi seperti kakaknya.
“Tidak apa”.
Luca menyeringai, lalu dia mendekatiku dan menarikku ke arahnya dengan posesif. Mata kami bertemu dan seolah-olah dia ingat dengan kata-kata awal kami, seringainya menghilang dan bibirnya menegang. Dia tidak melepaskanku tapi rangkulannya di tubuhku melonggar.
Aku berpaling darinya, tidak tahan untuk berekspresi, dan menghadapi Matteo. “Jangan nikahi, Gianna”, aku mencoba lagi, dan rangkulan Luca di pinggangku mengencang, penuh peringatan. Aku mengabaikannya. “Dia tidak mau menikah denganmu”.
“Kau juga tidak ingin menikah dengan Luca tapi disinilah dirimu sekarang”. Matteo berkata dengan seringai hiu nya.
“Gianna tidak sepertiku, dia tidak akan sukarela mengikuti pernikahan yang diatur”.
Luca menjatuhkan lengannya dari pinggangku.
“Dia akan jadi istriku tepat pada saat dia berumur delapan belas tahun. Tak ada satupun kekuatan di alam ini yang bisa menghentikanku untuk memiliki dia”.
“Kau membuatku jijik. Kalian berdua” kataku. Dengan itu aku melangkah ke lift . Luca tidak mengikutiku. Dia bahkan tidak mengawasiku apakah aku kembali ke apartemen atau tidak. Dia tau aku tidak akan pergi kemanapun. Walaupun aku ingin kabur, aku tetap tidak bisa. Hatiku hanya untukknya walaunpun dia tidak memiliki hati yang bisa dia berikan sebagai balasan.

Minggu, 18 Februari 2018

Bound By Honor Chapter 14 By Cora Reyli

Pergi ke toilet rasanya seperti terbakar di Neraka dan berjalan bahkan sangat tidak nyaman. Aku meringis di tiap langkah kembali ke tempat tidur dimana Luca berbaring dengan kepala di sangga diatas lengannya. Dia mengamatiku. “Ngilu?”.
Aku mengangguk, merona. “Yeah. Maaf”.
“Kenapa kau meminta Maaf?”.
Aku berbaring di sampingnya. “Kupikir kau mungkin ingin melakukannnya lagi, tapi Kurasa aku belum bisa”.
Luca menjalarkan ujung jarinya di rusukku. “Aku tau. Aku tidak mengharapkan kau akan pulih dengan segera”. Dia membelai perutku, kemudian satu inci lebih ke bawah. “Aku bisa menjilatimu jika kau mau”.
Inti tubuhku mengencang dan aku sangat ingin berkata iya. “Kurasa itu bukan ide yang bagus”.
Luca mengangguk dan duduk bersandar pada bantal. Selimut menumpuk di atas pinggangnya menampakkan otot perutnya dan bekas luka yang ada di sana.
Aku bergerak mendekaat dan menempatkan diriku di atasnya. Aku menelusuri bekas luka Luca, penasaran akan setiap cerita di balik bekas lukanya. Aku ingin tau semuanya, ingin menyusun tiap bekas luka satu persatu seperti puzzle. Darimana dia memperoleh bekas luka memanjang yang ada di bahunya dan juga bekas peluru di bawah rusuknya? Luca pun sedang melakukan penjelajahannya sendiri dengan matanya, mengagumi payudara dan wajahku. “Payudaramu amat sangat sempurna”. Sentuhannya lebih terkesan posesif dibanding seksual, tapingomong-ngomong aku bisa merasakan segalanya di antara kakiku.
Berusaha mengalihkan pikiranku, aku menghentikan ujung jariku di atas bekas luka yang sudah hampir memudar di abs nya. “dimana kau mendapatkan luka ini?”.\
“Aku berusia tujuh tahun”. Mataku melebar. Aku sangat yakin kemana cerita ini akan berlanjut. “The Familia tidak sebersatu seperti saat ini. Beberapa orang berpikir mereka bisa mendapatkan kekuasaan dengan membunuh ayah ku dan anak laki-lakinya. Pada saat itu tengah malam saat aku mendengar teriakan dan suara tembakan. Sebelum aku bisa bangun dari tempat tidur, seorang pria melangkah masuk ke kamar dan mengacungkan pistol ke arahku. Aku tau aku akan mati ketika aku menatap ke arah laras senjata itu. Aku tidak seketakutan yang aku pikir. Dia mungkin sudah membunuh ku, jika saja Matteo tidak melompat ke arah pria itu dari belakang ketika Pria itu menarik pelatuk. Peluru menghantam sedikit lebih ke bawah di banding seharusnya, dan mengenai bagian tengah tubuhku. Rasanya sialan Sakit sekali. Aku menjerit dan kemungkinan akan pingsan jika pria itu tidak berbalik ke arah Matteo dan berniat membunuhnya. Aku mengambil pistol yang ada di laci meja kecil samping tempat tidur, mengekangnya dan menembakkan peluru ke kepala pria itu sebelum dia bisa membunuh Matteo.
“itu adalah pembunuhan pertamamu, bukan?” aku berbisik.
Mata Luca yang tampak menghilang beberapa saat yang lalu, kembali Focus padaku. “Yeah, yang pertama dari banyak yang lain”.
“Kapan kau membunuh lagi?”.
“Pada malam yang sama”. Dia tersenyum tanpa humor. “Setelah pria yang pertama, aku memberitahu Matteo untuk bersembunyi di Lemari. Dia protes tapi aku lebih besar dan aku menguncinya disana. Kemudian aku sedikit kehilangan darah tapi aku memiliki adrenalin yang memuncak dan masih bisa mendengar suara tembakan di lantai bawah, jadi aku menuju ke kebisingan itu dan membawa senjataku. Ayahku sedang dalam baku tembak dengan dua orang penyerang. Aku menuruni tangga dan tak ada seorangpun yang memberiku perhatian, dan kemudian aku menembak salah satu dari mereka dari belakang. Dan ayahku melumpuhkan satunya dengan tembakan di bahu.
“Kenapa dia tidak membunuhnya?”.
“Dia ingin mengorek informasi siapa pemberontak dalam Familia”.
“Jadi apa yang dia lakukan pada pria itu ketika dia membawamu ke Rumah sakit?”.
Luca memberiku tatapan masam. “Jangan bilang dia tidak membawamu ke rumah sakit?”.
“Dia menghubung The Doc of Familia. Dan memberitahuku untuk memberi tekanan pada luka ku dan mulai menyiksa pria itu untuk mendapatkan informasi”.
Aku tak bisa percaya seorang ayah tega melihat anaknya kesakitan dan megambil resiko kehilangan nyawa, hanya agar dia bisa mendapat informasi.
“Kau bisa saja mati. Sebagian hal butuh di rawat di rumah sakit. Bagaimana bisa dia melakukan itu?”.
“Familia selalu menjadi yang utama. Kami tidak pernah membawa kecelakaan apapun ke rumah sakit. Mereka akan bertanya terlalu banyak pertanyaan dan melibatkan polisi dan itu sama saja mengakui kelemahan. Dan ayahku memastikan si penghianat itu berbicara sebelum pria itu bunuh diri”.
“Jadi kau setuju dengan apa yang dia lakukan? Kau akan rela melihat seseorang yang kau cintai berdarah-darah hingga mati hanya untuk melindungi Familia dan kekuasaanmu”.
“Ayahku tidak mencintaiku. Matteo dan aku adalah garansi untuk kekuasaan dan sebagai cara untuk tetap mempertahankan nama keluarga. Cinta tak ada urusannya dengan ini”.
“Aku benci kehidupan ini. Aku benci Mafia. Terkadang aku berharap ada cara untuk melarikan diri”.
Wajah Luca menjadi sangat kaku. “Dariku?”.
“Bukan”. Kataku, mengejutkan diriku sendiri. “Dari dunia ini. Tak pernah kah kau ingin memiliki kehidupan normal?”.
“Tidak. Inilah diriku, untuk inilah aku dilahirkan, Aria. Ini satu-satunya hidup yang aku tau, satu-satunya kehidupan yang aku inginkan. Untukku kehidupan normal akan terasa seperti elang yang terpenjara di sangkar kebun binatang”. Dia terdiam. “Pernikahanmu mengikatmu ke dalam Mafia. Darah dan Kematian akan jadi kehidupanmu selama kau hidup”.
“Kalau begitu biarkan. Aku akan pergi kemanapun kau pergi tak peduli segelap apapun jalannya”.
Untuk beberapa saat, Luca menarik napas, kemudian dia menggenggam bagian belakang kepalaku dan mengecupku dengan kuat.
**
kurasa Luca ingin tidur lagi denganku setelah kali yang pertama, tapi dia tidak memaksa. Meskipun aku berusaha menyembunyikannya, tapi Luca tau bahwa aku masih nyeri beberapa hari sesudahnya. Dia terkadang memberiku kenikmatan dengan lidahnya beberapa kali, bahkan tak pernah memasukan jarinya ke tubuhku, dan aku membuatnya orgasme dengan mulutku sebagai gantinya.
Aku tidak yakin bahwa dia menunggu kata oke dariku tapi ketika dia pulang ke rumah suatu malam dalam seminggu setelah dia mengambil keperawananku, dia terlihat lelah, dan marah, aku ingin membuatnya merasa lebih baik. Setelah dia mandi, dia terhuyung-huyung ke tempat tidur hanya dengan celana boxernya, matanya di penuhi kegelapan.
“Hari yang buruk?” bisikku saat dia melemparkan diri ke ranjang di sampingku. Dia berbaring telentang dan menatap langit-langit dengan pandangan kosong.
“Luca?”.
“Aku kehilangan tiga anak buahku hari ini”.
“Apa yang telah terjadi?”.
“Bravta menyerang salah satu gudang kami”. Bibirnya menipis, dadanya terengah-engah. “Kami akan membuat mereka membayar. Pembalasan kami akan membuat mereka lebih berdarah-darah”.
“Apa yang bisa aku lakukan?” aku berkata dengan lembut, tanganku mengelus dadanya.
“Aku butuh dirimu”.
“Okay”. Aku melepas gaun tidurku dari kepalaku dan melepas celana dalamku. Aku berlutut disamping Luca. Dia sudah menyingkirkan Boxernya dan ereksi menjukang bebas, mencengkram pinggulku, dia membuatku menduduki perutnya. Rasa gugup mengikat perutku. Aku berharap di kali keduaku, Luca tetap yang berada di atas. Pikiran akan diriku yang memasukan diriku ke ereksinya setelah rasa sakit yang kurasakan kali terakhir, itu membuatku ketakutan, tapi jika Luca membutuhkanku, kurasa aku bisa melakukannya. Aku menjerit karena terkejut ketika Luca mencengkram bokongku dan menarikku ke atas wajahnya, jadi aku berada di atas mulutnya. Dia menekanku ke bawah, dan aku berteriak nikmat, tanganku terjulur kedepan untuk menekan kepala ranjang. Ini lebih intens dari semua yang pernah Luca lakukan untukku.
Lidahnya menyelinap masuk dengan lebih dalam dan dia memijat pantatku dengan ujung jarinya yang kuat. Aku mengintip ke mata Luca saat dia mengatupkan mulutnya di klitorisku. Aku menggoyangkan pinggulku, menekan diriku ke mulutnya. Dia menggeram. Getaran itu mengirimkan kenikmatan ke dalam diriku dan aku mulai memutar-mutar pinggulku dan mengendarai wajah Luca. Aku memejamkan mata, membiarkan kepalaku jatuh ke belakang saat Luca menyetubuhiku dengan lidahnya lagi,bersenandung untuk sesaat. Lalu aku hancur, bergoyang di mulut Luca, dan menjeritkan namanya. Di suatu tempat jauh di dalam diriku ingin merasa malu akan tetapi aku telah terlalu terangsang.
Ketika orgasme ku mereda, aku mencoba menarik diri dari bibir Luca tapi dia memelukku dengan cepat, matanya membara ke arahku saat dia menjilat ku dengan gerakan lambat. Ini sudah terlalu banyak, tapi dia tak bisa dihentikan. Dengan belaian lembut, dan dorongan dari lidahnya, dia perlahan membangunkan kenikmatanku kembali. Suara terengahku datang lebih cepat dan aku tak mencoba menyembunyikannya lagi, malahan aku membiarkan Luca menggerakan pinggulku maju mundur saat dia menjilatiku. Aku sudah separuh jalan menuju orgasme ku yang kedua. Tanpa aba-aba dia menarik diri dan dengan satu gerakan dia membaringkanku di punggungku dan berlutut diantara kedua kakiku, ereksinya menempel di pintu masukku.
Aku menegang tapi Luca belum masuk. Dia menundukkan kepala sehingga dia bisa menghisap putingku ke dalam mulutnya, dan mengusap ujung ereksinya bolak-balik di atas klitorisku. Aku mengoceh tak berdaya pada sensasi itu. Aku sudah amat dekat pada pelepasan sebelumnya dan bisa merasakan diriku sampai disana lagi. Lalu dia mencelupkan dirinya ke lubangku. Aku tersentak karena rasa sakit tapi dia menarik diri dengan cepat dan menggesekkan ujungnya ke klitorisku lagi. Dia melakukan itu berulang-ulang kali sampai aku terengah-engah dan begitu becek hingga aku bisa mendengar nya, kemudian dia melepaskan putingku dengan suara pop dan membawa wajahnya ke wajahku. Ujung penisnya masuk ke pembukaanku tapi kali ini dia tidak mundur.
Perlahan dia menyelinap masuk seluruhnya, dan tak pernah melepaskan pandangannya dari mataku. Aku menggigit bibirku untuk menahan suaraku. Tapi ini tidak semenyakitkan yang terakhir kali tapi ini tetap tidak nyaman. Aku merasa terlalu meregang, terlalu kencang. Luca menangkup bagian belakang kepalaku dan mulai bergerak. Napasku tertahan meski lamban tapi Luca tidak goyah. Dia meluncur keluar dan masuk dengan ritme yang sangat lambat dan lembut sampai napasku berhenti tertahan di tenggorokanku. Dia mempercepat tapi aku mencakar lengannya dan dia melambat lagi. Dia menurunkan mulutnya ke telingaku, suaranya rendah dan serak saat berbicara. “Aku menyukai rasamu, Tuan Putri. Aku menyukai bagaimana kau menyetubuhi mulutku. Aku amat menyukai ketika lidahku di dalam dirimu. Aku suka vagina dan payudaramu, dan aku suka kenyataan bahwa kau adalah milikku”. Luca tetap bergerak dengan mantap saat dia berbisik di telingaku. Dan aku lupa akan rasa sakit yang menyebalkan itu, dan mengerang. Tak ada yang lebih seksi dari Luca yang berbicara dengan suara baritonnya yang dalam.
Luca terus berbicara melewati rasa ketidaknyamananku dana ku bisa merasakan orgasme mulai terbangun. Luca menyelipkan tangannya diantara kami dan menemukan klitorisku, menggosoknya dengan cepat saat dia menusuk masuk dalam diriku. Dia sedikit lebih cepat, dan aku gemetar karena rasa sakit dan kenikmatan. Luca tidak melambat. Dia terengah-engah, kulitnya licin karena keringat saat dia bertarung untuk sebuah kontrol. Aku bisa melihat di wajahnya bagaimana pertahanan dirinya mulai memudar dan tapi dia tidak lepas kendali. Aku mengerang saat dia meluncur lebih dalam lebih dari sebelumnya ke dalam diriku. Kenikmatan memancar di tubuhku.
“Datanglah untukku, Aria”. Sergahnya, meningkatkan tekanan pada klitorisku. Lompatan kenikmatan lainnya bercampur rasa sakit membanting tubuhku dan aku terjerumus, terengah-engah, dan merintih saat orgasmeku mengguncang tubuhku. Luca menggeram dan mendorong lebih keras. Aku berpegangan padanya, dan jari-jariku mencengkeram bahunya saat dia mendekati puncaknya sendiri. Dengan erangan yang sangat keras, Luca menegang di atasku dan aku bisa merasakan pelepasanya di dalam diriku. Aku mengerang karena betapa meregang dan kencangnya yang aku rasakan. Luca terus menyodok hingga aku bisa merasakan dirinya melunak. Dia menarik dirinya keluar tapi tetap di atasku, berat badannya disangga dengan lengan bawahnya. “Apakah aku terlalu kasar?” tanyanya dengan suara tebal.
“Tidak, tak apa-apa”, aku tidak berani bertanya seberapa keras yang bisa dia lakukan.
Dia mencium ujung mulutku, kemudian bibir bawahku hingga dia memasukan lidahnya ke mulutku untu ciuman yang nikmat. Kita berciuman dalam waktu yang lama, tubuh licin kami saling menekan. Aku tidak yakin sudah berapa lama kami berbaring seperti itu, berciuman, tapi akhirnya aku bisa merasakanLuca semakin mengeras lagi.
Mataku terbelalak karena terkejut. “Secepat itu? Kupikir pria butuh waktu untuk beristirahat”.
Luca tertawa, suara seksi yang dalam. “Tidak , dengan tubuh telanjangmu di bawahku”. Dia meremas pantatku. Masih sakit?”.
Sangat sakit, tapi caranya menggosok ereksinya dengan ringan di lipatanku, aku tak bisa mengatakannya. “Tidak terlalu sakit”.
Luca menatapku dengan jelasd sehingga dia mengenali kebohonganku tapi dia memutar punggungnya, membawaku bersamanya. Aku mengangkangi perutnya. Dia pasti telah melihat bagaimana gugupnya aku karena dia membelai sisi tubuhku dengan lembut. “Manfaatkan waktumu. Kau yang pegang kendali”.
Dia menggerak gerakan pinggulnya, menggosokkan ereksinya ke bokongku.
“Aku ingin kau yang memegang kendali”. Kataku.
Mata Luca menggelap. “Jangan katakan hal seperti itu pada pria seperti ku”, tapi dia mencengkram pinggulku dan menempatkanku di atas ereksinya. Dari sudut pandang ini dia tampak lebih besar. Dia mengusap ujungnya di lingkaran kecil di atas klitorisku saat tangannya yang lain menyusuri dadaku dan menangkupnya. Dia mensejajarkan dirinya dengan pintu masukku sebelum meraih pinggulku dan dengan perlahan membimbingku turun. Ketika dia setengah masuk, aku berhenti, menarik napasku. Aku menekankan telapak tanganku di atas dadanya, saat aku mencoba posisi baru ini. Dia terasa lebih besar, dan ototklu meremas dengan sangat kencang di sepanjang ereksinya. Luca menggertakan giginya. Dia mengusap kedua sisi tubuhku dan menangkup payudaraku lagi, memutar-mutar putingku diantara jari-jarinya. Aku mengerang dan membuat gerakan bergoyang kecil dengan pinggulku. Luca menekan ibu jarinya di klitorisku dan menjentikkannya, lalu saat aku mengerang dia mendorong hingga ke dasar ereksinya.
Aku berteriak lebih karena terkejut bukan karena rasa sakitnya dan membeku, menghembuskan napas secara perlahan untuk mengatasi perasaan yang penuh.
“Aria” Luca berkata dengan suara serak. Aku bertemu dengan tatapannya. Sedikit ketidak pastian di matanya.
Aku memaksa bibirku untuk tersenyum. “Beri aku waktu sebentar”.
Dia mengangguk, tangannya diletakkan di pinggangku saat dia mengamatiku. Aku menghembuskan napas lagi, kemudian menggerakan pinggulku dengan coba-coba. Ada rasa nyeri tapi juga ada kenikmatan. “Bantu aku?” aku berbisik, memandang ke arahnya dari balik bulu mataku.
Dia menggenggam pinggangku, jarinya menyebar menyebrani bokongku dan membimbingku dalam ritme gerakan dan putaran yang lambat. Sungguh menyenangkan untuk bisa merasakan kekuatan tubuhnya di abwah tanganku,merasakan otot-ototnya melengkung di bawah ujung jariku, tapi yang paling tatapan matanya yang menatap aku yang ada di atasnya. Rasa lapar dan kagum bercampur dengan emosi lain yang tak berani aku tebak. Dada Luca terangkat di bawah telapak tanganku, napasnya semakin kencang saat dia mulai menyodok ke atas, mendorong tubuhnya lebih keras dan cepat. Jempolnya maju mundur di atas klitorisku saat dia melaju ke arahku. Aku berteriak. Luca mencengkram pinggulku dengan cengkraman yang membuat memar dan mendorongnya lebih cepat. Aku melemparkan kepalaku ke belakang, mengendarai melalui orgasme ku saat aku merasaka n Luca menegang di bawahku dan menyemburkan pelepasan dalam diriku dengan suara erangan yang lembut.
Aku menggigil tak berdaya di atas tubuhnya saat aku mereda dari rasa ekstasiku. Aku ambruk di dada Luca dan menempelkan bibirku ke bibirnya. Jantungnya berdebar kencang di dadaku. Dia memeluk lenganku dan menekanku erat-erat.
“Aku tidak akan kehilanganmu”, gerutunya, mengejutkanku.
“Kau tidak akan pernah kehilanganku”.
“The Bravta sudah mendekat. Bagaimana caranya aku melindungimu”.
Mengapa Bravta tertarik padaku. “Kau akan menemukan caranya”.

Rabu, 14 Februari 2018

Chapter 13 Bound by Honour

Gelombang mual membangunkanku dari tidurku. Aku terseok-seok ke kamar mandi dan muntah lagi, membungkuk di lantai keramik yang dingin, terlalu lelah untuk bangun. Aku bergidik. Luca mengulurkan tangan dan memflush toilet sebelum menyingkirkan rambut yang ada di dahiku, “Tidak terlihat hot lagi, bukan?” Aku tertawa serak.
“Itu seharusnya tidak terjadi. Aku seharusnya menjagamu agar tetap aman”.
“Kau menjagaku”. Aku mencengkram toilet dan terhuyung- huyung berdiri. Tangan Luca menggenggam pinggangku.
“Mungkin mandi akan membantu”.
“kurasa aku akan tenggelam jika berbaring di Bath up sekarang”.
Luca menyalakan air di bak mandi sambil tetap memelukku dengan satu tangan. Langit berubah menjadi abu-abu di New York. “Kita bisa mandi bersama”.
Aku mencoba tersenyum menggoda. “Kau hanya ingin mengambil kesempatan”.
“Aku tak akan me nyentuhmu saat kau dalam pengaruh bius”.
“Seorang Capo dengan moral”.
Wajah Luca sangat serius. “aku belum menjadi Capo. Dan aku memiliki moral. Tidak banyak tapi beberapa”.
“Aku cuma bercanda” aku berbisik sambil menyandarkan keningku di dada telanjangnya. Dia mengelus punggungku dan gerakannya mengirimkan gelitik nikmat ke intiku. Aku menarik diri dan dengan berhati-hati berjalan ke arah wastafel untuk menggosok gigiku dan membasuh wajahku.
Luca mematikan keran saat bak mandi sudah hampir penuh. Lalu dia membantuku melepaskan celana dalamku dan dia melepaskan celana boxer nya sebelum dia mengangkatku ke bak mandi. Aku mencelupkan wajahku ke bak mandi sebentar , berharap itu akan menghapus kabut yang menyelimuti kepalaku. Ereksi Luca menekan pahaku. Aku berbalik hingga menghadap ke Luca dan penisnya menyelip diantra kakiku dan menggesek jalan masukku. Aku gemetar. Luca hanya butuh mendorong maju untuk pinggulnya untuk bisa memasukiku. Dia mengerang, mengemertakan giginya, dan dia menghapus jarak diantara kami dan menggeser ereksinya ke nbawah pahaku dan membaringkaku diatas perutnya.
“Beberapa pria akan mengambil keuntungan dari situasi ini”, aku bergumam.
Rahang Luca menegang. “aku jenis pria seperti itu, Aria. Jangan membohongi dirimu dengan mempercayai bahwa aku adalah pria yang baik. Aku bukanlah pria terhormat ataupun Gentleman. Aku adalah seorang bajingan kejam”.
“Tapi tidak dengan ku” aku menekan hidungku ke celah lehernya, menghirup aroma nya yang familier, aroma musk.
Luca mencium puncak kepalaku. “akan lebih baik jika kau membenciku. Maka akan lebih sedikit kesempatan untukmu terluka”.
Apa yang telah aku katakan padanya ketika aku tidak sadar? Apakah aku sudah mengatakan padanya bahwa aku jatuh cinta padanya? Aku tak bisa mengingatnya. “Tapi aku tak membencimu”.
Luca mencium kepalaku lagi. Aku berharap dia mengatakan sesuatu. Aku berharap dia mengatakan bahwa dia.......
“Kau menyebutkan tentang sesuatu yang Grace katakan padamu”. Suaranya tampak biasa-biasa saja tapi ketegangan seakan mencengkram tubuhnya. “Sesuatu tentang menyetubuhi hingga berdarah-darah”.
“Oh, yeah. Dia berkata kau akan melukaiku, menyetubuhiku seperti binatang, menyetubuhiku hingga berdarah-darah dia mengatakan padaku sebelum pesta pernikahan. Dan membuatku takut setengah mati”. Kemudian aku cemberut. “Kurasa pria semalam mengatakan hal yang hampir sama”.
“Sebelum aku membunuhnya dia mengatakan salah satu wanita yang membeli narkoba darinya memberitahunya bahwa kau adalah jalang yang perlu diberi pelajaran. Wanita itu membayar dia Cash”.
Aku mengangkat kepalaku. “apa kau pikir itu Grace?”.
Mata Luca seperti langit badai. “aku yakin itu dia. Deskripsinya cocok dan siapa lagi yang berminat untuk menyerangmu selain dia”.
“Apa yang akan kau lakukan?”.
“Aku tak bisa membunuhnya, walaupun aku sangat ingin menyembelih tenggorokan sialannya., tapi itu akan menyebabkan terlalu banyak masalah dengan ayah dan kakak laki-lakinya. Aku harus berbicara dengan mereka, ku rasa. Memberitahu mereka bahwa mereka harus menyingkirkan Grace sialan itu atau tak akan ada lagi uang untuk mereka dari kami”.
“Bagaimana jika mereka menolak?”
“Tidak akan. Grace sudah mengacaukan banyak hal selama ini. Mereka kemungkinan mengirimnya ke eropa atau asia untuk melakukan rehabilitasi “.
aku mencium dia , tapi ketegangan di Tubuh Luca tidak berkurang. “Aku tak bisa membayangkan bagaimana jika Romero dan Cesare tidak ada disana. Jika bajingan sialan itu mendapatkanmu di club. Memikirkan tangannya yang kotor itu membuatku ingin membunuhnya lagi. Memikirkan bahwa dia mungkin akan....” dia menggelengkan kepalanya.
Aku tau bahwa ini bukan karena Luca memiliki perasaan untukku. Dia itu posesif. Dia tidak bisa tahan memikirkan seseorang mungkin akan menyentuhkan tangannya padaku, bahwa seseorang kemungkinan akan mengambil sesuatu yang seharusnya miliknya. Kesadaran memenuhi diriku. “ketika Gianna pulang nanti. Kau bisa memilikiku”, aku berbisik diatas tenggprokannya. Tangan Luca masih tetap di punggungku. Dia tidak bertanya apakah aku yakin. Dan aku juga tidak mengharapkan dia akan menanyakan itu. Dia sudah mengatakan sendiri; dia bukanlah pria yang baik.
**
Gianna dan aku menghabiskan beberapa hari terakhir dengan mencoba beberapa kafe dan restoran yang berbeda-beda, mengobrol, tertawa dan berbelanja, dan hari ini Gianna harus kembali ke Chicago. Lenganku yang memeluknya sangat erat saat kami berdiri di pintu keberangkatan di depan JFK. Gianna harus melewati petugas pemeriksaan segera tapi aku tak ingin membiarkan dia pergi. Bukan hanya karena aku akan merindukannya setengah mati tapi karena aku juga sedikit resah karena janjiku pada Luca.
Aku melepaskan diri dan mengambil langkah mundur dari Gianna. “Berkunjunglah lagi, secepatnya, Okay?”.
Dia mengangguk, bibirnya terkatup. “kau akan menelponku tiap hari, Jangan sampai lupa”.
“Tak akan”, aku berjanji. Dia menjauh dengan perlahan, kemudian berbalik, dan menuju ke barisan pemeriksaan keamanan. Aku menunggunya hingga dia melewati pemeriksaan dan menghilang dari pandangan.
Luca berdiri beberapa langkah di belakangku. Aku bergegas menghampiri dia dan menekan wajahku di tubuhnya. Dia mengelus-elus bahuku. “kurasa kita bisa menikmati makan malam dan menikmati malam yang santai”, dia terdengar lapar dan bersemangat, tapi bukan tentang makanan.
“Terdengar bagus”. Aku berkata dengan senyum kecil. Sesuatu berubah dari wajah Luca kemudian menghilang.
**
Aku tidak makan banyak. Perutku sudah keram, dan aku tak mau mengambil resiko. Luca berpura-pura tidak menyadari. Dia memakan apa yang tidak aku makan. Ketika kami melangkah masuk ke penthouse kami. Aku berjalan ke arah rak minuman keras, mencari-cari beberapa minuman, tapi Luca menggenggam lenganku dan menarikku ke arahnya. “Jangan”.
Dia mengangkatku ke legannya dan membawaku naik ke lantai atas ke kamar tidur kami. Ketika dia menurunkanku di ujung ranjang, mataku menemukan tonjolannya. Dia sudah mengeras. Rasa gugup melilit bagian dalamku. Dia menginginkanku. Aku tak meragukannya, tidak malam ini.
Luca menaiki ranjang dan aku berbaring. Telapak tanganku terkulai di atas selimut. Bibirnya menemukan bibirku, lidahnya meringsek masuk, dan aku bersantai di bawah mulutnya yang ahli. Ini terasa baik, familiar dan menenangkan. Otot kakiku melemas. Luca melepaskan mulutnya dariku dan menghisap putingku ke mulutnya dari kain gaunku. Aku menangkup kepalanya, membiarkan keahliannya membuang jauh ketakutanku. Tak ada ketergesaan dalam ciuman dan sentuhanya yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.
Dia menarik gaunku dan melepasakannya dari tubuhku, dan meninggalkanku hanya dengan celana dalam. Dia mengambil waktu sesaat untuk mengagumi tubuhku sebelum dia bergerak ke bawah dan mengubur wajahnya diantara kakiku, lidahnya menyelip diantara lipatanku diatas celana dalamku. Dengan menggeram, Luca merobek celana dalamku, dan melemparkannya. Mulutnya panas dan menuntut, tapi dengan terlalu cepat dia berhenti dan memasukan jarinya padaku. Keudian dia berdiri dengan gagahnya dan melepaskan kemejanya sebelum dia melepaskan kantung senjatanya dan celananya. Tubuhmya di liputi ketegangan dan ereksi lebih keras dari yang pernah aku lihat. Rasa lapar yang liar di wajahnya menimbulkan ketakutan pada diriku. “kau milikku”.
Dan kemudian Luca menjulang di atasku. Lututnya memisahkan kedua kakiku, dan ujung penisnya ada di pintu masukku. Otot-ototku serasa di robek dan aku menancapkan kukuku di bahunya dan memejamkan mataku. Ini terlalu cepat. Dia nyaris terlihat tidak terkendali. Aku menekan wajahku di lekuk lehernya, mencoba membiarkan aroma tubuhnya menenangkanku.
Luca tidak bergerak, ereksi masih tetap diam dan hanya menyentuh pintu masukku.
“Aria”, dia berkata dengan suara rendah. “Tatap aku”, aku melakukannya. Tatapan matanya perpaduan antara lapar dan sesuatu yang lebih lembut. Aku mencoba terfokus pada sesuatu yang lebut. Untuk sesaat yang lama kami saling berpandangan. Dia memejamkan mata dan menurunkan tubuhnya sehingga tubuhnya menempel di tubuhku. “Aku seorang bajingan”, serunya, dia mencium pipi dan pelipisku.
Rasa bingung memenuhi diriku. “Kenapa?” Tuhan, apakah suara pelan itu milikku? Luca adalah suamiku dan aku terdengar seakan aku sangat ketakutan.
Aku ketakutan, tapi seharusnya aku bisa menyembunyikannya dengan lebih baik.
“Kau ketakutan dan aku kehilangan kendali seperti itu. Harusnya aku lebih tau. Aku seharusnya membuatmu siap dengan lebih baik dan bukanya hampir meneroboskan batangku memasukimu”.
Aku tak tau aku harus berkata apa. Aku bergeser dan ereksi Luca menggesek pintu masukku, membuatku terkesiap. Luca menghembuskan napas dengan keras, memejamkan erat matanya. Saat dia membukanya lagi, matanya mengandung rasa lapar. Dia meluncur turun sampai kepalanya ada di atas payudaraku dan perutnya menempel di lipatanku. Aku menghembuskan napas karena gesekan itu dan otot Luca meregang. Aku tau dia masih gelisah.
“Kau adalah istriku” katanya dengan keras seakan megingatkan dirinya sendiri. Lalu jarinya menjepit putingku dan menariknya ke arahku. Aku mengerang, melengkungkan panggulku , dan membuat tubuhku menggosok perut Luca.
“Berhenti menggeliat” perintah Luca, hampir memohon. Dia mnarik lagi, aku memaksa diriku untuk tetap diam tapi erangan lolos dari bibirku. Ekspresi Luca berkonsentrasi dan menahan saat dia menarik dan memutar , memutar-mutar dan menggosoknya. Aku melengkungkan punggungku, mendorong dadaku ke wajahnya, dan dengan senang hati mengangkatku ke atas karena undanganku dan menghisap putingku ke mulutnya. Aku memejamkan mataku saat dia menghisap satu payudaraku ketika jari- jarinya mencubit puting payudaraku yang satunya. Dia memindahkan dan menjalarkan jarinya di tulang rusuk dan pinggangku, bagian sampingku sebelum jari-jarinya mengikuti jejak yang sama. Dia menggigit kulit diatas tulang pinggulku, lalu menenangkan titik itu dengan lidahnya. Seluruh tubuhku terasa membara, sangat ingin mendapatkan pelepasan.
Jari-jarinya mulai memijat pahaku, membuka ku lebih jauh saat dia bergerak lebih ke bawah. Dia mencium gundukanku, lalu menggigit dengan lembut paha bagian dalamku. Aku tersentak dan mengayunkan pinggulku. Dia menyelipkan tangannya di bawah pantatku dan mengangkatku beberapa inci, lalu dia mencium lipatanku, lalu dia mundur. Mataku perlahan terbuka. Dia mengamatiku, kemudian mencium pintu masukku dan aku bisa merasakan kelembapan mengumpul disana. Ibu jari Luca melebarkan bibir vaginaku untuknya dan dia menjilat di kelebapanku.
Aku bergidik dan merasakan tetesan lain. Luca dengan lembut menyentuhku, sesekali menyentuh klitorisku. Dia menghisap lipatanku, kemudian menjilatnya, dan memutar-mutar lidahnya di pintu masukku tapi tidak menyentuhku ketika aku butuh di sentuh.
“Luca, Please”. Aku mengangkat pinggulku lagi.
Luca menyenggol klitorisku dengan lidahnya dan aku berteriak. “Kamu mau ini?”
“Iya”.
“Segera”, dia mengerang dan memasukan jari kedalam diriku, menyetubuhiku dengan perlahan saat lidahnya menyelinap dantara jalan masukku, membungkusku dengan ludahnya. Lidahnya bergerak ke atas, dan akhirnya memutari klitorisku. Aku bersantai dengan mengerang. Luca memasukan klitorisku dengan mulutnya dan menghisapnya, membawaku semakin dekat, dan mendekat ke tepian.
“Beritahu aku ketika kau sampai”, kata Luca diatas dagingku yang basah.
Dia menggerakan jarinya lebih cepat dan menekan lidahnya di atas klitorisku.
“Aku sam--”.
Luca menarik jarinya keluar. Dan memasuki ku lagi dua jarinya. Aku terengah karena rasa tidak nyaman akan tetapu orgasme ku memporak – porandakan tubuhku, rasa sakit bercamput dengan kenikmatan saat tubuhku mencoba untuk memperoleh keselurannya. Luca mencium paha bagian dalamku, kemudian mengerang. “Kau sangat ketat, Aria. Otot-otot mu meremas setengah mati jari-jariku”.
Detak jantungku melambat dan aku melirik ke arah Luca. Dia sedang mrngatamtiku,dua jarinya terkubur dalam diriku. Dia menarik keluar beberapa inchi dan aku meringis tapi dia dengan perlahan menemukan irama saat dia keluar masuk.
“Relax” Luca berbisik, dan aku mencoba. “aku butuh untuk memlebarkanmu, Tuan Putri” Luca menjalarkan lidahnya ke lipatan dan klitorisku lagi. Aku bergumam dalam kenikmatan. Rasa tidak nyaman di intiku menghilang dengan setiap hujaman dari lidah Luca dan aku bisa merasakan diriku mendekati pelepasan lagi. Luca tampaknya merasakan itu juga. Dia menarik jarinya keluar dan bergerak ke atas sampai dia membungkuk di atasku. Dia meluruskan dirinya dan menggerakan kaki dan pinggulku sampai dia menemukan sudut yang dia inginkan. Lalu ujung penisnya menggesek pintu masukku. Dan seketika aku membeku lagi. Aku ingin menangis frustasi. Kenapa tubuhku tidak bisa berkerjasama denganku?
Luca mencium keningku, kemudian bibirku. “Aria?” mataku akhirnya bertemu dengan matanya. Ekspresi nya menampakkan semacam pertahanan dari dalam. Aku mengalungkan lenganku di tubuhnya, telapak tanganku menempel di punggungnya yang melengkung. Meredakan ekspresi kepemilikannya.
Dia menggerakan pinggulnya dan tekanannya meningkat. Aku menjadi sangat tegang dan Luca menghembuskan napas kasar. “Relax” dia berkata sambil menangkup pipiku dan mencium bibirku. “Aku bahkan belum masuk”. Tangannya mengusap sisi tubuhku sampai ke pahaku. Dia menangkupnya dan membukanya sedikit lebih lebar. Lalu dia mendorong perlahan, aku mengencangkan peganganku padanya, menekan bibirku erat-erat. Ini sakit. Tuhan, rasanya sakit sekali. Dia tidak akan pernah muat. Aku merintih ketika sensasi merobek terlalu sakit dan jauh lebih tegang. Luca menghentikan gerakannya, rahangnya terkatup rapat. Dia mengangkat salah satu tangannya dan menangkup dadaku, menggosok dan memutar putingnya.
“Kau sangat cantik” gumamnya di telingaku. “Begitu sempurna, Tuan Putri” kata- katanya dan godaannya di payudaraku membuatku sedikit relax dan dia mendorong sedikit lebih jauh. Aku menegang lagi. Luca mencium mulutku . “Hampir sampai” dia menyelipkan tangannya di bawah tubuhku, jati- jari menjalar diatas perutku sampai dia menggosok lipatanku. Dia mengusap klitorisku pelan dan aku menghembuskan napas. Melalui rasa sakit dan ketidaknyamanan itu, aku bisa merasakan kenikmatan kecil. Luca meluangkan waktu menggoda klitorisku dan menciumku. Bibirnya panas dan lembut, dan jari-jarimya mengirimkan sensasi kesemutan dalam tubuhku. Perlahan, ototku mengendur di sekitar kemaluannya.
Sambil mengayunkan pinggulnya ke depan, dia mendorong semuanya ke jalan masukku dan aku tersentak, punggungku melengkung dari tempat tidur. Aku memejamkan mata, menarik napas dari hidung untuk meredakan rasa sakit. Aku merasa terlalu penuh seakan aku akan robek. Aku membenamkan wajahku di tenggorokan Luca, dan mulai menghitung, mencoba mengalihkan perhatianku. “Ini akan membaik”, begitulah kata-kata para wanita di bridal shower, tapi kapan?
Luca bergerak perlahan, hanya satu inchi, tapi sakitnya tidak tertahan. “Please, jangan bergerak”, aku tersentak, lalu aku menahan bibirku karena malu.. wanita lain telah melalui ini dan mereka telah bertahan dan menderita melalui hal ini. Kenapa aku tidak bisa? Tubuh Luca menjadi sangat tegang seperti tali busur. Dia menyentuh pipiku saat dia mundur, memaksaku untuk menatapnya.
“Apakah ini sangat menyakitkan?” suaranya tenang, matanya gelap karena emosi yang tidak bisa aku mengerti.
Bertahanlah, Aria. “Tidak, tidak terlalu”. Suaraku tersedak di kata-kata terakhir, karena Luca berkedut. “Tak apa-apa Luca. Bergeraklah. Aku tidak akan marah padamu, kau tak perlu menahan diri untukku. Selesaikan segera”.
“Apakah kau pikir aku akan menggunakanmu seperti itu? Aku bisa melihat bagaimana ini begitu menyakitkan. Aku telah melakukan berbagai hal mengerikan dalam hidupku tapi aku tak ingin menambahkan dirimu dalam daftarku”.
“Mengapa? Kau selalu menyakiti orang. Dan hanya karena kita menikah. Kau tidak perlu berpura-pura memperhatikan perasaanku”.
Matanya berkilat. “Apa yang membuatmu berpikir aku berpura-pura?”
bibirku terbuka. Aku tak berani berharap, tidak berani membaca terlalu dalam ke dalam kata-katanya, tapi Tuhan, aku menginginkan itu.
“Katakan apa yang harus ku lakukan?” katanya dengan kasar.
“Bisakah kau memelukku sebentar? Tapi jangan bergerak”.
“Baiklah”,janjinya, lalu mencium bibirku. Dia menggertakan gigi saat dia benar-benar menunduk. Kami sangat dekat, bahkan selembar kertaspun tak akan muat diantara kami. Luca merapatkan satu lengan dibawah bahuku, dan menekanku ke dadanya, lalu kami berciuman, bibir kami saling meluncur, lidah kami saling membelit, lembut dan menggoda. Luca membelai sisi tubuhku, dan tulang rusukku, sebelum tangannya menyelinap diantara kami, menggambar lingkaran kecil di putingku. Perlahan tubuhku menjadi kendur di bawah belaian lembutnya dan rasa mulutnya di mulutku. Rasa sakit diantara kaki ku terasa memudar dan inti tubuhku mengendur disekitar Luca, tubuhku semakin terbiasa dengan ukuran tubuhnya. Luca sepertinya tidak memperhatikan atau sengaja mengabaikannya, malah terus menciumku. Kuku jarinya menggores puting susuku dan secercah kenikmatan menusuk diantara kedua kakiku. Aku mundur, bibirku terasa panad dan panas dari ciuman kami. Mata Luca berkabut.
“Bisakah kamu tetap....?”
dia bergeser da aku bisa merasaka betapa kerasnya dia. Dia sama sekali tidak melunak. Mataku terbelalak karena terkejut.
“Aku telah memberitahumu bahwa aku buka nlah pria yang baik. Walaupun aku tau kau kesakitan. Aku tetap mengeras karena aku berada dalam dirimu”.
“Karena kau menginginkanku”.
“Aku tak pernah menginginkan sesuatu melebihi ini sepanjang hidupku”. Luca mengakui.
“Bisakah kita bergerak perlahan?”.
“Tentu saja, Tuan Putri” masih memegangiku erat, dia masuk beberapa inci lebih dalam sambil mengamati wajahku. Tatapan perhatian di wajahnya mengendurkan ikatan di dadaku.
Aku menghembuskan napas. Aku masih kesakitan tapi tidak sesakit yang tadi dan dibalik rasa sakit tersembunyi sesuatu yang lebih baik. Luca kembali memasuki ku dan menemukan irama yang pelan dan lembut. Aku tenggelam dalam tubuh Luca yang kuat, menempel ditubuhku, garis-garis tajam wajahnya. Matanya tak pernah meninggalkan wajahku. Sepertinya dia tidak keberatan dengan kecepatan yang lambat. Ketegangan di bahu dan lehernya hanyalah satu-satunya yang menunjukan betapa sulitnya ini untuknya. Dia mengubah sudaut dan percikan kenikmatan melintasiku. Aku tersentak. Luca berhenti. “Apakah itu menyakitkan?”.
“Tidak,rasanya nikmat”. Kataku dengan senyum gemetar. Luca tersenyum dan mengulangi gerakan itu, mengirimkan kenikmatan lain padaku. Dia merendahkan bibirnya ke bibirku. Aku tak yakin sampai berapa lama dia akan tetap pada irama yang lambat ini,tapi aku mulai pegal, dan aku tau aku tidak akan sampai. Aku bahkan sama sekali tidak merasa mendekati,meski sesekali kenikmatan tercipta. Rasa sakit yang samar masih terlalu menutupi itu semua. Aku tak tau cara mengatakan yang butuh aku katakan. Dia pasti melihat sesuatu di wajahku karena dia berkata. “Apakah kau baik-baik saja?”
aku menggigit bibirku. “Berapa lama lagi sampai kamu...?”
“Tidak lama lagi, kalau aku bergerak sedikit lebih cepat”. Dia mengamatiku dan aku mengangguk. Dia menyadarkan tubuhnya di sikunya, dan mendorongnya lebih cepat dan sedikit lebih keras,dan aku menempelkan bibirku dan mengubur wajahku di bahunya, mencengkram punggungnya. Rasa sakuitnya kembali, tapi aku ingin Luca sampai. “Aria?” Kata Luca dengan serak.
“Teruskan, Please. Aku ingin kamu datang”.
Dia menggeram dan tetap menyodok. Engahanannya semakin cepat. Dia mendorong lebih dalam dari sebelumnya dan aku menggigit bahunya agar tidak merintih kesakitan. Luca menegang karena erangan, lalu bergidik, dan aku bisa merasakannya melebar lebih jauh lagi dalam diriku, mengisi tubuhku sampai aku yakin aku akan terlepas. Dia berhenti bergerak, bibirnya menempel di tenggorokanku. Aku bisa merasakan dia melunak dalam diriku dan aku hampir menarik napas lega. Aku memegang Luca, menikmati detak jantungnya yang cepat dan suara napasnya yang keras.
Luca keluar dan berbaring di sampingku, menarikku ke pelukannya. Dia menyisir rambutku dari wajahku yang berkeringat. Aku merasakan sesuatu menetes dariku dan bergeser dengan tidak nyaman.
“Aku akan mengambil Lap Kain” Luca turun dari tempat tidur dan menuju kamar mandi. Aku merasa kedinginan tanpa dia. Aku meluruskan kakiku tapi nyeri. Aku bangkit duduk dan mataku melebar. Ada bekas darah yang tercoreng di paha dan tempat tidurku, bercampur dengan air mani Luca. Luca berlutut disampingku. Dia pasti sudah membersihkan dirinya sendiri karena tidak ada darah di pahanya. “Ada lebih banyak darah dibandingan adegan palsu yang kita mainkan pada malam pernikahan kita”, Suaraku gemetar.
Luca menyenggol kedua kakiku dan menempelkan handuk basah hangat itu ke tubuhku. Aku menarik napas. Luca mencium lututku. “Kau jauh lebih ketat dari yang aku duga”, katanya pelan. Dia menarik kain lap itu, dan aku memerah, tapi dia membuangnya ke lantai tanpa melirik lagi sebelum dia menekan tangannya di perutku. “Seberapa buruk?”
Kutaruh kepalaku di atas bantal. “Tidak begitu buruk. Bagaimana bisa aku mengeluh sementara kau terkena luka pisau dan peluru?”.
“Kita tidak sedang membicarakan diriku. Aku ingin tau bagaimana perasaanmu , Aria. Pada skala satu sampai sepeuluh, ada di skala berapa rasa sakitnya?”
“Sekarang? Lima?”
Luca tegang. Dia merebahkan dirinya di sampingku, mengalungkan lengannya di tubuhku, dan mengamati wajahku. “Dan sebelumnya?”.
Aku menghindari matanya. “Jika sepuluh adalah rasa sakit yang paling buruk, maka delapan”.
“Yang sebenarnya”.
“Sepuluh”.
Luca mengepalkan rahangnya. “Lain kali akan lebih baik”.
“Kurasa aku tidak bisa lagi begitu cepat”.
“Aku tidak bermaksud sekarang”, katanya tegas, mencium pelipisku. “Kau akan ngilu untuk sementara waktu”.
“Dari skala satu sampai sepuluh, seberapa cepat dan keras dirimu bergerak? Yang sebenarnya”, aku menirukkan kata-katanya.
“Dua”.
“Dua?” aku pasti terlihat sangat ketakutan karena Luca mengusap ringan perutku. “Kita punya banyak waktu. Aku akan melakukan selembut yang kau inginkan”.
“Aku tak percaya Luca- The Vice- Vittielo mengatakan' lembut'”, kataku menggoda untuk menghidupkan suasana hati.
Luca menyeringai. Dia menangkup wajahku dan mendekat. “Itu akan jadi rahasia kita”.
Perasaan campur aduk di dadaku. “Terima kasih karena sudah bersikap lembut. Aku tak pernah menyangka kau akan melakukannya”.
Luca tertawa, terdengar serak. “Percayalah tak ada yang lebih terkejut melebihi diriku sendiri”.
Aku berguling ke sisi tubuhku, mengernyit, dan meringkuk di bahu Luca. “Kau tak pernah bersikap lembut pada seseorang?”.
“Tidak”, katanya dengan getir. “ayah kami mengajarkan aku dan Matteo bahwa kelembutan dalam jenis apapun adalah kelemahan. Dan tak ada ruang dalam hidupku untuk itu”.
Bahkan jika kata-kata itu ingin tersangkut di tenggorokanku, aku tetap bertanya, “Bagaimana dengan gadis-gadis yang telah bersamamu?”.
“mereka semua berarti sebuah akhir. Aku ingin bersegama, jadi aku mencari gadis dan aku menyetubuhinya. Dan itu cepat serta keras, dan sama sekali tidak lembut. Kebanyakan aku menyetubuhi mereka dari belakang sehingga aku tak perlu menatap mata mereka dan berpura- pura peduli pada mereka”.
Kedengarannya dingin dan kejam.
Aku mencium tatonya, ingin membuang bagian getir dari diri Luca lagi. Lengannya di tubuhku mengencang. “satu-satunya orang yang bisa mengajarkan ku cara menjadi lembut hanyalah ibuku”, aku menahan napas. Apakah dia akan bercerita tentang ibunya sekarang? “Tapi dia bunuh diri saat aku berumur sembilan tahun”.
“Maafkan aku”aku ingin bertanya tentang apa yang terjadi tapi aku tak mau mendorongnya dan membuatnya kembali bersembunyi di topeng nya yang dingin. Sebagai gantinya aku menangkup pipinya. Dia tampak terkejut dengan isyarat itu tapi tidak menarik diri. Aku menjilat bibirku, mencoba menekan keingintahuanku.
“Apakah masih sakit?” tanya tiba-tiba. Untuk beberapa saat , aku tidak tau apa yang dia bicarakan. Dia mengusap tangan ke perutku. “Yeah, tapi berbicara membantu”.
“Bagaimana itu bisa membantu?”.
“berbicara mengalihkan pikiranku”. Aku mengumpulkan keberanianku. “Bisakah kau ceritakan lebih banyak tentang ibumu?”.
“Ayahku memukulnya. Dia memperkosanya. Aku masih muda tapi aku mengerti apa yang sedang terjadi. Dia sudah tidak tahan dengan ayahku lagi. Jadi dia mengiris pergelangan tangannya dan overdosis pada obat bius”.
“Seharusnya dia tidak membiarkanmu dan Matteo sendirian”.
“Aku menemukannya”.
“Itu sebenarnya mayat pertama yang aku lihat. Tentu saja itu bukan yang terakhir”. Dia mengangkat bahu seolah tidak masalah. “Lantai di banjiri darah dan aku tergelincir diatasnya dan terjatuh. Bajuku kuyup dengan darahnya”. Suaranya tenang, tanpa beban. “Aku lari keluar dari kamar mandi sambil menjerit dan menangis. Ayahku menemukanku dan menamparku. Mengatakan padaku untuk menjadi seorang pria dan membersihkan diri. Aku melakukannya. Adan aku tak pernah menangis lagi”.
“Itu mengerikan. Kau pasti ketakutan. Kau hanyalah seorang bocah laki-laki”.
Dia diam saja. “Itu membuatku tangguh. Pada satu titik seorang anak laki-laki harus kehilangan kepolosannya. Mafia bukan tempat untuk orang lemah”.
Aku tahu itu. Aku telah melihat bagaimana ayahku membentuk Fabiano dalam beberapa tahun terakhir dan sangat menghancurkan hatiku ketika harus melihat adikku harus bertindak seperti pria dan bukan anak remaja. “Emosi bukanlah kelemahan”.
“Ya, emosi adalah kelemahan. Musuh selalu mencari dimana mereka bisa sangat menyakitimu”.
“Dan kemana tujuan The Bravta jika mereka ingin menyakitimu?”.
Luca memadamkan lampu. “Mereka tidak akan pernah tau”.
Itu bukanlah jawaban yang aku harapkan tapi aku terlalu lelah untuk merenungkannya. Sebagai gantinya aku memejamkan mata dan membiarkan rasa kantuk menguasaiku.

STUCK UP SUIT Chapter 8

GRAHAM AKU TIDAK MENDENGAR KABAR NYA SEPANJANG HARI di hari sabtu, dan tidak seperti yang aku harapkan juga. Soraya Venedetta san...