Soraya
: kemana kita akan pergi?
Aku pulang kerja sejam lebih lambat
untuk bersiap-siap. Lebih dari setengah yang pakaian yang aku punya
sudah menumpuk di tempat tidur. Normalnya, apapun suasana hati
yang menaungiku menentukan pakaianku. Aku bukanlah orang yang
rewel. Bagiku, style adalah ekspresi yang mengungkapkan kepribadian
individu, bukan harus mengikuti trend terbaru dari runway ataupun
dari salah satu Kadarshian. . jadi ini sungguh-
membuatku-ketakutan-sampai- mati ketika aku sampai ke pakaianku yang
kesepuluh.
Graham:
ke Restauran, sebenarnya. Terkecuali jika kau berubah pikiran. Aku
akan sangat mendukung jika kau lebih memilih makan di rumahku.
Jika itu adalah orang lain, segala
hal yang berupa komen mesum akan membautku marah. Tapi untuk
beberapa alasan, Graham membuatku tersenyum. Jawaban untuk
undangannya untuk mengacau selalu berupa mengacau dengannya.
Soraya
: sebenarnya, aku tampaknya sudah berubah pikiran.
Graham:
berikan alamatmu. Aku masih di kantor, tapi bisa kesana dalam
sepuluh menit, dimanapun kau tinggal.
Aku tertawa keras atas
kedepresiannya. Sebanyak apapun aku percaya bahwa dia sangatlah
percaya diri, ada sesuatu yang sangat menyenangkan atas kejujurannya
akan dirinya yang menginginkan bersamaku. Normalnya, untuk pria
seperti dia, menunjukan keputusasaan adalah tanda kelemahan. Itu
membuatku hampir merasa buruk karena mempermainkan dia. Hampir.
Soraya: maksudku tentang makan
malam kita malam ini. Aku tak yakin itu ide yang bagus.
Graham
: Bullshit, jika kau tidak muncul, bersiaplah untuk ketukan di
pintumu.
Soraya
: kau bahkan tak tau dimana aku tinggal.
Graham
: aku adalah pria yang bisa mencari dimanapun. Cobalah.
Soraya:
baiklah. Aku akan kesana. Tapi kau hanya akan memberiku alamat.
Kemana kita akan pergi? Aku harus tau apa yang harus kupakai.
Graham:
pakai apapun yang kau pakai sekarang.
Aku menunduk.
Soraya:
sebuah bra dengan warna pink menyala dan G-string? Kau mau membawaku
kemana, club striptease?
Butuh waktu tepat lima menit sampai
dia membalas.
Graham
: Dont tell me shit like that.
Soraya:
bukan penggemar warna pink me nyala.
Graham:
oh, tentu saja aku suka. Warna itu akan terlihat sama indahnya
dengan cetakan bekas tanganku di bokongmu jika kau tidak berhenti
mengacaukanku.
Memukul bokong bukanlah sesuatu yang
kugemari. Bukan juga bagian dari kata kunci. Sekarang
membayangkan dia membuat pantatku pedih membuat tubuhku bersenandung.
Aku menjadi terangsang gara-gara pesan singkat. Jesus. This man
was Dangerous. Butuh jeda, aku melemparkan ponselku ke temapt
tidur, dan kembali menggali lemariku. Sebuah gaun mini berwarna
hitam yang terselip dibelakang menarik perhatianku. Aku membelinya
untuk ke pemakaman. Aku mematahkan pikiranku , aku seharusnya
memakainya malam itu saat kencan dengan Aspen. Ketika aku melepasnya
dari gantungan baju, ponselku berkedip tanda ada pesan masuk.
Graham:
kau berhenti merespon. Aku akan menganggap itu berarti kau sibuk
berfantasi tentang tanganku memukul bokongmu yang indah itu.
Dia mempunyai kemampuan luar biasa
untuk mengubah pertanyaan sederhana menjadi sesuatu yang mesum.
Soraya:
aku sibuk mencari tau apa yang akan aku kenakan. Yang membawa ku
kembali ke pertanyaan awal yang aku kirim, kemana kita pergi?
Graham
: aku membuat reservasi di Zenkinchi.
Soraya
: di Brooklyn.
Graham:
ya di Brooklyn. Hanya ada satu-satunya. Kamu bilang kau tinggal
disana, dan karena kau menolak untuk kujemput, aku memilih tempat
yang dekat denganmu.
Soraya:
wow, ok good. Aku ingin mencoba tempat itu. Ini terasa agak
menyebalkan bukan karena kau harus pergi dari kantormu.
Graham:
cocok. Sejak kamu adalah yang membuatku sebal. Sampai jumpa nanti
jam 7.
stasiun kereta bawah tanah berjarak
satu blok dan setengah jalan dari restoran. Ketika aku berbelok ke
pojokan, ada sebuah mobil hitam diparkir di luar. Tak tau mengapa,
tapi aku terdiam di pintu masuk untuk melihat orang nya keluar.
Firasatku mengatakan bahwa itu Graham.
Firasatku tidak salah. Sopir yang
tak berseragam keluar dan membuka pintu belakang, dan Graham keluar
dari samping. God, the man oozed power. Dia berpakaian
dengan setelan mahal yang lain dari yang dia kenakan pagi ini.
Cara setelannya menempel sangat cocok dengan dia, dan tidak diragukan
lagi dia membuatnya secara kustom. Walaupun itu bukanlah setelah
mewah yang memberinya aura supremasi; tapi begitulah cara dia
mengenakan jas itu. Berdiri di depan restoran, dia berdiri tegak dan
percaya diri. Bagian dadanya terbuka dan gagah, bahunya kebelakng,
kaki terbuka, dan kokoh. Dia menatap lurus ke depan, tidak terpaku
dengan ponselnya atau menunduk ke bawah untuk menghindari kontak
mata. Satu tangannya di masukan ke kantong celana panjangnya,dan
jempolnya berada di luar kantongnya. Aku suka ibu jarinya yang
muncul di luar.
Aku menunggu selama lima menit dan
ketika dia akhirnya melihat ke arah lain, aku menyelinap keluar dari
ambang pintu. Ketika dia berbalik dan melihatku, aku menjadi seakan
tak sadar akan jalanku. Caranya mengamati setiap langkah yang aku
buat, sebagian diriku ingin berlari ke arah sebaliknya, tapi sebagian
lain dari diriku meyukai intensitas dari tatapannya. Sangat suka.
Jadi aku mengendalikan kegugupanku, menambah kan sedikit goyangan di
pinggulku, dan memutuskan untuk tidak jadi tikus dengan dia sebagai
kucingnya.
“Graham”, ujarku, ketika aku
berhenti di depannya.
“Soraya”, dia mengikuti nada
formalku dan mengangguk.
Kami berdiri saling menatap satu
sama lain di trotoar, jarak aman untuk kami selama semenit terlama
dalam sejarah permenitan. Lalu dia menggeram, “Persetan dengan
ini”. Melangkah kedepan ke arahku, segenggam rambutku di
tangannya, digunakan untuk memiringkan kepalaku kearah yang dia
mau,kemudian mulutnya melahapku.
Selama sepersekian detik, aku
mencoba melawan. Tapi aku adalah es batu yang mencoba melawan panas
matahari. Sesuatu yang tak mungkin. Sebaliknya aku malah mencair
dibawah cahaya yang menyilaukan. Jika dia tidak mengaitakan
tangannya di pinggangku, ada kemungkinan aku sudah berada di beton.
Pikiranku ingin melawanku di setiap kesempatan, tetapi tubuhku tak
bisa menahan diri untuk menyerah. Pengkhianat.
Dia berbicara diatas bibirku ketika
dia akhirnya melepaskan mulutku. “lawanlah semau dirimu. Suatu
hari kau akan memohon. Mark my words”
kesombongannya membuatku kembali ke
kesadaranku. “You are so full of yourself”. -sombong.
“I'd much rather be filling
you” - aku lebih suka mengisi mu
“Babi”.
“apa yang dikatakan untukmu? Kau
basah karena seorang babi”.
Aku mencoba keluar dari pelukannya
di seputar pinggangku, tapi itu hanya membuatnya memelukku lebih
erat, “aku tidak basah”.
Dia melengkungkan alisnya. “hanya
ada satu cara untuk membuktikannya”.
“back off Morgan”.
Graham melangkah mundur dan
mengangkat kedua tangannya seperti menyerah. Ada secercah rasa geli
di matanya.
Di dalam, Zenkinchi gelap dan tak
seperti yang aku bayangkan. Seorang wanita berpakaian jepang
tradisional membimbing kami menelusuri lorong panjang yang membuat
seperti merasa di luar. Jalan setapaknya di tata dengan batu-batu
dan batu sabak,seolah-olah kami sedang berjalan di taman gaya asia.
Kedua sisi dipagari dengan bambu tinggi dan diterangi lentera. Kami
melewati area luas pintu masuk area tempat duduk, tetapi sang Hostest
terus melangkah. Di ujung lorong, dia mendudukan kami disebuah
bilik privat, tertutup tirai mewah, dan tebal. Setelah dia memesan
minuman kami, dia menunjukan bel yang terpasang di meja dan
mengatakan pada kami bahwa kami tak akan diinterupsi kecuali kami
menginginkannya. Lalu dia menghilang, menarik tirai tertutup.
Rasanya seakan kami adalah satu-satunya orang di dunia, bukannya di
restoran mewah dan sibuk.
“Ini indah. Tapi aneh”. Kataku.
Graham menanggalkan jasnya dan duduk
disisi meja dengan satu tangan yang dengan santainya di kalungkan di
atas bilik. “cocok”.
“apa kau sedang mengatakan aku
aneh?”
“apa kita akan bertengkar jika aku
mengatakan ya?”
“mungkin”.
“kalau begitu, iya”.
Alis ku mengkerut. “kau ingin
bertengkar denganku?”
Graham meraih dasinya, dan
melonggarkannya. “aku merasa bertengkar denganmu membuatku
terangsang”.
Aku tertawa. “kurasa kau butuh
konseling”.
“setelah beberapa hari, kurasa kau
benar”.
Si pelayan kembali dengan pesanan
minuman kami. Dia meletakan highball glass di depan Graham
dan gelas anggur di depanku.
Graham memesan Hendrick's dan Tonic
, “gaya pria tua, minum gin and tonic”, kataku, menyesap
anggurku.
Dia menggoyang-goyangkan es di gelas
nya, dan membawanya ke bibirnya dan melihat ku dari atas pinggiran
gelasnya sebelum meminumnya. “ingat yang kukatakan dengan kita
beradu argumen. Mungkin kau mau melihat ke bawah meja”.
Mataku membesar. “kau tak
mungkin”.
Dia menyeringai dan menaik turunkan
alisnya. “lihatlah. Taruh kepalamu ke bawah. Aku tau kau
penasaran untuk mengintip”.
Setelah kami berdua menghabiskan
minuman kami, beberapa kegugupanku mulai mereda, kami akhirnya
mendapatkan obrolan nyata kami yang pertama. Sesuatu yang tak
berhubungan dengan sex ataupun tindik lidah”.
“jadi berapa lama kau bekerja di
balik kantor besarmu yang mewah?”
“aku biasa nya berangkat jam
delapan dan pulang jam delapan”/
“dua belas jam sehari? Itu enam
puluh jam dalam seminggu”.
“tidak menghitung weekends”.
“kau bekerja di weekends, juga?”
“sabtu”.
“jadi hari liburmu hanya minggu”.
“terkadang aku juga berkerja di
hari minggu”.
“itu gila. Kapan kau punya waktu
untuk bersantai?”
“aku menikmati pekerjaanku”
aku mengejek. “tidak terlihat
seperti itu ketika kali terakhir aku mampir. Semua orang disana
tampaknya takut padamu, dan kau menolak untuk membuka pintu”.
“aku sedang sibuk”, dia melipat
tangannya di dada.
Aku melakukan hal yang sama.
“begitupun aku. Kau tau, Aku harus menaiki dua kereta hanya untuk
mengantarkan ponselmu. Dan kau bahkan tak memiliki sopan santun
hanya untuk sekedar keluar dan mengucapkan terima kasih”.
Dia menghela nafas. “aku orang
yang sibuk, Soraya”.
“namun kau berada disini pada hari
kerja jam tujuh malam. Bukankah kau bekerja sampai jam delapan jika
kau sangat sibuk?”
“aku membuat pengecualian untuk
yang sudah di janjikan”.
“betapa baik hatinya dirimu”.
Dia melengkungkan alisnya. “kau
ingin melihat ke bawah meja, bukan?”
aku tak bisa menahan tawa.
“ceritakan sesuatu yang lain tentang dirimu. Selain kau yang
seorang penggila kerja dengan superioritas yang kompleks yang
meminum minuman mewah. Cuma itu, yang bisa ku tebak dari pengamatan
ku di kereta”.
“apa yang ingin kau ketahui?”
“apakau punya saudara laki-laki
atau perempuan?”
“tidak, aku anak satu-satunya”.
Aku bergumam pelan. Wah , aku
tak pernah menduga ini sebelumnya.
“apa katamu?”
“tak ada”.
“bagaimana denganmu?”
“satu saudara perempuan. Tapi aku
tak bertegur sapa dengannya saat ini”.
“dan kenapa begitu?”
“bad blind date”.
“dia mencomblangimu?”
“Yep”.
“dengan pria yang membawamu ke
pemakaman? Siapa nama nya, Dallas?”
“Aspen. Tidak dia tidak
mencomblangiku dengan Aspen. Aku memilih bencana itu sendiri. Dia
mencombalangiku dengan pria yang seharusnya dia kencani. Mitch”.
“dan tidak berjalan dengan baik,
kurasa?”
aku memelototinya. “aku
menjulukinya High Pitch Mitch with The Itch”
dia tertawa kecil. “tidak
terdengar bagus”.
“tidak”.
Dia memincingkan mata padaku. “dan
akankah besok aku juga memiliki nama panggilan”.
“apa kau mau?”
“Tidak jika itu High Pitch
Mitch with The Itch”.
“Nah, apa yang ada di kepalamu”.
Roda berputar di kepalanya selama
tiga puluh detik. “Morgan with Big Organ”.
Aku memutar mataku.
“kau bisa memeriksanya ke bawah
meja kapanpun”, dia mengedipkan sebelah matanya.
Aku melanjutkan untuk mencari tau
lebih banyak tentang dia, walaupun semua jalannya mengarah ke bagian
diantara kakinya. “punya hewan peliharaan?”
“aku memiliki anjing”,
mengingat seekor anjing kecil dari
aku yang mengintip ponselnya, aku berkata “anjing jenis apa? Kau
tampaknya tipe yang suka memiliki anjing besar yang menakutkan.
Seperti Great Dane atau Neapolitan Mastiff. Sesuatu yang
mencerminkan apa yang terus kau agungkan padaku untuk melihat ke
bawah meja. Kau tau, big dog, big D---”
“ukuran anjing bukanlah simbol
yang tepat”. Dia mengintrupsi.
Jadi, anjing kecil itu memang
miliknya.
“Sungguh? Kurasa aku pernah
membaca sebuah study yang mengatakan seorang pria tak dikenal
membeli anjing yang merepresentasikan ukuran penis”.
“anjingku adalah milik ibuku.
Ibuku meninggal saat dia masih anak anjing, dua puluh tahun lalu”.
“i'm sorry”.
Dia mengangguk. “Thank you.
Blackie adalah jenis west highland terrier”.
“Blackie? Apakah dia hitam?”
anjing yang di foto berwarna putih.
“dia putih, sebenarnya”.
“jadi kenapa Blackie? Apa karena
lucu? Atau apakah ada alasan lain??”
responnya begitu tertutup. “tak
ada alasan lain”.
Tak lama kemudian, pelayan
menghidangkan makan malam kami. Aku memesan Boniti shut fish
entree, pada dasarnya karena di menu mengatakan itu hanya untuk
petualang makanan. Dan Graham memesan sashimi. Kedua hidangan kami
lebih mirip karya seni ketika mereka tiba.
“aku benci memakannya, ini begitu
indah”.
“aku memiliki masalah yang
berlawanan. Itu begitu indah ; aku tak sabar untuk memakannya”.
Cengirannya menunjukan padaku bahwa komentar nya tak ada kaitannya
dengan makan malam mewah inu.
Aku bergeser di kursiku.
Kami berdua mulai mengaduk-aduk
makanan kami. Milikku luar biasa, ikannya benar-benar meleleh
dimulutmu. “mmm.....ini sangat lezat”.
Graham mengejutkanku dengan
mengambil sepotong dari piringku. Dia tidak tampak seperti orang
yang berbagi piring. Aku menyaksikannya menelan, dan dia memberi
anggukan kecil persetujuan. Lalu aku meraih dan mengambil sepotong
makanannya. Dia tersenyum.
“jadi. Kau memberitahuku tentang
Mitch the Itch dan si cowok pemakaman. Apa kau sering berkencan?”
“aku tak akan mengatakan sering.
Tapi aku menemukan beberapa pasang bajingan”.
“mereka semua bajingan?”
“tidak semuannya. Beberapa pria
yang baik tapi tidak berhasil untukku”.
“tidak berhasil untukmu?
Maksudnya?”
aku mengedikan bahu. “aku hanya
tidak merasakan yang seharusnya pada mereka. Kau tau. Sesuatu
seperti lebih dari teman”.
“dan apakah kau punya beberapa
janji kencan lagi di kalendermu yang akan datang?”
“kalenderku yang akan datang?”
aku mengeluarkan dengusan seperti seorang lady. “kau merubah
pembicaraan yang kotor menjadi terdengar seperti profesor perguruan
tinggi yang sombong dan gampangan”.
“apakah itu mengganggumu?”
aku memikirkan jawabanku sejenak.
“aku tak akan mengatakan me ngesalkan. Lebih seuka mengatakan
menghibur”.
“aku menghibur?”
“ya. Kamu lucu”.
“sangat yakin aku belum pernah ada
yang mengatakan bahwa aku menghibur “.
“aku bertaruh itu karena
kebanyakan orang hanya melihat tingkah bajingan yang kau tunjukan di
luar”.
“itu mengimplikasikan bahwa aku
lebih dari sekedar seorang bajiangan di dalam”.
Mata kami saling mengunci dan aku
menjawab. “untuk beberapa alasan, aku percaya itu. Ada sesuatu
yang lebih dari sekedar bajingan dengan penampakan luar yang sexy”.
“kau berpikir aku sexy”. Dia
menyeringai, sangat narsis.
“tentu saja. Maksudku lihat lah
dirimu. Kau punya kaca. Ku tebak kau sudah menebaknya sendiri. Dan
itu bahkan tak akan sulit bagimu untuk mengisi jadwal kalender mu
kedepan”.
“apa kau selalu seblak-blakan
ini”.
“tentu saja”,
dia menggelengkan kepalanya dan
mengocehkan sesuatu. “ngomong-ngomong tentang kalender ke depan.
Aku ingin kau mengosongkan seluruh janji kencan, kecuali aku, tentu
saja”.
“kita sedang setengah jalan
melalui kencan kita, dan kau memerintahku, bukan memintaku, untuk
tidak berkencan dengan orang lain”.
Dia meluruskan kursinya. “kau
mengatakan padaku bahwa kau tak akan tidur denganku. Bahwa kita akan
berkencan dan mencoba mencari tau satu sama lain. Apakah itu masih
berlaku?”
“ya”.
“Well, jika aku tidak tidur dengan
mu, maka tak seorangpun juga”.
“how romantic”.
“itu adalah kesepakatan dariku”.
“dan akankah kita berlaku untuk
kita berdua? Kau tak akan berkencan dengan orang lain?”
“tentu saja”.
“biarkan aku memikirkan ini”.
Alisnya melonjak terkejut. “kau
perlu memikirkannya?”
“ya. Aku akan memberitahumu”.
Dan tak ada sama sekali bayangan keraguan, pertama kalinya Graham J
Morgan tidak bisa menentukan aturannya pada wanita.
Sejam kemudian, ponselku bergetar
di tas ku. Itu adalah Delia yang mengecek keadaanku sejak dia tau
aku pergi ke kencan pertamaku. Aku mengetikan sms singkat bahwa aku
baik-baik saja dan melirik jam di ponselku. Kami sudah duduk di
restoran ini lebih dari tiga jam. Tak mengejutkan ku bahwa ini
adalah pertama kalinya aku tak memikirkan ponselku.
“Yah, kau benar tentang satu hal”
“kau harus spesifik. Aku benar
tentang banyak hal”.
Aku menggelengkan kepala. “dan
disini aku akan memberikanmu pujian, dan kau justru merusaknya dengan
kesombonganmu”.
“aku percaya arogansi adalah
ketika kau memiliki perasaan yang di lebih-lebihkan dari kemampuan mu
sendiri. Aku tak melebih-lebihkan. Aku sesuai kenyataan”.
“Bajingan ber Jas benar-benar
nama yang pas untukmu, bukan?”
mengabaikanku, dia bertanya. “apa
pujiannya?”
“ketika kita berkirim pesan saat
aku berkencan di pemakaman malam itu, kau mengatakan jika bersamamu,
aku tak akan peduli dimana ponselku berada. Hingga baru saja
ponselku bergetar, aku bahkan tak menyadari bahwa aku tak pernah
mengeluarkannya”.
Itu membuatnya senang. Beberapa
saat kemudian, Graham membayar tagihan, dan aku berhenti sebentar di
toilet wanita, menyegarkan diri, aku tersadar bahwa aku tak ingin
kencan ini berakhir. Pikiran itu menimbulkan efek melankolis yang
mengejutkanku.
Di luar restoran, mobil hitam Graham
sudah di pinggir jalan. Dia pasti sudah menunggunya dan memanggil
sopir ketika aku ke kemar kecil.
“jika kau tak akan pulang
bersamaku, aku bersikeras setidaknya memberikan tumpangan padamu
pulang ke tempatmu”.
“Kereta bawah tanah tepat di
tikungan. Aku baik-baik saja”.
Dia menatapku dengan pandangan
kesal. “beri sedikit kesempatan , Soraya. Ini hanya berkendara
ke rumah, bukan kau mengendarai penisku. Dan kurasa kau sudah tau
dari sekarang bahwa aku bukan pembunuh berantai”.
“kamu sangat kasar”.
Dia meletakkan tangannya di
punggungku dan mengarahkan ku ke pintu mobil yang terbuka. Aku tak
melakukan perlawanan. Graham benar, aku keras kepala sedangkan dia
menuruti apapun yang aku minta. Sesuatu memberitahuku bahwa ini
adalah sesuatu yang sangat langka ketika dia bisa bersifat fleksibel.
Ketika kami tiba di apartemenku,
Graham mengantarkanku ke pintu.
“kapan kita bertemu lagi?”
“well, besok adalah hari sabtu,
jadi kurasa mungkin senin di kereta”.
“makan malam denganku lagi besok?”
“aku sudah punya rencana”.
Rahangnya tertekuk. “dengan
siapa?”
kami memulai dengan tatapan panjang.
Tatapannya keras. Ketika tak satupun dari kami memberi waktu
beberapa menit, dia menggumamkan kekesaalan dengan pelan. Dan sebelum
aku sadar akan apa yang sedang terjadi, punggungku berada menempel di
pintu, dan mulutnya di mulutku.
Dia menciumku seakan ingin memakanku
hidup-hidup. Sebelum melepaskan mulutku, dia mengggit bibir bawahku
dan menariknya. Keras. Dengan bibirnya bergetar diatas bibirku, dia
berbicara. “Don't Push my Limit, Soraya”.
“kenapa? Apa yang akan terjadi?”
“aku akan mendorong balik. Dan
aku sedang berusaha untuk tidak melakukannya padamu”.
Dia berkata jujur, dan aku sadar
aku harus mengapresiasinya. “ke rumah saudara perempuanku. Ini
adalah acara ulang tahun keponakanku. Kesanalah aku pegi besok”.
Dia mengangguk. “Thank you”
itu mengambil tiap bagian kecil dari
kemauanku untuk masuk ke dalam dan menutup pintu. Aku menyenderkan
punggungku di pintu, tak bisa mengingat kali terakhir aku begitu
terangsang dan terusik. Mungkin tak pernah. Mulutny adalah ladang
dosa; memikirkan akan apa yang bisa dia lakukan dengan lidahnya yang
nakal di tempat lain di tubuhku membuatku sangat amat bergairah.
Tapi itu lebih dari itu. Cara dia begitu mendominasi dan
mengendalikan, namun menahan diri untuk menghormati keinginanku,
adalah hal terseksi yang pernah aku lihat. Aku membutuhkan segelas
anggur dan orgasme. Tak harus dalam urutan itu. Jika aku akan teguh
tentang pendirianku tentang kami harus saling mengenal dan tidak
berhubungan seks, dan menjilat ludah ku sendiri adalah sesuatu yang
sangat penting.
Di kamar tidurku, aku menanggalkan
pakaianku. Aku tidak tidur telanjang sepanjang malam, tetapi malam
ini malam yang cerah. Ketika aku masuk ke tempat tidur, ponselku
berdering.
“is phone sex on the table?”
Suara Graham adalah suara serak yang merangsang. Apapun yang telah
mendinginkan tubuhku sejak aku meninggalkan dia di balik pintu dengan
sekejap kembali memanas. Suaranya mempercepat segalanya dalam
diriku. Tapi....
“Sex is off the table. Sex
seharusnya meliputi segala jenis sex. Intercourse, oral, ponsel”
dia mengerang. “Oral. God,
aku ingin merasakanmu. Dan merasakan cincin besi di lidahmu di
batangku. Kau tak tau betapa sulitnya untuk mengendalikan diriku
malam ini setiap kali melihat kilatan metal itu ketika kau berbicara.
Seakan-akan kau menggodaku di setiap kata. Apa yang kau kenakan,
Soraya?”
suaranya. Aku butuh merekam dia
saat mengatakan apa yang kau kenakan, Soraya ? Sehingga aku
bisa memutarnya lagi dan lagi ketika aku butuh untuk memuaskan diriku
sendiri. “sebenarnya aku tak mengenakan apapun. Aku baru saja
menanggalkan pakaianku dan naik ke tempat tidur”.
“kau tidur telanjang?”
“terkadang”.
Dia menggeram. “sentuh dirimu”.
“aku berencana begitu. Tapi
tampaknya aku butuh dua tanganku malam ini. Jadi aku akan mematika
ponselnya dulu”.
“berapa lama rencanamu kau akan
membuatku gila , Soraya?”
“Good Night, Graham”. Aku
mematikan tanpa menunggu dia merespon. Walaupun tubuhku terasa nyeri
karena pria ini, aku belum siap untuk membukakan pintu untuk dia.
Walaupun saat aku megulurkan tanganku ke bawah tubuhku sendiri di
kasurku, satu hal yang kupikirkan adalah God, Iwish it was his
hand.