Sorak sorai di depan pintu sudah
berhenti kecuali Matteo yang masih meneriakan saran-saran mesum
tentang apa yang Luca dapat lakukan padaku atau aku kepada Luca.
“Diam Matteo, dan pergilah cari saja
pelacur yang bisa kau tiduri”. Bentak Luca.
Keheningan mulai mencuat diluar.
Mataku berkelana kearah tempat tidur berukuran King size yang berada
di tengah ruangan dan rasa takut mencengkramku. Luca memiliki
pelacur pribadi yang bisa di setubuhi malam ini hingga hari berakhir.
Harga dari tubuhku tidak dibayar dengan uang, tapi mungkin juga
sudah. Aku melingkarakan lenganku di tengah tubuhku , mencoba
menenangkan kepanikanku.
Luca berbalik menatapku dengan ekspresi
pemangsa di wajahnya. Kaki ku menjadi lemah. Mungkin jika aku
pingsan aku akan terhindar , dan bahkan jika lau dia tidak peduli aku
dalam keadaan sadar ataupun tidak dan tetap melakukan itu padaku
setidaknya aku tak akan mengingat apapun. Dia menyampirkan jas nya
di kursi berlengan di samping jendela, otot-otot lengan bagian
bawahnya meregang. Dia adalah otot, kekuatan dan kekuasaan dan aku
mungkin terbuat dari kaca. Satu sentuhan salah dan aku akan hancur.
Luca memanfaatkan waktunya untuk
mengagumiku. Kapanpun matanya menyentuh tubuhku, dia mencapku
sebagai miliknya, kata-kata “Milikku” beringsut ke kulitku
berulang-ulang kali.
“ketika ayahku memberitahuku bahwa
aku akan menikahimu, dia berkata bahwa kau adalah gadis tercantik
yang bisa Chicago Outfit tawarkan, bahkan lebih cantik dari pada
wanita di New York”
ditawarkan ? Apakah aku hanya sebuah
potongan daging. Aku membenamkan gigiku di lidahku.
“Aku tak mempercayai dia”. Luca
berjalan menghampiriku dan meraih pinggangku. Aku menelan pekikanku
dan memaksa diri ku untuk tetap diam saat aku memandang dadanya.
Kenapa dia harus begitu tinggi? Dia membungkuk hingga mulutnya tidak
sampai satu inci dari tenggorokanku. “Tapi ternyata dia mengatakan
yang sebenarnya. Kau adalah wanita tercantik yang pernah aku lihat,
dan malam ini kau adalah milikku” Bibirnya yang panas menyentuh
kulitku. Mungkinkah dia merasakan teror yang memompa di pembuluh
darahku? Tangannya dipinggangku menegang. Air mata menempel di bola
mataku, tapi aku berusaha menahannya. Aku tak akan menangis, tapi
kata-kata Grace berkecamuk di otakku. Dia akan menyetubuhimu
hingga berdarah-darah.
Jadilah kuat. Aku
adalah seorang Scuderi. Kata-kata Gianna melintas dipikiranku.
Jangan biarkan Dia memperlakukanmu seperti pelacur.
“tidak!”
kata-kata itu merobek tenggorokanku seperti tangisan pertempuran.
Aku melepaskan diri dan menjauh , terhuyung beberapa langkah ke
belakang. Segalanya tampak terdiam. Apa yang baru saja aku lakukan.
Ekspresi Luca
tertegun , lalu mengeras “Tidak?”
“Apa
?” bentakku. “apakah kau tak pernah mendengar kata “tidak”
sebelumnya?” Diam Aria. Demi tuhan tutup mulut.
“oh , aku sering
mendengarnya. Orang yang tenggorokannya aku hancurkan selalu
mengatakan itu berulang kali sampai dia tak bisa mengatakannya lagi”.
Aku melangkah
mundur, merintih. “jadi kau akan menghancurkan tenggorokanku?”
aku seperti anjing yang terpojok , menggigit, dan membentak, tapi
lawanku adalah srigala. Srigala yang sangat besar dan berbahaya.
Seyuman dingin
melingkar di bibirnya. “tidak , itu akan merusak tujuan dari
pernikahan ini, bukan begitu?”
aku bergidik.
Tentu saja, sudah pasti. Dia tak bisa membunuhku. Paling tidak jika
dia ingin mempertahankan kedamaian antara Chicago dan New York.
Tapi itu bukan berarti dia tak bisa mengalahkan atau memaksakan
dirinya padaku. “kurasa ayahku tak akan senang jika kau
menyakitiku”.
Tatapan matanya
membuatku mundur selangkah lagi. “apakah itu ancaman?”
aku mengalihkan
pandanganku darinya. Ayahku kemungkinan mengambil resiko perang atas
kematian ku – bukan karena dia menyayangiku- tapi untuk
menyelamatkan wajahnya- tapi pastinya tidak akan hanya sedikit memar
dan pemerkosaan. Bagi ayahku itu bahkan termasuk pemerkosaan; Luca
adalah suamiku dan tubuhku adalah miliknya untuk diambil kapanpun dia
mau. “Tidak” kataku pelan. Aku membenci diriku sendiri karena
bersikap patuh seperti layaknya jalang kepada alfa nya, hampir sama
besarnya dengan kebencianku pada dia karena membuatku seperti ini.
“Tapi kau
menyangkal apa yang telah menjadi milikku?”
aku melotot.
Persetan dengan sikap patuh. Persetan dengan ayahku yang telah
menjualku seperti sapi dan persetan dengan Luca yang menerima tawaran
itu. “aku tidak bisa menyangkal mu akan sesuatu yang kau sendiri
tak punya hak untuk memgambil bagian paling pertama. Tubuhku bukan
milikmu. Ini milikku”.
'Dia akan
membunuhku' pikiran itu melintas sesaat sebelum Luca menarik diri
dari hadapanku. 6,5 kaki amatlah tinggi. Aku melihat tangannya
bergerak dalam penglihatan periferalku dan tersentak untuk
mengantisipasi pukulan itu, mataku terpejam. Tak ada yang terjadi.
Satu-satunya suara adalah napas Luca yang keras dan denyut nadi di
telingaku. Aku mengambil resiko untuk mengintip ke arahnya. Luca
sedang memandangiku, matanya seperti musim panas yang penuh badai.
“aku bisa mengambil apa yang aku inginkan” namun kekejaman sudah
menghilang dari suaranya.
Tak ada gunanya
menyangkal itu. Dia jauh lebih kuat dariku. Dan bahkan jika aku
berteriak tak ada yang menolongku. Banyak pria dari keluargaku
bahkan keluarga Luca yang akan menahanku untuk mempermudah dia,
bukan berarti Luca memiliki masalah dalam menahanku. “bisa” aku
mengakui, “dan aku akan membencimu hingga akhir hayatku”.
Dia menyeringai,
“apa menurutmu aku akan peduli dengan itu? Ini bukan pernikahan
berlandaskan cinta. Dan kau sudah membenciku. Aku bisa melihatnya
dari matamu”.
Dia benar dikedua
hal itu. Ini bukan tentang cinta dan aku sangat membencinya, tapi
mendengarnya mengucapkan itu menghancurkan harapan bodoh terakhir
yang aku milikki. Aku tak mengatakan apapun.
Dia menunjuk seprei
bersih di tempat tidur yang berderit. “kau mendengar apa yang
ayahku katakan tentang tradisi kami?”
darahku membeku .
Aku tau tapi sampai saat ini aku berusaha menyingkirkan itu dari
pikiranku. Keberanian ku sia-sia belaka. Aku melangkah ke tempat
tidur dan menatap seprei, mataku membara di tempat dimana bukti
keperawananku yang hilang harus terjadi. Besok pagi para wanita
keluarga Luca akan mengetuk pintu kamar kami dan membawa serta
seprei untuk menyajikannya di depan Luca dan ayahku, jadi mereka
bisa memeriksa bukti pernikahan kami yang telah dilakukan. Itu
adalah tradisi yang menyakitkan, tapi bukan yang bisa aku hindari.
Pertarungan ini menguras tenagaku.
Aku bisa mendengar
Luca mendekat dari belakangku. Dia meraih bahuku dan aku memejamkan
mataku. Aku tak akan bersuara. Tapi tidak menangis adalah
kekalahan. Air mata pertama sudah menempel di bulu mataku, lalu
menetes ke kulitku, dan menciptakan jejak di pipi dan daguku. Luca
menyelipkan tangan diatas tulang selangka ku , lalu turun ke ujung
bajuku. Bibirku bergetar dan aku bisa merasakan air mata jatuh dari
daguku. Tangan Luca menegang di tubuhku.
Untuk sejenak, tak
ada seorangpun dari kami yang bergerak. Dia memutarku untuk
menghadapnya dan mengangkat daguku . Mata abu-abu nya yang dingin
mengamati wajahku. Wajahku telah basah dengan air mata tapi aku tak
mengeluarkan suara apapun, hanya membalas tatapannya. Dia
menjatuhkan tangannya, tersentak kebelakang dengan serangkaian
kata-kata umpatan italia, lalu dia mengepalkan tinjunya ke dinding.
Aku tersentak dan melompat mundur. Aku menekan bibirku saat aku
melihat punggung Luca. Dia menatap tembok, bahunya terengah. Dengan
cepat aku menghapus air mata dari wajahku.
Kau telah membuat dia benar-benar
marah.
Mataku mengarah ke
pintu. Mungkin aku bisa sampai disana sebelum Luca. Mungkin aku
bisa kabur keluar sebelum dia menangkapku, tapi aku tak akan pernah
bisa keluar dari tempat ini. Dia berbalik dan melepaskan rompinya ,
menunjukan sebuah sarung pistol berwarna hitam dan pistol.
Jari-jarinya menggenggam gagang pisau , buku-buku jarinya sudah
berubah merah akibat menghantam dinding dan dia mengeluarkan
pisaunya. Pisau itu melengkung seperti cakar: pendek, tajam dan
mematikan. Warnanya hitam seperti gagangnya, jadi tidak mudah
terlihat dalam kegelapan. Pisau karambit untuk pertarungan jarak
dekat. Siapa yang tau bahwa obsesi Fabiano terhadap pisau bisa
berguna bagiku? Sekarang setidaknya aku tau jenis pisau apa yang akan
menggorokku. Tawa histeris rasanya ingin keluar dari tenggorokanku
tapi aku menelannya.
Luca menatap dengan
intens pisaunya. Apakah dia sedang mempertimbangkan bagian mana yang
akan dia potong pertama kali?
Memohon pada nya. Tapi
aku tau itu tak akan menyelamatkanku. Orang-orang mungkin memohon
pada dia sepanjang waktu dan dari yang aku dengar itu tidak
menyelamatkan mereka. Luca tidak menunjukan belas kasihan. Dia
akan menjadi Capo dei Capi di New York dan dia akan menjalankannya
dengan brutal.
Luca berjalan ke
arahku dan aku mengernyit. Senyum yang gelap melingkar di bibirnya.
Dia menekan ujung pisau yang tajam di kulit lembut di cekungan
lengannya, mengucurkan darah. Bibirku terbuka karena merasa
terkejut. Dia meletakkan pisaunya di meja dianatara dua kursi
berlengan, meraih gelas dan mengangkat lukanya diatas gelas, kemudian
mengamati darahnya yang mengucur tanpa kilasan emosi sebelum
akhirnya dia menghilang ke kamar mandi.
Aku mendengar air
mengalir dan dia keluar dari kamar mandi. Campuran darah dan air di
gelas memancarkan warna merah menyala. Dia mendekati tempat tidur,
mencelupkan ujung jarinya ke cairan dan kemudian mengoleskan ke
tengah seprei. Pipiku memerah penuh kesadaran. Aku mendekatinya
perlahan dan berhenti di tempat yang belum bisa dia jangkau, bukan
berarti hal tersebut membuatku lebih baik. Aku menatap seprei
bernoda itu. “apa yang kau lakukan?” bisikku.
“mereka
menginginkan darah. Mereka mendapatkannya”.
“Kenapa airnya?”
“Darah tidak
selalu terlihat sama”. Dia pasti tau.
“apakah sudah
cukup darah?”
“Apakah kau
mengharapkan bermandikan darah?” dia memberikan senyum sinis.
“Ini seks, bukan pertarungan pisau”.
'dia
akan menyetubuhimu hingga berdarah-darah' kata-kata
itu membara di otakku tapi aku tak akan mengulanginya.
Berapa banyak
perawan yang telah kau tiduri hingga kau tau semua ini? Dan berapa
banyak dari mereka yang secara sukarela datamg ke ranjangmu?
Kata-kata itu sudah berada di ujung lidahku, tapi aku tak mau bunuh
diri.
“tidakkah mereka
tau itu darahmu?”
“Tidak”. Dia
berjalan kembali ke meja dan menuang Scotch ke gelas berisi darah dan
air. Matanya menatap mataku saat dia meminum nya dalam satu kali
tegukan. Aku tak bisa menahan diri untuk tidak mengerutkan hidungku
dengan jijik. Apakah dia sedang mencoba untuk mengintimidasiku?
Meminum darah sungguh tidak berguna untuk itu semua. Aku sudah takut
dengannya bahkan sebelum aku bertemu dia. Aku bahkan akan tetap
takut dengannya ketika aku menundukkan kepalaku di peti matinya yang
terbuka.
“Bagaimana dengan
tes DNA?”
Dia tertawa. Dan
itu bukanlah tawa kebahagian. “Mereka akan percaya kata-kataku.
Tak akan ada orang yang meragukan ku tentang aku mengambil
keperawananmu saat kita telah sendirian. Mereka tak akan meragukanku
karena siapa diriku”.
Ya, kau benar. Tapi
kenapa dia menolongku? Pikiran lain yang tak pernah meninggalkan
bibirku. Tapi Luca tampaknya sudah memikirkan hal yang sama karena
alis nya yang gelap terangkat bersamaan saat matanya menjelajah
disepanjang tubuhku.
Aku mengkerut dan
mengambil langkah mundur.
“Jangan” dia
berkata dengan suara pelan. Aku membeku. “ini adalah kelima
kalinya kau menghindar dariku malam ini”. Dia meletakkan gelasnya
dan meletakkan pisau di tangannya. Kemudian dia mengacungkannya
padaku. “tidakkah ayahmu tak pernah mengajarimu untuk
menyembunyikan ketakutanmu dari monster? Mereka akan memburumu jika
kau berlari”.
Mungkin dia
mengharapkan aku untuk menyangkal tentang dia yang menyebut dirinya
monster, tapi aku tak pandai dalam berbohong. Jika monster itu ada,
maka seluruh pria di dunia aku adalah monster. Ketika dia sampai di
depanku, aku harus menengadahkan kepalaku hanya untuk bisa menatap
wajahnya.
“darah di sprei
butuh cerita”, dia berujar singkat dan mengangkat pisaunya. Aku
mengernyit. “enam kali”.
Dia menyayatkan
pisau itu ke bagian ujung dari gaun pengantinku dan dengan perlahan
menggerakkanya ke bawah. Kain terlepas hingga akhirnya menumpuk
dikakiku. Pisau itu tak pernah sekalipun menyentuh kulitku. “ini
tradisi di keluarga kami untuk melucuti pengantin dengan cara seperti
ini.
Keluarganya
memiliki banyak sekali tradisi menjijikkan.
Akhirnya aku
berdiri membelakanginya hanya mengenakan korset putih ketat dengan
renda-renda di bagian punggung dan celana dalamku dengan lengkungan
di pantatku. Rasa merinding merayap kesetiap inci tubuhku. Tatapan
Luca seperti bara api di kulitku. Aku beringsut mundur.
“tujuh” dia
berkata dengan pelan.
Rasa marah mendidih
dalam diriku. Jika dia merasa marah dengan diriku yang beringsut
menjauh dari dia, jadi harusnya dia berhenti untuk mencoba
mengintimidasiku.
“berbaliklah”.
Aku melakukan yang
dia perintahkan, dan tarikan napas nya yang keras membuatku
menyesali keputusanku. Dia bergerak mendekat dan aku merasakan
tarikan lembut pada busur yang menahan celana dalamku 'hadiah
untuk dibuka. Bagaimana mungkin ada orang yang bisa menolaknya?'
kata-kata ibu tiri Luca muncul tanpa diinginkan di kepalaku. Aku
tau bahwa bagian bawah pantatku akan terbuka. Katakan sesuatu untuk
mengalihkan perhatiannya dari busur tolol dipantatku.
“Kau sudah
berdarah untukku” kataku dengan suara serak dan nyaris tak
terdengar. “Tolong , Jangan”. Ayahku akan malu melihat
kelemahanku yang terbuka ini. Tapi dia laki-laki. Dan dunia adalah
miliknya untuk dikuasai. Wanita adalah miliknya untuk dikuasai. Dan
wanita selalu harus memberi tanpa protes.
Luca tidak
mengatakan apapun kecuali buku-buku jarinya yang menggosok kulit
diantara tulang belikatku saat dia mengangkat pisaunya ke korsetku.
Dengan mendesis kain itu terlepas di bawah pisau. Aku mengangkat
tangan ke atas sebelum pelindumg itu jatuh dan menekan korset di
dadaku.
Luca merangkum
lengannya di dadaku dengan posesif, menjepit lenganku dibawahnya dan
mencengkram bahuku, dan menekanku kearahnya. Aku tersentak ketika
sesuatu yang keras menusukku di punggung bawah. Panas membanjiri
pipiku dan ketakutan mencengkram tubuhku.
Bibirnya menggosok
telingaku. “malam ini kau memohon padaku untuk membebaskanmu,
tapi suatu hari nanti kau akan memohon padaku untuk menidurimu”.
Tidak . Tak akan pernah, aku bersumpah pada diriku sendiri. Napas
nya terasa panas diatas kulitku dan aku memejamkan mataku. “jangan
berpikir hanya karena aku tak mengklaim hak malam ini bahwa kau
bukan milikku Aria. Tak ada pria manapun yang akan berhak mengambil
sesuatu yang menjadi milikku. Kau adalah milikku”. Aku
mengangguk, tapi dia belum selesai. “jika aku mendapati seorang
pria menciummu, aku akan memotong lidahnya. Jika aku mendapati
seorang pria menyentuhmu , aku akan memotong jarinya , satu tiap
kali. Jika aku mendapati seorang pria menidurimu. Aku akan memotong
penis dan bolanya, dan aku akan menjejalkan ke mulutnya. Dan akan
kubuat kau melihatnya”.
Dia menjatuhkan
lengannya dan melangkah mundur. Dari sudut mataku, aku melihat dia
menuju kursi berlengan dan menenggelamkan diri didalamnya. Dia
meraih sebotol scotch dan menuangkan banyak -banyak untuk dirinya
sendiri. Sebelum dia berubah pikiran, aku dengan cepat masuk ke
kamar mandi, menutup pintu, dan memutar kunci, dan meringis mengingat
betapa bodohnya itu. Kunci bukan sebuah halangan baginya, begitupula
pintu. Tak ada satupun didunia ini yang bisa melindungiku.
Aku mengamati
wajahku di cermin. Mataku merah dan pipiku basah. Aku membiarkan
sisa-sisa korsetku jatuh di lantai dan mengambil baju tidur yang
telah dilipat oleh salah satu pelayan di kursi untukku. Tawa
terisak terlepas dari mulutku setelah aku memakainya di atas celana
dalam ku. Bagian diatas payudaraku terbuat dari renda, tapi
setidaknya itu tidak tembus pandang; tidak seperti seluruh bagian
tengah baju tidur. Ini adalah bahan terbaik yang pernah aku lihat
dan tak meninggalkan apapun untuk imajinasi. Perut telanjang dan
celana dalam ku dipertontonkan. Baju tidur ini berakhir di atas
lututku dengan ujung yg lebih banyak renda. Aku bisa saja keluar
dengan telanjang dan tak peduli dengan itu semua. Tapi aku tak
seberani itu.
Aku menghapus make
up ku. Mengosok gigiku, dan menggerai rambutku, dan ketika aku tak
bisa memperpanjang yang tak terelakan lagi, aku meraih gagang pintu.
Apakah akan sangat buruk jika aku tidur di kamar mandi.
Sambil menarik
napas panjang, aku membuka pintu, dan berjalan ke kamar tidur. Luca
masih duduk di kursi berlengan. Botol scotch nya sudah setengah
kosong. Pria yang mabuk tak pernah jadi hal yang baik. Matanya
menemukanku, dan dia tertawa tanpa humor. “itukah yang kau pilih
untuk kau kenakan ketika kau bahkan tak mau aku menyetubuhimu?”.
Aku memerah dengan
bahasa kasarnya. Scotch itulah yang sekarang sedang berbicara, tapi
aku tak bisa untuk memintanya berhenti minum. Aku tau batasanku.
“aku tidak memilihnya”. Aku menyilangkan lenganku, terbelah
antara ingin tetap berdiri atau berlari masuk kedalam selimut. Tapi
saat ini berbaring tampaknya bukanlah pilihan yang baik. Aku tak mau
membuat diriku terlihat lebih rapuh dari yang sekarang. Tapi berdiri
setengah telanjang dihadapan Luca bukan pilihan yang baik juga.
“ibu tiriku?”
Tanyanya.
Aku mengangguk
singkat. Dia menurunkan gelasnya dan bangkit. Tentu saja, aku
tersentak. Ekspresinya menggelap. Dia tak mengatakan apapun padaku
saat dia berjalan melewatiku menuju kamar mandi, bahkan ketika aku
tersentak saat lengannya tak sengaja menggesek kulitku. Dan saat
pintu tertutup, aku menghembuskan napas dengan keras. Perlahan, aku
mendekati tempat tidur, mataku mencari noda merah muda. Aku
bertengger di tepi kasur. Air mengalir di kamar mandi, dan akhirnya
Luca akan segera keluar.
Aku berbaring di
tepi kasur, menghadap ke sisiku dan menarik selimut hingga menutupi
dagu, kemudian memejamkan mataku, membiarkan diriku tertidur. Aku
menginginkan agar hari ini berakhir, bahkan jika itu hanyalah awal
dari banyak hari dan malam yang mengerikan.
Air berhenti dan
beberapa menit kemudian bergegas keluar dari kamar mandi. Aku
berusaha membuat napas yang terasa seperti aku telah tertidur. Aku
mengambil resiko untuk sedikit mengintip dari mataku yang setengah
menutup,wajahku hampir seluruhnya tertutup selimut dan kemudian
membatu. Luca hanya memakai brief berwarna hitam. Dan jika Luca
tampil impresif ketika berpakaian, dia benar-benar terlihat sangat
mengintimidasi ketika dia setengah telanjang. Dia adalah otot murni
, dan kulitnya penuh dengan luka beberapa tipis, beberapa memanjang
seperti guratan pisau yang di ukir rapi, dan beberapa bulatan dan
dibentuk seolah-olah ada peluru yang masuk kedalam dagingnya. Sebuah
kalimat di tato di kulitnya diatas jantungnya. Aku tak bisa
membacanya dari jauh tapi aku menebak bahwa itu adalah motto mereka
'lahir dari darah, tersumpah dari darah. Masuk dalam keadaan
hidup dan keluar dalam keadaan mati'
dia berjalan ke
arah saklar lampu utama dan mematikannya, memandikan kami dalam
kegelapan. Tiba-tiba aku merasa seakan aku sendirian di dalam hutan
di malam hari. Mengetahui bahwa disuatu tempat seseorang sedang
mengintaiku. Tempat tidur meringsek ditimpa berat Luca dan aku
mencengkram tepi ranjang. Aku menempelkan bibirku, membiarkan diriku
hanya bernapas rendah.
Kasur bergeser
ketika Luca berbaring. Aku menahan napasku, menunggu dia meraihku,
dan mengambil apa yang jadi miliknya. Apakah ini akan selalu seperti
ini? Apakah aku akan menderita selama hidupku? Malamku penuh rasa
takut?
Beban beberapa
minggu ini atau mungkin bertahun-tahun menghantamku.
Ketidakberdayaan, ketakutan ,dan kemarahan membasahiku. Kebencian
pada ayahku memenuhiku. Tapi yang lebih buruk dari itu adalah sayatan
kekecewaan dan kesedihan. Dia telah menyerahkanku pada seseorang
yang tak dikenalnya, kecuali reputasinya sebagai pembunuh yang
terampil, telah memberikanku kepada musuh hanya demi apa yang dia
inginkan. Orang yang harusnya melindungiku dari bahaya justru telah
mendorongku ke pelukan monster untuk tujuan mengamankan kekuasaan.
Air mata panas
mengalir keluar dari mataku tetapi beban dibahuku tidak juga
terangkat. Beban itu justru semakin bertambah berat sampai aku tak
mampu menahannya lagi dan isak tangis meledak dalam diriku.
Kendalikan dirimu, Aria. Aku mencoba menghentikannya, tapi
isakan lainya menyelinap melalui bibirku. “akankah kau mengangis
semalaman?” suara Luca yang dingin keluar dari kegelapan. Tentu
saja dia belum tidur. Bagi seorang pria di posisi nya, hal terbaik
adalah mengawasi secara terang-terangan.
Aku membenamkan
wajahku di bantal , tapi setelah keran air mata terbuka, aku tak bisa
menutupnya lagi. “aku tak bisa membayangkan kau akan menangis
lebih buruk lagi, jika aku mengklaimmu. Mungkin aku harusnya
menidurimu untuk memberimu alasan yang nyata untuk menangis”. Aku
menarik kakiku ke atas ke dadaku, membuat diriku mengecil
sekecil-kecilnya. Aku tau, aku harus berhenti. Aku belum pernah
dipukuli atau apapun yang lebuh buruk lagi, tapi aku tak bisa
mengendalikan emosiku.
Luca bergerak dan
cahaya remang-remang membanjiri ruangan. Dia menghidupkan lampu di
nighstand disampingnya. Aku menunggu. Aku tau dia mengamatiku tapi
aku tetap membiarkan wajahku menghadap bantal. Mungkin dia akan
meninggalkan kamar jika terlalu berisik. Dia menyentuh lenganku dan
aku terlonjak dengan keras dan kemungkinan aku akan jatuh dari
ranjang jika Luca tidak menarikku kearahnya.
“sudah cukup”.
Dia berbicara dengan suara pelan.
Suara itu. Aku
segera terdiam dan membiarkannya menarikku ke punggungku. Perlahan
aku melepaskan kaki dan lenganku, dan terbaring tak bergerak seperti
mayat.
“Lihat aku”
perintahnya, dan aku melakukannya. Apakah itu suara yang membuatnya
terkenal? “aku ingin kau berhenti menangis. Dan aku ingin kau
berhenti berjengit dari sentuhanku”
aku mengangguk
dengan patuh.
Dia menggelengkan
kepalanya. “anggukan itu tak berarti apapun. Tidakkah kau tau aku
mengenali ketakutan ketika kau menatap balik ke arahku? Pada saat
aku mematikan lampu, kau akan kembali menangis seakan aku baru saja
memperkosamu”.
Aku tak tau apa
yang dia ingin aku lakukan. Bukankah dia senang jika aku ketakutan
setengah mati. Ketakutan hanyalah salah satu cara aku merasa
diremehkan, tapi dia tak akan mengerti. Bagaimana dia bisa mengerti
bahwa hidupku telah hilang dariku? Saudara-saudara
perempuaku,fabiano, keluargaku, chicago, adalah semua yang aku kenal
dan sekarang harus kurelakan.
“jadi untuk
memberimu mu ketenangan dan menutup mulut mu, aku akan bersumpah”.
Aku menjilat
bibirku, merasakan rasa asin air mata di bibirku. Jariku Luca
menegang di lenganku. “Sumpah?” bisiku.
“lahir dalam
darah, bersumpah dengan darah, aku bersumpah bahwa aku tak akan
mencoba untuk mencuri keperawananmu atau menyakitimu dengan cara
apapun”.
Bibirnya berkedut
dan dia mengangguk ke arah luka di tangannya. “aku sudah berdarah
untukmu, jadi itu sudah di segel. Lahir dalam darah. Bersumpah
dalam darah”. Dia mengarahkan tanganku menutupi tatoya, menatapku
penuh harap.
“terlahir dengan
darah, bersumpah dengan darah”. Kataku pelan. Dia melepaskan
tanganku dan aku menurunkannya ke perutku, tertegun dan bingung.
Sumpah itu adalah sebuah kesepakatan yang besar. Tanpa berkata
apapun. Dia memadamkan lampu dan berbalik ke sisi tempat tidur
miliknya.
Aku mendengarkan
ritme nafasnya. Tau bahwa dia belum tertidur. Aku memejamkan
mataku. Dia tak akan melanggar sumpahnya.
Kelanjutannya mn ya
BalasHapus