Minggu, 24 Desember 2017

Bound By honor Chapter enam

Sorak sorai di depan pintu sudah berhenti kecuali Matteo yang masih meneriakan saran-saran mesum tentang apa yang Luca dapat lakukan padaku atau aku kepada Luca.

“Diam Matteo, dan pergilah cari saja pelacur yang bisa kau tiduri”. Bentak Luca.

Keheningan mulai mencuat diluar. Mataku berkelana kearah tempat tidur berukuran King size yang berada di tengah ruangan dan rasa takut mencengkramku. Luca memiliki pelacur pribadi yang bisa di setubuhi malam ini hingga hari berakhir. Harga dari tubuhku tidak dibayar dengan uang, tapi mungkin juga sudah. Aku melingkarakan lenganku di tengah tubuhku , mencoba menenangkan kepanikanku.

Luca berbalik menatapku dengan ekspresi pemangsa di wajahnya. Kaki ku menjadi lemah. Mungkin jika aku pingsan aku akan terhindar , dan bahkan jika lau dia tidak peduli aku dalam keadaan sadar ataupun tidak dan tetap melakukan itu padaku setidaknya aku tak akan mengingat apapun. Dia menyampirkan jas nya di kursi berlengan di samping jendela, otot-otot lengan bagian bawahnya meregang. Dia adalah otot, kekuatan dan kekuasaan dan aku mungkin terbuat dari kaca. Satu sentuhan salah dan aku akan hancur.

Luca memanfaatkan waktunya untuk mengagumiku. Kapanpun matanya menyentuh tubuhku, dia mencapku sebagai miliknya, kata-kata “Milikku” beringsut ke kulitku berulang-ulang kali.

“ketika ayahku memberitahuku bahwa aku akan menikahimu, dia berkata bahwa kau adalah gadis tercantik yang bisa Chicago Outfit tawarkan, bahkan lebih cantik dari pada wanita di New York”

ditawarkan ? Apakah aku hanya sebuah potongan daging. Aku membenamkan gigiku di lidahku.

“Aku tak mempercayai dia”. Luca berjalan menghampiriku dan meraih pinggangku. Aku menelan pekikanku dan memaksa diri ku untuk tetap diam saat aku memandang dadanya. Kenapa dia harus begitu tinggi? Dia membungkuk hingga mulutnya tidak sampai satu inci dari tenggorokanku. “Tapi ternyata dia mengatakan yang sebenarnya. Kau adalah wanita tercantik yang pernah aku lihat, dan malam ini kau adalah milikku” Bibirnya yang panas menyentuh kulitku. Mungkinkah dia merasakan teror yang memompa di pembuluh darahku? Tangannya dipinggangku menegang. Air mata menempel di bola mataku, tapi aku berusaha menahannya. Aku tak akan menangis, tapi kata-kata Grace berkecamuk di otakku. Dia akan menyetubuhimu hingga berdarah-darah.

Jadilah kuat. Aku adalah seorang Scuderi. Kata-kata Gianna melintas dipikiranku. Jangan biarkan Dia memperlakukanmu seperti pelacur.

tidak!” kata-kata itu merobek tenggorokanku seperti tangisan pertempuran. Aku melepaskan diri dan menjauh , terhuyung beberapa langkah ke belakang. Segalanya tampak terdiam. Apa yang baru saja aku lakukan.

Ekspresi Luca tertegun , lalu mengeras “Tidak?”

Apa ?” bentakku. “apakah kau tak pernah mendengar kata “tidak” sebelumnya?” Diam Aria. Demi tuhan tutup mulut.

“oh , aku sering mendengarnya. Orang yang tenggorokannya aku hancurkan selalu mengatakan itu berulang kali sampai dia tak bisa mengatakannya lagi”.

Aku melangkah mundur, merintih. “jadi kau akan menghancurkan tenggorokanku?” aku seperti anjing yang terpojok , menggigit, dan membentak, tapi lawanku adalah srigala. Srigala yang sangat besar dan berbahaya.

Seyuman dingin melingkar di bibirnya. “tidak , itu akan merusak tujuan dari pernikahan ini, bukan begitu?”

aku bergidik. Tentu saja, sudah pasti. Dia tak bisa membunuhku. Paling tidak jika dia ingin mempertahankan kedamaian antara Chicago dan New York. Tapi itu bukan berarti dia tak bisa mengalahkan atau memaksakan dirinya padaku. “kurasa ayahku tak akan senang jika kau menyakitiku”.

Tatapan matanya membuatku mundur selangkah lagi. “apakah itu ancaman?”

aku mengalihkan pandanganku darinya. Ayahku kemungkinan mengambil resiko perang atas kematian ku – bukan karena dia menyayangiku- tapi untuk menyelamatkan wajahnya- tapi pastinya tidak akan hanya sedikit memar dan pemerkosaan. Bagi ayahku itu bahkan termasuk pemerkosaan; Luca adalah suamiku dan tubuhku adalah miliknya untuk diambil kapanpun dia mau. “Tidak” kataku pelan. Aku membenci diriku sendiri karena bersikap patuh seperti layaknya jalang kepada alfa nya, hampir sama besarnya dengan kebencianku pada dia karena membuatku seperti ini.

“Tapi kau menyangkal apa yang telah menjadi milikku?”

aku melotot. Persetan dengan sikap patuh. Persetan dengan ayahku yang telah menjualku seperti sapi dan persetan dengan Luca yang menerima tawaran itu. “aku tidak bisa menyangkal mu akan sesuatu yang kau sendiri tak punya hak untuk memgambil bagian paling pertama. Tubuhku bukan milikmu. Ini milikku”.

'Dia akan membunuhku' pikiran itu melintas sesaat sebelum Luca menarik diri dari hadapanku. 6,5 kaki amatlah tinggi. Aku melihat tangannya bergerak dalam penglihatan periferalku dan tersentak untuk mengantisipasi pukulan itu, mataku terpejam. Tak ada yang terjadi. Satu-satunya suara adalah napas Luca yang keras dan denyut nadi di telingaku. Aku mengambil resiko untuk mengintip ke arahnya. Luca sedang memandangiku, matanya seperti musim panas yang penuh badai. “aku bisa mengambil apa yang aku inginkan” namun kekejaman sudah menghilang dari suaranya.

Tak ada gunanya menyangkal itu. Dia jauh lebih kuat dariku. Dan bahkan jika aku berteriak tak ada yang menolongku. Banyak pria dari keluargaku bahkan keluarga Luca yang akan menahanku untuk mempermudah dia, bukan berarti Luca memiliki masalah dalam menahanku. “bisa” aku mengakui, “dan aku akan membencimu hingga akhir hayatku”.

Dia menyeringai, “apa menurutmu aku akan peduli dengan itu? Ini bukan pernikahan berlandaskan cinta. Dan kau sudah membenciku. Aku bisa melihatnya dari matamu”.

Dia benar dikedua hal itu. Ini bukan tentang cinta dan aku sangat membencinya, tapi mendengarnya mengucapkan itu menghancurkan harapan bodoh terakhir yang aku milikki. Aku tak mengatakan apapun.

Dia menunjuk seprei bersih di tempat tidur yang berderit. “kau mendengar apa yang ayahku katakan tentang tradisi kami?”

darahku membeku . Aku tau tapi sampai saat ini aku berusaha menyingkirkan itu dari pikiranku. Keberanian ku sia-sia belaka. Aku melangkah ke tempat tidur dan menatap seprei, mataku membara di tempat dimana bukti keperawananku yang hilang harus terjadi. Besok pagi para wanita keluarga Luca akan mengetuk pintu kamar kami dan membawa serta seprei untuk menyajikannya di depan Luca dan ayahku, jadi mereka bisa memeriksa bukti pernikahan kami yang telah dilakukan. Itu adalah tradisi yang menyakitkan, tapi bukan yang bisa aku hindari. Pertarungan ini menguras tenagaku.

Aku bisa mendengar Luca mendekat dari belakangku. Dia meraih bahuku dan aku memejamkan mataku. Aku tak akan bersuara. Tapi tidak menangis adalah kekalahan. Air mata pertama sudah menempel di bulu mataku, lalu menetes ke kulitku, dan menciptakan jejak di pipi dan daguku. Luca menyelipkan tangan diatas tulang selangka ku , lalu turun ke ujung bajuku. Bibirku bergetar dan aku bisa merasakan air mata jatuh dari daguku. Tangan Luca menegang di tubuhku.

Untuk sejenak, tak ada seorangpun dari kami yang bergerak. Dia memutarku untuk menghadapnya dan mengangkat daguku . Mata abu-abu nya yang dingin mengamati wajahku. Wajahku telah basah dengan air mata tapi aku tak mengeluarkan suara apapun, hanya membalas tatapannya. Dia menjatuhkan tangannya, tersentak kebelakang dengan serangkaian kata-kata umpatan italia, lalu dia mengepalkan tinjunya ke dinding. Aku tersentak dan melompat mundur. Aku menekan bibirku saat aku melihat punggung Luca. Dia menatap tembok, bahunya terengah. Dengan cepat aku menghapus air mata dari wajahku.

Kau telah membuat dia benar-benar marah.

Mataku mengarah ke pintu. Mungkin aku bisa sampai disana sebelum Luca. Mungkin aku bisa kabur keluar sebelum dia menangkapku, tapi aku tak akan pernah bisa keluar dari tempat ini. Dia berbalik dan melepaskan rompinya , menunjukan sebuah sarung pistol berwarna hitam dan pistol. Jari-jarinya menggenggam gagang pisau , buku-buku jarinya sudah berubah merah akibat menghantam dinding dan dia mengeluarkan pisaunya. Pisau itu melengkung seperti cakar: pendek, tajam dan mematikan. Warnanya hitam seperti gagangnya, jadi tidak mudah terlihat dalam kegelapan. Pisau karambit untuk pertarungan jarak dekat. Siapa yang tau bahwa obsesi Fabiano terhadap pisau bisa berguna bagiku? Sekarang setidaknya aku tau jenis pisau apa yang akan menggorokku. Tawa histeris rasanya ingin keluar dari tenggorokanku tapi aku menelannya.

Luca menatap dengan intens pisaunya. Apakah dia sedang mempertimbangkan bagian mana yang akan dia potong pertama kali?

Memohon pada nya. Tapi aku tau itu tak akan menyelamatkanku. Orang-orang mungkin memohon pada dia sepanjang waktu dan dari yang aku dengar itu tidak menyelamatkan mereka. Luca tidak menunjukan belas kasihan. Dia akan menjadi Capo dei Capi di New York dan dia akan menjalankannya dengan brutal.

Luca berjalan ke arahku dan aku mengernyit. Senyum yang gelap melingkar di bibirnya. Dia menekan ujung pisau yang tajam di kulit lembut di cekungan lengannya, mengucurkan darah. Bibirku terbuka karena merasa terkejut. Dia meletakkan pisaunya di meja dianatara dua kursi berlengan, meraih gelas dan mengangkat lukanya diatas gelas, kemudian mengamati darahnya yang mengucur tanpa kilasan emosi sebelum akhirnya dia menghilang ke kamar mandi.

Aku mendengar air mengalir dan dia keluar dari kamar mandi. Campuran darah dan air di gelas memancarkan warna merah menyala. Dia mendekati tempat tidur, mencelupkan ujung jarinya ke cairan dan kemudian mengoleskan ke tengah seprei. Pipiku memerah penuh kesadaran. Aku mendekatinya perlahan dan berhenti di tempat yang belum bisa dia jangkau, bukan berarti hal tersebut membuatku lebih baik. Aku menatap seprei bernoda itu. “apa yang kau lakukan?” bisikku.

“mereka menginginkan darah. Mereka mendapatkannya”.

“Kenapa airnya?”

“Darah tidak selalu terlihat sama”. Dia pasti tau.

“apakah sudah cukup darah?”

“Apakah kau mengharapkan bermandikan darah?” dia memberikan senyum sinis. “Ini seks, bukan pertarungan pisau”.

'dia akan menyetubuhimu hingga berdarah-darah' kata-kata itu membara di otakku tapi aku tak akan mengulanginya.

Berapa banyak perawan yang telah kau tiduri hingga kau tau semua ini? Dan berapa banyak dari mereka yang secara sukarela datamg ke ranjangmu? Kata-kata itu sudah berada di ujung lidahku, tapi aku tak mau bunuh diri.

“tidakkah mereka tau itu darahmu?”

“Tidak”. Dia berjalan kembali ke meja dan menuang Scotch ke gelas berisi darah dan air. Matanya menatap mataku saat dia meminum nya dalam satu kali tegukan. Aku tak bisa menahan diri untuk tidak mengerutkan hidungku dengan jijik. Apakah dia sedang mencoba untuk mengintimidasiku? Meminum darah sungguh tidak berguna untuk itu semua. Aku sudah takut dengannya bahkan sebelum aku bertemu dia. Aku bahkan akan tetap takut dengannya ketika aku menundukkan kepalaku di peti matinya yang terbuka.

“Bagaimana dengan tes DNA?”

Dia tertawa. Dan itu bukanlah tawa kebahagian. “Mereka akan percaya kata-kataku. Tak akan ada orang yang meragukan ku tentang aku mengambil keperawananmu saat kita telah sendirian. Mereka tak akan meragukanku karena siapa diriku”.


Ya, kau benar. Tapi kenapa dia menolongku? Pikiran lain yang tak pernah meninggalkan bibirku. Tapi Luca tampaknya sudah memikirkan hal yang sama karena alis nya yang gelap terangkat bersamaan saat matanya menjelajah disepanjang tubuhku.

Aku mengkerut dan mengambil langkah mundur.

“Jangan” dia berkata dengan suara pelan. Aku membeku. “ini adalah kelima kalinya kau menghindar dariku malam ini”. Dia meletakkan gelasnya dan meletakkan pisau di tangannya. Kemudian dia mengacungkannya padaku. “tidakkah ayahmu tak pernah mengajarimu untuk menyembunyikan ketakutanmu dari monster? Mereka akan memburumu jika kau berlari”.

Mungkin dia mengharapkan aku untuk menyangkal tentang dia yang menyebut dirinya monster, tapi aku tak pandai dalam berbohong. Jika monster itu ada, maka seluruh pria di dunia aku adalah monster. Ketika dia sampai di depanku, aku harus menengadahkan kepalaku hanya untuk bisa menatap wajahnya.

“darah di sprei butuh cerita”, dia berujar singkat dan mengangkat pisaunya. Aku mengernyit. “enam kali”.
Dia menyayatkan pisau itu ke bagian ujung dari gaun pengantinku dan dengan perlahan menggerakkanya ke bawah. Kain terlepas hingga akhirnya menumpuk dikakiku. Pisau itu tak pernah sekalipun menyentuh kulitku. “ini tradisi di keluarga kami untuk melucuti pengantin dengan cara seperti ini.

Keluarganya memiliki banyak sekali tradisi menjijikkan.

Akhirnya aku berdiri membelakanginya hanya mengenakan korset putih ketat dengan renda-renda di bagian punggung dan celana dalamku dengan lengkungan di pantatku. Rasa merinding merayap kesetiap inci tubuhku. Tatapan Luca seperti bara api di kulitku. Aku beringsut mundur.

“tujuh” dia berkata dengan pelan.

Rasa marah mendidih dalam diriku. Jika dia merasa marah dengan diriku yang beringsut menjauh dari dia, jadi harusnya dia berhenti untuk mencoba mengintimidasiku.

“berbaliklah”.

Aku melakukan yang dia perintahkan, dan tarikan napas nya yang keras membuatku menyesali keputusanku. Dia bergerak mendekat dan aku merasakan tarikan lembut pada busur yang menahan celana dalamku 'hadiah untuk dibuka. Bagaimana mungkin ada orang yang bisa menolaknya?' kata-kata ibu tiri Luca muncul tanpa diinginkan di kepalaku. Aku tau bahwa bagian bawah pantatku akan terbuka. Katakan sesuatu untuk mengalihkan perhatiannya dari busur tolol dipantatku.

“Kau sudah berdarah untukku” kataku dengan suara serak dan nyaris tak terdengar. “Tolong , Jangan”. Ayahku akan malu melihat kelemahanku yang terbuka ini. Tapi dia laki-laki. Dan dunia adalah miliknya untuk dikuasai. Wanita adalah miliknya untuk dikuasai. Dan wanita selalu harus memberi tanpa protes.

Luca tidak mengatakan apapun kecuali buku-buku jarinya yang menggosok kulit diantara tulang belikatku saat dia mengangkat pisaunya ke korsetku. Dengan mendesis kain itu terlepas di bawah pisau. Aku mengangkat tangan ke atas sebelum pelindumg itu jatuh dan menekan korset di dadaku.

Luca merangkum lengannya di dadaku dengan posesif, menjepit lenganku dibawahnya dan mencengkram bahuku, dan menekanku kearahnya. Aku tersentak ketika sesuatu yang keras menusukku di punggung bawah. Panas membanjiri pipiku dan ketakutan mencengkram tubuhku.

Bibirnya menggosok telingaku. “malam ini kau memohon padaku untuk membebaskanmu, tapi suatu hari nanti kau akan memohon padaku untuk menidurimu”. Tidak . Tak akan pernah, aku bersumpah pada diriku sendiri. Napas nya terasa panas diatas kulitku dan aku memejamkan mataku. “jangan berpikir hanya karena aku tak mengklaim hak malam ini bahwa kau bukan milikku Aria. Tak ada pria manapun yang akan berhak mengambil sesuatu yang menjadi milikku. Kau adalah milikku”. Aku mengangguk, tapi dia belum selesai. “jika aku mendapati seorang pria menciummu, aku akan memotong lidahnya. Jika aku mendapati seorang pria menyentuhmu , aku akan memotong jarinya , satu tiap kali. Jika aku mendapati seorang pria menidurimu. Aku akan memotong penis dan bolanya, dan aku akan menjejalkan ke mulutnya. Dan akan kubuat kau melihatnya”.

Dia menjatuhkan lengannya dan melangkah mundur. Dari sudut mataku, aku melihat dia menuju kursi berlengan dan menenggelamkan diri didalamnya. Dia meraih sebotol scotch dan menuangkan banyak -banyak untuk dirinya sendiri. Sebelum dia berubah pikiran, aku dengan cepat masuk ke kamar mandi, menutup pintu, dan memutar kunci, dan meringis mengingat betapa bodohnya itu. Kunci bukan sebuah halangan baginya, begitupula pintu. Tak ada satupun didunia ini yang bisa melindungiku.

Aku mengamati wajahku di cermin. Mataku merah dan pipiku basah. Aku membiarkan sisa-sisa korsetku jatuh di lantai dan mengambil baju tidur yang telah dilipat oleh salah satu pelayan di kursi untukku. Tawa terisak terlepas dari mulutku setelah aku memakainya di atas celana dalam ku. Bagian diatas payudaraku terbuat dari renda, tapi setidaknya itu tidak tembus pandang; tidak seperti seluruh bagian tengah baju tidur. Ini adalah bahan terbaik yang pernah aku lihat dan tak meninggalkan apapun untuk imajinasi. Perut telanjang dan celana dalam ku dipertontonkan. Baju tidur ini berakhir di atas lututku dengan ujung yg lebih banyak renda. Aku bisa saja keluar dengan telanjang dan tak peduli dengan itu semua. Tapi aku tak seberani itu.

Aku menghapus make up ku. Mengosok gigiku, dan menggerai rambutku, dan ketika aku tak bisa memperpanjang yang tak terelakan lagi, aku meraih gagang pintu. Apakah akan sangat buruk jika aku tidur di kamar mandi.

Sambil menarik napas panjang, aku membuka pintu, dan berjalan ke kamar tidur. Luca masih duduk di kursi berlengan. Botol scotch nya sudah setengah kosong. Pria yang mabuk tak pernah jadi hal yang baik. Matanya menemukanku, dan dia tertawa tanpa humor. “itukah yang kau pilih untuk kau kenakan ketika kau bahkan tak mau aku menyetubuhimu?”.

Aku memerah dengan bahasa kasarnya. Scotch itulah yang sekarang sedang berbicara, tapi aku tak bisa untuk memintanya berhenti minum. Aku tau batasanku. “aku tidak memilihnya”. Aku menyilangkan lenganku, terbelah antara ingin tetap berdiri atau berlari masuk kedalam selimut. Tapi saat ini berbaring tampaknya bukanlah pilihan yang baik. Aku tak mau membuat diriku terlihat lebih rapuh dari yang sekarang. Tapi berdiri setengah telanjang dihadapan Luca bukan pilihan yang baik juga.

“ibu tiriku?” Tanyanya.

Aku mengangguk singkat. Dia menurunkan gelasnya dan bangkit. Tentu saja, aku tersentak. Ekspresinya menggelap. Dia tak mengatakan apapun padaku saat dia berjalan melewatiku menuju kamar mandi, bahkan ketika aku tersentak saat lengannya tak sengaja menggesek kulitku. Dan saat pintu tertutup, aku menghembuskan napas dengan keras. Perlahan, aku mendekati tempat tidur, mataku mencari noda merah muda. Aku bertengger di tepi kasur. Air mengalir di kamar mandi, dan akhirnya Luca akan segera keluar.

Aku berbaring di tepi kasur, menghadap ke sisiku dan menarik selimut hingga menutupi dagu, kemudian memejamkan mataku, membiarkan diriku tertidur. Aku menginginkan agar hari ini berakhir, bahkan jika itu hanyalah awal dari banyak hari dan malam yang mengerikan.

Air berhenti dan beberapa menit kemudian bergegas keluar dari kamar mandi. Aku berusaha membuat napas yang terasa seperti aku telah tertidur. Aku mengambil resiko untuk sedikit mengintip dari mataku yang setengah menutup,wajahku hampir seluruhnya tertutup selimut dan kemudian membatu. Luca hanya memakai brief berwarna hitam. Dan jika Luca tampil impresif ketika berpakaian, dia benar-benar terlihat sangat mengintimidasi ketika dia setengah telanjang. Dia adalah otot murni , dan kulitnya penuh dengan luka beberapa tipis, beberapa memanjang seperti guratan pisau yang di ukir rapi, dan beberapa bulatan dan dibentuk seolah-olah ada peluru yang masuk kedalam dagingnya. Sebuah kalimat di tato di kulitnya diatas jantungnya. Aku tak bisa membacanya dari jauh tapi aku menebak bahwa itu adalah motto mereka 'lahir dari darah, tersumpah dari darah. Masuk dalam keadaan hidup dan keluar dalam keadaan mati'

dia berjalan ke arah saklar lampu utama dan mematikannya, memandikan kami dalam kegelapan. Tiba-tiba aku merasa seakan aku sendirian di dalam hutan di malam hari. Mengetahui bahwa disuatu tempat seseorang sedang mengintaiku. Tempat tidur meringsek ditimpa berat Luca dan aku mencengkram tepi ranjang. Aku menempelkan bibirku, membiarkan diriku hanya bernapas rendah.

Kasur bergeser ketika Luca berbaring. Aku menahan napasku, menunggu dia meraihku, dan mengambil apa yang jadi miliknya. Apakah ini akan selalu seperti ini? Apakah aku akan menderita selama hidupku? Malamku penuh rasa takut?

Beban beberapa minggu ini atau mungkin bertahun-tahun menghantamku. Ketidakberdayaan, ketakutan ,dan kemarahan membasahiku. Kebencian pada ayahku memenuhiku. Tapi yang lebih buruk dari itu adalah sayatan kekecewaan dan kesedihan. Dia telah menyerahkanku pada seseorang yang tak dikenalnya, kecuali reputasinya sebagai pembunuh yang terampil, telah memberikanku kepada musuh hanya demi apa yang dia inginkan. Orang yang harusnya melindungiku dari bahaya justru telah mendorongku ke pelukan monster untuk tujuan mengamankan kekuasaan.

Air mata panas mengalir keluar dari mataku tetapi beban dibahuku tidak juga terangkat. Beban itu justru semakin bertambah berat sampai aku tak mampu menahannya lagi dan isak tangis meledak dalam diriku. Kendalikan dirimu, Aria. Aku mencoba menghentikannya, tapi isakan lainya menyelinap melalui bibirku. “akankah kau mengangis semalaman?” suara Luca yang dingin keluar dari kegelapan. Tentu saja dia belum tidur. Bagi seorang pria di posisi nya, hal terbaik adalah mengawasi secara terang-terangan.

Aku membenamkan wajahku di bantal , tapi setelah keran air mata terbuka, aku tak bisa menutupnya lagi. “aku tak bisa membayangkan kau akan menangis lebih buruk lagi, jika aku mengklaimmu. Mungkin aku harusnya menidurimu untuk memberimu alasan yang nyata untuk menangis”. Aku menarik kakiku ke atas ke dadaku, membuat diriku mengecil sekecil-kecilnya. Aku tau, aku harus berhenti. Aku belum pernah dipukuli atau apapun yang lebuh buruk lagi, tapi aku tak bisa mengendalikan emosiku.

Luca bergerak dan cahaya remang-remang membanjiri ruangan. Dia menghidupkan lampu di nighstand disampingnya. Aku menunggu. Aku tau dia mengamatiku tapi aku tetap membiarkan wajahku menghadap bantal. Mungkin dia akan meninggalkan kamar jika terlalu berisik. Dia menyentuh lenganku dan aku terlonjak dengan keras dan kemungkinan aku akan jatuh dari ranjang jika Luca tidak menarikku kearahnya.

“sudah cukup”. Dia berbicara dengan suara pelan.

Suara itu. Aku segera terdiam dan membiarkannya menarikku ke punggungku. Perlahan aku melepaskan kaki dan lenganku, dan terbaring tak bergerak seperti mayat.

“Lihat aku” perintahnya, dan aku melakukannya. Apakah itu suara yang membuatnya terkenal? “aku ingin kau berhenti menangis. Dan aku ingin kau berhenti berjengit dari sentuhanku”

aku mengangguk dengan patuh.

Dia menggelengkan kepalanya. “anggukan itu tak berarti apapun. Tidakkah kau tau aku mengenali ketakutan ketika kau menatap balik ke arahku? Pada saat aku mematikan lampu, kau akan kembali menangis seakan aku baru saja memperkosamu”.

Aku tak tau apa yang dia ingin aku lakukan. Bukankah dia senang jika aku ketakutan setengah mati. Ketakutan hanyalah salah satu cara aku merasa diremehkan, tapi dia tak akan mengerti. Bagaimana dia bisa mengerti bahwa hidupku telah hilang dariku? Saudara-saudara perempuaku,fabiano, keluargaku, chicago, adalah semua yang aku kenal dan sekarang harus kurelakan.

“jadi untuk memberimu mu ketenangan dan menutup mulut mu, aku akan bersumpah”.

Aku menjilat bibirku, merasakan rasa asin air mata di bibirku. Jariku Luca menegang di lenganku. “Sumpah?” bisiku.

“lahir dalam darah, bersumpah dengan darah, aku bersumpah bahwa aku tak akan mencoba untuk mencuri keperawananmu atau menyakitimu dengan cara apapun”.

Bibirnya berkedut dan dia mengangguk ke arah luka di tangannya. “aku sudah berdarah untukmu, jadi itu sudah di segel. Lahir dalam darah. Bersumpah dalam darah”. Dia mengarahkan tanganku menutupi tatoya, menatapku penuh harap.

“terlahir dengan darah, bersumpah dengan darah”. Kataku pelan. Dia melepaskan tanganku dan aku menurunkannya ke perutku, tertegun dan bingung. Sumpah itu adalah sebuah kesepakatan yang besar. Tanpa berkata apapun. Dia memadamkan lampu dan berbalik ke sisi tempat tidur miliknya.

Aku mendengarkan ritme nafasnya. Tau bahwa dia belum tertidur. Aku memejamkan mataku. Dia tak akan melanggar sumpahnya.





1 komentar:

STUCK UP SUIT Chapter 8

GRAHAM AKU TIDAK MENDENGAR KABAR NYA SEPANJANG HARI di hari sabtu, dan tidak seperti yang aku harapkan juga. Soraya Venedetta san...