“Kurasa
kau perlu menyingkirkan tanganmu dari atasanku jika kau berencana
membawa kita kesana”.
“Mm.
Kasihan”, dia meremas dadaku sebelum akhirnya melepaskan
tangannya dari pakaianku. “dan kau harus melompat kembali ke
tempat dudukmu”.
“Okey
dokey”.
Tangannya
melilit pinggulku, membantu duduk kembali ke tempat dudukku. Aku
mebgeratkan sabuk pengaman sambil menarik napas dalam-dalam. Dengan
berjengit dia menyesuaikan diri, jelas berusaha lebih nyaman. “kamu
adalah teror”.
“aku?
Apa yang aku lakukan?”
“Kamu
tau apa yang kamu lakukan”. Dia menggerutu, berkendara kembali ke
jalan.
“aku
tak tau apa yang kau bicarakan”.
“jangan
memberiku itu” katanya , memberiku tatapan menyipit. “kamu
melakukannya di Vegas dan kemudian kamu melakukannya di Monterey dan
LA juga. Sekarang kau melakukannya di Portland. Aku tak bisa
membawamu kemanapun”.
“Apakah
kau membicarakan tentang keadaan lalatmu? Karena aku bukan orang
yang mengendalikan reaksi mu kepadaku, sobat. Dirimu lah”.
Dia
tergelak. “aku tak pernah mengendalikan reaksimu padaku. Tidak
sekalipun”.
“apakah
itu sebabnya kau menikahiku? Karena kau tak berdaya melawanku?”
“kau
membuatku gemetar ketakutan, yakinlah”. Senyum yang dia berikan
padaku membuatku gemetaran dan ketakutan yang tak ada hubungannya
dengan itu. “tapi aku menikah dengan mu , Evelyn, karena dirimu
masuk akal baiku. Kita masuk akal. Kita jauh lebih baik bersama
dibanding terpisah. Kau memperhatikan itu?”
“ya,
aku benar-benar memperhatikannya”.
“bagus”,
jari-jarinya mengusap tulang pipiku. “Kita harus pulang.
Sekarang”.
Aku
yakin dia melanggar beberapa batas kecepatan saat berkendara.
Kondominium itu hanya beberapa blok dari kafe Ruby. Kondo terletak
di bangunan bata- cokelat tua besar dengan art Deco batu di
sekitar pintu depan dengan kaca ganda. David menekan kode dan
membawaku ke lobi marmer putih. Sebuah patung yang tampak seperti
kayu apung berdiri tegak di sudut. Kamera keamanan tersembunyi di
ats langit-langit. Dia tidak memberiku waktu untuk melihat-lihat,
mendesakku. Aku praktis harus berlari untuk mengikutinya.
“ayo”,
katanya, menarik tanganku, menarikku ke lift.
“ini
semua sangat mengesankan”.
Dia
menekan tombol menuju lantai atas. “tunggu sampai kau melihat
tempat kita. Kau tinggal bersamaku sekarang, bukan?”
“benar”.
“ah,
kita memiliki beberapa tamu untuk beberapa saat, ngomong-ngomong.
Hanya selama perekaman album dan semuanya. Beberapa minnggu lagi,
mungkin”. Pintu lift terbuka dan kita melangkah ke pintu masuk.
Di titik entah yang mana David mengambil tas tanganku dariku.
Kemudia dia membungkuk dan menempatkan bahunya di perutku, mengangkat
ku tinggi. “disinilah kita”.
“Hey”,
aku menjerit.
“aku
mendapatkanmu. Waktunya untuk melewati ambang pintu lagi”.
“David,
aku memakai rok”, aku hampir jatuh , tapi tetap tegak. Aku lebih
suka tidak menarik perhatian para tamu dan anggota band lainnya jika
aku bisa menghindarinya.
“aku
tau. Sudahkah aku mengucapkan terima kasih untuk itu? Aku sangat
menghargai memiliki akses yang mudah” sepatu bot hitamnya melesat
di sepanjang lantai marmer. Aku mengambil kesempatan untuk meraba
pantatnya karena aku diizinkan. Hidupku sangat fantastis seperti
itu.
“kau
tak mengenakan pakaian dalam apapun”, aku memberitahu dia.
“jadi?”
sebuah
tangan meraba bagian belakangku. Diatas pakaianku, untungnya.
“Kamu”,
ujarnya, suaranya pelan dan menjalar dengan cara yang terbaik. “yang
mana yang kau kenakan, baby? Boyshort sepertinya”.
“kupikir
kau tak melihatnya”.
“Ya,
baiklah kita akan segera merubahnya. Percayalah padaku”.
“Ya”.
Aku
mendengar suara pintu terbuka, dan marmer dibawahku berubah menjadi
lantai kayu hitam dan mengkilap. Dindingnya berwarna putih murni.
Dan aku bisa mendengar suara laki-laki, tertawa, dan berbicara kotor
di dekatnya. Musik diputar sebagai backsound, Nine Inch Nails,
kurasa. Nate memutar musik itu di apartemen, dan Mereka adalah
favoritnya. Tentu kondominium ini tampak luar biasa. Ada kursi kayu
gelap di ruang makan dan sofa hijau. Cukup ruang. Wadah-wadah gitar
berserakan. Dari apa yang bisa aku lihat, itu terlihat indah dan
hidup di dalamnya. Itu tampak seperti sebuah rumah.
Rumah
kami.
“kau
menculik seorang gadis. Itu luar biasa tapi ilegal, Davie. Kau
mungkin harus mengembalikannya”, rambutku terangkat dan Mal muncul,
berjongkok di sampingku. “Hei, yang disana, Childbride. Mana
ciuman halo untukku?'
“menjauhlah
dari istriku, kau brengsek”. David mengangkat saty kaki dan
menedang dia menyingkir. “cari sendiri”.
“Kenapa
aku mau menikah? Itu untuk orang gila seperti kalian berdua. Dan
sementara aku memuji kegilaanmu, tapi tak akan aku mengikuti
jejakmu”.
“Lagian
juga siapa yang akan memiliki dia?” suara Jimmy lembut bergerak ke
sampingku. “Hei, Ev”.
“Hai,
Jimmy”, aku mengangkat tangan dari jeans suamiku dan melambai
padanya. “David, apakah aku harus tetap terbalik?'
“Ah,
benar. Ini adalah malam kencan”, suamiku mengumumkan.
“mengerti”,
Ujar Mal. “ayo Jimmy. Kita akan pergi mencari Benny-boi. Dia
pergi ke tempat jepang-jepangan itu untuk bersenang-senang”.
“baiklah”,
sneaker Jimmy berjalan ke pintu. “sampai nanti, semuanya”.
“Bye!”
aku memberinya lambaian tangan lagi.
“Malam,
Evvie”, Mal pergi juga dan pintu menutup dibelakang mereka.
“akhirnya
sendirian”, David menghembuskan napas dan mulai bergerak lagi,
disepanjang lorong. Dengan diriku masih diatas pudaknya. “kau
suka tempatnya?”
“yang
bisa aku lihat adalah ini indah”.
“itu
bagus. Aku akan memperlihatkan sisanya nanti. Pertama dari yang
utama, aku butuh masuk ke celana dalammu”.
“kurasa
itu tak akan muat untukmu”, aku terkikik. Dia menampar bokongku.
Kilasan putih panas, kurasa itu lebih mengejutkan dari pada apapun.
“Ya tuhan, David”.
“hanya
memanaskanmu , Funny Girl”. Dia berbelok masuk ke kamar terakhir
di ujung lorong, menendang pintu. Tas tanganku di lempar ke kursi,
dia melontarkanku ke ranjang king Size. Tubuhku memantul di matras.
Darah bergenerungsung di kepalaku, membuat pusing. Aku mendorong
rambutku dari wajahku dan bangkit dengan menyangga dengan sikuku.
“Jangan
bergerak”, ujarnya, suaranya parau.
Dia
berdiri di ujung tempat tidur, membuka baju. Pemandangan paling
menakjubkan yang ada. Aku bisa melihatnya selalu melakukan ini. Dia
mengulurkan tangan dan melepas kemejanya dan aku tahu hingga ke
tulang-tulangku, aku bukanlah gadis paling beruntung di dunia. Aku
adalah gadis paling beruntung di seluruh alam semesta. Itu faktanya.
Bukan karena dia luar biasa indah dan aku satu-satunya yang
melihatnya melakukan itu, tapi cara dia mengawasiku dengan mata yang
redup sepanjang waktu. Nafsu ada disana, tapi juga ada banyak cinta.
“kau
tau seberapa sering aku membayangkanmu berbaring di tempat tidur itu
pada seminggu terakhir”, dia melepas sepatu bot dan kaus kakinya,
membuangnya ke samping. “beberapa kali aku hampir menghubungimu
bulan lalu”.
“kenapa
tidak kau lakukan?”
“kenapa
tidak kau?” dia brtanya, melepas kancing atas celana jeansnya.
“Jangan
lakukan itu lagi”.
“Tidak.
Tidak akan pernah”. Dia merangkak ke tempat tidur , mengeluskan
tangannya di otot betisku. Sepatuku melayang dan jari-jarinya
menyelinap ke bawah rokku, meregangkannya. Tanpa memutus kontak
mata, dia menurunkan boyshortku. Dia jelas tak tertarik memeriksa
celanaku. Pria itu memiliki prioritas. “katakan kau mencintaiku”.
“aku
mencintaimu”.
“aku
amat sangat merindukan rasamu”, tangannya yang besar memisahkan
kakiku, mengeksposku dalam tatapannya. “aku mungkin akan
menghabiskan beberapa hari kedepan diantara kedua kakimu, ya kan?”
oh
tuhan. Dia menggesekkan janggutnya di paha dalamku, membuat kulitku
meremasng dengan kewaspadaan.
Aku
tak bisa berbicara walaupun aku mencoba.
“katakan
lagi”.
Aku
menelan ludah dengan keras, mencoba membuat diriku dalam kontrol
kembali.
“aku
menunggu”.
“A-ku
mencintaimu”, aku tergagap, suaraku terdengar nyaris tak ada,
kehabisan napas. Panggulku hampir copot dari tempat tidur pada
sentuhan pertama mulutnya. Setiap inci diriku begitu ketat dan
gemetar.
“teruskan”,
lidahnya membuka bibir seksku, meluncur diantaranya sebelum menggali
lebih dalam. Perasaan manis dan tegas dari mulutnya dan sensai
jenggotnya yang geli.
“aku
mencintaimu”.
Tangannya
yang kuat meluncur je bawah pantatku menekanku ke mulutnya. “lagi”.
Aku
mengerangkan seseuatu. Itu pasti sudah cukup. Dia tidak berhenti
ataupun berbicara lagi. David menyerangku. Tak ada yang mudah
tentang hal itu. Mulutnya membuatku berkerja keras,membuatku
melayang tinggi dalam beberapa saat. Simpul dalam diriku menegang
dan tumbuh saat lidahnya menjilatku. Aliran listrik menggores tulang
punggungku. Aku tak tau kapan aku mulai gemetar. Tapi kekuatan
keluar dari tubuhku dan punggungku menyentuh kasur sekali lagi. Aku
mengepalkan tanganku di rambutnya, jemariku mencengkram untaian
pendek , bergel.
Ketika
jantungku sedikit mereda, aku membuka mataku. David berlutut
diantara kakiku. Jeansnya telah diturunkan dan ereksinya
menyerempet perut rataku. Mata biru gelap menatapku.
“aku
tak bisa menunggu”.
“Tidak,
jangan menunggu”. Aku mengencangkan kaitan kakiku di pinggulnya.
Satu tangannya tetap di bawah pantatku, mengangkatku tinggi. Dengan
tangan satunya , dia membimbing dirinya memasukiku. Dia tidak
terburu-buru. Kami berdua setidaknya masih setengah telanjang, dia
celananya, dan aku dengan baju atasanku. Tak ada waktu untuk di
sia-siakan. Kami terlalu membutuhkan untuk menunggu dan menempekan
kulit ke kulit. Lain kali.
Dia
masuk dengan begitu lambat sehingga aku tidak bisa bernapas.
Segala
yang penting hanyalah perasaan. Dan Tuhan, merasakan dirinya yang
tebal dan keras mendorong ke dalam diriku. Keringat di dadanya yang
telanjang berkilauan dalam pencahayaan rendah. Otot-otot di
pundaknya menyembul dengan lega ketika dia bergerak.
“Milikku”
ujarnya.
Aku
hanya bisa mengangguk.
Dia
menunduk menatapku, menatap payudaraku yang yang bergoyang didadaku
disetiap tusukannya. Jemarinya mencengkam pinggulku erat. Jemariku
mencengkram tempat tidur, mencoba mencoba untuk mencari pegangan
sehingga aku bisa balik mendorongnya. Ekspresinya begitu liar, aku
dan dia bersama. Segalanya bisa datang dan pergi. Aku menemukan
sesuatu yang berharga untuk di perjuangkan.
“aku
mencintaimu”.
“kemarilah”,
dia mengangkatku dari kasur, memelukku erat lagi. Kakiku di rangkul
di pinggangnya, otot-ototku terbakar karena betapa kerasnya aku
bertahan. Aku melingkarkan lengan di lehernya saat dia mendudukkan
ku di batangnya.
“aku
juga mencintaimu”, tangannya meluncur di belakang bagian atas
punggungku. Kami bergerak dengan kasar bersama. Napas kami yang
panas berbaur menjadi satu. Keringat menjilat kedua kulit kami,
kain bajuku melekat di kulitku. Panas semakin bergerak ke bawah di
dalam diriku. Tidak membutuhkan waktu lama di posisi ini. Mulutnya
menghisap bagian kulit tempat leherku bertemu dengan tubuhku dan
aku bergidik di lengannya, mencapai pelepasan lagi. Suara-suara yang
dia buat dan cara dia menyebut namaku...aku tak pernah ingin
melupakannya. Tidak sesaat pun.
Akhirnya,
dia membaringkan kami berdua di tempat tidur. Aku tak ingin
membiarkan dia pergi, sehingga dia menutupu tubuhku dengan tubuhnya.
Beban tubuhnya menekanku ke tempat tidur, merasakan mulutnya di sisi
wajahku. Kami tidak boleh bergerak. Dalam skenario terbaik, kami
tetap seperti ini selamannya.
Tapi
sebenarnya, aku memiliki sesuatu yang harus aku lakukan.
“aku
butuh tasku”, kataku, menggeliat di bawahnya.
“untuk
apa?” dia berdiri dengan menyangga dengan sikunya.
“aku
harus melakukan sesuatu”.
“apa
yang lebih penting dari ini?”
“bergulinglah”,
kataku, sudah mendesaknya ke arah itu.
“baiklah.
Tapi sebaiknya itu bagus”, dia santai dan membiarkan ku
menggulingkannya. Aku berlari menuruni kasur, mencoba menarik
kembali rokku pada saat bersamaan. Itu pasti tampak menyenangkan
karena David mengejarku dengan giginya yang gemeretakan.
“kembali
kesini, istriku”, perintahnya.
“beri
aku waktu sebentar”.
“Namaku
terlihat bagus di pantatmu”, ujarnys. “tatonya telah menyerap
dengan sangat baik”.
“Well,
Thank you”, aku akhirnya turun dari kasur dan mengatur rok
pensilku dengan baik. Dalam sebulan kami terpisah, aku mengabaikan
tatoku. Tapi sekarang. Aku senang tato itu ada disana.
“rok
itu lepaskan”.
“tunggu
saja”.
“atasannya
juga. Kita memiliki banyak hal yang harus diperbaiki”.
“Ya,
sebentar. Aku merindukan pelukan topless kita”.
Dia
telah melemparkan tasku ke kursi berlengan beludru berwarna biru di
dekat pintu. Siapapun yang mengdekor kondominium ini telah
melakukan pekerjaan yang luar biasa. Ini indah. Tapi aku akan
memeriksannya nanti. Sekarang aku memiliki hal yang penting untuk
dilakukan.
“aku
membelikanmu hadiah hari ini, setelah kita berbicara di studio”.
“itukah
yang kau ambil sekarang?'
aku
mengangguk, mencari tasku untuk harta karun itu. Bingo. Kotak
kecil mewah tepat di tempat aku meninggalkannya. Denagn itu
tersembunyi di tanganku, aku berjalan kembali padanya, senyum lebar
di wajahku. “Ya, itulah yang ku ambil”.
“Apa
yang ada di tanganmu?” dia turun dari tempat tidur. Tidak
sepertiku, dia menanggalkan celana Jeansnya. Suamiku berdiri di
depanku telanjang dan sangat berantakan. Dia menatapku seolah aku
adalah segalanya. Selama aku hidup, aku tau aku tak akan
menginginkan orang lain.
“Evelyn”.
Untuk
beberapa alasan aku tiba-tiba malu,canggung. Ujung telingaku
memerah.
“berikan
tangan kirimu”, aku meraih tangannya dan memberikan itu padanya.
Dengan hati-hati aku menyematkan cicin platina tebal yang aku beli
dengan menghabiskan tabunganku pada sore itu., menyematkannya di
buku-buku jarinya yang besar. Sempurna. Aku akan berjalan di
sepanjang musim dingin dan membekukan pantatku, dengan senang hati.
David lebih berarti bagiku daripada mengganti mobil lama ku yang
jelek. Mengingat uang yang sekarang aku dapatkan dari orang tuaku,
waktunya tidak cemerlang. Tapi ini lebih penting.
Kecuali
cincin itu menetupi huruf E terakhinya dari tato LIVE FREE-nya.
Sial, aku tak memikirkan itu. Dia mungkin tak mau memakainya.
“Terima
kasih”.
Tatapanku
melesat ke wajahnya, mencoba menilai ketulusannya. “Kamu
menyukainya?”
“aku
sangat menyukainya”.
“sungguh?
Karena aku lupa tentang tatomu, tetapi--”
dia
membungkamku dengan menciumku. Aku agak menyukai kebiasaan barunya
melakukan itu. Lidahnya membelai mulutku dan mataku mulai terpejam,
setiap kekhawatiran terlupakan. Dia menciumku sampai tidak ada
keraguan yang tersisa tentang bagaimana dia menerima cincinya.
Jemarinya sibuk melucuti kancing atasanku, melepasnya dari pundakku.
Selanjutnya tali bra ku mengendur.
“aku
menyukai cincinku”, katanya, bibirnya melayang di atas rahangku dan
ke bawah leherku. Selanjutnya dia mulai melepaskan rokku, bergulat
denga resleting dan mendorongnya dari pinggulku. Dia tak berhenti
sampai aku seperti dia. “aku tak akan pernah melepaskannya”.
“aku
senang kau menyukainya”.
“aku
menyukainya. Dan aku butuh kau telanjang sekarang dan menunjukan
padamu seberapa banyak aku menyukainya. Kemudian aku akan
mengembalikan cincinmu. Aku janji”.
“tak
perlu terburu-buru”, aku berbisik, melengkungkan leherku untuk
memberinya akses yang lebih baik. “kita memiliki waktu selamanya”.
**
SEE YOU IN LAST CHAPTER SOON. Jangan Lupa follow wattpad akun aku yuli_siska
thank you
😘😍😊
BalasHapus