Kamis, 12 April 2018

LICK CHAPTER DELAPAN

“Hey” David berjalan menuruni tangga tujuh jam kemudian, mengenakan handuk yang di lingkarkan di pinggangnya. Dia menyelipkan rambut basahnya ke belakang dan tato nya terpampang dengan segala kesempurnaan, mengungkapkan tubuh ramping serta lengannya yang berotot. Ada terlalu banyak kulit yang di tampilkan. Pria ini adalah gambaran liar. Aku melakukan perjuangan tanpa sadar untuk membuat lidahku tetap di dalam kepalaku. Tetap menjaga cengiran selamat datang diluar dari kemampuanku. Aku berencana memainkannya dengan kalem sehingga tidak menakuti dia. Tapi tampaknya aku gagal.
“Apa yang sedang kau lakukan?” tanyanya.
“Tidak banyak. Ada kiriman paket untukmu” aku menunnjukan tas-tas dan kotak-kotak yang menunggu di depan pintu. Sepanjang hari aku berusaha menguraikan masalah diantara kami. Satu hal yang menjadi kesimpulan adalah aku tak ingin waktu kami berakhir. Aku tak ingin menandatangani dokumen pembatalan. Belum. Ide itu membuatku ingin muntah lagi. Aku menginginkan David. Aku ingin bersama dia. Aku butuh rencana baru.
Buku jariku menggosok bibir bawahku, kedepan dan kebelakang. Aku tadi pergi berjalan-jalan sepanjang pantai, melihat ombak memecah karang dan mengingat kembali tentang ciuman. Lagi dan lagi. Aku memainkannya di dalam pikiranku. Hal yang sama juga terhadap percakapan kami. Faktanya, aku mengambil bagian juga pada momen kami bersama, dan mengeksplorasi setiap nuansa. Setiap momen yang bisa aku ingat, dan aku berusaha sangat keras untuk mengingat itu semua.
“kiriman paket?” dia berjongkok di samping paket terdekat dan mulai merobek pembungkusnya. Aku mengalihkan pandanganku sebelum aku melihat handuknya, meskipun aku sangat ingin tau.
“Apakah kau keberatan jika aku menggunakan telepon mu?” tanya ku.
“Ev, kau tak perlu bertanya. Ambil saja semua yang kau butuhkan”.
“Terima kasih”. Lauren dan orang tua ku mungkin panik, bertanya-tanya akan apa yang terjadi. Sudah waktunya untuk dapat menghadapi perkara gambar -bokong. Aku mengerang di dalam.
“Yang ini untukmu”. Dia menyerahkan padaku sebungkus kertas cokalat yang diikat dengan pita, dan di ikuti oleh tas belanja dengan beberapa merek yang belum pernah kudengar. “Ah, yang ini juga dari kelihatannya”.
Ini?”.
“Yeah, aku meminta pada Martha untuk membelikan beberapa barang untuk kita”.
“Oh”.
“Oh? Tidak”. Dia menggelengkan kepalanya. Kemudian dia berlutut di depanku dan menyobek paker berwarna coklat dari tanganku. “Tidak ada “Oh”. Kita butuh pakaian. Sesederhana itu”.
“kau sungguhh sangat murah hati, David, tapi aku baik-baik saja”.
Dia tidak mendengarkan. Sebaliknya dia menganngkat gaun merah depan panjang sampai paha , sama dengan yang digunakan gadis-gadis di mansion itu. “apa-apaan ini? Kau tidak akan memakai ini”. Gaun designer itu di lempar. Dan dia merobek tas belanja lain di kakiku.
“David kau tidak bisa melemparkannya begitu saja ke lantai”.
“Tentu saja aku bisa. Ini dia, ini sedikit lebih baik”.
Sebuah tank top hitam jatuh di pangkuanku. Setidaknya ini ukurannya terlihat pas. Gaun merah berukuran empat itu adalah sebuah lelucon. Sebuah lelucon yang jahat, karena mungkin Martha tidak menyukaiku kembali ke LA. Terserah.
Sebuah tag harga menjuntai dari tank top. Harganya. Sialan. Mereka tidak mungkin serius.
“Whoa. Aku bisa membayar sewa selama berminggu-minggu dengan tanktop ini”.
Sebagai pengganti jawabanya, dia melemparkan celana skinny jeans hitam ke arahku. “ ini, ini juga oke”.
Aku menyingkirkan jeans itu. “ini cuma tanktop katun polos. Bagaimana bisa harganya 200 dolar?”.
“apa pendapatmu tentang ini?” selembar kain sutra halus menjuntai di tangannya. “Bagus tidak?”.
“Apakah mereka menjahit nya dengan benang emas? Cuma begitu doang?”.
“Apa yang sedang kau bicarakan?”, dia mengangkat gaun biru itu, mengerak gerakannya dengan cara sebegitu rupa. “Sialan jangan. Ini tanpa ada punggung di belakangnya. Bokongmu bisa saja terlihat dari situ”. Gaun itu bergabung dengan gaun merah di lantai. Tanganku gatal untuk menyelamatkan mereka, melipatnya dengan baik. Tapi David baru saja merobek bungkusan di sebelahnya. “Apa yang kau katakan?”.
“aku sedang berbicara tentang harga atasan ini”.
“Sialan, hentikan. Kita tidak akan berbicara tentang harga atasan ini karena kita tidak membicarakan tentang uang. Itu masalah untukmu dan aku tak mau ikut-ikutan”. Sebuah rok denim mini – mikro keluar selanjutnya. “Apa-apaan ini, Martha, kenapa memesankan barang-barang seperti ini untukmu?”.
“Yah, tentunya, karena dirimu biasa memiliki para gadis-gadis berbikini yang bergelayutan padamu. Sebagai perbandingan, gaun backless itu cukup sopan”.
“Kau berbeda. Kau adalah temanku, bukan?”.
“Ya”, aku bahkan tak percaya dengan nada suaraku sendiri.
Dahinya berkerut karena jijik. “sial. Lihatlah panjangnya. Aku bahkan tak mengerti ini dipakai untuk rok atau malah sabuk sialan”.
Gelak tawa keluar dari diriku dan dia memberiku tatapan terluka, puppy eyes berwarna biru besarnya penuh kesedihan dan ketidaksenangan. Jelas, aku telah menyakiti hatinya.
“Maafkan aku”. Kataku. “tapi kau terdengar seperti ayahku”.
Dia menjejalkan rok mikro- mini itu kembali kedalam bungkusan. Minimal tidak lagi di lantai. “Yeah? Ayahmu dan aku harus bertemu. Kurasa kami bisa berteman”.
“kau ingin bertemu dengan ayahku?”.
“Tergantung, apakah dia akan menembakku di kali pertama dia melihatku?”
“Tidak”. Mungkin tidak.
Dia memberiku tatapan penasaran dan melanjutkan ke kotak selanjutnya. “itu lebih baik. Kemari”.
Dia menyerahkan padaku beberapa pasang T-shirt, satu hitam dan satu biru.
“kurasa kau tidak perlu memilihkan pakaian biarawati padaku, kawan”.kataku, bingung dengan prilakunya. “itu sangat, munafik”.
“Itu semua bukan pakaian biarawati. Mereka hanya menutupi bagian-bagian yang penting. Apakah itu harus terlalu di pertanyakan?” Tas penuh barang belanjaan yang selanjutnya di serahkan kepadaku sepenuhnya.
“Kau mengakaui, bahwa itu sedikit munafik, bukan?”.
“Aku tak mengakui apapun. Adrian sudah mengajarakan itu padaku sejak lama sekali. Lihatlah ke dalam tas itu”.'
aku melakukannya dan dia menyemburkan tawa , ekspresi apapun yang aku pancarkan tampaknya sangat menghibur.
“Apa ini?” tanyaku, mataku terbelalak heran. Ini mungkin aja sebuah thong jika si pembuat sedikit mengalokasikan lebih banyak bahan di dalamnya.
“aku mendandanimu seeprti biara wati”.
“La Perla”, aku membaca tag dan turun untuk melihat harga.
“Sial. Bisakah kau jangan melihat harga, please? Ev”. David menyergapku dan aku jatuh terbaring, mencoba melihat angka-angka pada tag yang yang bergoyang-goyang dari potongan renda. Tangannya yang lebih besat menutup tanganku, menelan Thong. “Tidak. Sialan demi Tuhan”.
Bagian belakang kepalaku menghantam anak tangga dan aku meringis, mataku berkaca-kaca. “Ow”.
“Kau baik-baik saja?” tubuhnya meregang di atasku. Tangannya mengelus-elus dengan hati-hati bagian belakang tengkorakku.
“Um Yeah”, aroma sabun dan shamponya sungguh aroma murni surga, Tuhan, bantu aku. Tapi ada sesuatu lebih dari itu. Cologne nya. Tidak beraroma berat. Hanya aroma pedas yang ringan. Ada sesuatu yang sangat familiar tentang itu.
Tag harga menggantung tepat didepan wajahku sesaat mengalihkan perhatianku. “Tiga ratus dollar?”.
“Itu sepadan”.
“Sialan. Tidak. Ini tidak sepadan”.
Dia menggantung Thong itu di ujung jari, senyum yang luar biasa dingin di wajahnya. “Percayalah. Aku pernah membayar sepuluh kali dari harga ini. Tak ada bantahan”.
“David, aku bisa mendapatkan sesuatu yang hampir sama persis sepuluh kali lebih murah dari itu di toko biasa. Itu gila”.
“Tidak, kau tak bisa”. Dia menyeibangkan berat tubuhnya di siku yang di letakkan di anak tangga disamping kepalaku dan mulai membaca tag. “Lihat, renda indah ini dibuat oleh seniman lokal di daerah kecil di Italia utara yang terkenal karena keahliannya. Ini terbuat dari sutra terbaik. Kau tidak bisa mendapatkannya di Walmart, sayang”.
“Tidak, kurasa tidak”.
Dia membuat suara bersenandung senang dan menatapku dengan tatapan lembut dan kabur. Lalu senyumnya memudar. Dia menarik kembali dan meremas-remas thong di tangannya. “bagaimanapun caranya”.
“tunggu” jemariku melingkari bisep nya, membuatnya tetap di tempatnya.
“Ada apa?” tanyanya, suaranya menegang.
“Hanya, biarkan aku...”, aku mengangkat wajahku ke lehernya. Aromanya paling kuat disana. Aku menghirupnya dalam-dalam. Membiarkan diriku tenggelam dalam aroma tubuhnya. Aku menutup mataku dan ingat.
“Evelyn?” otot-otot di tangannya tertekuk dan mengeras. “aku tak yakin ini ide yang bagus”.
“Kita berada di Gondola di The Venetian. Kau mengatakan bahwa kau tidak bisa berenang, bahwa aku harus menyelamatkanmu kalau perahu kita terbalik”.
Jakunya terlonjak. “Ya”.
“Aku ketakutan untukmu”.
“Aku tau. Kau memelukku begitu erat hingga aku tak bisa bernapas”.
Aku mundur hingga aku bisa menatap wajahnya.
“Menurutmu apa alasan kita tetap disana sampai lama?” tanyanya. “Dan kau praktis duduk di pamngkuanku”.
“Bisakah kau berenang?”.
Dia tertawa dengan tenang. “tentu saja aku bisa berenang. Aku bahkan berpikir bahwa airnya tidak terlalu dalam”.
“Itu semua hanya tipu muslihat. Kau licik, David Ferris”.
“Dan kau lucu, Evelyn Thomas”. Wajahnya rileks , dan matanya melembut lagi. “kau ingat sesuatu”.
“Iya”.
“Itu hebat. Ada yang lain?”.
Aku memberinya senyum sedih. “Tidak, maaf”.
Dia memalingkan wajah, kecewa, kurasa, tapi berusaha untuk tidak memperlihatkannya.
“David”.
“Mm”.
Aku membungkuk ke depan untuk menempelkan bibirku ke bibirnya, ingin menciumnya, membutuhkanya. Dia menarik diri lagi. Harapanku tenggelam. “Maaf. Aku minta maaf”.
“Ev. Apa yang sedang kau lakukan?”.
“Menciummu?”.
Dia hanya diam, rahangnya kaku, dia memalingkan wajah.
“Kau diperbolehkan menciumku, memelukku, membelikanku lingerie dengan harga dengan harga gila-gilaan, dan aku tidak bisa menciummu balik?” tangannku meluncur ke tangannya dan dia memegangnya. Setidaknya dia tidak menolakku sepenuhnya.
“Mengapa kau ingin menciumku?” tanyanya, suaranya keras.
Aku mempelajari jari-jari kami yang terjalin untuk beberapa saat, membuat pikiranku tertata. “David, mungkin aku tidak akan mengingat segala sesuatu tentang malam itu di Vegas. Tapi kupikir kita mungkin bisa membuat beberapa kenangan baru selama akhir pekan ini. Sesuatu yang kita bagi bersama”.
“Hanya akhir pekan ini?”.
Jantungku memenuhi tenggorokanku. “Tidak, aku tak tau. Ini hanya..... seakan ada sesuatu yang lebih berarti antara kita”.
“Lebih dari sekedar teman?” dia mengawasiku, ,matanya intens.
“Ya, aku menyukaimu. Kau baik hati dan manis dan tampan dan kau mudah untuk di ajak mengobrol. Ketika kita tidak selalu berdebat tentang Vegas. Aku merasa seperti....”
“Apa?”
“Seakan akhir pekan ini adalah kesempatan kedua. Aku tak bisa membiarkannya berlalu begitu saja. Kurasa aku akan menyesali itu dalam waktu yang lama”.
Dia mengangguk, memiringkan kepalanya. “jadi apa rencanamu? Hanya menciumku, dan liat apa yang terjadi?”
“Rencana ku?”
“Aku tau tentang dirimu dan rencanamu. Kau mengatakan padaku tentang bagaiamana terencananya dirimu”.
“Aku memberitahumu itu?” aku benar-benar idiot.
“Yeah. Kau memberitahuku. Kau khususnya memberitahuku tentang rencana besarmu”. Dia menunduk menatapku, matanya intense. “Kau tau.... menyelesaikan kuliah kemudian tiga sampai empat tahun menstabilkan ditimu di firma kelas menengah sebelum bergerak ke tingkatan yang lebih prestisius dan memulai membangun perusahaan konsultasi kecil-kecilan di usai tiga puluh lima. Dan mungkin ada waktu untuk memulai hubungan dan memiliki anak-anak yang menyebalkan.
Tenggorokanku tiba-tiba menjadi tempat yang kering dan tandus. “aku benar-benar cerewet malam itu”.
“Mm. Tapi yang menarik adalah cara mu membicarakan semuanya seakan itu bukanlah hal yang bagus. Kau membicarakanya seakan itu adalah sebuah kerangkeng dan dirimu mengguncang jeruji”.
Aku tak mampu berkata apa-apa.
“Jadi, ayolah”, dia berkata dengan lembut, mengejekku. “apa rencananya disini, Ev? Bagaimana kau akan menyakinkanku?”.
“Oh, ya, aku, um.... aku akan membujukmu, kurasa. Dan kita lihat apa yang terjadi. ya....”.
“Bagaimana? Dengan mengeluh tentang aku yang memberimu barang-barang?”
“Tidak. Itu hanya bonus tambahan. Permulaan”.
Dia menjilat bibirnya, tapi aku melihat senyuman. “baiklah, mulailah, tunjukan gerakanmu”.
“Gerakanku?”.
“tekhnik merayumu. Ayolah, waktu terbuang percuma”. Aku ragu-ragu, mendecakkan lidah, tak sabaran. “Aku hanya mengenakan handuk, Baby. Sesulit itukah?”.
“Baik. Baiklah”. Aku menggengganm jari-jarinya erat, menolak untuk melepaskannya. “Jadi, David?”
“Ya, evelyn?”
“kurasa...”
“Hmm?”
aku sungguh jauh dari kelasnya. Jadi aku mengatakan satu-satunya hal yang terpikir olehku. Sesuatu yang ku tau track record keberhasilannya. “Kurasa kau lelaki yang sangat baik dan aku penasaran jika mungkin saja kau mau datang ke kamarku dan melakukan sex dengankuda dan mungkin bersenang-senang sejenak. Jika mungkin saja ada sesuatu yang tertarik untuk dilakukan....”
matanya menggelap, menuduh dan tidak senang. Dia mulai menarik diri kembali. “Sekarang kau sedang melucu”.
“Tidak” aku menyelipkan tanganku ke belakang lehernya, dibawah rambutnya yang basah, mencoba menariknya kembali padaku. “Tidak, aku sangat, sangat serius”.
Rahangnya kaku, dia menatapku.
“Kau bertanya padaku pagi ini di mobil apakah aku berpikir kau menakutkan. Jawabannya iya. Kau membuatku ketakutan setangah mati. Aku tak tau apa yang kulakukan disini. Tapi aku benci memikirkan meninggalkanmu”.
Tatapannya mencari-cari wajahku tapi dia tetap tak mengatakan apapun. Dia akan menolokku. Aku tau itu. Aku sudah meminta terlalu banyak, mendorongnya terlalu jauh, dan siapa yang bisa menyalahkannya setelah semuanya?
“Tak apa”, kataku, mengumpulkan sisa harga diriku yang berserakan di lantai.
“Ah, Man”, dia menghela napas. “Kau juga agak menakutkan”.
“Aku?”.
“Ya, kamu. Dan singkirkan senyum itu dari wajahmu”.
“Maaf”.
Dia memiringkan kepalanya lalu menciumku, bibirnya tegas dan sangat nikmat. Mataku terpejam dan mulutku terbuka. Rasa dirinya mengambil alih diriku. Rasa mint dari pasta giginya dan lidahnya menyerang lidahku. Semuanya terasa sempurna. Dia membaringkanku di atas tangga. Memar baru di belakang kepalaku berdenyut denyut ketika aku menghantamkannya lagi. Aku meringis tapi tidak berhenti. David menangkup bagian belakang tengkorakku, menjaga agar tidak terjadi memar lebih lanjut.
Berat tubuhnya menahanku di tempat, bukan berarti aku mencoba melarikan diri. Tepian anak tangga menekan punggungku dan aku tak peduli. Aku dengan senang hati berbaring di atasnya selama berjam-jam, aroma hangat kulitnya membuatku mabuk. Pinggulnya menahan kedua kakiku agar terbuka lebar. Jika bukan karena jeansku dan handuknya segalanya akan terasa menarik lebih cepat. Ya Tuhan, aku membenci Kain saat ini.
Kami tidak sekalipun menghentikan ciuman. Kakiku mengait di pinggangnya dan tanganku melengkung di bahunya. Tak pernah ada yang terasa senikmat ini. Rasa nyeri ku untuknya meningkat dan berkobar, menyebar kedalam diriku. Kaitan kaki mengencang di tubuhnya, otot-otot terbakar. Aku tak bisa merasa cukup dekat. Sunnguh membuat frustasi, mulutnya bergerak ke rahangku dan menuruni leherku, menyalakanku dari dalam. Dia menggigit dan menjilat, menemukan titik sensitif dibawah telingaku dan di lekukan leherku. Tempat yang tak pernah aku tau ada. Pria ini memiliki sihir. Dia mengetahui apa yang tak ku ketahui. Dimana dia mempelajari triknya sudah tidak penting. Tidak kapanpun.
“Naik”, katanya dengan suara serak. Perlahan dia berdiri, satu tangan dibawah pantatku dan yang lainnya masih melindungi tengkorakku.
“David”, aku buru-buru mengencangkan pegangan di punggungnya.
“Hei”, dia mundur cukup untuk melihat mataku. Pupilnya membesar, hampir menelan iris biru langitnya. “aku tak akan pernah menjatuhkanmu. Itu tak akan pernah terjadi”.
Aku menarik napas dalam-dalam. “Baiklah”.
“Kau percaya padaku?”.
“Iya”.
“Bagus”, tangannya meluncur ke punggungku. “Sekarang letakkan tanganmu di leherku”.
Aku melakukannya, dan keseimbangan ku dengan segera menjadi lebih baik. Kedua tangan David mencengkram bokongku dan mengunci kakiku di belakang punggungnya, berpegangan erat-erat. Wajahnya tidak menunjukan tanda-tanda kesakitan atau cedera punggung yang akan segera terjadi. Mungkin dia cukup kuat untuk menggendongku.
“Benar begitu”. Dia tersenyum dan mengecup keningku. “semua baik-baik saja?”.
Aku mengangguk, tidak percaya diri untuk berbicara.
“Ranjang?”
“YA”.
Dia tergelak dengan cara yang menimbulkan hal buruk padaku. “Cium aku”, katanya.
Tanpa ragu-ragu aku melakukannya, tepat di mulutnya. Lidahku bergerak diantara bibirnya dan tersesat di dalam dirinya lagi. Dia mengerang, tangannya memelukku erat-erat.
Saat itulah bel pintu berdering, membuat suara pelan, rasa nyeri menggema di hati dan pangkal pahaku. “Oh Tidaaak”.
“Sialan ini pasti lelucon” Wajah David kacau dan dia memberi tatapan sangat sebal kepada pintu ganda yang besar itu. Setidaknya aku tak sendirian. Aku mengerang dan memeluknya erat-erat. Ini akan lucu jika saja ini tdak terlalu menyakitkan.
Sebuah tangan digosok di punggungku, meluncur ke bawah ke ujung bokongku utuk membelai kulit bagian bawahnya. “aku bersumpah, Ini seperti alam semesta tak mengijinkanku berada dalam dirimu atau semacamnya.”, dia menggerutu.
“Buat mereka pergi. Please”.
Dia tertawa kecil. Memelukku lebih erat.
“ini menyakitkan”.
Dia menggeram dan mencium leherku. “Ijinkan aku membuka pintu dan menyingkirkannya, lalu aku akan mengurusmu, oke?”.
“Handukmu ada di lantai”.
“itu masalahnya. Turunkan kaitan kakimu”.
Dengan enggan aku melonggarkan peganganku dan mengembalikan kaki ku ke lantai yang kokoh. Sekali lagi suara sekeras Gong, memenuhi ruangan. David mengambil jelana jeans hitam dari tas dan dengan cepat menariknya. Yang aku tangkap hanyalah kilasan bokong kecoklatan. Menjaga mataku ketempat yang sebagian besar harus di hindari adalah hal tersulit yang pernah aku lakukan.
“tunggu di belakang untuk berjaga-jaga kalau-kalau ini pers”. Dia melihat layar kecil yang tertanam di samping pintu. “Ah, Man”.
“Masalah?”.
“Tidak. Lebih buruk. Teman lama dengan makanan”, dia memberiku tatapan sekilas. “jika ini membuatmu lebih baik, aku juga merasa nyeri”.
“Tapi-”.
“Antisipasi membuat segalanya lebih manis. Aku berjanji”.katanya , lalu membuka pintu. Tangan satunya menarik bagian depan kaosnya untuk menutupi tonjolan yang jelas dibawah celana jeansnya. “Tyler, Pam. Hei , senang bertemu dengan kalian”.
Aku akan membunuhnya. Pelan-pelan. Dengan thong yang terlalu mahal. Kematian yang pas untuk seorang bintang Rock.
Sepasang suami istri yang memiliki usia sama seperti orang tuaku masuk, menenteng rantang dan botol anggur. Lelaki itu, Tyler, bertubuh tinggi, kurus, dan dipenuhi dengan tato. Pam terlihat seperti Penduduk asli Amerika. Rambut hitam panjang yang indah menggantung di punggungnya dalam kepangan, setebal pergelangan tanganku. Mereka semua tersenyum lebar dan memberiku tatapan ingin tau. Aku bisa merasakan wajahku memerah ketika mereka melihat pakaian dalam yang berserakan di lantai. Mungkin ini terlihat seakan kami sedang melakukan pesta untuk dua orang. Yang mana memang itulah yang sebenarnya, tapi tetap saja.
“Bagaimana kabarmu?” Tyler mengaum dengan aksen australi, memberi David pelukan satu lengan karena ada rantang di tangan satunya. “Dan ini pasti Ev. Aku harus membacanya di koran sialan, Dave? Apa kau serius?” dia memberi suamiku tatapan tajam, satu alisnya melengkung tinggi. “Pam kesal”.
“Maaf. Itu- ah tiba-tiba”. David mencium pipi Pam dan mengambil piring Casserole dan tas bekal darinya. Dia menepuk kepala David dengan gaya keibuan.
“Perkenalkan aku” katanya.
“Ev, ini Pam dan Tyler. Teman lama ku. Mereka juga yang mengurus rumah ini untukku”. David tampak santai berdiri diantara orang-orang ini. Senyumnya ringan dan matanya cerah. Aku belum pernah melihanya terlihat sangat bahagia sebelumnya. Kecemburuan membesarkan kepalanya yang jelek, menenggelamkan giginya.
“Halo”, aku mengulurkan tanganku yang gemetar tetapi Tyler menelanku dalam pelukan.
“Dia sangat cantik. Bukankah dia cantik, sayang?” Tyler melangkah ke samping, dan Pam mendekat, senyum hangat di wajahnya.
Aku amatlah brengsek. Mereka adalah orang-orang baik. Aku seharusnya sangat bersyukur, tidak semua wanita yang mengenal David menggesekkan payudaranya pada David. Sialan, Hormonku yang menggelegak yang membuatku bermuka masam.
“Tentu saja dia cantik. Hello, Ev, aku Pam”. Mata berwarna coklat kopi itu mencair. Dia tampak siap menangis. Dengan terburu-buru, dia memegang tanganku dan menekan erat jari-jariku. “aku sangat senang David menemukan gadis yang baik, akhirnya”.
“Oh, terima kasih”. Wajahku terasa mudah terbakar.
David memberiku senyum kecut.
“Oke, cukup”, kata Tyler. “biarkan sejoli ini memiliki privasi mereka. Kita bisa berkunjung lain waktu”.
David berdiri di samping, masih memegangi piring Casserole dan tasnya. Ketika dia melihatku mengamati dia mengerling.
“Aku akan menunjukan pengaturan di ruangaan bawah tanah kapan-kapan”, kata Tyler. “kau disini untuk waktu lama?”.
“Kami tidak yakin”, ungkapnya, memberiku lirikan.
Pam menggandeng tanganku, enggan untuk pergi. “Aku membuat ayam enchilada dan nasi. Apa kau suka masakan meksiko? Itu favorit David”. Alis Pam berkerut. “Tapi aku tidak mencari tau apakah kau tidak apa dengan itu. Kau mungkin saja Vegetarian”.
“Tidak, aku bukan Vegetarian. Dan aku suka makanan Meksiko”, kataku, gantian meremas jarinya walaupun tidak begitu keras. “Terima kasih banyak”.
“phew”, dia menyeringai.
“Hon”, seru Tyler.
“Aku datang”, Pam memberikan tepukan perpisahan di jariku. “jika kau butuh sesuatu selama kau disini, telpon aku. Okay?”.
David tidak mengatakan apapun. Ini jelas keputusanku apakah mereka akan tinggal atau pergi. Tubuhku masih dipenuhi akan kebutuhan. Dan tampaknya kami lebih baik berduan. Aku tidak ingin membagi David karena aku orang yang dangkal dan menginginkan sex yang panas. Aku menginginkan David untuk diriku sendiri. Tapi ini adalah hal yang benar untuk di lakukan. Dan jika antisipasi membuat lebih manis, yah , mungkin hal ini tepat untuk di lakukan dan juga hal terbaik untuk dilakukan.
“Tinggalah”, kataku, kata-kataku terbata-bata. “Makan malam bersama kami. Kau telah memasak begitu banyak. Kami tak mungkin menghabiskan semuannya”.
Tatapan David terkejut ke arahku, senyum persetujuan di wajahnya. Dia tampak terliah kekanak-kanakan, berusaha menahan kegembiaraannya. Seakan aku baru memberitahunya bahwa ulang tahunnya di majukan. Siapapun orang-orang ini, mereka penting bagi David. Aku merasa seolah-olah baru saja melewati beberapa tes.
Pam menghela napas. “Tyler benar. Kalian pengantin baru”.
“Tinggalah, Please”.
Pam menatap Tyler.
Tyler mengangkat bahu tetapi tersenyum, jelas senang.
Pam bertepuk tangan dengan gembira. “Ayo Makan”.


Minggu, 08 April 2018

Lick Chapter 7B

Balok kayu dan bebatuan muncul dari balik pepohonan, bertengger di tepi jurang. Tempat itu menakjubkan dengan tingkatan yang berbeda dari rumah yang di LA. Dibawah, lautan sibuk dengan usahanya menjadi spektakuler.
David keluar dari mobil dan berjalan ke rumah, mengotak atik satu set kunci dari sakunya. Selanjutnya, dia membuka pintu depan, lalu berhenti untuk memencet-mencet kode keamanan.
Kau kemari?” Teriaknya.
Aku berlama-lama di samping mobil, memandang rumah megah itu. Dia dan aku sendirian. Di dalam sana. Hmmm, Ombak menghantam bebatuan di bawah sana. Aku bersumpah bisa mendengar iringan orkestra yang sayup-sayup dari kejauhan. Tempat ini jelas penuh dengan atmosfir. Dan suasana ini adalah romansa murni.
“ada masalah?” David kembali ke jalan berbatu ke arahku.
“Tidak ada.... aku hanya”.
“Bagus”, Dia tidak berhenti. Aku tidak tau apa yang terjadi hingga aku merasakan diriku menggantung dari atas ke bawah diatas bahunya dengan panggulan seperti petugas pemadam kebakaran.
“Sialan. David”.
“Relax”.
“Kau akan menjatuhkanku!”.
“Aku tidak akan menjatuhkanmu. Berhenti menggeliat”, katanya, lengannya menekan bagian belakang kakiku. “ berikan kepercayaan padaku”.
“apa yang sedang kau lakukan?” aku mencengkaram tangannku di atas bokong celana jeans nya.
“Ini cara tradisional untuk membawa pengantin melewati ambang pintu”.
“Tidak seperti ini”.
Dia menepuk sebelah bokongku, dimana namanya tertulis disana. “ kenapa juga kita harus memulai dengan cara tradisional sekarang, huh?”.
“kupikir kita cuma teman”.
“ini bersahabat. Dan kau juga harus berhenti merasakan bokongku, kurasa, atau aku akan mendapat pemahaman yang salah tentang itu. Khususnya setelah kecupan di mobil”.
“aku tidak merasakan bokongmu”, aku mengoceh dan berhenti menggunakan bokongnya sebagai pegangan. Seakan ini salahku posisi ini membuatku tidak punya pilihan lain selaim berpegangan pada pantatnya yang padat.
“Please, kau di seluruh tubuhku. Ini menjijikan”.
Aku tertawa meskipun itu untuk diriku sendiri. “kau menempatkanku di atas bahumu, idiot. Tentu saja aku diseluruh tubuhmu”.
Menaiki tangga yang kami tempuh, lalu ke teras kayu yang luas dan masuk ke dalam rumah. Lantai kayu yang keras dengan warna coklat yang pekat serta kotak-kotak pindahan, banyak dan amat banyak kotak-kotak pindaham. Aku tidak bisa melihat yang lain lagi.
“ini bisa jadi masalah”, katanya.
“ kenapa?” tanya ku, masih tergantung dari atas ke bawah, rambutku menutupi pandanganku.
“Berpegangan”. Dengan hati-hati, dia memberdirikanku, menempatkan kakiku di lantai. Seluruh darah bergegas turun dari kepalaku dan aku terhuyung. Dia meraih sikuku, dan memelukku tegak.
“oke?” tanyannya.
“Ya. Ada masalah?”.
“kupikir akan ada lebih banyak perabot?”.
“kamu belumpernah kesini sebelumnya?”.
“aku sibuk”.
Selain kotak dan ada lebih banyak kotak lagi. Mereka ada dimana-mana. Kami berdiri di ruang tengah yang besar dengan perapian batu besar di seberang dinding. Kalian bisa memanggang sapi utuh disana jika kalian sangat ingin. Tangga melingkar mengarah ke lantai atas dan satu lagi mengarah ke bawah yang satu ini. Ruang makan dan dapur terbuka di sebalah ruangan ini. Tempat ini terdiri dari lantai dan langit-langit kaca, garis-garis batang kayu yang rapih, atau bebatuan abu-abu. Perpaduan sempurna antara teknik desain lama dan baru. Ini menakjubkan. Tapi tampaknya semua tempat yang dia tempati selalu menakjubkan..
aku bertanya-tanya apa yang akan dia lakukan di dalam apartemen kecil dan kumal milikku dan Lauren. Pikiran konyol. Seakan dia pernah melihatnya saja.
“Setidaknya ada kulkas”. Dia membuka pintu stainles yang besar . Setiap inchi dari ruangnya terisi makanan dan camilan. “Luar biasa”.
“siapa “Mereka”?”.
“Ah, orang yang merawat tempat ini untukku. Temanku. Mereka juga telah merawat tempat ini sejak pemilik yang terdahulu juga. Aku menelpon mereka, meminta mereka untuk menyiapkan beberapa hal untuk kita”. Dia mengambil corona dan membukanya. “bersulang”.
Aku tersenyum, bingung. “untuk sarapan?”.
“aku sudah terjaga selama dua hari. Aku ingin bir dan aku ingin tidur. Man, kuharap mereka berpikir untuk menaruh tempat tidur”. Dengan bir di tangan, dia kembali ke ruang duduk dan menaiki tangga. Aku mengikutinya, penasaran.
Dia mendorong pintu kamar satu demi satu. Ada empat semuanya dan masing-masing memiliki kamar mandi sendiri, karena orang keren , dan kaya tidak berbagi. Di pintu terakhir di ujung aula, dia berhenti dan merosot lega. “Terimakasih untuk itu”.
Sebuah tempat tidur king size dengan seprei putih bersih menunggu di dalam. Dan ada beberapa kotak lagi.
“ada apa dengan semua kotak-kotak ini?” tanyaku. “apakah mereka hanya meletakkan satu tempat tidur?”.
“terkadang aku membeli beberapa barang saat aku berpergian. Terkadang orang-oramg memberiku beberapa barang. Aku baru saja mengirimkannya kesini selama beberapa tahun terakhir. Berkelilinglah jika kau mau. Dan Ya, hanya ada satu tempat tidur”. Dia meneguk bir lagi. “kau berpikir aku terbuat dari uang?”.
Aku terengah-engah karena kebanyakan tertawa. “Kata-kata dari seorang pria yang memaksa Cartier buka sehingga aku bisa membeli cincin”.
“Kamu ingat itu?” Dia tersenyum di sekitar botol bir.
“Tidak, aku hanya berasumsi tentang waktu pada malam itu”. Aku berjalan ke dinding jendela. Pemandangan yang luar biasa.
“Kau mencoba memilih sesuatu yang menyebalkan. Aku tak percaya”. Dia menatapku, tapi pandangannya menjauh.
“Aku melemparkan cincin itu ke para pengacara”.
Dia tersentak dan menatapi sepatunya. “Ya, aku tau”.
“Maafkan aku. Mereka membuatku sangat marah”.
“Pengacara melakukan itu”. Dia meneguk birnya lagi. “Mal bilang kau mengayunkan pukulan padanya”.
“Tidak kena”.
“Mungkin itu yang terbaik. Dia idiot tapi dia bermaksud baik”.
“Ya, dia sangat baik padaku”. Menyilangkan lenganku aku memeriksa sepanjang ranjangnya, penasaran akan kamar mandinya. Jacuzzi milik Mal aku meringkuk malu. Tempat ini sungguh luar biasa besar. lagi=lagi perasaan bahwa aku tidak seharusnya disini, bahwa tak ada satu pun yang pas dengan dekorasinya, menghantamku dengan keras.
“Itu sebuh kerutan yang besar, kawan”, katanya.
Aku mencoba tersenyum. “Aku masih mencoba mecari tau. Maksudku, apa yang membuat kita mengambil resiko di Vegas? Karena dirimu tidak bahagia? Dan selain Mal, dirimu di kelilingi bajingan?”.
“Persetan”, dia membiarkan kepalanya menengadah ke belakang. “apakah kita harus berbicara tentang malam itu?”.
“aku hanya mencoba memahami”.
“bukan”. Katanya “Bukan itu, oke?”.
“Lalu apa?”.
“kita berada di Vegas,EV. Hal-hal tak terduga terjadi”.
Aku menutup mulut.
“aku tidak bermaksud....” Dia mengusap tangan ke wajahnya. “Sialan, dengar, jangan berpikir bahwa mabuk dan berpesta dan itulah satu-satunya alasan terjadinya semua ini. Mengapa kita begini. Aku tak ingin kau berpikir seperti itu”.
Aku tertegun. Itu satu-satunya alasan yang masuk akal. “Tapi itulah yang aku pikirkan. Dan sungguh itulah yang aku pikirkan. Itu satu-satunya alasan yang terasa cocok di kepalaku. Ketika gadis sepertiku terbanun dan sudah menikah dengan pria sepertimu, apalagi menurutmu yang akan dia pikirkan?Tuhan, David, lihat dirimu. Kau tampan, kaya, sukses. Kakakmu benar, ini tak masuk akal”.
Dia menghadapku, wajahnya tegang. “Jangan lakukan itu. Jangan merendahkan dirimu seperti itu”.
Aku hanya mendesah.
“Aku serius. Jangan berani-beraninya kau memikirkan apa yang bajingan itu katakan, menegrti? Kau tidaklah tidak berarti”.
“Lalu beri aku penjelasan. Katakan padaku seperti apa diantara kita malam itu”.
Dia membuka mulutnya, kemudian secepat nya menutupnya kembali. “Nah, aku tak ingin mengeruk semuanya, kau tau, air di bawah jembatan atau apapun. Aku hanya tak ingin kau berpikir bahwa semuanya yang terjadi karena alkohol atau apapun, itu saja. Sejujurnya, saat itu kau tidak terlihat semabuk itu”.
“David, kau menghidar. Ayolah. Ini tidak adil bahwa kau mengingat dan aku tidak.
“Tidak”. Katanya, dengan suara yang kasar, dingin, dengan cara yang belum pernah aku dengar. Dia menjulang di atasku, rahannga mengetat. “Tidak adil bahwa aku ingat dan kau tidak, Evelyn”.
Aku tak tau apa yang harus ku katakan..
“Aku keluar”, kata-katanya benar, dia menerjang keluar. Suara langkah yang berat di sepanjang koridor dan menuruni tangga. Aku berdiri menatap dia.

**
aku memberi waktu untuk dia menenangkan dia sebelum menyusulnya ke pantai. Cahaya pagi sudah meninggi, langit biru yang bersih terpapar. Itu sangat indah. Udara laut yang asin membersihkan pikiranku sejenak. Kata-kata David menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada yang telah terjawab. Menyelesaikan puzzle tentang malam itu memenuhi pikiranku. Aku mengambil dua kesimpulan. Dan keduanya membuatku khawatir. Pertama, malam di Vegas special untuknya. Aku yang mengorek-orek dan meremehkan membuat dia kesal. Yang kedua adalah, aku merasa, dia tidak terlalu mabuk. Ini terdengar seakan dia tau dengan benar akan apa yang dia lakukan. Yang mana dalam kasus ini, bagaimana dia merasakan keesokan harinya? Aku telah menolak dia dan pernikahan kami tak terkendali. Dia pasti sangat sakit hati, terhina.
Ada alasan yang bagus untuk prilakuku. Namun, tetatp saja, sangat tidak bijaksana. Aku tak menhenal David saat itu. Tapi aku akan memulainya sekarang. Dan semakin sering aku berbicara dengannya, semakun aku menyukainya.
David duduk di batu dengan bir di tangan, menatap ke laut. Angin laut yang dingin menerbangkan rambut panjangnya. Kain kaosnya di tarik ketat ke punggungnya yang lebar. Lututnya tertekuk dengan lengan yang memeluk lututnya.. itu membuat dia terlihat lebih muda dari seharusnya, terlihat rapuh.
“Hai”. Kataku, berjongkok disampingnya.
“Hey”,Matanya memincing ke arah matahari, dia menatapku, wajahnya terlindung.
“Aku minta maaf karena terlalu mendorongmu”.
Dia mengangguk, balas menatap air. “Tak apa”.
“Aku tak bermaksud membuatmu kesal”.
“Jangan khawatirkan tentang itu”.
“Apakah kita masih berteman?”.
“Dia terengah. “Tentu”.
Aku duduk disampingnya, mencoba mencari tau apa yang harus di katakan selanjutnya, apa yang akan membuat hal-hal menjadi benar diantara kami. Tak ada yang bisa aku katakan untuk memperbaiki tentang Vegas. Aku butuh waktu dengannya. Jam yang berdenting tentang dokumen pembatalan berdenting dengan lebih keras setiap menitnya. Itu membuatku takut, memikirkan waktu kami akan terpotong. Semuanya akan berakhir dan aku tak bisa melihat atau berbicara dengannya lagi. Bahwa aku tak bisa memecahkan teka-teki antara kami. Kulitku kedingin karena sesuatu yang bukan hanya sekedar angin.
“Sialan. Kau kedinginan”. Melingkarkan lengan di bahuku, menarikku lebih dekat ke arahnya.
Dan aku semakin mendekat, dengan gembira. “Terima kasih”.\
Dia meletakkan botol bir, mengalungkan kedua tangannya di tubuhku. “mungkin seharusnya kita kedalam”.
“sebentar lagi”. Jempolku mengusap jariku, gelisah. “Terima kasih telah membawaku kesini. Ini tempat yang indah”.
“Mm”.
“David, sungguh, aku sangat menyesal”.
“Hei”, dia meletakan jari di bawah daguku, mengangkatnya. Kemarahan dan sakit hati itu hilang, digantikan kebaikannya. Dia sekedar memberiku gerakan sedikit bahunya. “biarkan saja”.
Idenya benar-benar membuatku panik. Aku tak ingin melepaskannya. Kenyataan itu mengejutkan. Aku menatapnya, membiarkan nya meresap. “aku tidak mau”.
Dia berkedip. “Baiklah. Kau ingin menebusnya untukku?”.
Aku ragu kami membicarakan hal yang sama, tapi aku mengangguk juga.
“aku punya ide”.
“Katakan”.
“berbagai hal berlarian kecil di kepalamu, bukan?”.
“kurasa”. Kataku.
“jadi kalau aku menciummu, mungkin kau akan ingat apa yang kita suka saat bersama”.
Aku berhenti bernapas. “kau ingin menciumku?”
“Kau tak ingin aku menciummu?”.
“Bukan”, kataku dengan cepat. “aku tak apa dengan dirimu yang menciumku”.
Dia sedikit kembali tersenyum. “sungguh sangat murah hati”.
“dan ciuman ini untuk tujuan penelitian yang bersifat ilmu pengetahuan.
“Yep. Kau sangat ingin tau tentang apa yang terjadi malam itu dan aku sungguh tak ingin membicarakannya. Jadi, aku menyadari, lebih mudah untuk semuanya jika kau mungkin bisa mengingatnya sendiri”.
“itu masuk akal”.
“luar biasa”.
“sampai sejauh apa kita malam itu?'.
Tatapannya menuju ke leher tanktopku dan lekukan payudaraku. “base kedua”.
Masih berpakaian?”
“lepas. Kita berdua topless. Berpelukan dengan bagian atas telanjang”, dia mengamatiku saat aku menyerap informasi itu, wajahnya dekat denganku.
“bra?”.
“tentusaja tidak””.
“Oh”, aku menjilay bibirku, kesulitan bernapas. “jadi, kau pikir kita harus melakukan ini?”.
“kau terlalu berlebihan memikirkan ini”.
“Maaf”.
“dan berhenti meminta maaf”.
Mulutku terbuka untuk mengulang kalimat itu lagi, tapi aku lalu menutupnya.
“tak apa. Kau akan memahami itu”.
Otakku tergaguk dan aku menatap mulutnya. Dia memiliki mulut yang paling indah, dengan bibir penuh yang sedikit ditarik di tepinya. Menakjubkan.
“katakan apa yang kau pikirkan?” katanya.
“kau bilang jangan berpikir. Dan sejujurnya, aku tidak memikirkan apapun”.
“Bagus”, katanya, bahkan lebih mendekat. “itu bagus”.
Bibirnya meneyntuh bibirku, membuatku tertarik. Lembut tapi tegas, tanpa ragu-ragu. Giginya bergerak dengan bibir bawahku. Lalu dia menghisap bibir bawahku. Dia tak mencium seperti bocah laki-laki yang ku kenal, meskipun aku tak bisa mendefinisikan perbedaanya. Ini hanya lebih baik dan....lebih banyak. Jauh lebih banyak. Mulutnya menekan lidahku, dan lidahnya masuk ke mulutku, menggosok-gosok bibirku. Tuham, dia terasa nikmat. Jemarinya meluncur ke rambutku seoalah dia selalu ingin. Dia menciumku sampai aku tak bisa mengingat apapun sebelumnya. Seakan tak ada yang penting. Tangannya menyelinap di leherku, memegangiku tetap di tempat. Ciuaman ini terus berlanjut. Dia membuatku bercahaya dari kepala hingga ke ujung kaki. Aku tak pernah menginginkan ini untuk berakhir.
Dia menciumku hingga kepalaku pening dan berpegangan untuk sebuah kehidupan. Kemudian dia menarik diri, dan menempelkan dahinya di atas dahiku sekali lagi.
“kenapa kau berhenti?” tanyaku ketika aku sudah bisa merangkai kalimat yang koheren. Tanganku menarik dia, mencoba membawanya kembali ke mulutku.
“Shh. Relax”, dia menghirup napas dalam. “apakah kau mengingat sesuatu? Sesuatu yang familiar untukmu?”.
Ciuman ku membuat pikiranku menjadi kosong. Sialan. “Tidak. Kurasa tidak”.
“itu sangat disayangkan”. Sebuah gundukan muncul diatas alisnya. Titik gelap dibawah amta birunya yang indah sepertinya menggelap. Aku akan mengecewakannya lagi. Hatiku mencelos.
“Kau terlihat lelah”, kataku.
“Ya, mungkin sudah waktunya menutup mata”. Dia menanamkan ciuman cepat di dahiku. Apakah itu ciuman seorang teman atau lebih? Aku tak tau. Mungkin itu juga untuk tujuan ilmiah.
“Kita sudah mencobanya, bukan?” katanya.
“ya. Kita telah mencobanya”.
Dia bangkit berdiri, mengambil botol bir nya. Tanpa dia yang menghangatkanku angin berhembus langsung ke arahku, mengguncang tulangku. Itu adalah ciuman yang benar-benar mengguncangku. Itu telah menghancurkan pikiranku yang baik-baik. Memikirkan, aku melakukan ciuman seperti itu dan melupakannya. Aku butuh transpalantasi otak secepatnya.
“apa kau tak keberatan jika aku ikut denganmu?” tanyaku.
“tidak sama sekali”. Dia mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri.
Bersama, kami berjalan kembali ke rumah, menaiki tangga menuju kamar tidur utama. Aku melepaskan sepatu ku saat David pun sedang melepas alas kakinya. Kami berbaring di atas kasur, tanpa saling menyentuh. Kami berdua menatap langit-langit seakan mereka bisa memberikan jawaban.
Aku tetap diam. Selama sekian menit. Pikiranku nyalang dan menggumam padaku. “kurasa aku sedikit tau lebih banyak kenapa kita berakhir dengan menikah”.
“iyakah?” dia menengokkan wajahnya untuk menghadapku.
“Ya” aku tak pernah dicium seperti itu sebelumnya. “aku mengerti”.
“kemarilah”. Lengan yang kuat melingkari pinggangku, menyeretku ke tengah tempat tidur.
“David”, aku meraihnya dengan senyum gugup. Lebih dari siap untuk lebih banyak ciuman. Lebih banyak darinya.
“berbaringlah “ ujarnya, tangannya memutarku hingga dia bervaring di belakangku. Satu lengan menyelip di bawah leherku dan yang lainnya di atas pinggangku, menarikku lebih dekat dengannya. Pinggulnya tepat di bokongku.
“apa yang sedang kita lakukan?” tanyaku bingung.
“bercumbu. Kita melakukan itu selama beberapa saat. Sampai kamu merasa mual”.
“Kita bercumbu?”.
“Yep” katanya. “tahap kedua untuk pemulihan ingatan, bercumbu. Sekarang tidurlah”.
“aku baru saja terbangun sejam yang lalu”.
Dia menekan wajahnya ke rambutku dan bahkan meletakkan kakinya melintang di atas kakiku dengan pengaturan yang baik. “kurang beruntung. Aku lelah dan aku ingin bercumbu. Denganmu. Dan setau ku, kau berhutang padaku. Jadi kita bercumbu”.
“mengerti”.
Nafas nya hangat di sisi leherku, membuatku merinding.
“Santai. Kau tegang sekali”, lengannya menegang di tubuhku.
Setelah beberapa saat, aku meraih tangan kirinya, menjalarkan bantalan jariku di bulu-bulu halus tangannya. Menggunakannya sebagai mainan untuk kegelisahanku. Ujung-ujung jarinya keras. Ada kapalan di bawah ibu jarinya dan satu lagi di bagian bawah jari-jarinya dimana mereka bergabung dengan telapak tangannya. Dia jelas menghabiskan banyak waktu dengan memegang gitar. Dibagian belakang jari-jarinya, terdapat tato kata “free”. Di tangan kananya ada kata “live”.
Aku tak bisa berhenti bertanya-tanya apakah pernikahan akan melatnggar kebebasan itu. Sebauh tanda ala jepang dan naga berbelit melingkar di lengannya, warna dan detailnya sangat menakjubkan.
“beritahu aku tentang jurusan kuliahmu?” katanya. “kau kuliah arsitektur , bukan?”.
“Ya”, kataku, terkejut karena dia tau. Tampaknya aku memberitahunya saat di Vegas. “sama seperti ayahku”.
Dia menautkan jari jarinya dengan jari-jariku, memberikan sihir pada kegelisahanku.
“apa kau selalu ingin memainkan gitar”, tanyaku, mencoba untuk tidak terlalu teralih dari cara dia memelukku.
“Yeah, musik adalah satu-satunya hal yang masuk akal untukku. Tak terpikirkan untuk melakukan yang lain”.
“Huh” , pasti menyenangkan, memlakukan sesuatu yang memang passion. Aku menyukai gagasan menjadi seorang arsitek. Banyak permainan masa kecilku yang melibatkan balok-balok dan menggambar. Tapi aku tak merasa terdorong untuk melakukannya, tepatnya. “aku sama sekali tak tau nada”.
“itu menjelaskan banyak”, dia tergelak.
“bersikap baiklah. Aku juga tak pernah bagus dalam olahraga. Aku suka menggambar, membaca dan menonton film. Dan aku suka berpergian, bukan berarti aku telah melakukan banyak hal”.
“Yeah?”
“Mm”.
Dia bergeser di belakangku, merasa nyaman. “Ketika aku melakukan perjalanan itu semua selalu tentang show. Tidak menyisahkan banyak waktu untuk melihat-lihat”.
“Kasihan”.
“Dan ku akui terkadang aku merasa kesakitan. Kadang-kadang itu menjadi buruk. Selalu ada tekanan pada kami, dan aku tak selalu bisa melakukan apa yang aku inginkan. Sebenarnya, aku siap untuk memperlambat segalanya, lebih banyak tinggal di rumah”.
Aku tak berkata apapun, memutar kata-katanya dalam pikiranku.
“aku menjadi terlalu tua untuk pesta-pesta setelah beberapa saat. Orang-orang di sekeliling disetiap waktu ku”.
“aku berani bertaruh” Namun , kembali ke LA dia masih memiliki para Groupie yang menempel padanya dan membujuknya dengan segala rayu. Jelas bagian dari gaya hidupnya yang itu masih menarik. Bagian yang aku tak yakin aku bisa bersaing bahkan jika aku mau, “Apakah kau tidak melewatkan beberapa dari itu”.
“Sejujurnya, itu semua sudah berakhir dalam waktu yang lama, aku tak tau”.
“well, kau memiliki rumah yang keren untuk di tinggali”.
“Hmm”, dia diam selama beberapa saat. “Ev?”.
“Yeah?”.
“jadi arsitek adalah idemu atau ayahmu ?”.
“aku tak ingat” aku ku. “kami selalu memperbicangkan itu. Kakakku tak pernah tertarik untuk mengambil alih. Dia selalu terlibat perklahian dan bolos”.
“kau bilang kau juga mengalami waktu yang sulit saat di sekolah”.
“bukankah setiap orang juga?” aku menggeliat, berbalik agar aku bisa melihat wajahnya. “aku biasanya tak membicarakan itu dengan orang lain”.
“Kita membicarakannya. Kau berkata bahwa kau diejek karena ukuran tubuhmu. Aku berpikir itulah yang membuatmu terlibat dengan teman-temanku. Faktanya mereka menggertak gadis itu seperti segerombolan anak sekolah sialan”.
“kurasa itu yang akan mereka lakukan”. Mengganggu bukanlah subjek yang kusuka untuk dibicarakan. Terlali mudah, itu mengembalikan segala perasaaan mengerikan yang berhubungan dengan itu. Namun pelukan David tak ingin membiarkan itu lolos. “sebagian besar guru hanya mengabaikannya. Seakan itu adalah kerumitan ekstra yang tidak di perlukan. Tapi tidak untuk guru yang satu ini, Ms Hall. Dia membelaku ketika mereka mulai mengejekku atau salah satu anak lain yang dia temui. Dia sangat hebat”.
“dia terdengar hebat. Tapi kau tidak benar-benar menjawab pertanyaanku. Apakah kau ingin menjadi seorang arsitek?”
“Well, itu adalah apa yang telah aku rencanakan untuk aku lakukan, dan aku, ah, aku menyukai ide merancang rumah seseorang. Aku tak tau menjadi arsitek adalah panggilan hidupku, seperti musik untukmu, tapi kupikir aku bisa bagus di situ”.
“Aku tidak meragukan itu, sayang”, ujarnya, suaranya lembut namun pasti.
Aku berusaha untuk tidak membiarkan ucapan kasih sayang ity memporak -porandakanku di kasur. Kelembutan adalah kuncinya. Aku telah melukainya di Vegas. Jika aku bersungguh-sungguh tentang ini, tentang menginginkan dia untuk memberi kita berdua kesempatan, aku harus hati-hati. Memberinya ingatan yang baik untuk mengganti yang buruk. Ingatan yang kami berdua bisa bagi kali ini.
“Ev, apa yang ingin kau lakukan dengan hidupmu?”.
Aku terdiam. Setelah memberikan tanggapan standar, pemikiran ekstra di perlukan. Rencana itu sudah ada disana sejak lama dan aku tidak berani mempertanyakannya. Itu aman dan nyaman untuk ada disana. Tapi David menginginkan lebih dan aku ingin memberikannya. Mungkin inilah alasan mengapa aku memberitahunya rahasiaku di Vegas. Sesuatu tentang pria ini menenggelamkanku dan aku tak ingin melawan. “sejujurnya , aku tak tau”.
“tak apa, kau tau”. Pandangannya beralih padaku. “Kau baru dua puluh satu tahun”.
“Tapi aku seharusnya sudah dewasa sekarang, mengambil tanggung jawab untuk diriku sendiri. Aku seharusnya tau tentang hal ini”.
“kau telah tinggal dengan temanmu selama beberapa tahun, bukan? Membayar semua tagihanmu dan masuk kuliah dan semua nya?”
“Ya”.
“jadi bagian mananya kau tidak bertanggung jawab pada dirimu sendiri?” dia menyelipkan rambut hitam panjangnya ke belakang telinga, menyingkirkannya dari wajahnya. “jadi kau mulai masuk ke dalam arsitektur dan lihat kemana itu membawamu”.
“kau membuatnya terdengar sederhana”.
“Ya. Kau mending memilih tetap disitu atau mencoba sesuatu yang lain, lihat bagaimana itu akan berhasil untukmu. Ini hidupmu. Panggilanmu”.
“apa kau hanya memainkan gitar??” tanyaku, ingin tau lebih banyak tentang dia. Ingin topik perbincangan ini beralih dariku. Simpul ketegangan dalam diriku tidak menyenangkan.
“Tidak” senyum tersungging di sudut mulutnya- dia tau persis apa yang aku bicarakan. “Bass dan drum juga. Tentu saja”.
“Tentu saja?”.
“siapapun yang bisa bermain gitar pasti bisa bermain bass jika mereka mau memikirkannya. Dan seseorang yang bisa memainkan dua stick dalam satu waktu bisa bermain drum. Pastiakan untuk memberitahu Mal , lain kali ketika kau bertemu dengannya, yeah? Dia akan marag-marah”.
“Mengerti”.
“dan aku bernyanyi”.
“bernyanyi?” tanyaku, semakin bersemagat. “maukah kau menyanyikan sesuatu untukku? Please?”.
Dia membuat suara yang tidak komunikatif.
“apakah kau bernyanyi untukku malam itu?”.
Dia memberiku senyum menyesal. “ya, aku melakukannya”.
“jadi mungkin itu akan mengembalikan ingatan”.
“kamu akan menggunakan itu sekarang , bukan? Kapanpun kau menginginkan sesuatu. Kau akan melemparkan padaku”.
“Hei, kau yang memulainya. Kau ingin menciumku untuk tujuan ilmiah”.
“itu untuk tujuan ilmiah. Ciuaman antar teman karena alasan murni logika”.
“itu ciuman yang sangat friendly, David”.
Senyum malas menghiasi wajahnya. “yeah”.
“tolong nyanyikan sesuatu untukku?”
“Oke”, dia mendengus. “berbaliklah. Kita ada di posisi bercumbu untuk ini”.
Aku meringkuk di belakangnya dan dia beringsut lebih dekat. Bergelung bersama David adalah sesuatu yang luar biasa. Aku tak bisa membayangkan sesuatu yang lebih baik. Sayang nya dia tetap dengan alasan ilmiah. Bukan berarti aku bisa menyalahkannya. Jika aku adalah dia, aku akan mewaspadai diriku sendiri.
Suaranya membelaiku, dalam, serak dengan cara yang terbaik saat menyanyikan balada.
If got this feeling comes and goes
ten broken fingers and one broken nose
Dark water very cold.
I know i'll make it home.
This sorry sun has burned the sky.
She's out of touch and she's very high.
Her bed was made of stone.
I know i'll break her throne.
This aching bones won't hold me up.
My swollen shoes they have had enough.
These smokestacks burn them down.
This ocean let it drown
ketika dia selesai aku diam. Dia mengguncangku, mungkin mengecekku apakah aku masih hidup atau tidak. Aku menggoyangkan lengannya sebagai balasan, tidak berbalik, sehingga dia tidak bisa melihat air mataku di mataku. Kombinasi dari suaranya dan suasana ballad telah mempengaruhiku. Aku selalu mempermalukan diriku di depannya, menangis atau muntah. Kenapa dia mengingikan sesuatu denganku, aku tak mengerti.
“terima kasih”, kataku.
“kapanpun”.
Aku berbaring disana, mencoba menguraikan liriknya. Apa arti dari dia memilih lagu itu untuk dinyanyikan untukku. “apa judulnya?”.
“Homesick. Aku menulisnya di album terakhir”. Dia bangun dengan satu siku,membungkuk untuk memeriksa wajahku. “sialan, aku membuatmu sedih. Maafkan aku”.
“Tidak. Itu indah. Suaramu luar biasa”.
Dia mengerutkan kening, tetapi berbaring kembali, menempelkan dadanya pada punggungku. “aku akan menyanyikan sesuatu yang bahagia lain waktu”.
“jika kau tak keberatan”, aku menekankan bibirku ke punggung tangannya, ke pembuluh darah yang melintas, dan mengusap rambut gelapnya. “David?”.
“Hmm?”.
“kenapa kau tidak bernyanyi di band? Kau memiliki suara yang bagus”.
“aku sebagai back-up. Jimmy menyukai sorot lampu. Itu lebih ke hal-hal kesuakaannya”. Jarinya mengait di jariku. “dia tidak selalu sebajingan sekarang. Aku minta maaf karena dia mengganggumu waktu di LA. Aku bisa saja membunuhnya karena mengatakan kata-kata kasar itu”.
“Tak masalah”.
“Tidak, bukan, dari wajahnya. Dia tak tau apa yang dibicarakannya”. Jempolnya bergerak dengan gelisah di tanganku. “Kau cantik. Kau tak perlu mengubah apapun”.
Aku tak tau harus berkata apa pada awalnya. Jimmy mengatakan berbagai hal yang mengerikan dan itu tetap teringat olehku. Lucu bagaimana hal buruk selalu terjadi.
“Aku memuntahi dan menangis di dirimu. Kau sungguh tak masalah tentang itu?” aku bercanda, akhirnya.
“Ya”, katanya dengan sederhana. “aku menyukai dirimu apa adanya, melontarkan omong kosong apapun yang terlintas di pikiranmu. Tidak mencoba untuk mempermainkanku, atau memanfaatkanku. Kau hanya......bersmaku. Aku menyukaimu”.
Aku berbaring disana tanpa suara sejenak, tercengang. “Terima kasih”.
“Sama-sama. Kapanpun , Evelyn. Kapanpun”.
“aku menyukaimu juga”.
Bibirnya menyentuh bagian belakang leherku, rasa menggigil melesat di kulitku. “benarkah?”.
“iya. Sangat suka”.
“Terima kasih, sayang”.
Butuh waktu lama hingga napasnya terartur. Anggota tubuhnya bertambah berat dan dia diam, tertidur di punggungku. Kakiku kaku karena terkunci dan tertimpa tapi tidak apa. Aku belum pernah tidur dengan siapapun sebelumnya, selain karena episode pembagian tempat tidur dengan Lauren. Rupanya, tidurlah yang akan aku lakukan hari ini.
Sejujurnya, rasanya enak, berbaring di sampingnya.
Rasanya benar.





Kamis, 05 April 2018

Lick Chapter 7a

Leherku rasanya seperti di cabik-cabik . Rasa sakit menusukku seketika bersamaan dengan aku yang perlahan meluruskan leherku dan menghilanhgkan kantuk dari mataku. Aku memijat otot yang keram, dan mencoba untuk melemaskannya. “Ow”.
David melepaskan satu tangan dari roda kemudi dan meraih leherku, memijat bagian belakang leherku denga n jemarinya yang kuat. “kau baik-baik saja?”.
“Yeah. Aku pasti tertidur dengan nyenyak”. Aku beringsut di kursi, mengamati sekeliling kami, berusaha untuk tidak terlalu menikmati pijatan di leherku. Karena tentu saja dia sangat ahli dengan tangannya. Mr Magic Finger, merayu otot-ototku untuk kembali ke semacam keteraturan dengan sedikit usaha. Aku tidak bisa diharapkan untuk menolak. Mustahil. Jadi sebagai hasilnya aku mengerang keras dan membiarkan dia memijatku.
Baru bangun dari tidur adalah satu-satunya alasanku.
Matahari baru saja terbit. Pepohonan yang tinggi dan gelap bergegas terlihat. Mencoba keluar dari LA, kami terjebak dalam kemacetan yang tak pernah dilihat oleh gadis Portland ini. Untuk semua niat baikku, kami tidak benar-benar mengobrol. Kami berhenti dan membeli makanan dan gas. Sepanjang sisa waktu, Johny cash bermain di stereo dan aku berlatih pidato di kepalaku. Tak satupun kata keluar dari mulutku. Untuk beberapa alasan, aku enggan untuk menghentikan petualangan kami dan pergi sendiri. Ini tidak ada hubungannya dengan sudah menjadi gadis dewasa dan betapa nyamannya yang aku mulai merasakan saat bersama dia. Keheningan tidak terasa canggung. Ini damai. Menyegarakan bahkan, mengingat drama kami di hari terakhir. Bersama nya di jalanan yang terbuka.....ada sesuatu yang terasa bebas. Pada pukul dua pagi aku tertidur.
“David , dimana kita?”.
Dia memberiku tatapan lemah, tangannya masih tetap memijat otot-ototku. “yah.....”.
Sebuah rambu terlewati dari luar. “kita akan pergi ke Monterey”.
“Monterey adalah dimana rumahku berada”, katanya. “berhenti tegang”.
“Monterey?”.
“Yeah. Pengalaman apa yang kau punya dengan Monterey, hmmm? Memiliki kenangan buruk saat festival musik”.
“Tidak”, aku mundur, cepat, tidak ingin tampak tidak berterima kasih. “ini cuma mengejutkan. Aku tidak menyadari, uummm...... Monterey. Okay”.
David menghela napas dan menepi dari jalan. Debu-debu berterbangan dan batu-batu menghantam jeep (Mal tidak akan senang). Dia berbalik dan menghadapku, mengistirahatkan siku di atas kursi penumpang, mengurungku.
“Bicaralah padaku, kawan”.
Aku membuka mulutku dan membiarkan semuanya tersampaikan. “aku punya rencana. Aku punya uang untuk dihabiskan. Aku akan pergi ke tempat yang tenang selama beberapa minggu sampai semua ini berakhir. Kau tak perlu menempatkan diri seperti ini. Aku hanya perlu mengambil barang-barangku di mansion dan aku bisa keluar dari rambutmu”.
“Baiklah”, dia mengangguk. “Well, kita sudah disini sekarang dan aku ingin pergi untuk memeriksa tempatku selama beberapa hari. Jadi kenapa kau tidak ikut saja denganku? Hanya sebagai teman. Bukan masalah besar. Sekarang hari jumat, para pengacara bilang mereka akan mengirimkan dokumennya ke kita pada hari senin. Kita akan menandatanganinya. Aku ada manggung di hari kamis di LA. Jika kau mau kau bisa bersantai di rumah itu sampai beberapa minggu sampai semuanya mereda. Terdengar seperti rencana kan? Kita menghabiskan akhir minggu bersama-sama kemudian bercerai. Semuanya terselesaikan”.
Itu terdengar seperti rencana yang matang. Tapi tetap saja, aku memikirkannya sejenak. Rupanya, itu terlalu lama.
“Kau khawatir tentang menghabiskan akhir minggu atau apa? Apakah aku semenakutkan itu?”. Tatapannya menantangku, wajahku kami berjarak satu telapak tangan. Rambut yang gelap jatuh di wajahnya yang sempurna. Untuk sesaat aku hampir lupa untuk bernapas. Aku tidak bergerak. Tak bisa. Diluar sana motor menderu melewati kami kemudian hening kembali.
Apakah dia menakutkan? Pria ini tak mengerti.
“Tidak” , kataku berbohong, dilontarkan dengan pertimbangan yang baik.
Kurasa dia tidak mempercayaiku. “dengar, aku minta maaf karena telah bertindak bajingan waktu di LA”.
“tak apa, sungguh, David. Situasi ini akan membuat kepala semua orang tenggelam”.
“Katakan padaku sesuatu” dia berkata dengan suara rendah, “kau ingat tentang membuat tato. Adakah sesuatu yang lain yang mulai kau ingat?”.
Tersadar dari peristiwa mabukku bukanlah sesuatu yang ingin aku tuju. Tidak dengan dia. Tidak dengan siapapun. Aku sudah mendapat hukuman dengan mendapati hidupku berantakan dan tersebar ke seluruh internet. Menggelikan, tidak menengok ke masalalu sudah di putuskan. Well, terkecuali bagian kursi belakang mobil orang tua Tommy. “apakah ini penting? Maksudku. Bukankah ini sudah terlalu telat untuk membicarakan ini?”.
“Kurasa”, dia kembali ke kursinya dan menaruk tangan kemnali ke roda kemudi. “kau perlu meluruskan kakimu atau sesuatu?”.
“Restroom akan sangat membantu”.
“tak perlu khawatir”.
Kami kembali ke jalanan dan keheningan mengisi selama beberapa menit. Dia mematikan stereo ketila aku tertidur. Keheningan ini aneh sekarang dan itulah keseluruham yang sedang aku lakukan. Rasa bersalah menggerogoti pagi ini. Ini sepertinya tak akan ada perubahan sepanjang hari, tapi yang utama, tanpa setetespu kafein untuk menghidupkanku, ini terasa mengerikan. Dia sudah sangat baik denganku, mencoba untuk bicara dan aku menghentikan dia.
“kebanyakan tentang malam itu masih buram”.
Dia mengangkat beberapa jari dari kemudi dan menggoyangkannya. Itu seperti keseluruhan rangkuman dari respon nya.
Aku menghirup napas dalam-dalam. “aku mengingat minum pada tengah malam. Setelah itu , buram. Aku mengingat suara jarum di tato parlor, kita tertawa, tapi cuma itu. Aku tak pernah tidak mengingat apapun sepanjang hidupku. Ini mengerikan”.
“Yeah”, dia berkata dengan pelan.
“Bagaimana kita bertemu”.
Dia menghembuskan napas dengan keras. “ah, aku dan sekelompok orang akan pergi ke klub lain. Salah satu dari wanita dari kami tidak melihat jalan dan menabrak pelayan cocktail. Tampak nya si pelayan itu baru atau apalah dan dia menjatuhkan nampannya. Untungnya, itu hanya beberapa botol bir kosong”.
“Bagaimana kita bisa terlibat”.
Dia menusukkan tatapan padaku, mengalihkan pandangan dari jalanan untuk sejenak. “beberapa dari mereka mulai memaki-maki si pelayan, dan menyuruh mereka untuk memecatnya. Kau hanya tiba -tiba masuk dan menangani kekurang ajaran mereka”.
“aku?”.
“Oh, yeah”. Dia menjilat bibirnya, ujung mulutnya menekuk. “mengatakan pada mereka bahwa meraka adalah iblis, sok , bajingan kaya yang harus melihat kemana mereka berjalan. Kau membantu gadis itu mengambil botol-botol bir dan kemudian kau menghina teman-temanku lagi. Itu benar-benar klasik, sebenarnya. Aku tak bisa mengingat semua yang kau katakan. Kau menjadi sangat kreatif dalam menghina , akhirnya”.
“Hah, dan kau menyukai ku karena itu”.
Dia menutup mulutnya dan diam saja. Seluruh dunia yang luas ini tak ada apa-apanya. Tak ada sebenarnya yang bisa menutupi daratan ketika kau melakukan terlalu banyak usaha untuk itu.
“apa yang terjadi selanjutnya?” tanyaku.
“security datang untuk melerai. Tidak seperti mereka mau saja beradu dengan anak-anak kaya”.
“tidak. Kurasa tidak”.
“kau terlihat panik jadi aku membawamu keluar dari sana”.
“Kau meninggalkan teman-temanmu untukku?” aku menatapnya dengan kagum.
Dia mengangkat satu bahunya. Seaakan itu semua tidak berarti apa-apa.
“kemudian?”.
“kita pergi dan minum-minum di bar lain”.
“aku terkejut kau tetap terjebak dengan ku”. Lebih mendekati tertegun.
“Mengapa tidak?” tanyannya. “kau memperlakukanku seperti orang normal. Kita hanya berbicara tentang keseharian. Kau tidak memancing untuk mendapatkan sesuatu dariku. Kau tidak bertingkah seakan aku spesies berbeda. Ketika kau melihatku, rasanya,,,,”.
“apa?”.
Dia berdeham. “aku tidak tau. Tak usah dipedulikan”.
“ya benar. Dan baiklah”.
Dia mengerang.
“Please?”.
“Sialan”. Gumamnya, bergerak-gerak di kursi pengemudi dengan sikap tidak nyaman. “Rasanya nyata, oke? Rasanya benar. Aku tak tau lagi bagaimana menjelaskannya”.
Aku duduk diam dengan kagum selama beberapa saat. “itu adalah cara yang baik untuk menjelaskannya”.
Tiba-tiba, dia memutuskan untuk menyeringai. “Plus, aku tidak pernah di lamar dengan cara seperti itu”.
“Yeaaaah. Okay. Hentikan sekarang”. Aku menutupi wajahku dengan tangan dan dia tertawa.
“Santai”. Katanya. “kau sangat manis kok”.
“Manis?”.
“manis bukanlah hal yang buruk”.
Dia membelokkan jeep ke pengisian bahan bakar, berhenti di depan pump. “lihat aku”.
Aku menurunkan jari-jariku.
David menatap balik ke arahku, wajahnya yang tampan tersenyum lebar. “kau berkata bahwa kau rasa aku adalah lelaki yang baik. Dan akan sangat menyenanngkan jika kita bisa ke kamar mu dan have sex dan hang out sebentar, jika mungkin itu adalah sesuatu yang tertarik untuk aku lakukan”.
“Ha. Aku mengatakan itu semua”, aku tertawa. Itu mungkin saja percakapan palinng memalukan dalam hidupku. Tak diragukan, pasti. Oh, tuhan yang baik, pikiran tentang aku merayu David dengan lembut. Dia yang memiliki groupies dan model -model glamor yang melemparkan diri mereka sendiri ke pada David setiap hari. Jika saja ada cukup ruang dalam mobil, aku mungkin akan bersembunyi di bawah sana. “lalu apa yang kau katakan?”.
“Menurutmu apa yang ku katakan?” tanpa mengalihkan tatapannya padaku di membuka kotak sarung tangan dan mengelurkan topi bisbol. “sepertinya toilet ada di samping”.
“ini sangat memalukan. Kenapa kau tida bisa lupa saja”.
Dia hanya menatapku. Seringai itu sudah lama berlalu. Untuk waktu yang lama dia menawanku dengan tatapannya, tanpa senyum. Udara di mobil serasa turun hingga lima puluh derajat.
“aku akan segera kembali”, kataku. Jemariku meraba sabuk pengaman.
“baiklah”.
Aku akhirnya bisa melepas benda tolol ini, jantungku berderap di dalam dadaku. Percakapan itu menjadi semakin berat menjelang akhir. Itu membuatku tidak sadar. Mengetahui dia membelaku di Las vegas, dan dia yang telah memilihku dibandingkan teman-temannya....itu mengubah banyak hal. Dan itu membuatku bertanya-tanya apalagi yang perlu aku ketahui tentang malam itu.
“Tunggu”, dia meraba-raba diantara koleksi kacamata hitamnya, mengelurkan kacamata dengan desain aviator dan menyerahkan padaku. “kau juga terkenal sekarang, ingat?”
“Bokongku”.
Dia hampir tersenyum. Dia memakai topi bisbol di kepalanya dan mengistirahatkan lengannya di atas roda kemudi. Tato namaku ada disana, dengan semua kemuliannya. Terlihat berwarna merah muda di bagian tepi, dan beberapa huruf memiliki bekas luka kecil. Aku bukanlah satu-satunya yang di tandai dengan permanen oleh ini.
“Sampai ketemu sebentar lagi”.
“Baiklah”. Aku membuka pintu dan perlahan keluar dari mobil. Tersandung dan mendarat di pantatku di depan dia harus di hindari dengan segala cara.
Aku melihat ke arah wastafel dan mencuci tanganku. Gadis yang berada di depan cermin kamar mandi melihat dengan mata nyalang dan beberapa lagi. Aku memercikan air ke wajahku dan membenahi sedikit kerusakan di rambutku. Lelucon macam apa ini. Petualangan yanng sedang aku usaha dan usahakan untuk aku kendalikan. Aku, hidupku, semuanya tampaknya dalam perubahan. Itu seharusnya tidak terasa aneh seperti ini.
Ketika aku kembali dia berdiri di dekat jeep, memberi tanda tangan pada beberapa orang, salah satunya sedang memeragakan bermain gitar dengan antusias. David tertawa dan menepuk punggungnya dan mereka berbicara selama beberapa menit. Dia baik hati dan juga ramah. Dia tersenyum, mengobrol dengan mereka sampai dia melihatku berjalanmendekat. “Terimakasih, kwan. Aku berharap kalian bisa merahasiakan ini selama beberapa hari, aku akan menghargainya, Hey? Kami bisa beristirahat dari segala keributan ini.
“Tak perlu khawatir”, salah satu dari mereka berbalik dan tersenyum lebar padaku. “selamat. Kau terlihat jauh lebih cantik ketika di lihat langsung dibanding dalam foto”.
“Thanks”, aku melambaikan tangan pada mereka, tak terlalu mengerti akan apa yang harus ku lakukan.
David mengerling padaku dan membukakan pintu penumpang untuk aku masuk.
Pria yang lain mengeluarkan ponsel dan mulai memfoto. David tak mempedulikan dia dan berlari kecil ke sisi lain kendaraan. Dia tidak berbicara hingga kami kembali ke perjalanan.
“Sudah tidak jauh lagi” katanya. “kita masih tetap pergi ke Monterey?”.
“tentu saja”.
“keren”.
Mendengar David menceritakan tentang pertemuan pertama kami, aku telah mengubah segalanya. Percakapan itu telah membangkitkan keingintahuanku tentang malam itu. Bahwa dia pada fase tertentu telah memilihku malam itu... aku tak pernah memikirkan kemungkinan itu terjadi padaku sebelumnya. Aku berpikir tequila lah yang membuat kami melakukan itu dan entah bagaimana jatuh ke dalam kekacauan ini bersama. Lebih banyak keengganan dari David untuk menjawab beberapa pertanyaan membuatku bertanya-tanya.
Aku menginginkan jawaban. Tapi aku harus melangkah dengan hati-hati.
“Apakah selalu seperti ini untukmu?” tanyaku. “dikenali? Memiliki orang- orang yang mendekat sepanjang waktu?”.
“Mereka baik. Orang gila lah yang mengkhawatirkan, tapi kau bisa mengatasinya. Ini bagian dari pekerjaan ku. Orang-orang menyukai musiknya, jadi....”.
Perasaan buruk merayapiku. “Kau memberitahuku siapa dirimu malam itu, bukan?”,
“Ya, tentu saja” dia menatapku tajam, alisnya menyatu.
Perasaan burukku terserap di gantikan rasa malu. “Maaf”.
“Ev, aku ingin kamu tau apa yang kau hadapi. Kau bilang kau menyukaiku , tapi kau tidak begitu tertarik dengan bandku”, dia memainkan stereo dengan setengah senyum di wajahnya. Segera lagu Rock yang tidak aku kenali diputar dengan tenang di speker. “kau merasa sangat menyesal tentang itu, sebenarnya. Kau terus meminta maaf berulang kali. Berkeras membelikanku burger dan shake untuk menebusnya”.
“aku lebih suka Country”.
“Percayalah, aku tau itu. Dan berhenti meminta maaf. Kau diperbolehkan menyukai apapun yang kau inginkan”.
“apakah itu burger dan shake yang enak?”.
Dia mengangkat satu bahu. “itu biasa -biasa saja”.
“Aku berharap aku ingat”.
Dia mendengus. “itu yang utama”.
Aku tak tau apa yang sebenarnya terjadi padaku. Mungkin aku hanya ingin melihat apakah aku bisa membuatnya tersenyum. Dengan lutut dibawahku , aku menjulur sepanjang seatbelt, mengangkat diriku, dan mencium pipinya dengan cepat. Serangan mendadak. Kulitnya hangar dn halus di bibirku. Pria ini aroma nya jauh lebih baik dari yang diijinkan.
“Untuk apa itu?” tanyannya, menatapku dari sudut matanya.
“Untuk mengeluarkan ku dari Portland dan kemudian dari LA. Karena berbicara tentang malam itu denganku”. Aku menganggkat bahu, mencoba menggoyangkannya. “Untuk banyak hal”.
Sebuah garis kecil munjul diatas garis hidungnya, ketika dia berbicara, suaranya terdengar serak. “baiklah. Tak masalah”.
Mulutnya tetap tertutup dan tangannya menyentuh pipinya, menyentuh dimana kecupanku berada. Wajah berbentuk mengernyit terlihat terus selama beberapa saat. Masing-masing membuatku bertanya-tanya sedikit lagi apakah David Ferris sama takutnya sama halnya denganku. Reaksi ini bahkan lebih baik dari sekedar senyuman.



Minggu, 01 April 2018

Lick Chapter Enam

“Jadi, Tunggu-Tunggu, ini lagu bukan tentang anjingnya yang mati atau semacamnya kan?”
“Lo ga lucu”. Aku tertawa
“beginilah gue” Mal terkikik di ujung sofa karena Tim Mc Graw menerjang hujan di tv layar datar yang menempel di dinding di seberang sana. “Mengapa mereka semua memakai topi besar semacam itu, menurutmu gimana? Aku punya teori”.
“shussh”.
Cara orang ini hidup memporakporandakan pikiran kecilku. Mal, kependekan dari Malcolm, tinggal di sebuah tenpat di pantai yang sebagian besar banguanannya adalah baja dan kaca berlantai tiga. Itu menakjubkan. Tidak terlalu besar seperti rumah yang di perbukitan, tapi juga tetap menakjubkan. Ayahku akan terpesona karena konsep minimalisnya, gari-garis yang tegas atau semacamnya. Aku hanya bersyukur mempunyai seorang teman ketika aku membutuhkan.
Rumah Mal jelas sarang kejahatan bagi bujangan. Aku memiliki gagasan yang kurang jelas tentang membuat makan siang untuk berterima kasih padanya karena telah membawaku kesini, tapi tidak ada satupun bahan makanan dalam rumah. Bir memenuhi lemari es dan ada Vodka di freezer. Oh tidak, rupanya ada sekantong jeruk yang digunakan sebagai irisan saat meminum vodka. Dia mengesampingkan untuk tidak menyentuh itu. Mesin kopi super licinnya bagaimanapun, membuat semuanya tampak benar. Dia bahkan memiliki kacang yang layak. Aku memukau dia dengan beberapa gerakan baristaku. Setelah meminum tiga cangkir dalam kurun waktu satu jam, aku merasa kembali seperti diriku yang lama. Terencana dan berkafein.
Mal memesan Piza dan kami menonton tv hingga tengah malam. Kebanyakan dia mendapatkan kesenangannya dengan mengolok-olok seleraku atas segalanya ; film, musik, dan banyak lagi. Setidaknya dia melakukannya dengan baik -dan alami. Kami tidak bisa pergi keluar karena para fotografer menunggu di pantai. Aku merasa bersalah karena itu tapi dia hanya mengedikkan bahu.
“gimana dengan lagu ini?” dia bertanya, “Kau menyukai ini?”
Miranda Lambert melangkah di layar dengan gaun keren tahun 50-an dan aku menyeringai. “Miranda adalah ratunya”.
“Aku pernah bertemu dia”.
Aku duduk tegak. “serius?”.
Mal terkikik lebih kencang. “Kau terkesan karena aku telah bertemu Miranda Lambert tetapi kau bahkan ga tau siapa aku. Sejujurnya womern, kau sangat keras untuk egoku”.
“aku melihat plakat emas dan platinum di koridor, sobat. Jadi ku rasa lo bisa mengatasinya”.
Dia mendengus.
“kau tau, kau mengingatkan ku akan kakak laki-lakiku”. Aku hampir bisa menenggak tutup botol yang dia lemparkan padaku. Totop botol itu memantul di dahiku. “untuk apa itu tadi?”.
“Tidakkah kau bisa berpura-pura memujaku”.
“Tidak, Maaf”.
Dengan tidak adanya penghormatan akan kecintaanku terhadap Lambert,Mal mulai memindah-mindah chanel. Home shopping, sepak bola, gone with the wind , dan aku. Aku di televisi.
“Tunggu”, kataku.
Dia menggeram. “bukan ide yang bagus”.
Pertama parade foto waktu aku ber sekolah, diikuti dengan aku dan Lauren di pesta prom senior kami. Mereka bahkan memiliki reporter yang berdiri di depan jalan Rubby's, menjabarkan tentang hidupku yang telah di angkat ke status yang luar biasa menjadi istri David. Dan kemudian ada tentang David sendiri di beberapa konser, gitar di tangannya dan dia bernyanyi sebagai backup. Liriknya tipikal tentang wanitaku-kejam. “she is my one, and only, she got me on my knees....” aku penasaran apakah lagu ini dia tulis untukku. Jika begitu, kemungkinannya adalah mereka sangat kecewa. “sial”, aku memeluk erat bantal di dadaku.
Mal membungkuk dan menepuk-nepuk rambutku. “David adalah favorit, sayang. Dia tampan, memainkan gitar, dan menulis lagu. Para gadis pingsan saat dia lewat. Terima itu dengan kau menjadi pengantin muda dan kau mendapat berita seminggu penuh”.
“aku dua puluh satu tahun “.
“dan dia dua puluh enam tahun. Itu perbedaan yang cukup jika mereka memamerkannya dengan tepat”. Mal menghela napas. “Hadapi itu, child bride. Kau menikah di Vegas dinikahkan oleh peniru Elvis ke salah satu putra favorit rock n roll. Dan itu pasti selalu menimbulkan badai sialan. Mengingat juga ada bebarapa omong kosong tentan band ini akhir-akhir ini.... tentang jimmy yang berpesta seperti tahun 1999 dan David yang kehilangan sihir musiknya. Well, kau sudah mendapat gambarannya. Dan minggu depan orang akan melakukan hal yang aneh, dan berita akan beralih darimu”.
“Kurasa begitu”.
“aku tau begitu. Orang-orang selalu mengacau dengan konstan. Itu hal yang luar biasa”. Dia duduk kembali dengan tangan di belakang kepalanya. “ ayolah, senyumlah untuk paman Mal. Aku tau kamu mau”.
Aku tersenyum dengan setengah hati.
“itu senyum bullshitt dan aku malu denganmu. Kau tak akan bisa menipu semua orang dengan begitu. Ulangi lagi”.
Aku mencoba lebih keras, tersenyum hingga pipiku sakit.
“Sial. Kau malah keliatan seperti sedang kesakitan”.
Gedoran dipintu mengintrupsi kegembiraan kami.
Mal mengangkat alisnya ke arahku. “aku bertanya-tanya berapa lama dia akan datang”.
“Apa?” aku membuntutinya ke pintu depan, bersembunyi di balik pembatas berjaga-jaga kalau ada lebih banyak tekanan.
Dia membuka pintu dan David menerobos masuk, wajahnya tegang dan penuh amarah. “Dasar tai. Sebaiknya lo ga menyentuh dia. Dimana dia?”.
“si Child bride sedang sibuk”,Mal memiringkan kepalanya, memandang David dengan dingin. “Kenapa lo peduli?”.
“Ga usah mulai sama gue. Dimana dia?”'
diam-diam Mal menutup pintu, menghadap temannya. Aku ragu-ragu, menununggu di belakang. Baiklah, jadi aku menyelinap seperti pengecut. Terserah.
Mal menyolangkan tangannya. “lo ninggalin dia buat menghadapi Adrian dan tiga pengacaranya sendirian. Lo, temen gue, yang jelas adalah bajingan dalam skenario khusus ini”.
“gue ga tau klo Adrian bakal menemuinya dengan semua itu”.
“Lo ga mau tau”, kata Mal. “bohonglah ke semua orang di luaran sana, Dave. Tapi jangan gue. Dan yang jelas ga ke diri lo sialan”.
“menyingkir”.
“lo butuh petuah hidup yang serius , kawan”.
“siapa lo, Oprah”.
Tertawa sampai terbatuk, Mal terpuruk ke dinding. “Hell, Yeah. Segera aku akan memabagikan mobil, jadi jangan ganti chanel”.
“apa yang dia katakan?”.
“siapa, Oprah?”
David merengut padanya. Dia bahkan tidak memperhatikanku sedang memata-matai. Sungguh disayangkan, bahkan David yang cemberut adalah sesuatu yang langka. Dia melakukan banyak hal padaku. Hal-hal rumit. Jantungku terjerembab di dadaku. Kemarahan dan emosi dalam suaranya tidak boleh menjadi perhatian bagiku. Itu tidak masuk akal, tidak setelah semalam atau pagi ini. Aku harus memproyeksikannya dan menelannya,bahwa aku bahkan ingin dia peduli. Kepalaku tidak masuk akal. Menjauh dari pria ini adalah pilihan teraman dari semua yang ada.
“Dave dia sangat sedih dia bahkan menghantam tonjokan padaku”.
“Bullshit”.
“aku tidak bercanda. Dia bahkan hampir berderai air mata ketika aku menemukan dia”. Kata Mal.
Aku menghantamkan dahiku dalam keheningan di dinding. Kenapa sich Mal harus ngomongin itu?
Suamiku menundukkan kepalanya. “aku tidak bermaksud untuk ini terjadi”.
“tampakanya kau tidak bermaksud untuk semua kekacauan yang terjadi” Mal menggelengkan dan memiringkan kepalanya. “apa kau bahkan bermaksud menikahi dia, kawan? Serius?”.
Wajah David kacau, alisnya membuat kerutan seperti James Dean lagi. “aku tak tau lagi, okay? Fuck, aku pergi ke Vegas karena aku muak dengan semua ini dan aku bertemu dia. Dia berbeda. Dia tampak berbeda malam itu. Aku hanya... aku ingin sesuatu di luar dari semua ketololan sialan itu untuk perubahan”.
“Kasian Davey. Apakah jadi tuhan rock sudah terlalu tua?”.
“dimana dia?”
“aku merasakan kesedihanmu, bro. Sungguh, beneran. Maksudku semua yang kau inginkan adalah gadis yang tak mau mencium bokongmu dan juga gadis yang membuatmu jengkel dengan alasan yang sama. Ini rumit, bukan”
“Fuck you. Ga usah di bahas lagi , Mal. Ini udah kelar”. Suamiku menghela napas. “bagaimanapun juga dia yang menginginkan perceraian ini. Kenapa kau tidak memberinya gelar kehormatan, huh?”.
Dengan napas dramatis. Mal melambaikan tangannya. “karena dia benar-benar sibuk bersembunyi di pojokan, menguping. Aku tak bisa mengganggunya sekarang”.
Tubuh David terdiam dan mata birunya menemukanku. “Evelyn”.
Hah. Terhempas.
Aku berjalan menjauh dari dinding dan mencoba menampilkan wajah bahagia. Tapi tak berhasil. “Hi”.
“Dia mengatakan kalimat itu dengan sangat baik”, Mal berbalik ke arahku dan mengedip. “jadi kau benar-benar meminta perceraian ke pada yang mulia David Ferris?”.
“dia memuntahiku ketika aku mengatakan padanya kami telah menikah”. Suamiku mengadu.
“Apa?” Mal larut dalam tawa, air mata menetes dari matanya. “apakah kau serius? Sialan, ini fantastis. Oh kawan, kuharap aku ada disana”.
Aku memberi David apa yang aku harapakan sebagai tatapan paling kejam di semua ruang dan waktu. Dia balas menatap, tidak terkesan.
“aku muntah di lantai”, aku mengklarifikasi. “aku tidak memuntahi dia”.
“waktu itu”. Kata David.
“Please lanjutkan”. Kata Mal, tertawa lebih keras dibanding sebelumnya. “ini semakin lama semakin baik”.
David tidak melanjutkan.Terima kasih tuhan.
“sungguh, aku sangat menyukai istrimu, man. Dia luar biasa. Bolehkah dia untukku?”
tatapan yang aku dapat dari David jauh dari tatapan kasih sayang. Dengan garis diantara alisnya, itu lebih terlihat kesal. Aku meniupkan dia ciuman. Dia memalingkan muka, tangannya mengepal nyaris seperti menahan diri untuk tidak mencekikku. Perasaan itu sepenuhnya berbalas.
Ah, inilah kebahagian pernikahan.
“Kalian berdua adalah yang terbaik”. Suara berdentang-dentang dari saku Mal dan dia mengeluarkan ponsel. Apapun yang dilihatnya menghentikan tawanya seketika. “Kau tau, kau harus membawa dia ke rumahmu, Dave”.
“kurasa itu bukan ide yang bagus”. Mulut David tertarik lebar dalam ekspresi yang benar-benar menyakitkan.
Aku juga merasa itu bukan ide yang bagus. Syukurlah, aku akan menjalani hidup tanpa menginjakkan kaki dirumah mengerikan itu lagi. Mungkin saja jika aku meminta dengan Mal dengan baik dia akan bersedia mengambilkan barangku. Memaksanya terus menerus tidak menarik, dan aku sudah mulai kehilangan pilihan.
“Whoa”, dengan muka menakutkan. Dia mengulurkan ponselnya ke David.
“Sialan”, David menggumam. Dia menautkan tangannya di belakang lehernya dan menggosok-gosoknya. Tatapan khawatir yang dia tunjukan padaku dari balik alis hitamnya membunyikan alarm di kepalaku. Apapun yang ada di layar itu pastilah sesuatu yang buruk.
Sangat buruk.
“Apa itu?” tanyaku.
“Oh, Kamu, ah.... kau tak perlu khawatir tentang ini”. Tatapan nya jatuh ke ponsel itu lagi dan dia menyerahkan ke Mal. “tempatku akan keren, sebenarnya. Kita harus kesana. Menyenangkan. Yeah “.
“Tidak”. David yang bersikap baik padaku itu pastilah berarti sesuatu itu sangat lah buruk. Aku mengulurkan tanganku, jari-jariku berkedut tidak sabar atau tegang atau sedikit dari keduanya. “Perlihatkan padaku”.
Setelah anggukan enggan dari David, Mal menyerahkan ponselnya.
Tak ada yang meragukan apa itu, bahkan di layar kecil. Ada banyak kulit yang terpapar karena aku telanjang dari pinggang ke bawah. Bokongku yang telannjang terlihat dari atas dan terpusat didalam segala kemuliannya yang pucat dan berlekuk. Apakah mereka menggunakan kamera dengan lensa lebar atau semacamnya? Gaun pestaku telah diangkat ke atas dan aku berdiri, membungkuk di atas meja sementara seorang seniman tato berkerja keras memntato bagian belakangku. Celana dalamku telah di turunkan ke bawah, nyaris menutupi bagian yang basic. Sialan. Bicara tentang posisi yang menjanjikan. Mengambil bagian dalam pemotretan porno jelas bukan bagian dari rencana.
Di ujung lain dari layar, wajah kami berdekatan dan David tersenyum. Huh. Jadi seperti itulah tampangnya ketika tersenyum.
Aku ingat itu, dengungan jarum , dan dia berbicara padaku, memegang tanganku. “kau berpura-pura menggigit jariku. Dan seniman tato itu marah karena kita mengacau”.
David mengusurkan dagunya. “Ya, kau seharusnya tetap diam”.
Aku mengangguk, mencoba mengingat lebih banyak lagi, tapi tampak kosong.
Oramg-oramg akan melihat gambar ini. Orang-orang telah melihatnya. Orang yang aku kenal dan juga orang asing. Seseorang dan setiap orang. Kepalaku berputar dengan pening sama seperti waktu itu. Hanya saja alkohol tidak bersalah kali ini.
“Bagaimana mereka mendapatkannya?” aku bertanya, ragu-ragu dan jantungku berada di jempol kakiku. Atau mungkin hanya itulah yang tersisa dari harga diriku yang comapang -camping.
David menatapku sedih. “Aku tidak tau. Kita berada di ruangan privat. Ini seharusnya tidak terjadi tetapi orang-orang ditawari banyak uang untuk hal semacam ini”.
Aku mengangguk dan menyerahkan ponsel kembali ke Mal. Tanganku bergetar. “beiklah. Yah....”.
Mereka berdua hanya menatapku , wajah tegang, menunggu ku menangis atau semacamnya. Tidak akan terjadi.
“Tak apa”. Aku melakukan hal terbaik untuk mempercayai kata-kataku.
“Tentu saja” kata Mal.
David memasukan tangannya ke sakunya. “bahkan itu bukan gambar yang jelas”.
“Tidak, benar”. Aku setuju. Rasa iba di matanya lebih dari yang bisa aku tanggung. “permisi sebentar”.
Untungnya, kamar mandi terdekat hanya berjarak sedikit saja. Aku mengunci pintu dan duduk di tepi jacuzzi, berusaha memperlambat napasku, berusaha tenang. Tak ada yang bisa aku lakukan. Foto itu sudah ada di luar sana. Ini bukanlah kematian ataupun putusan. Itu adalah gambaran tolol diriku yang berpose mengundang yang menunjukan lebih banyak kulit daripada yang aku kehendaki, tapi itu memang begitu. Masalah besar. Terima dan lanjutkan. Terlepas dari kenyataan bahwa semua orang yang aku kenal kemungkinan akan melihatnya. Hal-hal buruk telah terjadi dalam sejarah dunia. Aku hanya perlu menetapkannya dalam konteks dan tetap tenang.
“Ev?” David mengetuk pintu dengan ringan. “Apakah kau baik-baik saja”.
“Yep”. Tidak. Tidak begitu baik.
“ijinkan aku masuk?”
aku menatap pintu dengan tatapan kesakitan,
“Please”.
Perlahan, aku berdiri dan menjentikan kunci. David meringsek masuk dan menutup pintu di belakangnya. Tak ada kuncitan ekor kuda kali ini. Rambut panjangnya terurai, membingkai wajahnya. Dia memiliki tiga anting emas di telingannya bermain cilukba dibelakang rambutnya. Aku menatap antingnya karena aku tak sanggup menatap matanya. Aku tidak akan menangis. Sialan apa coba yang salah dengan mataku akhir-akhir ini? Membiarkan dia masuk adalah sebuah ketololan.
Dengan cemberutan yang dalam dia menatap ke bawah ke arahku. “maafkan aku”.
“Ini bukan salahmu”.
“Yeah, ini salahku. Harusnya aku lebih baik lagi dalam menjagamu”.
“Tidak, David”, aku menelan dengan susah payah. “kita berdua mabuk. Tuhan , ini begitu mengerikan, amat sangatr memalukan”.
Dia hanya menatapku.
“Maaf”.
“Hey, kau diizinkan untuk bersedih. Ini adalah momen pribadi. seharusnyaTak ada apapun diluar sana.
“Tidak” aku setuju. “aku.... sebenarnya, aku ingin sendirian beberapa menit”.
Dia membuat suara menggeram dan tiba-tiba lengannya sudah memelukku, dan dia menarikku menempel padanya. Dia menangkapku tanpa perlindungan dan aku terhuyung, hidungku menabrak dadanya. Ini sakit. Tapi dia beraroma enak. Bersih, lelaki dan wangi. Familiar. Beberapa bagian diriku mengingat bahwa aku pernah sedekat ini dengannya dan ini menenangkan. Sesuatu dalam pikiranku berkata 'aman'. Tapi aku tak bisa mengingat bagaimana dan mengapa.
Sebuah tangan menepel di atas punggungku.
“maaf” katanya. “aku sungguh minta maaf”.
Kebaikannya terlalu banyak. Air mata tolol merembes. “aku bahkan sulit untuk memperlihatkan bokongku ke orang-orang dan sekaramg malah sudah ada di seluruh internet”.
Dia menyandarkan kepalanya di atas kepalaku,meranggkul erat saat aku merogoh masuk ke dalam kaosnya. Memiliki sesorang untuk dijadikan pegangan. Aku akan baik-baik saja. Jauh di lubuk hatiku, aku tau itu akan terjadi. Tapi saat ini aku tak bisa melihat jalanku dengan jelas. Berdiri disana dengan lengannya di tubuhku terasa benar.
Aku tidak tau kapan kami mulai berayun. David mengayunkan dari sisi ke sisi seolah kami sedang menari dengan lagu yang lambat. Godaan yang luar biasa untukku untuk tetap seperti ini dengan wajahku menekan bajunya itu adalah yang membuatku melangkah mundur, aku manarik diriku. Tangannya melekat ringan di pinggulku, jkoneksi yang tidak sedikitpun putus.
“Thanks”.
“tak apa”, di bagian depan koasnya terdapat cetakan lembab, bakasku.
“bajumu basah semua”.
Dia mengangkat bahu.
Aku tipe jelek sangat menangis. Dan itu adalah anugrahku. Cermin menegaskannya, mata semerah mata setan dan pipi bakpau merah jambu yang memerah. Dengan senyum canggung aku melangkah menjauh darinya dan tangannya jatuh kembali ke sisi tubuhnya. Aku membasuh wajahku dengan air dan mengeringkannya dengan handuk sementara dia berdiri diam, mengerutkan kening.
“ayo kita pergi berkendara”. Katanya.
“Sungguh?” aku memberinya tatapan ragu . David dan aku? Mengingat situasi pernikahan dan perjumpaan kami sebelumnya , tampaknya itu bukanlah rencana yang bijaksana.
“Ya”, dia menggosok-gosokkan telapak tangannya, tampak bersemangat. “hanya kau dan aku. Kita akan keluar dari sini untuk sementara waktu”.
“David, seperti yang kau katakan diluar sana, kurasa itu bukan ide yang bagus”.
“Kamu ingin tinggal di LA?” Dia mendengus.
“Dengar, kau benar-benar manis sejak melangkah dari pintu itu. Yah, selain bagian menceritakan pada Mal bahwa aku memuntahimu. Itu tidak berguna. Tapi dalam dua puluh empat jam sebelumnya, kau mencampakkan ku sendirian di dalam sebuah ruangan, menuduhku mencoba untuk merayu saudaramu dan menyodorkan sekumpulan pengacaramu padaku”.
Dia diam saja.
“bukannya juga kau yang pergi dengan penggemarmu bagian dari masalahku. Tentu saja”.
Dia berbalik, dan melangkah ke ujung lain kamar mandi, gerakannya kencang, marah. Walaupun kamar mandi ini ukurannya lima kali lebih besar dari sebelumnya, ini tetap saja tidak menyisahkan cukup banyak ruang untuk pertunjukan seperti ini. Dan dia berada diantaraku dan pintu. Karena keluar tiba-tiba tampaknya adalah gerakan yang pintar.
“aku hanya meminta pada mereka untuk mengatur beberapa dokumen”, katanya.
“dan mereka melakukannya”. Aku meletakkan tanganku di pinggulku, berdiri tegak. “aku tak menginginkan uangmu”.
“aku mendengarmya”. Wajahnya benar-benar kosong. Pernyataan ku tidak menimbulkan rasa tidak percaya ataupun wajah mengejek yang cocok untuk penggangu. Beruntung baginya. Aku yakin dia tidak percaya, tapi setidaknya dia mau berpura-pura. “mereka sedang menyusun dokumen baru”.
“bagus” a ku menatapnya. “kau tak perlu membayarku. Jangan membuat asumsi seperti itu. Jika kau ingin tau sesuatu, tanyakan. Dan aku tak akan pernah menjual ceritamu pada pers. Aku tak akan melakukan itu”.
“Okay”, dia merosot di dinding, dan menyandarkan kepalanya untuk tatapan kosong. “Maaf”, katanya pada langit-langit. Aku yakin tukang plaster sangat menghargainya.
Ketika aku tidak bereaksi, tatapannya akhirnya beralih padaku. Itu harusnya salah atau tidak bermoral, untuk terlihat sangat tampan. Orang normal tidak akan bertahan. Jantungku menyelam setiap kali aku melihatnya. Bukan, menyelam tidak bisa menggambarkan itu. Jantungku tenggelam.
Dimana Lauren yang akan memberitahuku bahwa aku melodramatis ketika aku membutuhkan dia?
“aku minta maaf, Ev” ulangnya “aku tau dua puluh empat jam terakhir adalah omong kosong. Menawarkan keluar dari sini adalah caraku untuk membuat segalanya lebih baik”.
“Terima kasih”kataku. “dan untuk datang kesini untuk mengecekku”.
“Tidak masalah”.dia menatapku, matanya tanpa perlindungan untuk sebentar. Dan kejujuran dalam pandangannnya mengubah banyak hal untukku,kilatan singkat sesuatu yang lebih. Kesedihan atau kesepian, aku tak tau. Semacam kelelahan ada disana dan menghilang sebelum aku bisa mengerti. Tapi itu meninggalkan jejak.ada sesuatu yang lebih besar selain wajah tampan dan nama besar. Aku perlu mengingat itu dan tidak membuat asumsi sendiri.
“kau benar-banar ingin pergi?” tanyaku “sungguh?”.
Matanya cerah karena senang. “kenapa tidak?”.
Aku memberinya senyum hati-hati.
“Kita bisa membicarakan apapun yang kita butuhkan, hanya kau dan aku. Aku perlu melakukan beberapa telepon kemudian kita akan pergi, oke?”
“Terima kasih. Dengan senang hati”.
Dengan mengangguk , dia membuka pintu dan melangkah keluar. Dia dan Mal berbicara diam-diam tentang sesuatu di ruang duduk. Aku mengambil kesempatan untuk mencuci muka sekali lagi dan menyisir rambutku untuk keberuntungan.saatnya aku mengambil kendali. Sebenarnya, itu sudah terlambat. Apa yang telah aku lakukan, terpental dari satu bencana ke bencana berikutnya? Itu bukanlah diriku. Aku suka memegang kendali, memiliki rencana. Saat nya berhenti untuk mengkhawatirkan apa yang tidak bisa aku ubah dan mengambil tindakan tegas dari apa yang aku bisa. Aku memiliki uang yang di tabung. Suatu saat mobil malangku akan mati dan aku harus merencanakannya. Karena sekali musim dingin tiba, dan segalanya menjadi dingin, abu-abu dan vasah, berjalan tidak akan terlalu menari. Pemikiran untuk mengunakan tabunganku tidak membuatku puas dengan kegembiraaan, tapi hanyalah penanggulangan bencana dan semua itu.
Pengacara David akan menyusun dokumen minus uang dan aku akan menandtanganinya. Tidak ada gunanya mengkhawatirkan tentang hal itu. Bagaimanapun, keluar dari mata publik selama beberapa minggu adalah diluar kemampuanku. Aku hanya perlu berhenti dan berpikir daripada bereaksi. Aku adalah gadis dewasa dan aku bisa mengurus diriku sendiri. Aku akan pergi untuk berkendara bersamanya, memilah-milah hal dasar, dan pergi, pertama -tama adalah pergi liburan sembunyi-sembunyi lalu kembali ke kehidupanku yang apik dan teratur tanpa intervensi bintang Rock.
Benar.
“Beri aku kunci Jeep”, kata David, berhadapan dengan Mal di ruang duduk.
Mal meringis. “aku bercanda tentang memberikan mobil”.
“Ayolah. Berhentilah mengomel. Aku mengendarai motor dan aku tidak punya helm untuknya”.
“baiklah” dengan wajah masam Mal menjatuhkan kunci mobilnya ke tangan David yang terulur. “Tapi hanya karena aku menyukai istrimu. Jangan sampai tergores, kau dengar”.
“Ya,ya”. David berbalik dan melihatku. Sebuah senyuman meringkuk di bibirnya.
Kecuali pada hari pertama di lantai kamar mandi, aku tak pernah melihatnya tersenyum, bahkan tak pernah melihat yang mendekati senyuman. Jejak senyum itu membuatku semangat dari dalam. Lututku bergetar. Ini tak mungkin normal. Seharusnya aku tak merasa hangat dan bahagia hanya karena dia. Aku tak boleh memiliki perasaan apapun untuknya sama sekali. Tidak jika aku ingin keluar dari sini dalam keadaan utuh.
“Terima kasih sudah menemaniku hari ini, Mal” kataku.
“kehormatan ini milikku”. Dia tersenyum. “Yakin kau ingin pergi dengannnya, Child bride? Si kotoran kerbau yang membuatmu menangis. Akulah yang membuatmu tertawa”.
Senyum David menghilang dan dia melangkah ke sisiku. Tangannya menempel dengan ringan di panggkal tulang belakangku, hangat bahkan melewati lapisan pakainku. “Kami keluar dari sini”.
Mal menyeringai dan mengedipkan mata padaku.
“Kemana kita akan pergi?” aku bertanya pada David.
“Apakah itu penting? Ayo kita berkendara saja”.




STUCK UP SUIT Chapter 8

GRAHAM AKU TIDAK MENDENGAR KABAR NYA SEPANJANG HARI di hari sabtu, dan tidak seperti yang aku harapkan juga. Soraya Venedetta san...