Rabu, 27 Desember 2017

Bound by Honnor BY Corra reyli Chapter 8

Aku sudah selesai mengenakan Maxi dress musim panas berwarna Orange dengan sabuk berwarna emas sebagai aksen di pinggangku ketika Luca melangkah keluar dari kamar mandi tanpa apapun kecuali handuk. Aku duduk i kursi di depan meja riasku , memakai make up , tapi membeku saat sikat maskara tinggal satu inchi lagi dari mataku ketika aku melihat Luca . Dia berjalan ke lemari pakaian dan mengambil celana hitam serta kemeja putih lalu dia menjatuhkan handuknya tanpa rasa malu . Aku tidak cukup cepat mengalihkan pandanganku dan aku dihadiahi pemandangan bagian belakang tubuhnya yang kokoh. Aku menundukan pandanganku dan menyibukkan diri memeriksa kuku-kuku ku sampai aku berani untuk menghadap ke kaca lagi dan mengenakan maskara.

Luca mengancingkan kemejanya, dan membiarkan dua kancing bagian atas tetap terbuka. Dia mengikatkan pisau di lengan bagian bawahnya lalu menggulung lengan kemeja nya hingga menutupi pisau, lalu melekatkan sarung pistol melingkar di betisnya. Aku berbalik “ apakah kau pernah berpergian tanpa membawa senjata?” tak ada sarung pistol di dadanya kali ini karena senjata- senjata itu tak bisa disembunyikan dengan baik hanya dengan kemeja putih.

“tidak jika aku bisa menghindari itu”. Dia menganggap ku. “apakah kau tau cara menembak atau menggunakan pisau?”

“Tidak. Ayahku berpikir bahwa wanita tak seharusnya diikutkan dalam pertarungan”.

“Terkadang pertarunganlah yang mendatangimu. The Bravta dan The Triad tidak membedakan antara wanita dan pria”.

“Jadi kau tak pernah membunuh wanita?”

Ekspresinya mengeras. “aku tak mengatakan itu”. Aku menunggu dia untuk menjelaskan tapi dia tak melakukannya. Mungkin itu adalah yang terbaik.

Aku berdiri, merapihkan gaunku , merasa gugup karena akan menemui ayahku dan Salvatore Vitiello setelah malam pernikahan. “Pilihan yang bagus”. Kata Luca. “Gaun itu menutupi kaki mu”.
“Seseorang bisa saja mengangkat rokku dan memeriksa pahaku”.

Aku tidak memaksudkannya sebagai candaan tapi bibir Luca tertarik menggeram. “Seseorang mencoba menyentuhmu, maka mereka akan kehilangan tangan mereka”.

Aku tak mengatakan apapun. Rasa proktektif nya membuatku merinding dan juga takut secara bersamaan. Dia menungguku di pintu dan aku mendekatinya dengan ragu-ragu. Kata-katanya di kamar mandi masih berdengung di telingaku. Menggeliat dalam kenikmatan. Aku bahkan tak yakin aku akan merasa cukup santai didekatnya untuk bisa mendapati kenikmatan. Gianna benar. Aku tak bisa mempercayainya dengan mudah. Dia bisa saja memanipulasiku.

Dia meletakkan tangannya di punggung bagian bawahku saat kami berjalan keluar. Saat kami berada di anak tangga paling atas, aku hampir bisa mendengar semua percakapan dan beberapa tamu tersebar berbincang-bincang dalam grup-grup kecil di hall pintu masuk yang besar.

Aku membeku. “apakah mereka masih saja melihat seprei berdarah itu?” aku berbisik, terkejut.

Luca menyipit ke arahku, menyeringai. “kebanyakan dari mereka, terutama wanita. Para pria mengharapkan rincian-rincian kotor , yang lainnya berharap untuk membicarakan bisnis, meminta bantuan, meraih sisi dermawanku”. Dia dengan lembut mendorongku kedepan dan kami berjalan menuruni tangga.

Romero menunggu di kaki tangga , rambut coklat nya berantakan. Dia menganggukan kepalanya kepada Luca, dan memberiku senyum menawan. “Apa kabarmu?” dia bertanya padaku, meringis, dan ujung telinganya memerah.

Luca terkekeh. Aku tak mengenal pria lain di hall ini, tapi semuanya memberikan Luca kedipan dan seringai lebar. Rasa malu menyergap leherku. Aku tau apa yang mereka semua pikirkan , dan aku seperti bisa merasakan mereka sedang menelanjangiku dengan mata mereka. Aku bergeser mendekat ke Luca dan dia mengaitkan jemarinya di pinggangku.

“Matteo dan seluruh keluargamu berada di ruang makan”.

“Menyelidiki sprei?”

“seakan mereka bisa membanca nya seperti daun teh”. Romero membenarkan,kemudian memberiku tatapan penyesalan. Dia tampaknya tak memcurigai apapun.

Kemarilah”, ujar Luca, mengiringku ke arah pintu ganda. Pada momen kami melangkah masuk ke ruang makan, setiap pasang mata mengarah padaku. Para perempuan dari keluarga berkumpul di satu sisi ruangan, dipisahkan dalam kelompok-kelompok kecil, sementara para pria duduk di seputar meja makan panjang , yang mana di penuhi dengan Ciabatta, buah anggur,ham, mortadella,keju, piring-piring buah dan biscoti. Aku menyadari aku sedikit lapar . Waktu sudah menunjukan mendekati jam makan siang, Matteo menyelinap di samping Luca dan aku , dengan secangkir ekspreso ditangannya.

“Kau terlihat berantakan”. Ujar Luca.

Matteo mengangguk. “ekspero ke sepuluhkun dan aku masih tetap belum bangun. Minum terlalu banyak semalam”.

“Kau keterlaluan”, Ujar Luca. “jika kau bukan adikku aku pasti sudah memotong lidahmu untuk tiap kata-kata yang kau lemparkan ke Aria”.

Matteo menyeringai ke arahku. “kuharap Luca tidak melakukan setengah dari apa yang telah aku sarankan”.

Aku tak yakin akan apa yang harus ku katakan pada Matteo. Matteo masih membuatku gugup. Dia bertukar tatapan dengan Luca, yang menggerakan jempolnya disisi tubuhku, dan membuatku melompat”.

“cukup mendekati karya seni atas apa yang kalian pertunjukan pada kami”, Matteo berkata dengan menoleh ke bagian belakang ruangan dimana sprei digantungkan diatas rak jaket untuk pameran yang lebih baik.

Aku menegang. Apa maksud Matteo?

Tapi Luca tidak terlihat khawatir, malahan dia menelengkan kepalanya. Salvatore Vittielo dan ayahku melambaikan tangan mereka untuk meminta kami bergabung bersama mereka dan akan jadi tidak sopan jika kami membiarkan mereka menunggu lebih lama lagi. Ayah berdiri ketika kami sampai di meja mereka dan menarikku kepelukannya. Aku terkejut dengan pertunjukan kasih sayang yang terbuka ini. Dia menyentuh bagian belakang kepalaku dan berbisik “aku bangga padamu”.

Aku memberinya senyum terpaksa ketika kami memisahkan diri. Bangga akan apa? Karena kehilangan keperawanan ku? Karena melebarkan kakiku?

Salvatore meletakkan tangannya di bahuku dan Luca, dan memberi kami senyuman. “ aku berharap kita dapat mengharapkan Vittielo kecil segera”.

Aku berusaha untuk tidak menunjukan rasa terkejutku. Tidakkah Luca menyebutkan bahwa aku menggunakan pencegah kehamilan?.

Aku ingin menikmati kebersamaan dengan Aria sedikit lebih lama. Dan dengan The Bravta yang semakin dekat , aku tak ingin memiliki anak yang perlu aku khawatirkan”. Luca berkata dengan lugas. Tak ada kata yang bisa menggambarkan betapa leganya aku karena kata-kata Luca. Aku sungguh belum siap untuk mempunyai anak. Terlalu banyak perubahan yang dilemparkan dalam hidupku tanpa harus dengan tambahan seorang bayi.

Ayahnya mengangguk. “ya, ya, tentu saja bisa dimaklumi”.

Setelah percakapan tentang The bravta dilontarkan aku langsung dilupakan. Aku keluar dari rangkulan Luca dan berjalan ke arah para wanita. Gianna menemuiku di tengah jalan. “Menjijikan”. Dia begumam dengan sebal ke arah sprei.

“Aku tau”.

aku melihat-lihat ke sekeliling dan aku tak bisa menemukan Fabiano dan juga Lily. “Dimana---?”

“Di lantai atas bersama Umberto. Ibu tak mau mereka disana ketika sprei diselidiki”. Dia bersandar secara konspiratif. “aku sangat senang akhirnya kau disini. Para wanita itu sedang berbagi cerita tentang sprei berdarah mereka selama berjam-jam. Apa coba yang yang salah denngan New York Familia ini? Jika aku mendengar sepatah kata saja tentang itu, aku benar-benar akan memberi mereka mandi darah yang sesungguhnya”.

“sekarang karena aku sudah disini, aku ragu mereka akan membicarakan tentang apapun selain sprei berdarah disana” aku bergumam. Dan aku benar. Hampir tiap wanita merasa perlu memelukku dan menawarkan ku kata-kata nasihat yang justru membuatku gugup. Semua akan jadi lebih baik. Terkadang itu sedikit tidak nyaman untuk wanita. Dan yang terbaik : percaya padaku butuh waktu satu tahun untuk kau menikmatinya.

Ibu tetap menjaga jarak. Aku tak yakin mengapa. Valentina tidak mengatakan apapun saat dia merangkulkan lengannya di tubuhku, hanya menyentukan telapak tangannya ke pipiku dan tersenyum, sebelum melangkah mundur memberi jalan untuk wanita lainnya. Ibu berdiri dengan tangan yang bertaut didepan tubuhnya, rasa tak terima terpampang di wajahnya. Aku bersyukur dia tidak menceritakan malam pernikahan nya dengan ayah. Aku melangkah ke hadapannya dan merangkulnya dalam pelukan erat. Seperti ayahku dia bukan tipe orang yang menujukan kasih sayang tapi aku senang dengan kedekatanya. “aku berharap aku bisa melindungimu dari semua ini”. Dia berbisik sebelum dia menarik diri . Ada kilasan rasa bersalah diwajahnya. Apa yang telah dia lakukan? Ayah tak akan membiarkan dia membicarakan tentang kesepakatan ini.

“Luca tak bisa berhenti memandangimu. Kau pastinya meninggalkan sedikit kesan padanya”. Ujar Ibu tiri Luca dengan menggoda.

Aku berbalik menghadap ibu tiri Luca dan tersenyum sopan. Luca kemungkinan hanya ingin memastikan aku tidak keceplosan mengatakan rahasia kami. Dari ujung mataku , aku melihat pintu belakang terbuka dan Lily menyelinap masuk, diikuti Fabiano. Mereka tampaknya memanfaatkan kesempatan saat Umberto izin ke Toilet untuk kabur. Gianna terkejut saat Adik laki-laki kami berhenti di depan sprei.

Aku mohon diri dan berjalan mendekati mereka bersama Gianna dengan berjinjit. Ibuku terjebak dalam percakapan yang terlalu sopan dengan ibu Luca.

“Apa yang sedang kau lakukan disini, Monster kecil?” Gianna bertanya, memegang bahu Fabiano.

“Kenapa ada darah di sprei?” dia setengah berteriak. “apakah ada seseorang yang terbunuh?”.

Gianna meledak dalam tawa saat Lily terlihat sangat terpukul dengan pemandangan sprei itu. Aku rasa itu sudah memecahkan gelembung angan-angannya tentang pangeran dalam dongeng serta bercinta dibawah bintang-bintang. Para pria yang berada di meja di belakang kami juga mulai ikut tertawa, dan Wajah Fabiano dipenuhi amarah. Walaupun dia baru berumur 8 tahun, dia sudah memiliki tepramen. Aku berharap dia segera tenang, atau dia akan mengalami masalah saat dia sudah diinisiasi. Gianna mengacak Rambut Fabiano.

“apakah kau akan pergi ke New York dengan Luca?” Fabiano bertanya dengan tiba- tiba.

Aku menggigit bibirku. “Yeah”.

“Tapi aku ingin kau pulang ke rumah bersama kami”.

Aku berkedip, mencoba menyembunyikan kesedihanku mendengar dia mengatakan itu. “aku tau”.

Lily mengalihkan pandangannya dari sprei itu untuk sesaat. “akankah kau pergi berbulan madu?”

“Tidak sekarang. The Russian dan The Taiwanese sedang memberi Luca banyak masalah”.

Fabiano mengangguk seakan dia mengerti., dan mungkin memang iya. Di setiap tahun hidupnya dia belajar lebih banyak akan dunia gelap yang kami tinggali.

“Berhenti memandangi sprei itu”. Gianna berkata dalam suara pelan, tapi tampaknya lily terlaluterbawa kedalam pemandangan itu.

Wajahnya memucat. “kurasa aku akan muntah”. Aku aku mengalungkan tangannku di bahunya dan membimbingnya keluar. Dia gemetar didalam peganganku.

“Tahan,” perintahku saat kami sudah setengah jalan keluar ruangan, mata setiap orang mengikuti kami. Kami terseok-seok di Hall. “Dimana kamar mandi?” Mansion ini memiliki terlalu banyak ruangan.

Romero mengantarkan kami ke ruangan di ujung hall dan membuka pintu, dan menutupnya ketika kami sudah di dalam. Aku memegangi rambut lily saat dia muntah di toilet, dan membantunya duduik di lantai. Aku mengelap wajahnya dengan handuk panas dan sedikit sabun.

“Letakkan kepalamu diantara lututmu”. Aku berjongkok di depannya. “apa yang terjadi?”.

Dia sedikit mengangkat bahu.

“aku akan membawakan teh untukmu”. Aku menegakkan tubuh.

“Jangan biarkan Romero melihatku seperti ini”.
“Romero tidak akan.....”aku terdiam. Lily jelas naksir Romero. Itu sia-sia, tapi setidaknya aku bisa membiarkan fantasi kecilnya itu, saat gambaran akan sprei itu sudah membuatnya terpukul. “aku akan membuatnya menjaga jarak”. Aku berjanji dan keluar dari ruangan.

Romero dan Luca berdiri di depan ruangan.

“apakah adikmu baik-baik saja?” Luca bertanya. Apakah dia benar-benar peduli atau dia hanya basa basi.

“Seprei itu membuatnya mual”.

Ekspresi Romero menggelap . Mereka harusnya tidak mengijinkan gadis muda menyaksikan sesuatu seperti itu. Itu hanya membuat mereka takut”. Dia melirik ke arah Luca seolah sudah menangkap dirinya sendiri. Tapi Luca melambaikan tangan tanpa ekspresi. “Kau benar”.

“Lily butuh teh”.

“aku bisa mengambilkan untuknya dan menemaninya sehingga kalian bisa kembali pada tamu-tamu” saran Romero.

Aku tersenyum. “kau baik sekali, tapi Lily tak ingin kau melihat dia”.

Romero cemberut. “apakah dia takut padaku?”

“kau terdengar seakan hal itu tidak mungkin” aku berkata dengan tawa. “kau adalah prajurit mafia. Jadi bagaimana tidak ditakuti?” aku memutuskan untuk tidak bermain-main dengan dia lagi dan memelankan suaraku. “tapi bukan karena itu. Lily amat sangat naksir padamu dan dia aak ingin kau melihatnya dalam keadaan seperti ini”. Begitulah, dan aku juga tak ingin satupun prajurit Luca dekat dengan Lily sebelum aku mengenal mereka lebih baik.

Luca menyeringai. “Romero, pesonamu masih ampuh. Menaklukan hati gadis berumur empat belas tahun”. Kemudian dia mengalihkan perhatiannya padaku. “tapi kita harus kembali. Para wanita akan merasa tersinggung jika kau tidak memberi perhatian pada mereka”.

“aku akan megurus Lily” kata Gianna, muncul dari arah Hall bersama Fabiano.

Aku tersenyum. “Thanks”. Kataku dan mengelus tangannya saat kami berpapasan. Pada saat kami kembali ke ruang makan , para wanita berkerumun disekitarku lagi, mencoba mencari tau beberapa detail dariku. Aku berpura -pura malu membicarakan tentang hal itu- dan yang memag sedang kualami- dan hanya memberi mereke jawaban ambigu. Para tamu mulai pergi, dan aku tau sebentar lagi adalah waktu untuk berpisah dengan keluargaku dan pergi menuju kehidupan baruku.



Fabiano menekan wajahnya di rusukku hingga hampir terasa sakit dan aku menjambak rambutnya, merasakan dia gemetar. Ayah mengamati dengan cemberut tanda tak terima. Dia mengajarkan kepada Fabiano bahwa dia sudah terlalu tua untuk menampakkan emosi seperti itu, seakan bocah laki-laki itu tidak boleh sedih. Mereka harus segera pergi ke bandara. Ayah harus kembali ke Chicago untuk menjalankan bisnis seperti biasa. Aku berharap mereka bisa tinggal lebih lama lagi, tapi aku dan Luca pun harus pergi ke New York hari ini.

Fabiano mendengus, kemudia menari diri dan mendongak ke atas memandangku. Air mata menekan mataku tapi aku menahannya. Jika aku mulai menangis sekarang maka akan tersasa lebih sulit untuk semua orang, khususnya Gianna dan Lily. Mereka berdua menunggu beberapa langkah di belakang fabiano, menanti giliran mereka untuk berpamitan. Ayah sudah berdiri di samping mobil Mercedes sewaan, dan tidak sabar untuk pergi.

“aku akan mengunjungimu segera”. Aku berjanji dan tak yakin kapan itu akan dipenuhi. Natal ? Masih empat bulan lagi. Pikiran itu menetap seperti batu yang berat di perutku.

“kapan?”Fabiano mencebikkan bibir bawahnya.
“Segera”
“kita tak bisa berlama-lama. Pesawat akan pergi meninggalkan kita”. Ayah berkata dengan tajam “ kemari. Fabiano”.

Dengan tatapan kerinduan terakhir padaku, Fabiano menghampiri ayah yang langsung memarahinya. Jantungku terasa sangat berat, aku tidak yakin bagaimana jantungku bisa tetap tinggal di dadaku tanpa menhancurkan tukang rusukku. Luca berhenti dibelakang Mercedes dengan Aston Martin Vanquish berwarna abu-abu metalik lalu keluar, tapi perhatianku beralih ke Lily yang melemparkan lengannya melingkari tubuhku , dan sesaat kemuadian Gianna bergabung dalam pelukan ini. Saudara perempuanku, sahabat terbaikku, orang kepercayaanku, dan duniaku.

Aku tak bisa menahan airmataku lagi. Aku tak pernah ingin membiarkan mereka pergi. Aku ingin membawa mereka ke New York. Mereka bisa tinggal di Apartemen kami atau bahkan bisa memiliki apartemen mereka sendiri. Setidaknya aku akan memiliki orang yang aku cintai dan mencintaiku balik.

“Aku akan sangat merindukanmu”. Lily berbisik diantara isak tangisnya. Gianna tidak mengatakan apapun. Dia hanya menempelkan wajahnya di lekuk leherku dan menangis. Gianna ku yang kuat dan impulsif. Aku tak yakin berapa lama kami berpelukan, dan aku tak peduli berapa banyak yang melihat pertunjukan kelemahan ini. Biarkan mereka melihat arti dari cinta sejati. Kebanyakan dari mereka tidak pernah merasakannya.

“Kita harus pergi”, panggil ayahku. Kerikil berderak.

Aku mengangkat wajahku. Ibu menghampiri kami, menyentuh pipiku sejenak, lalu meraih lengan Lily dan membawanya menjauh dariku. Bagian lain dari diriku hilang, gianna tidak melonggarkan pegangan sekuat besinya padaku.

“Gianna!” suara ayah terdengar seperti cambuk.

Dia mengangkat kepalanya, matanya memerah, bintik-bintik wajahnya semakin terlihat. Kami saling mengunci pandangan dan untuk sesaat tak ada satupun dari kami yang berbicara. “telpon aku setiap hari. Setiap harii”.

“aku bersumpah”. Aku terisak.

“Gianna, Demi tuhan! Apa aku harus menyeretmu”.

Dia berjalan mundur perlahan , kemudian dia berputar dan praktis lari masuk ke dalam mobil. Aku berjalan beberapa langkah kedepan saat mobil mereka melaju menyusuri jalanan yang panjang. Tak satupun dari saudara perempuanku berbalik. Aku lega ketika akhirnya mereka berbelok di tikungan dan menghilang. Aku menangis untuk diriku sendiri selama beberapa saat dan tak ada yang menyelaku. Aku tau aku tidak sendiri. Paling tidak, dalam artian fisik.

Ketika akhirnya aku berbalik. Luca dan Matteo berdiri beberapa langkah dibelakangku. Luca menatapku dengan pandangan yang aku tak punya energi untuk membacanya. Dia mungkin menganggapku menyedihkan dan lemah. Ini adalah kali keduaaku menangis di depan dia. Tapi hari ini adalah yang paling menyaitkan. Dia mendekat beberapa langkah di saat Matteo tetap berdiri dibelakang.

“Chicago bukanlah akhir dunia”. Luca berkata dengan lembut.

Dia tak bisa mengerti. “itu bisa jadi akhir dunia. Aku tak pernah dipisahkan dari saudara-saudaraku. Mereka adalah seluruh duniaku “.

Luca tidak berkata apapun. Dia membuat gestur ke arah mobil. “Kita harus berangkat. Aku ada meeting malam ini”.

Aku mengangguk. Tak ada yang menahanku disini. Semua yang aku pedulikan sudah pergi.

“aku akan dibelakngmu”, ujar Matteo, kemudian berjalan ke arah motor nya.

Aku tenggelam di kursi kulit Aston Martin berwarna taupe. Luca menutup pintu, berjalan memutari mobil dan duduk dibelakang kemudi.

“Tak ada Bodyguard?” aku bertanya dengan datar.

“aku tidak butuh Bodyguard. Romero untukmu. Dan mobil ini tak ada ruang untuk tambahan penumpang”. Dia menghidupkan mesin , dan suara deruman memenuhi bagian dalam. Aku menghadap ke jendela saat kami melaju meninggalkan mansion Vittielo. Ini terasa tidak nyata bahwa hidupku bisa berubah dengan begitu drastis hanya karena sebuah pernikahan. Dan memang begitulah, dan akan berubah lebih jauh lagi.


Minggu, 24 Desember 2017

Bound by Honor Chapter 7

Sinar matahari menerpa wajahku. Aku berusaha meregangkan tanganku tapi sebuah lengan dieratkan di pinggangku dan dada kekar menempel di punggungku. Butuh beberapa saat untuk mengingat dimana diriku dan apa yang telah terjadi kemarin dan kemudian aku menegang.

“bagus, kau sudah bangun”, kata Luca dengan suara serak khas bangun tidur.

Kenyataan menghantamku. Suamiku. Aku adalah wanita yang sudah menikah, tapi Luca tetap memegang janjinya. Dia belum mengklaim pernikahannya. Aku membuka mataku. Tangan luca mencengkram pinggulku dan dia membalikkan tubuhku. Dia bersandar pada satu siku saat matanya menatap wajahku. Kuharap aku tau apa yang ada di pikirannya. Aneh rasanya tidur dengan laki-laki. Aku bisa merasakan panas Luca, walaupun tubuh kami tidak bersentuhan. Dibawah sinar matahari bekas luka dikulitnya entah bagaimana terlihat kurang mencolok dibandingkan semalam, tapi otot-ototnya masih sama mengesankannya. Aku bertanya-tanya bagaimana rasanya otot-otot itu ketika disentuh.

Dia mengulurkan tangan dan mengambil sehelai rambutku diantara dua jari. Aku menahan napas, tapi dia melepaskannya beberapa saat kemudian, wajahnya mulai membuat penilaian. “tak akan lama lagi sampai ibu tiriku , bibi-bibiku, dan wanita-wanita lain yang sudah menikah dari keluargaku akan mengetuk pintu kamar kita untuk mengambil seprei dan membawanya ke ruang makan dimana tak diragukan lagi semua orang sudah menunggu tontonan sialan itu dimulai”.

Rona merah muda menyebar disepanjang pipiku dan sesuatu di mata Luca berubah, sesuatu yang di ngin terganti dengan beberapa emosi. Mataku menemukan goresan kecil di lengan Luca. Itu tak terlihat dalam dan sudah mulai menutup.

Luca mengangguk. “darahku akan memberi mereka apa yang mereka mau. Itu akan menjadi landasan dari cerita kita , tapi kita akan mengisi beberapa detail. Aku tau aku adalah pembohong yang me yakinkan. Tapi bisa kah kau berbohong di hadapan semua orang, bahkan kepada ibumu,ketika kau menceritakan pada mereka tentang pernikahan kita? Tak ada seorang pun yang boleh tau tentang apa yang telah terjadi. Itu akan membuatku terlihat lemah”. Bibirnya mengatup dipenuhi penyesalan. Menyesali dirinya yang membebaskanku dan membuat dirinya harus bergantung dengan kemampuan berbohongku.

“Lemah karena kau menolak untuk memperkosa istrimu ?” aku berbisik.

Jari luca di pinggulku mengencang. Aku bahkan tak sadar kalau jari-jarinya masih disana. Buatlah dia untuk bisa berlaku baik padamu. Kata-kata Bibiana melintas dipikiranku. Luca adalah Monster, tak ada keraguan untuk itu. Dia bisa melakukan apapun untuk bisa bertahan sebagai pemimpin di dunia kami, tapi mungkin aku tetap bisa membauat monster itu terantai ketika dia bersamaku. Itu melebihi apa yang aku harapkan ketika dia membimbingku ke kamar tidur semalam.

Luca tersenyum dingin. “lemah karena tidak mengambil yang seharusnya milikku. Tradisi sprei berdarah adalah tradisi mafia sisilia untuk membuktikan bahwa pengantin mereka masih murni kepada suaminya. Jadi menurutmu apa yang akan mereka katakan tentangku yang melihatmu separuh telanjang di ranjangku , tak berdaya, dan milikku. Dan sekarang kau belum tersentuh sama seperti dirimu sebelum pesta pernikahan kita?”

“tak ada seorang pun yang akan tau. Aku tak akan memberitahu siapapun”.

“kenapa aku harus mempercayaimu? Aku tak memiliki kebiasaan mempercayai orang lain, terutama orang yang membenciku”.
Aku meletakkan telapak tanganku diatas luka di lengannya, merasakan otot-ototnya menegang dibawah sentuhanku. Buat dia menjadi baik untukmu, buat dia mencintaimu. “Aku tak membencimu”. Dia memincingkan matanya, tapi itu semua hampir semuanya adalah benar. Aku akan membencimya jika dia memaksakan dirinya padaku. Aku sesuangguhnya membenci tentang makna menikahinya untukku tapi aku tak mengenalnya cukup banyak untuk benar-benar membencinya. Mungkin itu semua akan datang seiring waktu. “Dan kau bisa mempercayaiku karena aku adalah istrimu. Aku tak memilih pernikahan ini tapi setidaknya aku bisa melakukan yang terbaik untuk ikatan ini. Aku tak memiliki sesuatu yang ingin kuraih dengan mengkhianati kepercayaanmu, tetapi segalanya akan kuraih dengan menunjukan padamu bahwa aku loyal”.

Ada sesuatu yang berpendar, mungkin ekspresi respek. “para pria yang menunggu di ruang tamu adalah predator. Mereka mencium kelemahan dan mereka sudah menunggu satu dekade untuk melihat tanda kelemahan dalam diriku. Pada saat mereka melihat satu, mereka akan menerkamnya”.

“Tapi ayahmu-”

“jika ayahku berpikir bahwa aku terlalu lemah untuk memimpin Familia, dan dia akan dengan senang hati membiarkan mereka melengserkanku”.

Hidup macam apa yang mengharuskan mu untuk selalu berusaha kuat bahkan walaupun kau berada di dekat keluarga dekatmu? Setidaknya, aku memiliki adik perempuanku dan adik laki-laki ku, dan bahkan beberapa tambahan seperti ibu ku dan juga orang lain seperti Valentina. Para wanita dimaafkan bersikap lemah di dunia kami.

Mata Luca sangat tajam. Mungkin adalah moment dia mengambil keputusan bahwa aku tak cukup berharga untuk dia membahayakan dirinya dan lalu mengklaimku, namun ketika tatapannya akhirnya kembali ke wajahku, kegelapan sudah berada di pelupuk.

“Bagaimana dengan Matteo?'

“Aku percaya pada Matteo. Tapi Mateo adalah orang yang Mudah terpancing. Dia akan terbunuh karena berusaha membelaku”.

Aneh rasanya berbicara dengan Luca, sebagai suamiku seperti ini, seakan kami saling mengerti satu sama lain. “tak ada seorang pun yang akan meragukanku”. Kataku. “aku akan memberi apa yang mereka inginkan”.

Luca duduk tegak dan mataku mengembara ke tato nya , kemudian menyusuri otot dada dan perutnya. Pipiku panas ketika mataku bertemu dengan pandangan Luca.

“Kau harusnya mengenakan lebih dari sekedar gaun malam yang mengundang ini ketika para kerumunan itu datang, aku tak ingin mereka melihat tubuh mu, terutama pinggul dan paha bagian atas. Lebih baik jika mereka bertanya-tanya apakah aku meninggalkan bekas padamu” katanya. Kemudian dia menyeringai . “tapi kita tak bisa menyembunyikan wajahmu dari mereka”.

Dia membungkuk dan tangannya menyambangi wajahku. Aku memaksa mataku memejam, dan mengernyit.

“ini adalah kali kedua kau berpikir bahwa aku akan memukulmu”. Dia berkata dengan suara pelan.

Mataku langsung terbuka. “kupikir kau berkata....” aku terbata-bata.

“apa? Apakah setiap orang mengharapkan kau mengalami memar-memar di wajahmu setelah menjalani malam pertama dengan ku? Aku tidak memukul perempuan”.

Aku teringat ketika dia menghentikan ayahku ketika dia akan menamparku. Dia tak pernah mengangkat tangannya padaku. Aku mengenal banyak pria di Chicago Outfit memiliki kode aneh akan peraturan yang mereka ikuti. Kau tidak boleh menusuk orang dari belakang, tapi kau dibolehkan menggorok lehernya dengan cara seperti itu. Luca tampak nya memiliki peraturannya sendiri. Menghancurkan tenggorokan orang lain dengan tangan kosong dapat diterima, tapi tidak untuk memukul istrimu.

“bagaimana aku bisa mempercayai dirimu bisa meyakinkan setiap orang bahwa kita telah menikmati pernikahan kita kalau tiap kali aku mendekat kau mengernyit dan menjauhi sentuhanku?”

“percaya padaku, kernyitan ini akan membuat semua orang lebih mempercayai kebohongan ini karena saku tidak akan berhenti menjahui sentuhanmu jika kau telah mengambil milikku. Semakin aku mengernyit semakin mereka akan menganggap kau adalah monster seperti yang ingin orang lain pikirkan tentangmu”.

Luca terkekeh. “kurasa kau mungkin mengerti lebih banyak tentang memainkan permainan kekuatan daripada yang aku harapkan”

aku mengangkat bahu “Ayahku adalah seorang Consigliere”.

Dia memiringkan kepalanya sebagai pengakuan, lalu dia mengangkat tangannya dan menangkup wajahku. “yang aku maksud tadi adalah wajahmu tak terlihat seperti kau pernah dicium”.

Mataku melebar. “saya tidak pernah....”tapi tentu saja dia sudah tau.

Bibirnya bertabrakan dengan bibirku dan telapak tanganku menempel di dadanya, tapi aku tidak mendorongnya menjauh. Lidahnya menggoda bibirku, menuntut untuk masuk. Aku menyerah dan dan dengan ragu menyentuhkan lidahnya ke lidahku. Aku tak yakin harus berbuat apa dan menatap Luca dengan mata terbelalak, tapi dia memimpin, saat lidah dan bibirnya memikat mulutku. Aneh membiarkan keintimana seperti ini, tapi ini tadak berarti tidak menyenangkan. Aku tersesat saat dia menciumku, menuntut , dan posesif, dan tangannya terasa hangat di pipiku. Bakal jenggotnya menggesek bibir dan kulitku, tapi gesekan itu membuatku tergelitik bukannya terganggu. Aku bisa merasakan kekuatan yang terkendali saat tubuhnya menekanku. Akhirnya dia mundur, matanya gelap karena hasrat. Aku menggigil tidak hanya karena rasa takut.

Ketukan yang kuat terdengar dan Luca dan Luca mengayunkan kakinya dari tempat tidur dan berdiri. Aku menarik napas saat meihat tonjolan di celana dalamnya.

Dia menyeringai. “seorang pria memang seharusnya memiliki ereksi ketika dia bangun disamping pengantinnya, bukanya begitu? Mereka menginginkan pertunjukan, meereka akan mendapatkannya”. Dia mengangguk kearah kamar mandi. “sekarang pergilah dan ambil bathrobe”.

Dengan cepat aku melompat dari tempat tidur dengan seprei bernoda itu dan bergegas ke kamar mandi dimana aku langsung mengambil bathrobe panjang berbahan satin berwarna putih dan memakainya diatas gaun tidurku sebelum aku memunguti helai-helaian korset yang aku jatuh kan semalam.

Ketika aku melangkah masuk ke kamar tidur, aku menyaksikan luca menaruh pistol dan sarung pisau diatas bahu telanjangnya, dan pisau lain yang lebih panjang terikat di lengannya menutupi sayatan kecil dan perubahan kekakuannya membuat semua itu bahkan lebih jelas.

Pipiku memanas, aku bergerak lebih jauh dalam ruangan dan melemparkan korset disamaping gaun pengantinku yang telah rusak. Luca adalah pemandangan yang luar biasa dengan postur tubuhnya yang tinggi, tubuh berotot serta semua senjata, belum lagi tonjolan celananya. Sedikit rasa ingin tau memenuhi diriku. Bagaimana dia terlihat jika tanpa celana?.

Aku bersandar pada tembok dekat jendela dan melingkarkan lengan ke tubuhku, tiba-tiba khawatir seseorang akan menyadari bahwa Luca tidak tidur denganku. Mereka semua adalah wanita yang telah menikah. Apakah mereka melihat yang tidak beres?

Aku menguatkan diri saat dia membuka pintu lebar-lebar, berdiri di hadapan para wanita dengan keagungan setengah telanjangnya. Terdengar suara terengah-engah, cekikikan, bahkan beberapa kata berbahasa Itali yang di gumamkan, yang mungkin berupa doa atau kutukan, mereka berbicara terlalu cepat dan pelan untuk aku dengar. Aku harus menahan dengusan.

“Kami datang untuk mengambil seprei”. Ibu tiri Luca berkata nyaris tanpa ada basa- basi.

Luca melangkah mundur , membuka pintu lebih lebar. Seketika beberapa wanita melangkah masuk, mata mereka melesat ke tempat tidur yang bernoda, lalu ke arahku. Aku tau wajahku memerah, meskipun bukan darahku yang ada disana. Bagaimana mungkin para wanita itu langsung melompat pada kesempatan untuk melihat bukti keperawanan ku? Tidak kah mereka memiliki belas kasihan? Mungkin mereka berpikir akan adil jika aku merasakan juga apa yang mereka lalui. Aku membuang muka, tak mampu menghadapi rasa penasaran mereka. Biarkan mereka berasumsi semau mereka. Sebagian besar para tamu telah pergi, terutama politisi dan non-mafia lainnya. Hanya keluarga dekat yang menyaksikan penyajian seprei itu, tapi dari banyaknya para perempuan yang berkumpul di koridor, kau tak akan bisa menebak.


Hanya wanita yang sudah cukup umur untuk menikah yang diperbolehkan sebagai penonton saat seprei itu di rentangkan - agar tidak membuat takut para gadisperawan yang masih terlalu muda. Aku bisa melihat bibiku diantara para kerumunan, begitu pula ibuku, Bibiana, serta Valentina, tetapi para wanita dari keluarga Luca berada dibarisan paling depan mengingat ini adalah tradisi mereka, bukan milik kami. Dan ini akan segera menjadi tradisiku, aku mengingatkan diriku sendiri dengan bergidik. Luca menatap mataku dari seberang ruangan . Kami berbagi rahasia sekarang. Aku tak bisa tidak merasa berterima kasih pada suamiku, meskipun aku tak ingin bersyukur untuk hal-hal seperti itu. Tapi di dunia kami, kau harus bersyukur untuk tiap kebaikan sekecil apapun, terutama dari pria seperti Luca, terutama saat dia tak harus bersikap baik.

Ibu tiri Luca Nina dan sepupunya Cosima mulai melepaskan seprei. “Luca ,” dengan pura-pura marah. “apakag tidak ada yang memberitahumu untuk bersikap lembut pada mempelaimu yang masih perawan?”

perkataannya sungguh membuat beberapa wanita cekikikan malu dan aku menundukkan pandanganku walaupun sebenarnya aku ingin melotot padanya. Luca melakukan kerja bagus untuk hal itu, lalu dia melontarkan senyuman srigala yang membuat bulu kudukku meremang. “Anda sudah menikah dengan Ayahku. Apakah dia terlihat seperti seorang Ayah yang mengajarkan anak-anaknya untuk bersikap lembut pada siapapun”.

Bibir ibu Luca menipis tapi dia tak berhenti tersenyum. Aku bisa merasakan semua orang menatapku dan menggeliat dibawah semua perhatian itu. Ketika aku mengambil resiko untuk mengintip ke arah keluargaku , aku bisa melihat keterkejutan dan rasa kasihan pada banyak wajah mereka.

“Biarkan aku lewat!” terdengar suara Gianna yang panik. Kepalaku terangkat. Dia berusaha menembus kerumunan wanita yang berkumpul dan berjuang menghindari ibu yang akan menghentikannya. Gianna bahkan tak seharusnya berada disini. Tapi kapan Gianna menuruti apa yang diperintahkan padanya? Dia mendorong seorang wanita yang sangat kurus keluar dari tempatnya dan terhuyung-huyung masuk ke tempat tidur. Wajahnya melotot jijik ketika melihat seprei di Ibu tiri Luca yang terbentang di atas lengan Cosima yang terulur.

Matanya melihat wajahku,berlama-lama dibibirku yang membengkak, rambut kusutku dan lengaku yang masih melingkar ditubuhku. Aku berharap aku memiliki cara untuk memberitahu dia bahwa aku baik-baik saja, bahwa tidak seperti yang terlihat, tapi tidak dengan semua wanita yang berada disekitar kami. Dia berbalik ke arah Luca, yang setidaknya sekarang tidak memiliki ereksi lagi. Tatapan matanya pasti akan membuat kebanyakan orang berlari. Luca mengangkat alisnya dengan menyeringai.

Gianna melangkah ke arah Luca. “Gianna,” aku berkata dengan pelan. “mau kah kau membantuku berpakaian?” aku mebiarkan lenganku jatuh ke sisi tubuhku dan melangkah kearah kamar mandi, berusaha meringis sekarang, dan kemudian seoalh-olah sakit dan aku berharap aku tak terlalu berlebihan. Aku belum pernah melihat pengantin wanita atau siapapun , setelah mereka kehilangan keperawanan mereka. Begitu pintu menutup dibelakang Gianna dan aku, dia memelukku erat-erat. “Aku benci dia. Aku benci mereka semua. Aku ingin membunuhnya”.

“Dia tidak melakukan apapun” gumamku.

Gianna mundur dan aku meletakkan jari di bibirku. Kebingungan memenuhi wajah Gianna. “Apa maksudmu?”.

“Dia tidak memaksaku”.

“Hanya karena kau tidak melawannya bukan berarti itu bukan pemerkosaan”.

Aku menutupi mulutnya dengan tanganku. “Aku masih perawan”.

Gianna melangkah mundur sehingga tanganku terlepas dari bibirnya. “Tapi darah itu” bisiknya.

“Dia melukai dirinya sendiri”.

Dia menatapku tak percaya. “Apakah kau memiliki Stockholm sindrom?”

aku memutar mataku. “Shh. Aku mengatakan yang sebenarnya”.

“kemudian pertunjukan itu?”

“karena tak seorangpun boleh tau. Tak seorangpun. Termasuk ibu dan Lily. Kau tak boleh mengatakan pada siapapun, Gianna”.

Gianna Cemberut. “Kenapa dia melakukan itu?”

“Aku tak tau, mungkin dia tidak suka melukai ku”.

“Pria itu bahkan akan membunuh bayi keledai , jika mereka memadang dengan cara yang salah padanya”.

“Kau tak mengenalnya”.

“begitupun dirimu”. Dia menggelengkan kepalanya. “Jangan katakan padaku bahwa kau sudah mempercayai dia sekarang. Hanya karena dia tidak menyetubuhimu semalam tak berarti dia tidak akan melakukan nya segera. Mungkin dia akan melakukannya di Penthouse nya dengan pemandangan New York dibawahnya. Kau istrinya dan dia adalah Pria dengan Batang yang berkerja bakalan ingin untuk masuk ke celana dalammu”.

“Ayah benar-benar gagal mendidikmu menjadi anggun mendengar dari komentar-komentarmu” kataku sambil tersenyum. Gianna melotot. “Gianna, aku tau ketika aku menikah dengan Luca , aku harus tidur dengan dia pada akhirnya dan aku akan menerimanya. Tapi setidaknya aku senang karena aku mendapat kesempatan untuk setidaknya mengenal dirinya sedikit lebih baik dulu”. Meskipun aku tidak yakin akan menyukai bagian- bagian yang akan aku ketahui. Tapi ciumannya bukan sama sekali tak menyenangkan. Kulitku masih terasa hangat ketka aku memikirkannya. Dan Luca pasti senang melihatnya. Bukan berarti wajahnya yang cantik akan menghentikan kekekjaman, tapi sejauh ini dia tidak bersikap kejam padaku. Dan entah kenapa aku berpikir dia tidak akan melakukannya, kecuali tidak sengaja.

Gianna mendesah. “Yeah, kau mungkin benar”. Dia merosot duduk di penutup toilet. “Aku tidak tidur semalaman karena mengkhawatirkanmu. Tidak bisa kah setidaknya kau mengirimiku teks bahwa Dia tidak mengambil Cheri mu?”.

Aku mulai menanggalkan pakaian. “Yakin, dan kemudian Ayah atau Umberto memeriksa ponselmudan melihatnya dan aku tamat “.

Mata Gianna memindaiku dari kepala hingga kaki saat aku melangkah ke kamar mandi, mungkin masih mencari tanda bahwa Luca telah melukai ku.

“Kau tetap harus bertingkah seoalah-olah kau membenci Luca saat kau melihatnya nanti atau orang akan curiga” kataku.

“jangan khawatir itu tak masalah karena aku masih membencinya karena dia telah membawamu jauh dariku dan karena dia adalah dia. Aku tidak percaya bahwa dia mampu melakukan kebaikan”.

“Luca juga tiddak tau aku sudah memberitahumu”. Aku menghidupkan pancuran dan membiarkan air hangat membasuh bekas kelelahan. Aku harus waspada sepenuhnya untuk pertunjukan diruang tamu nanti. Otot tegang ku mulai rilex saat air hangat memijatnya.

“Kau tidak boleh masuk”, Gianna berkata dengan marah, mengagetkanku. “aku tak peduli kau suaminya”. Aku membuka mataku dan melihat Luca memaksa masuk ke kamar mandi. Gianna menghalangi jalannya. Dengan cepat aku membelakangi mereka.

“Aku harus bersiap- siap”. Geram Luca. “Tak ada apapun disini yang belum pernah aku lihat”.

Pembohong. “Sekarang pergi, atau kau akan melihat penis pertama mu nak, karena aku akan menanggalkan pakaian sekarang”.

“Bajingan sombong, aku-”

“Pergi!” teriakku.

Gianna pergi, tapi tidak tanpa mengatai Luca dengan beberapa pilihan kata. Pintu terbanting menutup dan kami sendirian. Aku tak yakin dengan apa yang sedang Luca lakukan dan aku tak mau berbalik untuk memeriksanya. Aku tak bisa mendengarnya mencipratkan air . Aku tau aku tak bisa tinggal dikamar mandi selamanya, jadi aku mematikan air dan melangkah ke kamar.

Luca sedang mengoleskan krim bercukur di pipinya denga sikat, tapi matanya mengamatiku dari kaca. Aku menahan keinginan untuk menutupi diriku , meskipun aku merasa warna merah menyebar di sekujur tubuhku. Dia meletakkan sikatnya dan meraih salah satu handuk mandi mewah yang tergantung rak handuk yang dipanaskan , lalu menghampiriku masih dengan memakai celana dalammya. Aku membuka shower dan mengambil handuk dari dia dengan ucapan terima kasih yang cepat. Dia tak bergerak, matanya menjelajahi tubuhku. Aku membungkus handuk di sekeliling tubuhku, lalu melangkah keluar. Tanpa hak tinggi, bagian atas tubuhku hanya sampai di dada Luca.

“Aku menebak kau sedang menyesali keputusanmu”, aku berkata dengan pelan. Aku tak perlu menjelaskan; dia tau apa yang aku maksud.

Tanpa kata dia kembali ke meja basuh , mengambil sikat dan melanjutkan apa yang dia lakukan tadi. Aku sudah di jalan menuju kamar, ketika suaranya mengagetkanku. “ Tidak”. Aku berbalik dan bertatapan dengan matanya. “ketika aku mengklaim tubuhmu aku ingin kau menggeliat dalam kenikmatan bukannya ketakutan”.

Bound By honor Chapter enam

Sorak sorai di depan pintu sudah berhenti kecuali Matteo yang masih meneriakan saran-saran mesum tentang apa yang Luca dapat lakukan padaku atau aku kepada Luca.

“Diam Matteo, dan pergilah cari saja pelacur yang bisa kau tiduri”. Bentak Luca.

Keheningan mulai mencuat diluar. Mataku berkelana kearah tempat tidur berukuran King size yang berada di tengah ruangan dan rasa takut mencengkramku. Luca memiliki pelacur pribadi yang bisa di setubuhi malam ini hingga hari berakhir. Harga dari tubuhku tidak dibayar dengan uang, tapi mungkin juga sudah. Aku melingkarakan lenganku di tengah tubuhku , mencoba menenangkan kepanikanku.

Luca berbalik menatapku dengan ekspresi pemangsa di wajahnya. Kaki ku menjadi lemah. Mungkin jika aku pingsan aku akan terhindar , dan bahkan jika lau dia tidak peduli aku dalam keadaan sadar ataupun tidak dan tetap melakukan itu padaku setidaknya aku tak akan mengingat apapun. Dia menyampirkan jas nya di kursi berlengan di samping jendela, otot-otot lengan bagian bawahnya meregang. Dia adalah otot, kekuatan dan kekuasaan dan aku mungkin terbuat dari kaca. Satu sentuhan salah dan aku akan hancur.

Luca memanfaatkan waktunya untuk mengagumiku. Kapanpun matanya menyentuh tubuhku, dia mencapku sebagai miliknya, kata-kata “Milikku” beringsut ke kulitku berulang-ulang kali.

“ketika ayahku memberitahuku bahwa aku akan menikahimu, dia berkata bahwa kau adalah gadis tercantik yang bisa Chicago Outfit tawarkan, bahkan lebih cantik dari pada wanita di New York”

ditawarkan ? Apakah aku hanya sebuah potongan daging. Aku membenamkan gigiku di lidahku.

“Aku tak mempercayai dia”. Luca berjalan menghampiriku dan meraih pinggangku. Aku menelan pekikanku dan memaksa diri ku untuk tetap diam saat aku memandang dadanya. Kenapa dia harus begitu tinggi? Dia membungkuk hingga mulutnya tidak sampai satu inci dari tenggorokanku. “Tapi ternyata dia mengatakan yang sebenarnya. Kau adalah wanita tercantik yang pernah aku lihat, dan malam ini kau adalah milikku” Bibirnya yang panas menyentuh kulitku. Mungkinkah dia merasakan teror yang memompa di pembuluh darahku? Tangannya dipinggangku menegang. Air mata menempel di bola mataku, tapi aku berusaha menahannya. Aku tak akan menangis, tapi kata-kata Grace berkecamuk di otakku. Dia akan menyetubuhimu hingga berdarah-darah.

Jadilah kuat. Aku adalah seorang Scuderi. Kata-kata Gianna melintas dipikiranku. Jangan biarkan Dia memperlakukanmu seperti pelacur.

tidak!” kata-kata itu merobek tenggorokanku seperti tangisan pertempuran. Aku melepaskan diri dan menjauh , terhuyung beberapa langkah ke belakang. Segalanya tampak terdiam. Apa yang baru saja aku lakukan.

Ekspresi Luca tertegun , lalu mengeras “Tidak?”

Apa ?” bentakku. “apakah kau tak pernah mendengar kata “tidak” sebelumnya?” Diam Aria. Demi tuhan tutup mulut.

“oh , aku sering mendengarnya. Orang yang tenggorokannya aku hancurkan selalu mengatakan itu berulang kali sampai dia tak bisa mengatakannya lagi”.

Aku melangkah mundur, merintih. “jadi kau akan menghancurkan tenggorokanku?” aku seperti anjing yang terpojok , menggigit, dan membentak, tapi lawanku adalah srigala. Srigala yang sangat besar dan berbahaya.

Seyuman dingin melingkar di bibirnya. “tidak , itu akan merusak tujuan dari pernikahan ini, bukan begitu?”

aku bergidik. Tentu saja, sudah pasti. Dia tak bisa membunuhku. Paling tidak jika dia ingin mempertahankan kedamaian antara Chicago dan New York. Tapi itu bukan berarti dia tak bisa mengalahkan atau memaksakan dirinya padaku. “kurasa ayahku tak akan senang jika kau menyakitiku”.

Tatapan matanya membuatku mundur selangkah lagi. “apakah itu ancaman?”

aku mengalihkan pandanganku darinya. Ayahku kemungkinan mengambil resiko perang atas kematian ku – bukan karena dia menyayangiku- tapi untuk menyelamatkan wajahnya- tapi pastinya tidak akan hanya sedikit memar dan pemerkosaan. Bagi ayahku itu bahkan termasuk pemerkosaan; Luca adalah suamiku dan tubuhku adalah miliknya untuk diambil kapanpun dia mau. “Tidak” kataku pelan. Aku membenci diriku sendiri karena bersikap patuh seperti layaknya jalang kepada alfa nya, hampir sama besarnya dengan kebencianku pada dia karena membuatku seperti ini.

“Tapi kau menyangkal apa yang telah menjadi milikku?”

aku melotot. Persetan dengan sikap patuh. Persetan dengan ayahku yang telah menjualku seperti sapi dan persetan dengan Luca yang menerima tawaran itu. “aku tidak bisa menyangkal mu akan sesuatu yang kau sendiri tak punya hak untuk memgambil bagian paling pertama. Tubuhku bukan milikmu. Ini milikku”.

'Dia akan membunuhku' pikiran itu melintas sesaat sebelum Luca menarik diri dari hadapanku. 6,5 kaki amatlah tinggi. Aku melihat tangannya bergerak dalam penglihatan periferalku dan tersentak untuk mengantisipasi pukulan itu, mataku terpejam. Tak ada yang terjadi. Satu-satunya suara adalah napas Luca yang keras dan denyut nadi di telingaku. Aku mengambil resiko untuk mengintip ke arahnya. Luca sedang memandangiku, matanya seperti musim panas yang penuh badai. “aku bisa mengambil apa yang aku inginkan” namun kekejaman sudah menghilang dari suaranya.

Tak ada gunanya menyangkal itu. Dia jauh lebih kuat dariku. Dan bahkan jika aku berteriak tak ada yang menolongku. Banyak pria dari keluargaku bahkan keluarga Luca yang akan menahanku untuk mempermudah dia, bukan berarti Luca memiliki masalah dalam menahanku. “bisa” aku mengakui, “dan aku akan membencimu hingga akhir hayatku”.

Dia menyeringai, “apa menurutmu aku akan peduli dengan itu? Ini bukan pernikahan berlandaskan cinta. Dan kau sudah membenciku. Aku bisa melihatnya dari matamu”.

Dia benar dikedua hal itu. Ini bukan tentang cinta dan aku sangat membencinya, tapi mendengarnya mengucapkan itu menghancurkan harapan bodoh terakhir yang aku milikki. Aku tak mengatakan apapun.

Dia menunjuk seprei bersih di tempat tidur yang berderit. “kau mendengar apa yang ayahku katakan tentang tradisi kami?”

darahku membeku . Aku tau tapi sampai saat ini aku berusaha menyingkirkan itu dari pikiranku. Keberanian ku sia-sia belaka. Aku melangkah ke tempat tidur dan menatap seprei, mataku membara di tempat dimana bukti keperawananku yang hilang harus terjadi. Besok pagi para wanita keluarga Luca akan mengetuk pintu kamar kami dan membawa serta seprei untuk menyajikannya di depan Luca dan ayahku, jadi mereka bisa memeriksa bukti pernikahan kami yang telah dilakukan. Itu adalah tradisi yang menyakitkan, tapi bukan yang bisa aku hindari. Pertarungan ini menguras tenagaku.

Aku bisa mendengar Luca mendekat dari belakangku. Dia meraih bahuku dan aku memejamkan mataku. Aku tak akan bersuara. Tapi tidak menangis adalah kekalahan. Air mata pertama sudah menempel di bulu mataku, lalu menetes ke kulitku, dan menciptakan jejak di pipi dan daguku. Luca menyelipkan tangan diatas tulang selangka ku , lalu turun ke ujung bajuku. Bibirku bergetar dan aku bisa merasakan air mata jatuh dari daguku. Tangan Luca menegang di tubuhku.

Untuk sejenak, tak ada seorangpun dari kami yang bergerak. Dia memutarku untuk menghadapnya dan mengangkat daguku . Mata abu-abu nya yang dingin mengamati wajahku. Wajahku telah basah dengan air mata tapi aku tak mengeluarkan suara apapun, hanya membalas tatapannya. Dia menjatuhkan tangannya, tersentak kebelakang dengan serangkaian kata-kata umpatan italia, lalu dia mengepalkan tinjunya ke dinding. Aku tersentak dan melompat mundur. Aku menekan bibirku saat aku melihat punggung Luca. Dia menatap tembok, bahunya terengah. Dengan cepat aku menghapus air mata dari wajahku.

Kau telah membuat dia benar-benar marah.

Mataku mengarah ke pintu. Mungkin aku bisa sampai disana sebelum Luca. Mungkin aku bisa kabur keluar sebelum dia menangkapku, tapi aku tak akan pernah bisa keluar dari tempat ini. Dia berbalik dan melepaskan rompinya , menunjukan sebuah sarung pistol berwarna hitam dan pistol. Jari-jarinya menggenggam gagang pisau , buku-buku jarinya sudah berubah merah akibat menghantam dinding dan dia mengeluarkan pisaunya. Pisau itu melengkung seperti cakar: pendek, tajam dan mematikan. Warnanya hitam seperti gagangnya, jadi tidak mudah terlihat dalam kegelapan. Pisau karambit untuk pertarungan jarak dekat. Siapa yang tau bahwa obsesi Fabiano terhadap pisau bisa berguna bagiku? Sekarang setidaknya aku tau jenis pisau apa yang akan menggorokku. Tawa histeris rasanya ingin keluar dari tenggorokanku tapi aku menelannya.

Luca menatap dengan intens pisaunya. Apakah dia sedang mempertimbangkan bagian mana yang akan dia potong pertama kali?

Memohon pada nya. Tapi aku tau itu tak akan menyelamatkanku. Orang-orang mungkin memohon pada dia sepanjang waktu dan dari yang aku dengar itu tidak menyelamatkan mereka. Luca tidak menunjukan belas kasihan. Dia akan menjadi Capo dei Capi di New York dan dia akan menjalankannya dengan brutal.

Luca berjalan ke arahku dan aku mengernyit. Senyum yang gelap melingkar di bibirnya. Dia menekan ujung pisau yang tajam di kulit lembut di cekungan lengannya, mengucurkan darah. Bibirku terbuka karena merasa terkejut. Dia meletakkan pisaunya di meja dianatara dua kursi berlengan, meraih gelas dan mengangkat lukanya diatas gelas, kemudian mengamati darahnya yang mengucur tanpa kilasan emosi sebelum akhirnya dia menghilang ke kamar mandi.

Aku mendengar air mengalir dan dia keluar dari kamar mandi. Campuran darah dan air di gelas memancarkan warna merah menyala. Dia mendekati tempat tidur, mencelupkan ujung jarinya ke cairan dan kemudian mengoleskan ke tengah seprei. Pipiku memerah penuh kesadaran. Aku mendekatinya perlahan dan berhenti di tempat yang belum bisa dia jangkau, bukan berarti hal tersebut membuatku lebih baik. Aku menatap seprei bernoda itu. “apa yang kau lakukan?” bisikku.

“mereka menginginkan darah. Mereka mendapatkannya”.

“Kenapa airnya?”

“Darah tidak selalu terlihat sama”. Dia pasti tau.

“apakah sudah cukup darah?”

“Apakah kau mengharapkan bermandikan darah?” dia memberikan senyum sinis. “Ini seks, bukan pertarungan pisau”.

'dia akan menyetubuhimu hingga berdarah-darah' kata-kata itu membara di otakku tapi aku tak akan mengulanginya.

Berapa banyak perawan yang telah kau tiduri hingga kau tau semua ini? Dan berapa banyak dari mereka yang secara sukarela datamg ke ranjangmu? Kata-kata itu sudah berada di ujung lidahku, tapi aku tak mau bunuh diri.

“tidakkah mereka tau itu darahmu?”

“Tidak”. Dia berjalan kembali ke meja dan menuang Scotch ke gelas berisi darah dan air. Matanya menatap mataku saat dia meminum nya dalam satu kali tegukan. Aku tak bisa menahan diri untuk tidak mengerutkan hidungku dengan jijik. Apakah dia sedang mencoba untuk mengintimidasiku? Meminum darah sungguh tidak berguna untuk itu semua. Aku sudah takut dengannya bahkan sebelum aku bertemu dia. Aku bahkan akan tetap takut dengannya ketika aku menundukkan kepalaku di peti matinya yang terbuka.

“Bagaimana dengan tes DNA?”

Dia tertawa. Dan itu bukanlah tawa kebahagian. “Mereka akan percaya kata-kataku. Tak akan ada orang yang meragukan ku tentang aku mengambil keperawananmu saat kita telah sendirian. Mereka tak akan meragukanku karena siapa diriku”.


Ya, kau benar. Tapi kenapa dia menolongku? Pikiran lain yang tak pernah meninggalkan bibirku. Tapi Luca tampaknya sudah memikirkan hal yang sama karena alis nya yang gelap terangkat bersamaan saat matanya menjelajah disepanjang tubuhku.

Aku mengkerut dan mengambil langkah mundur.

“Jangan” dia berkata dengan suara pelan. Aku membeku. “ini adalah kelima kalinya kau menghindar dariku malam ini”. Dia meletakkan gelasnya dan meletakkan pisau di tangannya. Kemudian dia mengacungkannya padaku. “tidakkah ayahmu tak pernah mengajarimu untuk menyembunyikan ketakutanmu dari monster? Mereka akan memburumu jika kau berlari”.

Mungkin dia mengharapkan aku untuk menyangkal tentang dia yang menyebut dirinya monster, tapi aku tak pandai dalam berbohong. Jika monster itu ada, maka seluruh pria di dunia aku adalah monster. Ketika dia sampai di depanku, aku harus menengadahkan kepalaku hanya untuk bisa menatap wajahnya.

“darah di sprei butuh cerita”, dia berujar singkat dan mengangkat pisaunya. Aku mengernyit. “enam kali”.
Dia menyayatkan pisau itu ke bagian ujung dari gaun pengantinku dan dengan perlahan menggerakkanya ke bawah. Kain terlepas hingga akhirnya menumpuk dikakiku. Pisau itu tak pernah sekalipun menyentuh kulitku. “ini tradisi di keluarga kami untuk melucuti pengantin dengan cara seperti ini.

Keluarganya memiliki banyak sekali tradisi menjijikkan.

Akhirnya aku berdiri membelakanginya hanya mengenakan korset putih ketat dengan renda-renda di bagian punggung dan celana dalamku dengan lengkungan di pantatku. Rasa merinding merayap kesetiap inci tubuhku. Tatapan Luca seperti bara api di kulitku. Aku beringsut mundur.

“tujuh” dia berkata dengan pelan.

Rasa marah mendidih dalam diriku. Jika dia merasa marah dengan diriku yang beringsut menjauh dari dia, jadi harusnya dia berhenti untuk mencoba mengintimidasiku.

“berbaliklah”.

Aku melakukan yang dia perintahkan, dan tarikan napas nya yang keras membuatku menyesali keputusanku. Dia bergerak mendekat dan aku merasakan tarikan lembut pada busur yang menahan celana dalamku 'hadiah untuk dibuka. Bagaimana mungkin ada orang yang bisa menolaknya?' kata-kata ibu tiri Luca muncul tanpa diinginkan di kepalaku. Aku tau bahwa bagian bawah pantatku akan terbuka. Katakan sesuatu untuk mengalihkan perhatiannya dari busur tolol dipantatku.

“Kau sudah berdarah untukku” kataku dengan suara serak dan nyaris tak terdengar. “Tolong , Jangan”. Ayahku akan malu melihat kelemahanku yang terbuka ini. Tapi dia laki-laki. Dan dunia adalah miliknya untuk dikuasai. Wanita adalah miliknya untuk dikuasai. Dan wanita selalu harus memberi tanpa protes.

Luca tidak mengatakan apapun kecuali buku-buku jarinya yang menggosok kulit diantara tulang belikatku saat dia mengangkat pisaunya ke korsetku. Dengan mendesis kain itu terlepas di bawah pisau. Aku mengangkat tangan ke atas sebelum pelindumg itu jatuh dan menekan korset di dadaku.

Luca merangkum lengannya di dadaku dengan posesif, menjepit lenganku dibawahnya dan mencengkram bahuku, dan menekanku kearahnya. Aku tersentak ketika sesuatu yang keras menusukku di punggung bawah. Panas membanjiri pipiku dan ketakutan mencengkram tubuhku.

Bibirnya menggosok telingaku. “malam ini kau memohon padaku untuk membebaskanmu, tapi suatu hari nanti kau akan memohon padaku untuk menidurimu”. Tidak . Tak akan pernah, aku bersumpah pada diriku sendiri. Napas nya terasa panas diatas kulitku dan aku memejamkan mataku. “jangan berpikir hanya karena aku tak mengklaim hak malam ini bahwa kau bukan milikku Aria. Tak ada pria manapun yang akan berhak mengambil sesuatu yang menjadi milikku. Kau adalah milikku”. Aku mengangguk, tapi dia belum selesai. “jika aku mendapati seorang pria menciummu, aku akan memotong lidahnya. Jika aku mendapati seorang pria menyentuhmu , aku akan memotong jarinya , satu tiap kali. Jika aku mendapati seorang pria menidurimu. Aku akan memotong penis dan bolanya, dan aku akan menjejalkan ke mulutnya. Dan akan kubuat kau melihatnya”.

Dia menjatuhkan lengannya dan melangkah mundur. Dari sudut mataku, aku melihat dia menuju kursi berlengan dan menenggelamkan diri didalamnya. Dia meraih sebotol scotch dan menuangkan banyak -banyak untuk dirinya sendiri. Sebelum dia berubah pikiran, aku dengan cepat masuk ke kamar mandi, menutup pintu, dan memutar kunci, dan meringis mengingat betapa bodohnya itu. Kunci bukan sebuah halangan baginya, begitupula pintu. Tak ada satupun didunia ini yang bisa melindungiku.

Aku mengamati wajahku di cermin. Mataku merah dan pipiku basah. Aku membiarkan sisa-sisa korsetku jatuh di lantai dan mengambil baju tidur yang telah dilipat oleh salah satu pelayan di kursi untukku. Tawa terisak terlepas dari mulutku setelah aku memakainya di atas celana dalam ku. Bagian diatas payudaraku terbuat dari renda, tapi setidaknya itu tidak tembus pandang; tidak seperti seluruh bagian tengah baju tidur. Ini adalah bahan terbaik yang pernah aku lihat dan tak meninggalkan apapun untuk imajinasi. Perut telanjang dan celana dalam ku dipertontonkan. Baju tidur ini berakhir di atas lututku dengan ujung yg lebih banyak renda. Aku bisa saja keluar dengan telanjang dan tak peduli dengan itu semua. Tapi aku tak seberani itu.

Aku menghapus make up ku. Mengosok gigiku, dan menggerai rambutku, dan ketika aku tak bisa memperpanjang yang tak terelakan lagi, aku meraih gagang pintu. Apakah akan sangat buruk jika aku tidur di kamar mandi.

Sambil menarik napas panjang, aku membuka pintu, dan berjalan ke kamar tidur. Luca masih duduk di kursi berlengan. Botol scotch nya sudah setengah kosong. Pria yang mabuk tak pernah jadi hal yang baik. Matanya menemukanku, dan dia tertawa tanpa humor. “itukah yang kau pilih untuk kau kenakan ketika kau bahkan tak mau aku menyetubuhimu?”.

Aku memerah dengan bahasa kasarnya. Scotch itulah yang sekarang sedang berbicara, tapi aku tak bisa untuk memintanya berhenti minum. Aku tau batasanku. “aku tidak memilihnya”. Aku menyilangkan lenganku, terbelah antara ingin tetap berdiri atau berlari masuk kedalam selimut. Tapi saat ini berbaring tampaknya bukanlah pilihan yang baik. Aku tak mau membuat diriku terlihat lebih rapuh dari yang sekarang. Tapi berdiri setengah telanjang dihadapan Luca bukan pilihan yang baik juga.

“ibu tiriku?” Tanyanya.

Aku mengangguk singkat. Dia menurunkan gelasnya dan bangkit. Tentu saja, aku tersentak. Ekspresinya menggelap. Dia tak mengatakan apapun padaku saat dia berjalan melewatiku menuju kamar mandi, bahkan ketika aku tersentak saat lengannya tak sengaja menggesek kulitku. Dan saat pintu tertutup, aku menghembuskan napas dengan keras. Perlahan, aku mendekati tempat tidur, mataku mencari noda merah muda. Aku bertengger di tepi kasur. Air mengalir di kamar mandi, dan akhirnya Luca akan segera keluar.

Aku berbaring di tepi kasur, menghadap ke sisiku dan menarik selimut hingga menutupi dagu, kemudian memejamkan mataku, membiarkan diriku tertidur. Aku menginginkan agar hari ini berakhir, bahkan jika itu hanyalah awal dari banyak hari dan malam yang mengerikan.

Air berhenti dan beberapa menit kemudian bergegas keluar dari kamar mandi. Aku berusaha membuat napas yang terasa seperti aku telah tertidur. Aku mengambil resiko untuk sedikit mengintip dari mataku yang setengah menutup,wajahku hampir seluruhnya tertutup selimut dan kemudian membatu. Luca hanya memakai brief berwarna hitam. Dan jika Luca tampil impresif ketika berpakaian, dia benar-benar terlihat sangat mengintimidasi ketika dia setengah telanjang. Dia adalah otot murni , dan kulitnya penuh dengan luka beberapa tipis, beberapa memanjang seperti guratan pisau yang di ukir rapi, dan beberapa bulatan dan dibentuk seolah-olah ada peluru yang masuk kedalam dagingnya. Sebuah kalimat di tato di kulitnya diatas jantungnya. Aku tak bisa membacanya dari jauh tapi aku menebak bahwa itu adalah motto mereka 'lahir dari darah, tersumpah dari darah. Masuk dalam keadaan hidup dan keluar dalam keadaan mati'

dia berjalan ke arah saklar lampu utama dan mematikannya, memandikan kami dalam kegelapan. Tiba-tiba aku merasa seakan aku sendirian di dalam hutan di malam hari. Mengetahui bahwa disuatu tempat seseorang sedang mengintaiku. Tempat tidur meringsek ditimpa berat Luca dan aku mencengkram tepi ranjang. Aku menempelkan bibirku, membiarkan diriku hanya bernapas rendah.

Kasur bergeser ketika Luca berbaring. Aku menahan napasku, menunggu dia meraihku, dan mengambil apa yang jadi miliknya. Apakah ini akan selalu seperti ini? Apakah aku akan menderita selama hidupku? Malamku penuh rasa takut?

Beban beberapa minggu ini atau mungkin bertahun-tahun menghantamku. Ketidakberdayaan, ketakutan ,dan kemarahan membasahiku. Kebencian pada ayahku memenuhiku. Tapi yang lebih buruk dari itu adalah sayatan kekecewaan dan kesedihan. Dia telah menyerahkanku pada seseorang yang tak dikenalnya, kecuali reputasinya sebagai pembunuh yang terampil, telah memberikanku kepada musuh hanya demi apa yang dia inginkan. Orang yang harusnya melindungiku dari bahaya justru telah mendorongku ke pelukan monster untuk tujuan mengamankan kekuasaan.

Air mata panas mengalir keluar dari mataku tetapi beban dibahuku tidak juga terangkat. Beban itu justru semakin bertambah berat sampai aku tak mampu menahannya lagi dan isak tangis meledak dalam diriku. Kendalikan dirimu, Aria. Aku mencoba menghentikannya, tapi isakan lainya menyelinap melalui bibirku. “akankah kau mengangis semalaman?” suara Luca yang dingin keluar dari kegelapan. Tentu saja dia belum tidur. Bagi seorang pria di posisi nya, hal terbaik adalah mengawasi secara terang-terangan.

Aku membenamkan wajahku di bantal , tapi setelah keran air mata terbuka, aku tak bisa menutupnya lagi. “aku tak bisa membayangkan kau akan menangis lebih buruk lagi, jika aku mengklaimmu. Mungkin aku harusnya menidurimu untuk memberimu alasan yang nyata untuk menangis”. Aku menarik kakiku ke atas ke dadaku, membuat diriku mengecil sekecil-kecilnya. Aku tau, aku harus berhenti. Aku belum pernah dipukuli atau apapun yang lebuh buruk lagi, tapi aku tak bisa mengendalikan emosiku.

Luca bergerak dan cahaya remang-remang membanjiri ruangan. Dia menghidupkan lampu di nighstand disampingnya. Aku menunggu. Aku tau dia mengamatiku tapi aku tetap membiarkan wajahku menghadap bantal. Mungkin dia akan meninggalkan kamar jika terlalu berisik. Dia menyentuh lenganku dan aku terlonjak dengan keras dan kemungkinan aku akan jatuh dari ranjang jika Luca tidak menarikku kearahnya.

“sudah cukup”. Dia berbicara dengan suara pelan.

Suara itu. Aku segera terdiam dan membiarkannya menarikku ke punggungku. Perlahan aku melepaskan kaki dan lenganku, dan terbaring tak bergerak seperti mayat.

“Lihat aku” perintahnya, dan aku melakukannya. Apakah itu suara yang membuatnya terkenal? “aku ingin kau berhenti menangis. Dan aku ingin kau berhenti berjengit dari sentuhanku”

aku mengangguk dengan patuh.

Dia menggelengkan kepalanya. “anggukan itu tak berarti apapun. Tidakkah kau tau aku mengenali ketakutan ketika kau menatap balik ke arahku? Pada saat aku mematikan lampu, kau akan kembali menangis seakan aku baru saja memperkosamu”.

Aku tak tau apa yang dia ingin aku lakukan. Bukankah dia senang jika aku ketakutan setengah mati. Ketakutan hanyalah salah satu cara aku merasa diremehkan, tapi dia tak akan mengerti. Bagaimana dia bisa mengerti bahwa hidupku telah hilang dariku? Saudara-saudara perempuaku,fabiano, keluargaku, chicago, adalah semua yang aku kenal dan sekarang harus kurelakan.

“jadi untuk memberimu mu ketenangan dan menutup mulut mu, aku akan bersumpah”.

Aku menjilat bibirku, merasakan rasa asin air mata di bibirku. Jariku Luca menegang di lenganku. “Sumpah?” bisiku.

“lahir dalam darah, bersumpah dengan darah, aku bersumpah bahwa aku tak akan mencoba untuk mencuri keperawananmu atau menyakitimu dengan cara apapun”.

Bibirnya berkedut dan dia mengangguk ke arah luka di tangannya. “aku sudah berdarah untukmu, jadi itu sudah di segel. Lahir dalam darah. Bersumpah dalam darah”. Dia mengarahkan tanganku menutupi tatoya, menatapku penuh harap.

“terlahir dengan darah, bersumpah dengan darah”. Kataku pelan. Dia melepaskan tanganku dan aku menurunkannya ke perutku, tertegun dan bingung. Sumpah itu adalah sebuah kesepakatan yang besar. Tanpa berkata apapun. Dia memadamkan lampu dan berbalik ke sisi tempat tidur miliknya.

Aku mendengarkan ritme nafasnya. Tau bahwa dia belum tertidur. Aku memejamkan mataku. Dia tak akan melanggar sumpahnya.





STUCK UP SUIT Chapter 8

GRAHAM AKU TIDAK MENDENGAR KABAR NYA SEPANJANG HARI di hari sabtu, dan tidak seperti yang aku harapkan juga. Soraya Venedetta san...